BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Konsep pajak - Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Kota Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Konsep pajak

  Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, berdasarkan Undang-Undang dapat dipaksakan yang mana balas jasanya tidak secara langsung dinikmati oleh wajib pajak. Pajak yang dipungut tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah seperti pembangunan sarana-sarana umum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

  Menurut Undang-Undang Perpajakan tahun 2000: Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

  Sebagaimana yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, bahwa untuk penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan wewenang dan kemampuan pemerintah menggali sumber-sumber penerimaan daerah yang salah satunya adalah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan. Menurut Soemitro (2001) yang dijadikan dasar untuk pengenaan pajak atas bumi dan bangunan adalah nilai jual dari bumi dan bangunan, nilai jual tersebut dihitung dengan cara tertentu.

  13

2.1.2. Sejarah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

  Sejarah asal mulanya Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan salah satu pajak tertua di Indonesia, pada zaman kolonial Belanda pajak atas tanah (landrent) diganti dengan nama Pajak Bumi. Kemudian setelah Indonesia merdeka tahun 1959 diubah namanya menjadi Pajak Hasil Bumi berdasarkan UU No. 11 Prp Tahun 1959. Pada masa itu obyek pajak yang dikenakan tidak lagi nilai tanah melainkan hasil yang keluar dari tanah. Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian diubah namanya menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), hasilnya diserahkan pada Pemerintah Daerah walaupun pajak tersebut masih merupakan pajak pusat. Hasil IPEDA tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan daerah.

  Pada tahun 1983 pemerintah mengadakan reformasi pajak untuk pertama kalinya dan menghasilkan salah satunya UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 1986, yang merupakan landasan hukum dalam pengenaan pajak sehubungan dengan hak atas bumi dan/atau bangunan, memperoleh manfaat atas bumi dan/atau bangunan, memiliki dan menguasai atas bangunan.

  Terakhir peraturan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994 sebagai pengganti dari UU No. 12 Tahun 1985, dengan berpegang teguh pada prinsip kepastian hukum dan keadilan, maka arah dan tujuan penyempurnaan undang-undang ini adalah sebagai berikut: 1.

  Menunjang kebijaksanaan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak.

2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pembangunan sesuai dengan kemampuannya.

  Berlandaskan pada arah dan tujuan penyempurnaan tersebut, maka dalam penyempurnaan UU No. 12 Tahun 1985, diatur kembali ketentuan-ketentuan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan yang dituangkan dalam UU tentang Perubahan atas UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, dengan pokok-pokok antara lain sebagai berikut:

  1. Untuk lebih memberikan keadilan dalam pengenaan pajak, diatur ketentuan mengenai besarnya Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) untuk setiap wajib pajak.

  2. Memperjelas ketentuan mengenai upaya banding ke badan peradilan pajak.

2.1.3. Fungsi pajak dalam pembangunan Pajak mempunyai dua fungsi utama, yaitu fungsi budgetair dan regulator.

  Sebagai fungsi budgetair, pajak merupakan alat untuk mengumpulkan dana melalui Kas Negara bagi pembiayaan pembangunan. Pemerintah sangat mengharapkan penerimaan negara selalu meningkat karena pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Sebagai fungsi regulator, pajak dimaksudkan untuk mengatur perekonomian yang sesuai dengan kebijakan pemerintah. Artinya, pajak dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk menjalankan peranannya. Peranan pemerintah dalam arti luas adalah mengatur kegiatan-kegiatan produsen dan konsumen mencapai tujuan masing-masing.

  Bohari (2004) menjelaskan: Pembangunan hanya dapat terlaksana dengan biaya yang cukup tersedia pada kas Negara. Untuk itu pajak merupakan sumber penerimaan terbesar dalam keuangan Negara. Pajak memegang peranan dalam keuangan Negara lewat tabungan pemerintah atau saving yang disalurkan ke sektor pembangunan. Tabungan pemerintah ini diperoleh melalui surplus penerimaan rutin setelah dikurangi dengan pegeluaran rutin. Penerimaan rutin seperti: penerimaan dari sektor pajak, retribusi, Bea dan Cukai, hasil perusahaan negara, denda dan sitaan. Penerimaan rutin ini adalah untuk membiayai pengeluaran rutin dari pemerintah seperti: gaji pegawai, pembelian alat-alat tulis menulis, ongkos pemeliharaan gedung pemerintah, bunga dan angsuran pembayaran hutang-hutang dari negara lain, tunjangan sosial dan sebagainya.

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2000 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dapat dijelaskan, diantaranya: a.

  Bahwa pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan meningkatkan peran serta masyarakat sesuai dengan kemampuannya.

  b.

  Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya, dan oleh karena itu wajar apabila mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.

  c.

  Bahwa sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983 perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan, sehingga dapat mewujudkan peran serta dan kegotongroyongan masyarakat sebagai potensi yang sangat besar dalam pembangunan nasional.

2.1.4. Subyek dan obyek pajak bumi dan bangunan

  2.1.4.1. Subyek pajak bumi dan bangunan Pajak Bumi dan Bangunan dikenakan atas bumi dan atau bangunan. Subyek

  Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian subyek pajak tersebut di atas menjadi wajib pajak PBB.

  Jika subyek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak obyek pajak sedangkan perawatannya dikuasakan kepada orang atau badan, orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP). Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subyek pajak yang ditetapkan seperti pada contoh di atas dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada DJP bahwa kuasa tersebut bukan wajib pajak terhadap obyek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan wajib pajak disetujui, maka DJP membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Namun bila tidak disetujui, DJP mengeluarkan surat keputusan penolakan disertai dengan alasan- alasan. Selanjutnya setelah jangka waktu satu bulan sejak diterima Surat Keterangan ternyata DJP tidak memberi keputusan keterangan yang telah pernah diajukan dianggap disetujui.

  2.1.4.2. Obyek pajak bumi dan bangunan Sebagaimana penjelasan di atas bahwa obyek pajak pada penelitian ini adalah PBB P2, yang mana obyek pajaknya adalah bumi dan atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Pengertian bumi adalah permukaan bumi yang ada di bawahnya, sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah, yang diperuntukkan sebagai tempat tinggal.

  Termasuk dalam pengertian bangunan adalah: 1)

  1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum. 2)

  No. 12 Tahun 1985, adalah: 1.

  Digunakan oleh badan atau perwakilan Organisasi Internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Obyek pajak berdasarkan UU No. 12 Tahun 1994, sebagai perubahan UU

  Digunakan oleh diplomatik, konsulat dan perwakilan Organisasi Internasional dengan asas timbal balik. 6)

  Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa. 5)

  Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala/yang sejenisnya dengan itu. 4)

  Ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. 3)

  9) Fasilitas lain yang memberikan manfaat (Waluyo, 2004). Selain obyek pajak kena pajak, terdapat pula obyek pajak yang tidak dikenakan pajak bumi dan bangunan, sesuai Pasal 3 UU No. 12 Tahun 1994, yaitu:

  Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,

  8) Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,

  7) Taman mewah,

  6) Galangan kapal, dermaga,

  5) Tempat olah raga,

  4) Pagar mewah,

  3) Kolam renang,

  2) Jalan tol,

  PBB belum didasarkan pada self assesment system. Nilai jual obyek pajak (NJOP) selama ini masih ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebaiknya NJOP ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan alasan agar dapat mencapai (mendekati) nilai jual obyek pajak yang ideal dalam artian nilai jual relatif sama dengan harga jual.

2. Besarnya NJOP tidak kena pajak menjadi Rp. 8.000.000,- 3.

  NJOP tidak kena pajak tidak diterapkan untuk setiap wajib pajak, dengan demikian NJOPTKP tersebut dikurangkan terhadap hasil penjumlahan NJOP tanah dan NJOP bangunan. Hal ini berbeda dengan NJOPTKP menurut UU Nomor 12 Tahun 1985, yang mana NJOPTKP ini dapat diterapkan terhadap NJOP bangunan saja.

  4. Pengurangan NJOPTKP hanya berlaku untuk satu unit obyek PBB yang dimiliki atau dikuasai oleh wajib pajak. Dengan demikian, apabila wajib pajak mempunyai lebih dari satu obyek pajak maka NJOPTKP hanya dapat dikurangkan terhadap satu obyek pajak saja, dalam hal ini obyek pajak yang mempunyai NJOP paling tinggi. Untuk obyek pajak yang mempunyai obyek pajak yang lain tidak diberikan pengurangan NJOPTKP.

  Nasucha (1997) mengungkapkan bahwa PBB merupakan pajak obyektif, di mana pengenaan pajak didasarkan pada obyek dari PBB, yaitu bumi dan/atau bangunan, sehingga otomatis yang menjadi obyek pajaknya adalah bumi dan bangunan.

  Sebagai dasar pengenaan pajak adalah NJOP, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, maka penentuan NJOP diperoleh melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau melalui nilai perolehan baru, atau dengan NJOP pengganti.

  Berdasarkan ketentuan baru yang berlaku efektif mulai tahun 2001, atas setiap wajib pajak diberikan keringanan berupa ketentuan NJOPTKP sebesar Rp. 12.000.000,- per wajib pajak. Ketentuan ini menggantikan ketentuan lama yang besarnya Rp. 8.000.000,-. Dengan adanya NJOPTKP akan banyak masyarakat kecil (terutama yang tinggal di perdesaan) yang selama ini hanya mempunyai obyek PBB yang bernilai kecil, akan terbebas dari kewajiban membayar PBBnya. Untuk menghitung obyek PBB dikenakan tarif PBB 0,5%.

  Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Saat ini ketentuan mengenai NJKP yang diberlakukan adalah sebesar 20% dan 40%. NJKP sebesar 40% diberlakukan khusus bagi obyek PBB yang dipergunakan untuk perumahan dengan NJOP sebesar 1 (satu) milyar rupiah atau lebih.

  Ketentuan NJKP sebesar 40% tersebut tidak berlaku bagi obyek pajak yang dimiliki oleh PNS, ABRI, pensiunan yang semata-mata penghasilannya hanya berasal dari gaji pensiunan, dengan demikian tarif efektif untuk menghitung besarnya PBB yang harus dibayar oleh wajib pajak adalah sebesar 0,1% dan 0,2% dari NJOP.

2.1.5. Jumlah wajib pajak

  Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk memungut atau memotong pajak tertentu. Oleh sebab itu, seseorang atau suatu badan menjadi wajib pajak apabila telah ditentukan oleh peraturan daerah untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang atau badan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari subyek pajak. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak dapat merupakan subyek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak lain yang bukan merupakan subyek pajak yang berwenang untuk memungut pajak dari subyek pajak. Dalam pengertian PBB, subyek pajak identik dengan wajib pajak, yaitu setiap orang atau badan yang memenuhi ketentuan sebagai subyek pajak diwajibkan untuk membayar pajak sehingga secara otomatis menjadi wajib pajak.

  Subyek pajak atau wajib pajak dalam PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi atau memperoleh manfaat atas bumi untuk memiliki, menguasai, dan memperoleh manfaat atas bangunan antara lain pemilik, penghuni, penggarap, dan penyewa.

2.1.6. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) perkapita

  Besarnya nilai jual obyek pajak sebagai dasar pengenaan PBB ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya (Waluyo dan Wirawan, 2000). Kondisi ini diperhitungkan mengikuti pertumbuhan ekonomi yang dialami daerah bersangkutan yang mendorong kemampuan ekonomi masyarakat dan ditunjukkan dengan peningkatan pendapatan perkapita (Insukindro, 1994). PDRB perkapita menunjukkan kemampuan seseorang untuk membiayai pengeluaran- pengeluarannya, termasuk membayar pajak.

  Produk Domestik Regional Bruto adalah merupakan indikator agregat ekonomi makro yang lazim digunakan untuk mengukur kondisi perekonomian suatu wilayah tingkat provinsi atau kabupaten, sedangkan PDRB perkapita merupakan gambaran rata-rata pendapatan yang dihasilkan oleh setiap penduduk selama satu tahun di suatu wilayah atau daerah. PDRB perkapita diperoleh dari hasil pembagian antara PDRB dengan jumlah penduduk.

  Kemampuan seseorang untuk membayar pajak dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu tingkat pendapatan, jumlah kekayaan, dan besarnya pengeluaran konsumsi.

  Semakin tinggi tingkat pendapatan, kekayaan, dan konsumsi seseorang, berarti semakin tinggi kemampuan orang tersebut untuk membayar pajak dan berpengaruh positif dalam meningkatkan penerimaan pajak (Miyasto, 1993).

2.1.7. Inflasi

  Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus (Sukirno, 2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono, 2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.

  Inflasi dapat digolongkan menurut sifatnya, menurut sebabnya, parah dan tidaknya inflasi tersebut dan menurut asal terjadinya (Nopirin, 2000). Menurut sifatnya inflasi digolongkan dalam tiga kategori yaitu inflasi merayap, inflasi menengah dan inflasi tinggi. Inflasi merayap adalah kenaikan harga terjadi secara lambat, dengan persentase yang kecil dan dalam jangka waktu yang relatif lama (di bawah 10% per tahun). Inflasi menengah adalah kenaikan harga yang cukup besar dan kadang-kadang berjalan dalam waktu yang relatif pendek serta mempunyai sifat akselerasi. Inflasi tinggi adalah kenaikan harga yang besar bisa sampai 5 (lima) atau 6 (enam) kali.

  Inflasi adalah suatu keadaan di mana harga barang-barang secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung dalam waktu yang lama terus-menerus.

  Harga barang yang ada mengalami kenaikan nilai dari waktu-waktu sebelumnya dan berlaku di mana-mana dan dalam rentang waktu yang cukup lama.

  Inflasi dapat menyebabkan gangguan pada stabilitas ekonomi yang mana para pelaku ekonomi tidak akan melakukan spekulasi dalam perekonomian.

  Di samping itu inflasi juga bisa memperburuk tingkat kesejahteraan masyarakat akibat menurunnya daya beli masyarakat secara umum akibat harga-harga yang naik. Selain itu distribusi pendapatan pun semakin buruk akibat tidak semua orang dapat menyesuaikan diri dengan inflasi yang terjadi. Akhirnya masyarakat tidak lagi berkeinginan menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan tajam sehingga ingin ditukar dengan barang. Perputaran uang makin cepat, sehingga harga naik secara akselerasi. Berdasarkan parah tidaknya inflasi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu, inflasi ringan (di bawah 10% setahun), inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun), inflasi berat (antara 30% - 100% setahun) dan hiperinflasi (di atas 100% setahun).

  Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif, tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung, atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para penerima pendapatan tetap, seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.

  Dampak inflasi bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Apabila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, apabila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen tidak akan meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, apabila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut (biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

  Secara umum, inflasi berdampak juga dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara, mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

2.1.8. Tingkat suku bunga

  Menurut Nopirin (2000), suku bunga adalah biaya yang harus dibayar oleh peminjam atas pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas investasinya. Tingkat suku bunga mempengaruhi keputusan individu terhadap pilihan membelanjakan uang lebih banyak atau menyimpan uangnya dalam bentuk tabungan. Tingkat suku bunga juga merupakan sebuah harga yang menghubungkan masa kini dengan masa depan, sebagaimana harga lainnya maka tingkat suku bunga ditentukan oleh interaksi antara permintaan dan penawaran.

  Suku bunga dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1)

  Suku Bunga Nominal. Suku bunga nominal adalah rate yang dapat diamati pasar.

  2) Suku Bunga Riil. Suku bunga riil adalah konsep yang mengukur tingkat bunga yang sesungguhnya setelah suku bunga nominal dikurangi dengan laju inflasi yang diharapkan.

  Suku bunga yang tinggi di satu sisi, akan meningkatkan hasrat masyarakat untuk menabung sehingga jumlah dana perbankan akan meningkat (Pohan, 2008).

  Apabila SBI cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, apabila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa (Yuniarta, 2008).

  Penelitian ini dengan menggunakan tingkat suku bunga Bank Indonesia. Kenaikan tingkat suku bunga dapat meningkatkan beban perusahaan (emiten) yang lebih lanjut dapat menurunkan harga saham. Kenaikan ini juga potensial mendorong investor mengalihkan dananya ke pasar uang atau tabungan maupun deposito sehingga investasi di lantai bursa turun dan selanjutnya dapat menurunkan harga saham.

  Berdasarkan beberapa penjelasan di atas diketahui bahwa tingkat suku bunga juga digunakan pemerintah untuk mengendalikan tingkat harga. Ketika tingkat harga tinggi yang mana jumlah uang yang beredar di masyarakat banyak sehingga konsumsi masyarakat tinggi, akan diantisipasi oleh pemerintah dengan menetapkan tingkat suku bunga yang tinggi. Dengan tingkat suku bunga tinggi yang diharapkan kemudian adalah berkurangnya jumlah uang beredar sehingga permintaan agregat pun akan berkurang dan kenaikan harga bisa diatasi.

2.1.9. Investasi

  Pengertian investasi menurut Sutojo (1993), adalah usaha menanamkan faktor-faktor produksi langka dalam proyek tertentu, baik yang bersifat baru sama sekali atau perluasan proyek atau pabrik yang sudah ada untuk memperoleh manfaat keuangan dan/atau non keuangan yang layak di kemudian hari.

  Pertumbuhan produksi pada dasarnya dipengaruhi oleh perkembangan faktor- faktor produksinya. Salah satu faktor produksi tersebut adalah modal (investasi).

  Banyak studi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah erat kaitannya dengan tingkat produktivitas penggunaan modal atau investasi.

  Menurut Sunariyah (2006): “Investasi adalah penanaman modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang”. Banyak negara-negara yang melakukan kebijaksanaan yang bertujuan untuk meningkatkan investasi baik domestik ataupun modal asing. Hal ini dilakukan oleh pemerintah sebab kegiatan investasi akan mendorong pula kegiatan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara, penyerapan tenaga kerja, peningkatan output yang dihasilkan, penghematan devisa atau bahkan penambahan devisa.

  Perkembangan investasi atau penanaman modal merupakan langkah awal bagi kegiatan pembangunan ekonomi di suatu negara. Dinamika investasi sangat mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi yang mencerminkan marak lesunya pembangunan. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim usaha yang dapat menggairahkan investasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, setiap saat pemerintah berusaha secara intensif menggalakkan kegiatan promosi untuk menarik investor asing agar dapat menanamkan modalnya di Indonesia khususnya di Kota Medan. Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakannya berulang kali memfasilitasi para investor agar lebih giat melakukan investasi, antara lain dengan diperlonggarnya kepemilikan saham oleh para pemodal asing dan makin terbukanya peluang usaha di Indonesia, seperti tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang pemilikan saham dalam rangka peningkatan arus modal asing langsung atau penanaman modal asing (PMA).

  Berbagai terobosan dilakukan pemerintah kota di sektor investasi untuk dapat menarik minat para investor dari dalam maupun luar negeri mulai dari penyempurnaan pelayanan perizinan investasi sampai kepada pemberian insentif baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Berbagai langkah debirokrasi dan deregulasi terus dilanjutkan untuk menciptakan efisiensi berusaha dan berinvestasi termasuk konsistensi aturan dan kepastian hukum untuk meminimalisir ketidakpastian berusaha bagi investasi asing.

  Pemerintah Kota Medan akan memberikan berbagai langkah yang sedang dilakukan, telah dilakukan dan akan dilakukan, antara lain: 1)

  Membentuk institusi kantor penanaman modal daerah Kota Medan sebagai institusi yang menyelenggarakan kewenangan perizinan investasi baik yang bersifat PMDN, maupun sebahagian PMA yang sebelumnya ada pada Pemerintah Pusat/Provinsi dalam layanan sistem satu atap (one stop service). 2)

  Membentuk Medan Bisnis Forum (MBF) sebagai wadah kemitraan antara Pemko Medan, masyarakat dan dunia usaha (swasta) yang berfungsi sebagai forum komunikasi, fasilitator, mediator, kegiatan bisnis dan investasi usaha swasta dan asing. 3)

  Mempersiapkan Unit Pelayanan Terpadu (UPT) satu atap, sebagai bentuk pengintegrasian pelayanan perizinan bagi investor dalam negeri dan asing sehingga diharapkan dapat lebih sederhana, cepat, mudah, murah, terbuka, baku, efisien dan ekonomis (terjangkau). 4)

  Mengusahakan insentif dan kemudahan melalui Pemerintah Pusat dengan pemberian: a.

  Keringanan bea masuk, impor barang-barang modal (mesin, bahan baku, dan lain-lain) sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. 135/KMK.05 /2000.

  b.

  Pembebasan PPN atas impor dan atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis, sesuai dengan SK Menteri Keuangan RI No. 155/KMK.03/2001.

  c.

  Memberikan visa izin tinggal sementara dan atau izin tinggal terbatas bagi perusahaan yang ingin mempekerjakan tenaga kerja asing, melalui Ditjen Imigrasi/Kantor Imigrasi setempat.

  d.

  Menggalang kerjasama perdagangan dan investasi dalam wadah-wadah regional seperti IMT-GT, Sister City dan lain-lain.

  e.

  Peningkatan pelayanan pada pintu-pintu masuk khususnya bandara dan pelabuhan, sehingga menciptakan budaya yang maju.

  f.

  Melakukan koordinasi secara terus menerus dengan Kepolisian dan TNI untuk memberikan rasa aman dan tenteram bagi seluruh pelaku bisnis baik Domestik maupun Asing yang ada di Kota Medan. Sumber Data: website Pemko Medan.

  Berbagai langkah yang telah, sedang dan akan dilanjutkan tersebut diharapkan juga menghapus perbedaan perlakuan antara investor asing dan lokal, sehingga investor asing dapat memiliki akses yang sama termasuk dari lembaga perbankan domestik/lokal (menyamakan perlakuan terhadap investor).

2.2. Review Peneliti Terdahulu

  Penelitian yang berkaitan dengan judul ini telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya adalah:

  1. Penelitian yang dilakukan oleh Sitanggang (2001), tentang Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Daerah

  Istimewa Yogyakarta, menyimpulkan bahwa jumlah surat penagihan, jumlah wajib pajak, Dana Prasarana Pembangunan dan PDRB perkapita secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB Daerah Istimewa Yogyakarta.

  2. Penelitian yang dilakukan oleh Hadi (2005), tentang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB Studi Kasus di Kabupaten Banyumas, menyimpulkan bahwa PDRB perkapita, wajib pajak, inflasi, luas lahan, jumlah bangunan dan resesi ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB dan krisis moneter berpengaruh negatif.

  3. Penelitian yang dilakukan Joko (2006), tentang Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB Studi Kasus di Kabupaten Bayolali, menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan PBB secara nyata adalah PDRB perkapita, pengeluaran pembangunan 2 (dua) tahun yang lalu, biaya pembangunan yang dibiayai oleh swadaya masyarakat 2 (dua) tahun yang lalu dan inflasi.

  4. Penelitian yang dilakukan oleh Nastiti (2008), tentang Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB dan dampaknya terhadap penerimaan daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kendal) menyimpulkan bahwa berdasarkan hasil pengujian hipotesis secara parsial dengan uji-t hanya PDRB perkapita, yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan PBB sedangkan wajib pajak, luas lahan, jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penerimaan PBB.

  • Jumlah surat penagihan, jumlah wajib pajak, Dana Prasarana Pembangunan dan PDRB perkapita

  Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas)

  Variabel Dependen

  Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB dan dampaknya terhadap penerimaan daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kendal)

  4. Nastiti ( 2008)

  Variabel Dependen Penerimaan PBB Variabel Independen

  Analisis faktor- faktor yang mempengaruhi penerimaan PBB (Studi Kasus di Kabupaten Bayolali)

  3. Joko ( 2006)

  Variabel PDRB perkapita, wajib pajak, inflasi, luas lahan, jumlah bangunan dan resesi ekonomi berpengaruh positif terhadap penerimaan PBB dan krisis moneter berpengaruh negatif terhadap penerimaan PBB.

  Variabel Dependen

  2. Hadi ( 2005)

  Jumlah surat penagihan, jumlah wajib pajak, Dana Prasarana Pembangunan dan PDRB perkapita secara keseluruhan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan PBB di Daerah Istimewa Yogyakarta.

  Variabel Dependen: Penerimaan PBB Variabel Independen

  Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan PBB Daerah Istimewa Yogyakarta

  1. Sitanggang ( 2001)

  Variabel yang digunakan Hasil penelitian

  Nama peneliti Judul penelitian

Tabel 2.1. Review peneliti terdahulu

  • Penerimaan PBB Variabel Independen - Pajak property, PDRB perkapita wajib pajak, inflasi, luas lahan, jumlah bangunan dan resesi ekonomi
  • PDRB perkapita, Pengeluaran Pembangunan, Biaya Pembangunan dan Inflasi Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerimaan PBB secara nyata adalah PDRB perkapita, Pengeluaran Pembangunan 2 (dua) tahun yang lalu, Biaya Pembangunan yang dibiayai oleh swadaya masyarakat dua tahun yang lalu dan inflasi.

  Berdasarhan hasil pengujian hipotesis secara parsial dengan uji-t hanya variabel PDRB perkapita, yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan PBB sedangkan variabel wajib pajak, luas lahan, jumlah penduduk berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap penerimaan PBB.

  • Penerimaan PBB Variabel Independen - PDRB perkapita, wajib pajak, luas lahan dan jumlah penduduk