BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO - Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Ditinjau Dari UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP INDUSTRI DI DALAM NEGERI DALAM SISTEM PERDAGANGAN BEBAS WTO WTO (World Trade Organization) adalah organisasi perdagangan

  dunia yang berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan internasional. Tujuan utama WTO adalah untuk menciptakan persaingan sehat dibidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, dan juga untuk meningkatkan taraf hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya

  

  lapangan pekerjaan, meningkatkan produksi dan perdagangan. Pada sistem perdagangan bebas WTO terdapat 5 prinsip dasar yaitu perlakuan yang sama untuk semua anggota, pengikatan tarif, perlakuan nasional, perlindungan berkembang. Pada perlindungan terhadap industri dalam negeri, ada pengecualian dari prinsip dasar yang diterapkan oleh WTO, yaitu antara lain tindakan anti dumping, subsidi dan tindakan safeguard.

A. Antidumping

  Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional. Dumping adalah praktik dagang yang dilakukan oleh pengekspor dengan menjual komiditi di pasar internasional dengan harga 14 Bimo Wicaksono, WTO dan Sistem Perdagangan Dunia,

   diakses tanggal 27 Agustus 2014, 11.03 wib yang kurang dari nilai wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri,atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasaran dan merugikan

  

prudusen pesaing di negara pengimpor.

  Menurut Kamus Ekonomi (Inggris-Indonesia), dumping adalah suatu bentuk diskriminasi harga, dimana misalnya seorang produsen menjual pada dua pasar yang berbeda atau dengan harga-harga yang berbeda, karena adanya penghalang tertentu antara pasar-pasar tersebut dan terdapat elastisitas

   permintaan yang berbeda antara kedua pasar tersebut.

   Menurut beberapa sarjana, pengertian dumping adalah sebagai berikut : a.

  Agus Brotosusilo : Dumping adalah bentuk diksriminasi harga internasional yang dilakukan dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.

  b.

  Muhammad Ashari : Dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diksriminasi harga, yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih

  15 A F. Erawati dan J.S Badudu, Kamus Hukum Ekonomi Inggris-Indonesia (Jakarta: Proyek ELIPS,1996) hlm.37. 16 Binchoutan, Dumping dan Penetapan Antidumping, diakses 26 Agustus 2014, 10.46wib 17 Sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-bayang Pasar Bebas, Cet.I (Jakarta : Sinar Grafika, 2002) hlm.25 rendah dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.

1. Dasar Hukum Antidumping

  

Article VI General Agreement on Tariff and Trade (GATT) 1947

  mengatur tentang ketentuan antidumping. Selanjutnya, sebagai upaya untuk mencegah praktik dumping, maka tanggal 30 Juni 1967 telah ditandatangani “Antidumping Code” oleh sekitar 25 peserta GATT termasuk Amerika Serikat. Code ini merupakan peraturan pelaksanaan antidumping dalam ketentuan GATT 1947.

  Selanjutnya dalam rangka mengimplementasikan penafsiran Article VI tersebut, maka dalam Putaran Tokyo disepakati Antidumping Code (1979) Januari 1980. Code ini secara umum memuat prosedur atau tata cara pelaksanaan Article VI GATT melalui Agreement on Implemantion of Article

VI GATT.

  Antidumping Code (1994) sebenarnya merupakan salah satu dari

  Multilateral Trade Agreement yang ditandatangani bersama dengan Agreement Esthablishing The World Trade Organization (WTO) yang

  merupakan institusi yang bertujuan memajukan perdagangan dunia antarnegara-negara anggota WTO. Dengan demikian, kedudukan

  Antidumping Code (1979) merupakan bagian integral dari Agreement

18 Esthablishing WTO itu sendiri.

  Sebagai salah satu negara yang merupakan bagian dari organisasi perdagangan dunia, Indonesia telah meratifikasi ketentuan GATT-WTO dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang Pengesahan Agreement on Esthablishing the World Trade Organization

  (WTO) , maka hasil keputusan yang berisi 28 persetujuan tersebut telah sah

  menjadi bagian dari peraturan per-UU-an nasional bagi negara peserta, termasuk persetujuan tentang antidumping.

  Salah satu yang menjadi perhatian Indonesia terhadap hasil persetujuan Putaran Uruguay adalah masalah antidumping yang diatur dalam Article VI GATT 1994, yang menyatakan bahwa setiap negara anggota GATT dikenakan terhadap barang impor yang dijual dengan harga ekspor di bawah nilai normal dari harga barang yang sama di pasar domestik negara pengimpor sehingga menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negara pengimpor.

  Untuk dapat melaksanakan tindakan antidumping, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum antidumping, baik berupa peraturan per-UU-an maupun komite antidumping. Beberapa peraturan yang mengatur tentang

  

  antidumping adalah sebagai berikut : 1)

  UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 18 Yulianto Syahyu, Hukum Antidumping di Indonesia, Cet. I (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia 2004) hlm.45. 19 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 118.

  2) UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan yang dalam Pasal 18-20 diatur tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan.

  3) UU No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang

  Kepabeanan 4)

  Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan 5) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

  136.MPP/Kep/6/1996 tentang Pembentukan Komite Antidumping Indonesia

  6) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

  172/MPP/Kep/6/1996 tentang Organisasi dan Cara Kerja Tim Organisasi Antidumping Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

  427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia 8) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

  428/MPP/Kep/10/2000 tentang Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia.

  9) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

  216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Cara Persyaratan Pengajuan Penyelidikan Atas Barang Dumping dan Barang Mengandung Subsidi.

2. Kriteria dan jenis dumping a.

  Kriteria Dumping Article VI GATT pada prinsipnya telah memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dilarang adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik. Mengacu pada pengertian di atas, maka dumping dapat dikategorikan menjadi tiga unsur

  

  atau kriteria sebagai berikut : 1.

  Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal

  2. Akibat dari diskriminasi harga tersebut yang menimbulkan kerugian materil terhadap industri telah berdiri atau menjadi halangan terhadap

  3. Adanya hubungan kausal antara penjual barang impor yang harganya lebih rendah dari harga normal sehingga terjadi kerugian yang diderita oleh negara pengimpor.

  b.

  Jenis dumping Dalam praktik perdagangan internasional, dumping ada beberapa jenis dan oleh para ahli ekonomi pada umumnya dapat diklasifikasikan atas 3(tiga)

  

  jenis, yaitu : 1.

  Persistent dumping (diskriminasi harga internasional) , yaitu 20 kecenderungan monopoli yang berkelanjutan dari suatu pasar dalam 21 Ibid ., hlm. 120.

  Sukarmi, Op.Cit., hlm.40. negeri untuk memperoleh keuntungan maksimum dengan menetapkan harga yang lebih tinggi di dalam negeri daripada diluar negeri

  2. Predatory dumping, yaitu menjual barang di luar negeri lebih murah untuk sementara, sehingga dapat mematikan pesaing. Setelah memonopoli pasar maka harga kembali dinaikkan.

3. Sporadic dumping, yaitu menjual produk di luar negeri lebih murah secara sporadic karena kelebihan produksi di dalam negeri.

  Menurut Kindleberger dalam H.A.S. Natabaya, apabila dilihat dari segi dampak bagi konsumen dan industri dalam negeri pengimpor ada dua jenis

  

  dumping, yaitu : 1.

  Dumping yang bersifat perampasan, bentuk seperti ini terjadi apabila perusahaan melakukan diskriminasi dan menguntungkan pembeli untuk saingan tersingkir maka harga dinaikkan kembali. Bentuk dumping ini sangat merugikan produk industri dalam negeri negara pengimpor

  2. Dumping yang terjadi secara terus menerus, bentuk dumping ini seperti pada dasarnya hanya akan menguntungkan konsumen negara pengimpor, karena hanya bersaing dengan produk impor lain.

  c.

  Implikasi dumping bagi negara pengimpor Pada dasarnya para pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan perdagangan internasional bertujuan untuk memperoleh keuntungan.Untuk itu mereka harus mempunyai kemampuan dan ketrampilan manajerial yang 22 H.A.S. Natabaya, Penelitian Hukum tentang Aspek Hukum Antidumping dan

  Implikasinya bagi Indonesia , (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, 1996), hlm.9. prima serta memiliki konsep atau prinsip yang berlaku umum dalam perdagangan internasional yakni konsep keunggulan komparatif. Konsep

  

  keunggulan komparatif adalah bahwa setiap negara akan memperoleh keuntungan jika ia menspesialisasikan pada produksi dan ekspor yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih murah, dan mengimpor apa yang dapat diproduksinya pada biaya yang relatif lebih mahal. Selain itu harus juga memerhatikan kaidah-kaidah hukum yang berlaku di dunia bisnis internasional dengan mengutamakan prinsip fairness. Prinsip fairness diutamakan dalam perdagangan internasional karena untuk menghilangkan praktek dumping dan subsidi. Prinsip fairness dimaksudkan agar jangan sampai terjadi suatu negara menerima keuntungan tertentu dengan melakukan kebijaksanaan tertentu, sedangkan di pihak lain kebijaksanaan tersebut justru

   Dalam ketentuan GATT-WTO prinsip fairness sangat diutamakan, hal

  ini dimaksudkan untuk mengantisipasi terjadinya praktik persaingan curang dalam perdagangan internasional. Namun pada kenyataannya hakikat yang dimaksud sering tidak diindahkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan mengutamakan prinsip keadilan. Tindakan persaingan antarpelaku ekonomi merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya persaingan curang baik dalam bentuk harga maupun bukan harga yang dikenal baik dengan istilah “dumping”. Dengan demikian, dumping 23 Hanif, Keunggulan Komparatif

   diakses tanggal 27 Agustus 2014, 7.40 wib 24 Muhammad Sood, Op. Cit., hlm. 120.

  merupakan salah satu bentuk hambatan perdagangan non-tarif, yang berupa

   diskriminasi harga .

  Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, pada dasarnya dumping dilarang karena dianggap dapat merugikan perekonomian negara lain. Berdasarkan ketentuan yang dinyatakan dalam Article VI section (1) GATT 1947, ada dua unsur yang dapat disimpulkan, yaitu : a.

  Produk dari suatu negara yang diperdagangkan oleh negara lain dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga normal atau disebut dengan

  “less than fair value” (LTFV) b.

  Akibat dari diksriminasi harga tersebut menimbulkan kerugian material terhadap industri yang telah bediri atau menjadi halangan terhadap pendirian industri dalam negeri.

   than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu :

  1) Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain kurang dari harga saing yang berlaku dalam pasar yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi konsumsi di negara yang mengimpor, atau

  2) Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis 25 yang diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau 26 Ibid ., hlm. 124.

  Christhophoborus Barutu, Ketentuan AntiDumping Subsidi dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO (Bandung : Citra Aditya Bakti,2007), hlm.40-41 dengan biaya produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya penjualan dan keuntungan Berdasarkan Article VI GATT 1947 ada dua sebab akibat untuk melarang kegiatan dumping, yaitu dumping yang dilakukan oleh suatu negara yang menjual barang di negara lain dengan harga yang “less than fair value” (LTFV), dan perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian materil bagi negara pengimpor. Kerugian materil, artinya industri dalam negeri memproduksi barang sejenis telah benar-benar mengalami kerugian seperti faktor penurunan penjualan, penurunan keuntungan, penurunan pangsa pasar, apabila salah satu saja faktor sudah dipenuhi, maka bisa dikatakan sebagai kerugian materil. Barang sejenis yang dimaksud yang dapat menimbulkan keugian materil adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama karakteristik menyerupai barang yang diimpor.

  Kedua sebab akibat tersebut dinyatakan dalam pasal tersebut memberikan kriteria umum bahwa dumping yang dapat menimbulkan kerugian materil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik.

3. Bea Masuk Antidumping

  Pengenaan bea masuk anti-dumping (BMAD) untuk menutup kerugian industri dalam negeri yang dianggap merupakan tindakan yang sudah seharusnya dilakukan. Apabila telah diputuskan pengenaan bea masuk anti-dumping, pemungutannya tidak boleh diksriminatif. Pemungutannya harus dilakukan terhadap semua yang melakukan impor dumping yang menyebabkan kerugian.

  Jumlah bea masuk anti-dumping tidak akan melebihi selisih harga dumping dengan harga normal. Nilai normal ialah harga yang sebenarnya dibayar atau akan dibayar untuk barang sejenis di pasar domestik negara pengekspor untuk tujuan konsumsi. Ekspor barang perusahaan yang bersangkutan dapat dikenakan bea masuk anti-dumping (BMAD) oleh negara pengimpor maksimum sebesar margin dumping, yaitu selisih antara harga normal di pasar dalam negeri dan harga ekspor selama lima tahun dan dapat

   diperpanjang selama lima tahun lagi.

  Pasal 9 WTO Agreement mengatur mengenai pengenaan bea masuk anti- besaran BMAD, di antaranya, badan yang berwenang menentukan besaran BMAD.

B. Tindakan Imbalan untuk Tindakan Subsidi (Countervailing Duties)

  Subsidi dalam perekonomian diartikan sebagai bantuan atau insentif yang diberikan pemerintah suatu negara kepada para pelaku ekonomi di negaranya.

  Bantuan tersebut dapat berupa keringanan dalam perpajakan dalam bentuk penangguhan pembebasan pembayaran pajak, bantuan berupa pembatasan bea masuk, atau tarif impor, bantuan berupa keringanan bunga kredit 27 Ibid ., hlm. 49. perbankan, pemberian bonus uang kepada produsen ekspor untuk setiap volume produksi yang berhasil di ekspor yang dikenal dengan sebutan subsidi

   ekspor, bantuan biaya riset dan pengembangan teknologi, dan sebagainya.

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk

   Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dinyatakan bahwa Subsidi adalah :

  1) Setiap bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah baik langsung atau tidak langsung kepada perusahaan, industri, kelompok industri atau eksportir, dan

  2) Setiap bentuk dukungan terhadap pendapat atau harga yang diberikan secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan ekspor atau menurunkan impor dari atau ke negara yang bersangkutan yang dapat memberikan manfaat bagi penerimanya.

  GATT/WTO1994 dapat disimpulkan bahwa subsidi merupakan kontribusi

  finansial yang diberikan oleh pemerintah suatu negara kepada pelaku ekonomi berupa: a.

  Pemberian dana secara langsung oleh pemerintah seperti: hibah, pinjaman, penyertaan modal atau jaminan utang b.

  Penghapusan pendapatan atau tagihan pemerintah misalnya insentif fiscal, seperti memberikan keringanan atau penghapusan pajak c.

  Penyediaan barang atau jasa oleh pemerintah selain infrastruktur umum 28 atau pembelian barang 29 Muhammad Sood, Op.Cit., hlm. 194.

  

PP No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Pasal 1 butir 5. d.

  Melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan , atau memberikan kepercayaan pada badan swasta untuk melaksanakan fungsi sehubungan yang terkait, yang pelaksanannya berbeda dengan biasanya yang dilakukan oleh pemerintah

   1.

  ) Dasar Hukum Tindakan Imbalan (Countervailing Duties

  Subsidi pada dasarnya diberikan untuk mendukung pertumbuhan suatu industri, namun tindakan subsidi ternyata secara tidak langsung dapat merugikan negara tujuan ekspor. Dengan adanya subsidi harga barang semakin murah sehingga dapat menimbulkan persaingan yang tidak baik apabila barang tersebut masuk ke negara lain, untuk mencegah hal tersebut maka digunakanlah tindakan imbalan. Tindakan imbalan (countervailing dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir. Menurut UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdangangan pada Pasal 67 ayat (3) bagian d, tindakan imbalan bertujuan untuk mengatasi praktik perdagangan yang tidak sehat. Dalam Pasal 71 UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, diatur juga mengenai kewajiban pemerintah untuk mengambil tindakan imbalan dalam rangka menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman kerugian industri dalam negeri.

  Subsidi diatur dalam Article XVI GATT 1947. Kemudian disatukan dalam “Persetujuan tentang Subsidi dan Tindakan Imbalan (Agreement on Subsidies 30 Countervailing Duties adalah tambahan bea masuk yang dikenakan untuk mengimbangi efek dari subsidi yang diberikan oleh negara pengekspor untuk perusahaan eksportir.

  and Countervailing Measures )” tahun 1994 GATT-WTO (Article XVI),

  merupakan bagian dari hasil persetujuan dalam Perundingan Multilateral Putaran Uruguay pada 1994.

  Dalam tata hukum nasional, subsidi telah diatur dalam UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian diubah lagi dengan UU No. 17 Tahun Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Adapun norma sebagai peraturan pelaksanaannya adalah Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag) No. 261/MPP/Kep/6/1996 tentang Bea Masuk Imbalan.

   Tujuan Pemberian Subsidi

  Menurut A. F. Elly Erawati, pemberian subsidi pada dasarnya mempunyai

  

  dua tujuan, yaitu : a.

  Untuk mendorong pertumbuhan ekspor. Maksudnya ialah agar pengusaha yang memperoleh subsidi dapat memproduksi produknya dengan biaya yang lebih rendah atau murah, sehingga produk tersebut dapat di ekspor dengan harga yang dapat bersaing dengan produk serupa dari negara pengimpor dari negara pengimpor dari negara ketiga lainnya.

  b.

  Untuk mengurangi impor, artinya bahwa pemberian subsidi terhadap 31 komponen produk tertentu yang diproduksi di dalam negeri mendorong Muhammad Sood, Op.Cit., hlm. 190. produsennya untuk tidak lagi membeli komponen produk serupa dari luar negeri. Meskipun demikian, subsidi seperti ini tidak menjamin bahwa produk lokal tersebut akan benar-benar baik kualitasnya dan rendah harganya dibandingkan dengan produk impor.

3. Penggolongan Subsidi

  Menurut Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (Article 3

   a.

  • – Article 8) bahwa jenis subsidi meliputi :

  Subsidi yang terlarang dalam Article 3 yaitu : 1)

  Kelompok subsidi yang diberikan kepada pelaksana ekspor misalnya subsidi ekspor (yang berhubungan dengan kinerja ekspor). Larangan subsidi ekspor ini tidak berlaku untuk negara yang tergolong sangat terhitung sejak berlakunya persetujuan WTO mengenai subsidi tersebut.

  2) Kelompok subsidi yang diberikan untuk pemakaian produk lokal (penggunaan barang dalam negeri) sebagai pengganti produk impor.

  Larangan subsidi ini tidak berlaku bagi negara berkembang dalam jangka waktu 5 tahun, dan negara terbelakang selama jangka waktu 8 tahun sejak berlakunya persetujuan WTO b.

  Subsidi yang dapat terkena tindakan, Article 5 : Kelompok subsidi jenis ini adanya kemungkinan terkena sanksi apabila : 32 Ibid ., hlm.196.

  1) Mengakibatkan kerugian industri dalam negeri dari negeri yang mengimpor produk yang disubsidi tersebut

  2) Menghilangkan atau merusak keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung yang seharusnya dinikmatinya oleh negara lain c.

  Subsidi yang tidak terkena tindakan,Article 8 : Kelompok subsidi jenis ini meliputi :

  

  1) . Subsidi yang tidak spesifik adalah Subsidi yang tidak spesifik subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin yang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi.

  2) Subsidi berupa bantuan penelitian yang dilakukan oleh perusahaan, melebihi 75% dari biaya penelitian industri.

  3) Subsidi untuk wilayah yang terbelakang, sepanjang kriteria daerah terbelakang itu disusun secara objektif, transparan, dan eksplisit melalui peraturan per-UU-an dengan menggunakkan tolok ukur pembangunan ekonomi yang minimal terdiri dari faktor pendapatan per kapita, angka pengangguran

  4) Subsidi untuk membantu penyesuaian fasilitas persyaratan lingkungan hidup sesuai dengan UU, sepanjang bantuan itu hanya untuk satu kali 33 saja dan besarnya 20% dari biaya yang dibutuhkan.

  Article 2 Agreement on Subsidies and Countervailing Measures

   4.

   Kebijakan Pemberian Subsidi

  Sesuai dengan tujuan pemberian subsidi, yaitu untuk merangsang kegiatan ekspor, maka pemerintah masih diperbolehkan memberikan subsidi kepada pelaku ekonomi sebatas subsidi tersebut untuk produk primer, misalnya untuk mendukung pengembangan produk pertanian, perikanan, dan kehutanan. Sementara subsidi untuk produk non-primer, yaitu produk lain diluar pertanian, perikanan, dan kehutanan tidak diperbolehkan karena berindikasi menimbulkan dampak kerugian terhadap negara lain.

  Dalam usaha pemberian subsidi untuk mendorong pertumbuhan ekspor, pemerintah suatu negara wajib memberitahukan terlebih dahulu secara tertulis kepada para eksportirnya. Pemberitahuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi industri domestik negara pengimpor bagi sebagai berikut : a.

  Pemberitahuan tersebut harus dilakukan secara tertulis b.

  Pemberitahuan harus berisi : 1)

  Jumlah produk yang diberikan subsidi 2)

  Nilai subsidi 3)

  Keadaan-keadaan yang dijadikan alasan diberikannya subsidi Kewajiban untuk memberitahukan dalam rangka melindungi industri domestik sebagaimana diatur dalam Article XVI, selain kurang mempunyai kekuatan hukum dan cenderung untuk tidak ditaati, ketentuan ini pun tidak 34 Christhophoborus Barutu, Op.Cit., hlm.200. mempunyai kepastian hukum dan seolah-olah hanya merupakan anjuran saja. Ketentuan ini hanya menggambarkan bahwa subsidi yang diberikan kepada produsennya harus benar-benar beritikad baik. Apabila suatu negara enggan memberitahukan perlakuan subsidi yang dapat menimbulkan kerugian bagi negara lain karena tidak ada sanksi hukum jika dilanggar, maka sanksi satu- satunya adalah kemungkinan untuk dikenakan tindakan balasan oleh negara yang dirugikan. Begitu pula jika negara yang bersangkutan memberitahukan tentang adanya subsidi juga akan diancam dengan sanksi yang sama. Dengan tidak adanya kekuatan hukum mengenai kewajiban pemberitahuan tersebut, sehingga suatu negara cenderung tidak mempergunakan prosedur.

  C.

   Safeguard

  kebijakan perdagangan yang hampir mirip dengan kebijakan antidumping dan anti subsidi. Ketiga-tiganya sama-sama diatur dalam WTO, dan sama-sama dapat dikenakan tarif bea masuk tambahan apabila menimbulkan kerugian

   terhadap negara pengimpor.

  Berdasarkan persetujuan tentang Tindakan Pengamanan (Agreement

  on Safeguard ) Article XIX of GATT 1994 bahwa tindakan pengamanan adalah

  tindakan yang diambil oleh pemerintah negara pengimpor untuk memulihkan kerugian serius dan atau mencegah ancaman kerugian serius terhadap industri

35 Ibid ., hlm.213.

  dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung bersaing.

  Menurut Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-Dag/Per/9/2008 bahwa “Tindakan pengamanan (safeguard) adalah tindakan yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius atau mencegah ancaman kerugian serius industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan impor barang sejenis atau barang yang secara langsung merupakan saingan hasil industri dalam negeri dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami kerugian serius atau ancaman kerugian serius tersebut dapat

  

  melakukan penyesuaian struktural” 1.

   Dasar Hukum Tindakan Pengamanan

  khusus yang dapat menentukan bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebuah tindakan pengamanan ataukah tidak, adapun kreteria yang menjadi syarat

  

  sahnya tindakan pengamanan tersebut, yaitu: a.

  Tindakan tersebut dilakukan pemerintah, sesuatu yang dilakukan pemerintah untuk mengamankan industri lokalnya dari kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang terjadi akibat berlimpahnya produk impor yang masuk ke Indonesia. Dalam hal ini yang mempunyai peran 36 adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk bertindak melakukan

  

Peraturan Menteri Perdagangan No.: 37/M-Dag/Per/9/2008 tentang Surat Keterangan

Asal (Certificate Of Origin) terhadap Barang Impor yang dikenakan tindakan 37 pengamanan , Pasal 1 ayat (2).

Pasal 1 Kepres No. 84 Tahun 2002, Tentang Tindakan pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor

  pengaman industri dalam negerinya, bukan pelaku usaha langsung yang terlibat dalam melakukan tindakan pengamanan tersebut.

  b.

  Terdapat kerugian serius atau ancaman kerugian serius. Maksud dari kerugian serius disini adalah kerugian nyata yang diderita oleh industri dalam negeri. Sedangkan yang dimaksud dengan ancaman kerugian serius adalah ancaman terjadinya kerugian serius yang akan diderita dalam waktu dekat oleh industri dalam negeri yang diakibatkan melonjaknya impor dari luar c.

  Tindakan tersebut bertujuan untuk melindungi atau memulihkan industri dalam negeri.

  d.

  Terdapat barang sejenis. Barang sejenis adalah barang produksi dalam negeri yang identik atau sama dalam segala hal dengan barang terselidik menyerupai barang terselidik dimaksud e. Terdapat barang yang secara langsung bersaing. Barang yang secara langsung bersaing adalah barang produksi dalam negeri yang merupakan barang sejenis atau substitusi barang terselidik.

  Pengaturan safeguard mengacu pada Article XIX GATT (Emergency

  Action on Imports of Particular Products ) sebagaimana disempurnakan

  dengan Agreement on Safeguard 1994. Tindakan pengamanan (safeguard) juga diatur dalam sistem hukum Indonesia yaitu dalam Kepres No. 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri dari Akibat Lonjakan Impor serta Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia

  No. 37 Tahun 2008 Tentang Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) Terhadap Barang Impor yang Dikenakan Tindakan pengamanan (Safeguards).

2. Pengaturan Safeguard a.

  Sebelum Perundingan Uruguay Round : Berdasarkan Article XIX GATT 1947 bahwa salah satu syarat untuk melakukan tindakan pengamanan (safeguard) oleh negara-negara anggota

  WTO adalah untuk melindungi industri dalam negeri dan bersifat non diskrimnatif. Hal ini berarti bahwa tindakan safeguard melalui pembatasan impor diterapkan karena telah terjadi peningkatan produk impor, sehingga menimbulkan kerugian yang serius di dalam negeri (negara pengimpor). negara pengimpor. Selain itu, syarat lain adalah bahwa negara yang menghadapi negara pengimpor harus diberi kompensasi.

  b.

  Pasca Perundingan Uruguay Round 1)

  Pertemuan Punta del Este (Uruguay) 1986-1988 Dengan dilaksanakan perundingan safeguard di Punta del Este

  (Uruguay) yang menyempurnakan ketentuan Article XIX GATT bertujuan untuk mencapai suatu perjanjian yang komprehensif yang pada gilirannya akan menyempurnakan aturan utama sistem perdagangan multilateral. Selanjutnya dapat dicatat bahwa deklarasi

  Punta del Este juga menetapkan agar perjanjian dapat dicapai dalam negosiasi mengenai safeguard harus berdasarkan pada prinsip dasar dari GATT yang dalam hal ini menyangkut prinsip non diskriminasi. Prinsip non diskriminasi adalah prinsip utama yang menjadi dasar GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa perdagangan internasional antara anggota GATT harus dilaksanakan secara non diskriminatif.

  Yaitu untuk memperlakukan produk impor dan produk lokal secara

  

  sama dan most-favoured nation untuk menerapkan tarif yang sama untuk setiap barang impor. GATT juga mengurus hambatan-hambatan non tarif yang diterapkan sebagai proteksi, contohnya adalah standar ramah lingkungan. Namun beberapa prinsip dalam GATT tidak mudah untuk diikuti karena dalam banyak hal perlu adanya perubahan mudah untuk menerapkan prinsip dan perlakuan yang sama kepada negara yang tidak sejajar. Kesulitan untuk mengikuti prinsip dan aturan GATT terutama dialami oleh negara berkembang.

  2) Sidang Mid-Term review Montreal (Canada) 1988

  Pada sidang Mid-Term Review di Montreal 1988 di Montreal, para menteri hanya memberikan petunjuk mengenai langka-langka perundingan safeguard yang berdasarkan pada prinsip-prinsip dasar 38 dari persetujuan umum yang bertujuan untuk mengembangkan

  Most Favoured Nation adalah negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu pengawasan safeguard dengan melakukan tindakan pembatasan serta selalu melakukan kontrol. Para menteri juga mengakui bahwa melalui persetujuan tersebut sebagai suatu hal yang sangat penting untuk memperkuatkan sistem GATT dalam rangka mengembangkan negosiasi perdagangan secara multilateral.

3) Sidang Tingkat Menteri di Brussels (Swedia) Desember 1990.

  Selanjutnya pada sidang tingkat Menteri di Brussels 1990, bidang

  safeguard masih memerlukan keputusan politis karena hal tersebut

  belum dapat diselesaikan dalam perundingan sebelumnya baik di Punta del Este maupun di Montreal. Beberapa masalah utama yang menjadi kontroversial adalah masalah penerapan safeguard secara juga semakin jarang dilaksanakan karena syaratnya dianggap terlampau berat untuk dipenuhi. Oleh karena itu maka ada pemikiran untuk memberikan insentif dalam penggunaan safeguard dengan menambah syarat agar tidak melakukan tindakan pembalasan.

  Tindakan pengamanan (safeguard) dilakukan apabila suatu industri dalam negeri mengahdapi kesulitan karena membanjir produk impor.

  Namun bagi negara berkembang diberikan perlakuan khusus yang meringankan.

  4) Hasil Akhir Perundingan Safeguard di Marrakech (Marroco) 1994

  Dengan diselenggarakannya putaran akhir perundingan Uruguay Round di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 akhirnya berhasil disepakati hasil persetujuan di bidang safeguard. Adapun ringkasan hasil perundingan di bidang safeguard adalah sebagai berikut :

  a) Safeguard adalah hak darurat membatasi impor apabila terjadi peningkatan impor yang menimbulkan kerugian serius terhadap industri domestik.

  b) Negara berkembang khawatir akan adanya langkah yang semakin efektif.

  c) Ketentuan tentang safeguard dapat diterapkan secara provisional selama penyidikan apabila: menimbulkan kerugian serius.

  2. Apabila keterlambatan penerapan safeguard akan menimbulkan kerugian yang sulit diperbaiki.

  d) Ketentuan seperti pembatasan ekspor sukarela tidak boleh diterapkan.

  e) Safeguard tidak boleh diterapkan lebih dari 4 (empat) tahun kecuali bila masih perlu untuk mencegah kerugian dan industri yang terkena sedang dalam restrukturisasi. f) Safeguard yang melebihi satu tahun harus dihapus bertahap dan jika melebihi 3 (tiga) tahun harus ditinjau dalam satu setengah tahun.

  g) Safeguard tidak dikenakan untuk negara berkembang apabila pangsa negara tersebut 3% (tiga persen) atau kurang dari total impor negara penerap safeguard dan apabila pangsa kolektif negara-negara berkembang 9% (sembilan persen) atau kurang dari total impor negara tersebut. Persetujuan di bidang Safeguard yang berakhir di Marrakech (Marocco) 15 April 1994 bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat sistem perdagangan internasional berdasarkan ketentuan GATT 1994 dengan pertimbangan yaitu:

  1. Memperjelas dan memperkuat tata tertib GATT 1994, dan Produk tertentu), untuk menegakkan kembali pengendalian multilateral tentang tindakan pengamanan, dan menghilangkan yang lolos dari pengendalian tersebut.

  2. Pentingnya penyesuaian struktural dan kebutuhan untuk meningkatkan dan bukan membatasi persaingan dalam pasar internasional.

  3. Pertimbangan lebih lanjut bahwa untuk tujuan ini, persetujuan menyeluruh yang dapat diterapkan oleh semua anggota berdasarkan prinsip-prinsip GATT 1994. Dengan dilaksanakan persetujuan di bidang safeguard maka setiap negera dapat menerapkan tindakan pengamanan terhadap produk domestiknya apabila industri dalam negeri tidak mampu bersaing sehingga mengalami kerugian serius sebagai akibat membanjirnya produk impor.

3. Pelaksanaan Safeguard dalam Perdagangan Internasional

  Dalam ketentuan umum persetujuan tindak pengamanan (Agrement on

  Safeguard ) dinyatakan bahwa perjanjian safeguard menerapkan peraturan

  untuk pelaksanaan tindakan pengamanan yang harus diartikan sebagai tindakan yang akan diatur dalam Article XIX GATT 1994. Penerapan tindakan pengamanan (safeguard) dimaksudkan untuk melindungi produk industri dalam negeri dari lonjakan atau membanjirnya produk impor yang merugikan penerapan safeguard sebagaimana dijelaskan dalam Article 2 Agreement on

  Safeguard adalah sebagai berikut: a.

  Anggota dapat memohon tindakan pengamanan atas suatu produk jika produk yang diimpor ke dalam wilayah dalam jumlah demikian rupa, mengancam produk sejenis dalam negeri, sehingga menyebabkan kerugian serius bagi industri dalam negeri yang memproduksi produk sejenis atau produk yang langsung.

  b.

  Tindakan safeguard akan diterapkan pada produk yang diimpor tanpa dilihat dari sumbernya. Kebijakan penerapan tindakan pengamanan

  

(safeguard) oleh negara pengimpor dilaksanakan melalui beberapa tahapan antara lain melakukan penyidikan dan pembuktian, menentuan adanya kerugian atau ancaman kerugian, dan penerapan tindakan pengamanan:

Dokumen yang terkait

Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Melalui Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Ditinjau Dari UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

6 136 109

Aspek Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Perjanjian Jual-Beli Perumahan Properti Dengan BP.Group Medan Ditinjau Dari UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

2 90 91

Eksistensi Dari Keberadaan UU Desain Industri No.31 Tahun 2000 Sebagai Proteksi Di Sektor Perdagangan

0 25 82

Eksistensi Dan Harmonisasi Kebijakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Indonesia

0 28 3

Tindakan Pengamanan Perdagangan (Safeguard) Terhadap Industri Keramik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

7 65 137

Dampak Standardisasi Barang Bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah Dan Koperasi Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan

1 40 124

Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Wanprestasi Dalam Kredit Tanpa Agunan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1 9 74

Peranan PT Premier Equity Futures Dalam Menjamin Dana Nasabah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 Tentang Perdagangan Berjangka Komoditi

0 8 36

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA A. Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas 1. Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas - Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA

2 2 34

BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA DITINJAU DARI UU NO.28 TAHUN 2014 A. Pengertian Hak Cipta - Perlindungan Hukum Terhadap Pencipta atas Pembajakan Karya Seni Digital pada Jejaring Sosial Ditinjau dari UU No.28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta skripsi

0 0 30