BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Kinerja Kantor Imigrasi Polonia dalam Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Studi Pada Kantor Imigrasi Polonia)

   

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Suatu tata pemerintahan yang baik membutuhkan adanya penerapan prinsip- prinsip transparansi dan akuntabilitas. Sebagai perwujudan penerapan kedua prinsip tersebut, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah menerapkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang bermuara pada Laporan Akuntabilitas Kinerja sebagai cerminan kinerja yang diwujudkan pada satu tahun tertentu. Laporan Akuntabilitas Kinerja Direktorat Jenderal Imigrasi ini menyajikan data capaian kinerja yang telah diwujudkan selama tahun 2012, yang mencatat pencapaian sasaran dan pelaksanaan tugas dan fungsi disamping juga mencatat beberapa ketidakberhasilan.

  Dalam LAKIP Tahun 2012 ini disajikan pelaksanaan program Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai upaya untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan serta beberapa pokok permasalahan yang merupakan kendala dalam pencapaian sasaran dan menghambat pelaksanaan program. Beberapa upaya yang telah dilakukan untuk pencapaian sasaran dan peningkatan kinerja organisasi di masa yang akan datang di antaranya adalah :

  1. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM dengan pemahaman yang baik tentang aspek anggaran berbasis kinerja;

  2. Melakukan perencanaan yang baik dan terarah terhadap kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung penerapan program sehingga pencapaian sasaran dapat dicapai sesuai dengan target yang ditentukan; 3. Penetapan sumber dana yang terdapat dalam DIPA tahun anggaran yang akan datang, kiranya penganggaran dana yang bersumber dari Penerimaan

  Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal ini sangat diperlukan karena anggaran yang bersumber dari PNBP masih sebatas perkiraan yang realisasinya sangat tergantung pada penerimaan rill PNBP. Sasaran yang dirumuskan dalam upaya mencapai tujuan Direktorat Jenderal

  Imigrasi didasarkan pada arah sasaran kebijakan pembangunan di bidang keimigrasian yaitu :

  1. Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan secara akuntabel, tepat waktu dan terintegrasi di lingkungan Direkorat Jenderal Imigrasi.

  2. Peningkatan pelayanan dokumen perjalanan, visa dan fasilitas keimigrasian.

  3. Peningkatan pelayanan pemberian izin tinggal dan status keimigrasian dengan waktu yang lebih singkat dan memenuhi standar serta akuntabel;

  4. Pendeteksian pelanggaran atau kejahatan keimigrasian secara tepat waktu dan terukur;

  5. Pelaku tindak pidana keimigrasian yang disidik dan ditindak secara terukur dan tepat waktu.

  Strategi pencapaian tujuan dan sasaran tersebut akan dapat diukur pencapaian kinerjanya (indikator input-output dan outcome) dengan menggunakan instrumen anggaran yang difasilitasi melalui program kinerja, yaitu : 1.

  Kegiatan Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen Imigrasi; 2. Kegiatan Pelayanan Dokumen Perjalanan, Visa dan Fasilitas

  Keimigrasian; 3. Kegiatan Persetujuan Izin Tinggal dan Status Keimigrasian; 4.

  Kegiatan Perumusan Kebijakan dan Pendeteksian pelanggaran atau kejahatan keimigrasian;

5. Kegiatan Lintas Batas dan Kerjasama Luar Negeri; 6.

  Penyelenggara Kegiatan Sistem dan Teknologi Informasi Keimigrasian; 7. Kegiatan Penyidikan dan Penindakan Pelaku Tindak Pidana Keimigrasian.

  Sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945, tujuan negara menciptakan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan tujuan negara memerlukan dana yan cukup besar dan yang diutamakan sumber-sumber penerimaan dalam negeri perlu secara terus menerus ditingkatkan baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi sumber-sumber penerimaan negara.

  Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah wujud dari pengelolaan keuangan Negara yang merupakan instrumen bagi Pemerintah untuk mengatur pengeluaran dan penerimaan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabilitas perekonomian dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.

  APBN ditetapkan setiap tahun dan dilaksanakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penetapan APBN dilakukan setelah dilakukan pembahasan antara Presiden dan DPR terhadap usulan RAPBN dari Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Seperti tahun- tahun sebelumnya, pada tahun 2009, APBN ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009. Salah satu unsure APBN adalah anggaran pendapatan Negara dan hibah, yang diperoleh dari : a.

  Penerimaan Perpajakan; b. Penerimaan Negara Bukan Pajak; c. Penerimaan Hibah dari dalam negeri dan luar negeri.

  Hukum penerimaan negara bukan pajak sebagai bagian dari hukum keuangan negara memiliki ruang lingkup sebagai objek kajiannya. Hal ini yang membedakannya dengan hukum pajak, walaupun kedua-duanya bersumber dari

  Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Tahun 1945. Ruang lingkup hukum penerimaan negara bukan pajak, tidak membicarakan tentang pajak, melainkan penerimaan negara bukan pajak. Sebenarnya yang menjadi ruang lingkup kajian hukum penerimaan negara bukan pajak adalah penerimaan negara yang tidak tergolong sebagai pajak, tetapi pungutan yang dilakukan oleh negara dan bersifat memaksa.

  Berhubung hukum penerimaan negara bukan pajak merupakan hukum khusus dari hukum keuangan negara, maka ruang lingkupnya adalah sebagai berikut :

1. Jenis-jenis penerimaan negara bukan pajak; 2.

  Pengelolaan penerimaan negara bukan pajak; 3. Jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak; 4. Timbulnya penerimaan negara bukan pajak yang terutang; 5. Pemeriksaan oleh instansi yang berwenang; 6. Keberatan; 7. Sanksi hukum, baik bersifat administrasi maupun pidana.

  Ketujuh ruang lingkup hukum penerimaan negara bukan pajak tersebut dapat mengalami perkembangan sehinngga terdapat penambahan berdasarkan kebutuhan di masa depan. Artinya, pelayanan dan pemanfaatan sumber daya alam yang diberikan oleh negara dapat bertambah karena kepentingan warganya akan pelayanan termaksud. Sekalipun demikian, negara tidak boleh sewenag-wenang karena tetap terikat pada norma hukum tertinggi sebagaimana yang terdapat dalam

  Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Perlunya ruang lingkup itu ditentukan adalah agar tampak secara jelas substansi hukum yang menjadi objek kajian hukum penerimaan negara bukan pajak yang dapat membedakan dengan hukum lainnya yang berada dalam konteks hukum keuangan negara, seperti hukum pajak. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan pemahaman secara mendalam bagi instansi pemerintah dalam rangka melakukan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak. Hal ini dimaksudkan agar instansi pemerintah yang mengelola penerimaan negara bukan pajak sebagai upaya preventif sehingga tidak menimbulkan kerugian terhadap pendapatan negara.

  Pada hakikatnya Penerimaan Negara Bukan Pajak mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi regular. Dengan fungsi budgetair dimaksudkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan sumber pembiayaaan pembangunan, karena itu diupayakan untuk memasukkan uang sebesar-besarnya ke dalam Rekening Kas Negara.

  Dari aspek regular dimaksudkan bahwa Penerimaan Negara Bukan Pajak mampu dpergunakan sebagai sarana untuk mengatur kebijakan Pemerintah dalam berbagai aspek dalam rangka menggerakkan roda pembangunan.

  PNBP merupakan lingkup keuangan Negara yang dikelola dan dipertanggungjawabkan sehingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga audit yang bebas dan mandiri turut melakukan pemeriksaan atas komponen yang mempengaruhi pendapatan negara dan merupakan penerimaan negara sesuai dengan undang-undang. Laporan hasil pemeriksaan BPK kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Menyadari pentingnya PNBP, maka kemudian dilakukan pengaturan dalam peraturan perundang- undangan, diantaranya melalui : a.

  UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak; b.

  PP Nomor 22 Tahun 1997 tentang Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak; c.

  PP Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang bersumber dari kegiatan tertentu; d. PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan

  Laporan Realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak; dan e. PP Nomor 29 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penentuan Jumlah,

  Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang.

  Pada dasarnya, penerimaan negara terbagi atas dua jenis, yaitu penerimaan dari pajak dan penerimaan bukan pajak. Menurut Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP), PNBP adalah seluruh penerimaan pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.

  Pasal 2 ayat (1) UU PNBP menyatakan kelompok PNBP meliputi : 1. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; 2. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; 3. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan;

  4. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksananan Pemerintah; 5.

  Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi;

  6. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak Pemerintah; 7.

  Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri. Dalam penerimaan kas negara, tidak hanya berasal dari sektor yang dapat dikenai pajak melainkan juga berasal dari sektor bukan pajak. Sebagai contoh pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada bidang keimigrasian.

  PNBP bidang Keimigrasian adalah PNBP yang berasal dari penyelenggaraan jasa-jasa keimigrasian seperti pembayaran SPRI (Surat Perjalanan Republik Indonesia) dan pembayaran Asing (Overstay, Izin Tinggal Terbatas, Izin Tinggal Kunjungan, Izin Tinggal Tetap) yang dilakukan oleh masing-masing unit kerja di lingkungan Ditjen Imigrasi.

  Penerimaan kas negara khususnya sektor keimigrasian telah turut ambil bagian dalam kas negara. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal bahwa penerimaan kas negara berasal dari pajak. Akan tetapi perlu kiranya masyarakat juga mengetahui bahwa selain penerimaan dari pajak, negara juga mendapatkan kas dari sektor bukan pajak.

  Ketentuan mengenai seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) wajib disetorkan secara langsung secepatnya ke Kas Negara sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan merupakan upaya untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas penerimaan dan pengelolaan PNBP sesuai semangat transparansi dan akuntabilitas. Hal ini mendorong Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai salah satu instansi pengelola PNBP Keimigrasian untuk menerapkan ketentuan dimaksud.

  Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diperoleh dari Layanan Keimgrasian di Kantor Imigrasi maupun Direktorat Jenderal Imigrasi akan lebih efektif dan efisien jika dikelola secara keseluruhan dan terpusat oleh Direktorat Jenderal Imigrasi mengingat bahwa karakteristik pelaksanaan tugas pokok dan fungsi keimigrasian baik di tingkat pusat maupun di daerah tidak saja bertumpu pada aspek pelayanan namun juga pada aspek pengawasan dan penegakan hukum keimigrasian sehingga upaya revitalisasi diharapkan dapat meminimalkan terjadinya ketimpangan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi keimgrasian.

  Selain itu, dalam rangka memaksimalkan penggunaan anggaran yang bersumber dari PNBP Keimgrasian maka perlu pengelolaan PNBP secara keseluruhan dan tepusat oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul, “KINERJA

  

KANTOR IMIGRASI POLONIA DALAM PELAKSANAAN

PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK (PNBP).”

  1.2 Perumusan Masalah

  Berdasarkan dari latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan penelitian yang akan diteliti sebagai berikut : a.

  Bagaimana Kinerja Kantor Imigrasi Polonia Dalam Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

  1.3 Tujuan Penelitian

  Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: a.

  Untuk mengetahui bagaimana Kinerja Kantor Imigrasi Polonia Dalam Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)

1.4 Penelitian Manfaat

  Hasil penelitian tentunya diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain :

  1. Manfaat Akademis, penelitian ini berguna bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dalam hal menambah referensi terutama pada Program Studi Admimistrasi Negara dimana penelitian ini bisa menjadi bahan kajian mahasiswa untuk melakukan penelitian lagi kedepannya menjadi lebih baik.

  2. Manfaat Subjektif, penelitian ini berguna sebagai sarana dalam menambah pengetahuan dan wawasan dalam meningkatkan kemampuan dalam membuat karya tulis dibidang ilmiah.

  3. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi Kantor Imigrasi Polonia dalam mewujudkan efisiensi dan efektivitas kinerja kantor imigrasi dalam penerimaan dan pengelolaan PNBP sesuai semangat transparansi dan akuntabilitas.

1.5 Kerangka Teori

1.5.1 Kinerja 1.5.1.1` Pengertian Kinerja

  Kinerja berasal dari kata performance. Sementara performance itu sendiri diartikan sebagai hasil kerja atau prestasi kerja. Kinerja merupakan implementasi daei perencanaan yang telah disusun tersebut. Implementasi kinerja dilakukan oleh sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, kompetensi, motivasi dan kepentingan (Wibowo, 2007:4).

  Menurut Widodo (2005:78) kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggung jawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan atau suatu hasil karya yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

  Dalam Mahsun (2006:25) kinerja adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.

  Menurut Mangkunegara (2006:67) dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan, mengemukakan pengertian kinerja yaitu sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikannya. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan.

  Jadi dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan hasil yang diharapkan guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.

1.5.1.2 Pengukuran Kinerja

  Memberikan penghargaan maupun hukuman yang objektif atas prestasi pelaksanaan yang telah diukur sesuai dengan sistem pengukuran yang telah disepakati.

  Membantu proses kegiatan organisasi.

  g.

  Mengidentifikasi apakah kepuasan pelanggan sudah terpenuhi.

  f.

  Menjadikannya sebagai alat komunikasi antara bawahan dan pimpinan dalam upaya memperbaiki kinerja organisasi.

  e.

  Menurut Larry D. Stout dalam Hessel Nogi (2005:174) mengemukakan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja organisasi merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission

  

accomplishment) melalui hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun

suatu proses.

  Memonitor dan mengevaluasi kinerja dengan perbandingan antara skema kerja dan pelaksanaannya.

  c.

  Memastikan tercapainya skema prestasi yang disepakati.

  b.

  Memastikan pemahaman para pelaksana dan ukuran yang digunakan untuk pencapaian prestasi.

  Berbeda dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Bastian (2001:330) dalam Hessel Nogi (2005:173) bahwa pengukuran dan pemanfaatan penilaian kinerja akan mendorong pencapaian tujuan organisasi dan akan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terus menerus. Secara rinci, Bastian mengemukakan peranan penilaian pengukuran kinerja organisasi sebagai berikut : a.

  d. h.

  Memastikan bahwa pengambilan keputusan telah dilakukan secara objektif. i.

  Menunjukkan peningkatan yang perlu dilakukan. j.

  Mengungkapkan permasalahan yang terjadi. Begitu pentingnya penilaian kinerja bagi keberlangsungan organisasi dalam mencapai tujuan, maka perlu adanya indikator-indikator pengukuran kinerja yang dipakai secara tepat dalam organisasi tertentu. Menurut Agus Dwiyanto (2006:49) penilaian kinerja birokrasi publik tidak cukup dilakukan dengan menggunakan indikator yang melekat pada birokrasi itu, seperti efesiensi dan efektivitas tetapi juga harus dilihat dari indikator-indikaor yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas. Penilaian kinerja dari sisi pengguna jasa menjadi sangat penting karena birokrasi publik juga muncul karena tujuan dan misi birokrasi publik seringkali bukan hanya memiliki

  

stakeholder yang banyak dan memiliki kepentingan yang sering berbenturan satu

  sama lainnya menyebabkan birokrasi publik mengalami kesulitan untuk merumuskan misi yang jelas. Akibatnya, ukuran kinerja organisasi publik dimata para stakeholder juga berbeda-beda.

1.5.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja

  Kinerja merupakan suatu capaian atau hasil kerja dalam kegiatan atau aktivitas atau program yang telah direncanakan sebelumnya guna mencapai tujuan serta sasaran yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi dan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.

  Dalam Yeremias T. Keban (2004:203) untuk melakukan kajian secara lebih mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penilaian kinerja di Indonesia, maka perlu melihat faktor penting sebagai berikut : a.

  Kejelasan tuntutan hukum atau peraturan perundangan untuk melakukan penilaian secara benar dan tepat. Dalam kenyataannya, orang menilai secara subjektif tetapi tidak ada suatu aturan hukum yang mengatur atau mengendalikan perbuatan tersebut.

  b.

  Manajemen sumber daya manusia yang berlaku memiliki fungsi dan proses yang sangat menentukan efektivitas penilaian kinerja.

  c.

  Kesesuaian antara paradigma yang dianut oleh manajemen suatu organisasi dengan tujuan penilaian kinerja. Apabila paradigma yang dianut masih berorientasi pada manajemen klasik, maka penilaian selalu bisa pada pengukuran karakter pihak yang dinilai sehingga prestasi yang seharusnya menjadi fokus utama kurang diperhatikan.

  d.

  Komitmen para pemimpin atau manajer organisasi publik terhadap pentingnya penilaian suatu kinerja. Bila mereka selalu memberikan komitmen yang tinggi terhadap efektivitas penilaian kinerja maka para penilai yang ada dibawah otoritasnya akan selalu berusaha melakukan penilaian secara tepat dan benar. Menurut Soesilo dalam Hessel Nogi (2005:180), kinerja suatu organisasi dipengaruhi adanya faktor-faktor berikut : a.

  Struktur organisasi sebagai hubungan internal yang berkaitan dengan fungsi yang menjalankan aktivitas organisasi. b.

  Kebijakan pengelolaan berupa visi dan misi organisasi.

  c.

  Sumber daya manusia yang berhubungan dengan kualitas karyawan untuk bekerja dan berkarya secara optimal.

  d.

  Sistem Informasi Manajemen yang berhubungan dengan pengelolaan database untuk digunakan dalam mempertinggi kinerja organisasi.

  e.

  Sarana dan Prasarana yang dimiliki yang berhubungan dengan penggunaan teknologi bagi penyelenggaraan organisasi pada setiap aktivitas organisasi.

  Selanjutnya Yuwono dkk dalam Hessel Nogi (2005:180) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang dominan mempengaruhi kinerja suatu organisasi meliputi upaya manajemen dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan organisasi, budaya organisasi, kualitas sumber daya manusia yang dimiliki organisasi dan kepemimpinan yang efektif.

  Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja organisasi baik public maupun swasta. Secara detail Ruky dalam Hessel Nogi (2005:180) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh langsung terhadap tingkat pencapaian kinerja organisasi sebagai berikut : a.

  Teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja yang digunakan untuk menghasilkan produk dan jasa yang dihasilkan oleh organisasi, semakin berkualitas teknologi yang digunakan maka akan semakin tinggi kinerja organisasi tersebut; b.

  Kualitas input atau material yang digunakan oleh organisasi; c. Kualitas lingkungan fisik yang meliputi keselamatan kerja, penata ruangan dan kebersihan; d.

  Budaya organisasi sebagai pola tingkah laku dan pola kerja yang ada dalam organisasi yang bersangkutan; e.

  Kepemimpinan sebagai upaya untuk mengendalikan anggota organisasi agar bekerja sesuai dengan standard dan tujuan organisasi; f.

  Pengelolaan sumber daya manusia yang meliputi aspek kompensasi, imbalan, promosi dan lain-lainnya.

  Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kinerja dalam suatu organisasi. Namun secara garis besarnya, faktor yang sangat dominan mempengaruhi kinerja organisasi adalah faktor internal (faktor yang datang dari dalam organisasi) dan faktor eksternal (faktor yang datang dari luar organisasi). Setiap organisasi akan mempunyai tingkat kinerja yang berbeda-beda karena pada hakekatnya setiap organisasi memiliki ciri atau karakteristik masing-masing sehingga permasalahan yang dihadapi juga cenderung berbeda tergantung pada faktor internal dan faktor eksternal.

1.5.1.4 Peningkatan Kinerja

  Dalam rangka peningkatan kinerja pegawai, menurut Mangkunegara (2009:22), terdapat tujuh langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut : a.

  Mengetahui adanya kekurangan dalam kinerja.

  b.

  Mengenal kekurangan dan tingkat keseriusan. c.

  Mengidentifikasi hal-hal yang mungkin menjadi penyebab kekurangan, baik yang berhubungan dengan sistem maupun yang berhubungan dengan pegawai itu sendiri.

  d.

  Mengembangkan rencana tindakan untuk menanggulangi penyebab kekurangan tersebut.

  e.

  Melakukan rencana tindakan tersebut.

  f.

  Melakukan evaluasi apakah masalah tersebut sudah teratasi atau belum.

  g.

  Mulai dari awal, apabila perlu. Bila langkah-langkah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, maka kinerja pegawai dapat ditingkatkan.

1.5.1.5 Indikator Kinerja

  McDonald dan Lawton dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005:174) mengemukakan indikator kinerja antara lain : output oriented measures

  

throughput, efficiency, effectiveness . Selanjutnya indikator tersebut dijelaskan

  sebagai berikut : a.

  Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

  b.

  Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi. Salim dan Woodward dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005:174) mengemukakan indikator kinerja antara lain : economy, efficiency, effectiveness,

  equity. Secara lebih lanjut. Indikator tersebut diuraikan sebagai berikut : a.

  Economy atau ekonomis adalah penggunaan sumber daya sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

  b.

  Efficiency atau efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

  c.

  Effectiveness atau efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik itu dalam bentuk target sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

  d.

  Equity atau keadilan adalah pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.

  Lenvinne dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih (2005:175) mengemukakan indikator kinerja terdiri dari : responsiveness, responsibility, accountability.

  a.

  Responsiveness atau responsivitas ini mengukur daya tanggap provider terhadap harapan, keinginan, aspirasi serta tuntutan customers.

  b.

  Responsibility atau responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. c.

  Accountability atau akuntabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat. Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam Ratminto dan Atik Septi Winarsih

  (2005:175) menjelaskan tentang indikator yang digunakan untuk menilai kinerja organisasi, yang terdiri atas beberapa faktor berikut : a.

  Tangibles atau ketampakan fisik, artinya ketampakan fisik dari gedung , peralatan, pegawai dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki oleh providers.

  b.

  Reliability atau reabilitas adalah kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.

  c.

  Responsiveness atau responsivitas adalah kerelaan untuk menolong customers dan menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.

1.5.2 Kantor

1.5.2.1 Defenisi Kantor

  Kantor secara umum diartikan bagian dari organisasi yang menjadi pusat kegiatan administrasi dan tempat pngendalian kegiatan informasi. Kantor juga dapat didefenisikan sebagai pusat pengolahan data dan keterangan serta tempat konsentrasi pimpinan dengan para staf melakukan aktivitas manajemen. Dalam bahasa inggris “office” memiliki makna yaitu : tempat memberikan pelayanan, posisi atau ruang tempat kerja.

  Menurut Moekijat (1997:3) kantor adalah setiap tempat yang biasanya dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaan tata usaha, dengan nama apapun juga tempat tersebut mungkin diberikan.

  Menurut AS.Moenir, bahwa ciri-ciri kantor adalah : a.

  Tempat berupa gedung yang bebas dari hujan dan panas dan untuk melindungi orang-orang yang berada di tempat tersebut.

  b.

  Aktivitas pekerjaannya biasanya berhubungan dengan tulis menulis, korespondensi dan kearsipan.

  c.

  Terdapat peralatan kantor berupa mesin kantor, peralatan dan perlengkapan yang menunjang aktivitas pekerjaan kantor.

1.5.2.2 Manajemen Kantor

  Menurut Edwin Robinson (1953) Manajemen Perkantoran berkenaan dengan pengarahan dan pengawasan pekerjaan perkantoran.

  Menurut The Liang Gie, Manajemen Perkantoran dapat didefenisikan sebagai perencanaan, pengendalian dan pengorganisasian pekerjaan perkantoran serta pergerakan mereka yang melaksanakan agar mereka mencapai tujuan yang telah ditentukan lebih dahulu.

  Pengertian secara umum adalah Manajemen perkantoran adalah kegiatan pengelolaan data dan informasi yang dilakukan secara teratur, sistematik dan terus menerus, mengikuti kegiatan organisasi dengan tujuan mencapai keberhasilan tugas organisasi yang bersangkutan.

  1.5.2.3 Tujuan Kantor

  Menurut Mills (1984:9) tujuan kantor didefenisikan sebagai pemberian pelayanan komunikasi dan perekaman.

  1.5.2.4 Fungsi Kantor

  Dari defenisi di atas, Mills memperluas menjadi fungsi kantor (pekerjaan yang dilakukan) yakni sebagai berikut : a.

  Menerima Informasi (To Receive Information) Menerima informasi dalam bentuk surat, panggilan telepon, pesanan, faktur dan laporan mengenai berbagai kegiatan bisnis.

  b.

  Merekam dan Menyimpan Data-Data serta Informasi (To Record

  Information)

  Tujuan pembuatan rekaman adalah menyiapkan informasi sesegera mungkin apabila manajemen meminta informasi tersebut. Beberapa rekaman (record) diminta untuk disimpan menurut hukum.

  c.

  Mengatur Informasi (To Arrange Information) Informasi yang diakumulasi oleh kantor jarang dalam bentuk yang sama layaknya ketika diberikan, seperti mengumpulkan informasi dari sumber- sumber yang berbeda dan membuat penghitungan/pembukuan.

  d.

  Memberi Informasi (To Give Information) Bila Manajemen meminta sejumlah informasi yang diperlukan, kantor memberikan informasi tersebut dari rekaman yang tersedia e.

  Melindungi Aset ( To Safeguard Assets)

  Mengamati secara cermat berbagai kegiatan dalam perusahaan seperti diperlihatkan didalam rekaman dan mengantisipasi segala hal yang tidak menguntungkan yang mungkin terjadi. Selain lima fungsi di atas, kantor masih memiliki empat fungsi lain, yaitu : a.

  Pusat Syaraf Administrasi dan Perencanaan Kebijaksanaan Administrasi dalam hal ini adalah seluruh proses penyelenggaraan dalam setiap usaha kerja sama sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu.

  b.

  Perantara Kantor bertindak sebagai pusat pelayanan yang menghubungkan antar bagian dalam organisasi.

  c.

  Koordinator Mengawasi dan mengkoordinir seluruh kegiatan organisasi.

  d.

  Penghubung dengan publik Mengadakan hubungan dengan pihak luar organisasi dan memberikan dukungan terhadap organisasi.

1.5.3 Penerimaan Negara Bukan Pajak

1.5.3.1 Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak

  Penerimaan negara bukan pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang pemungutannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang, seperti peraturan pemerintah maupun keputusan menteri yang berlaku pada departemen atau lembaga non departemen yang bersangkutan. Pemberlakuannya bersifat sektoral karena berdasarkan kebijakan pimpinan departemen atau lembaga non departemen masing-masing. Kebijakan itu bergantung pada kepentingan dalam memberi pelayanan dan pemanfaatan sumber daya alam kepada rakyat tanpa memberi peraturan sebagai alasan pembenarannya.

  Pengertian Penerimaan Negara Bukan Pajak mencakup semua penerimaan nama dan bentuk apapun yang dapat dinilai dengan uang, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, diluar penerimaan perpajakan (termasuk bea cukai) serta penerimaan minyak dan gas bumi (migas). Penerimaan negara bukan pajak sebagai salah satu bentuk penerimaan negara telah diatur dengan Undang- Undang No. 20/1997, tetapi bukan merupakan pelaksanaan Pasal 23A Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

  Penerimaan ini dalam garis besarnya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu Penerimaan Umum dan Penerimaan Fungsional. Penerimaan Umum adalah yang secara umum terdapat pada setiap Departemen/Lembaga. Misalnya sewa rumah dinas, hasil penjualan kendaraan dinas dan penerimaan jasa Lembaga Keuangan (Jasa Giro) dan lain lain.

  Sedangkan penerimaan fungsional adalah jenis-jenis penerimaan yang diperoleh sebagai hasil penjualan atau pemberian pelayanan yang diberikan oleh Departemen/Lembaga sesuai dengan fungsinya atau yang secara spesifik berada pada Departemen/Lembaga.

1.5.3.2 Fungsi Penerimaan Negara Bukan Pajak a.

  Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagai sumber penerimaan

  Pada dasarnya Penerimaan Negara Bukan Pajak merupakan sumber Penerimaan Negara yang diperoleh karena pemberian pelayanan jasa atau penjualan barang milik negara oleh Departemen/Lembaga negara kepada masyarakat. Dan penerimaan ini dapat pula berasal dari pungutan dalam bentuk iuran, retribusi, sumbangan atau pungutan.

  b. Pengaturan Selain berfungsi sebagai salah satu sumber penerimaan negara, PNBP dapat pula berfungsi sebagai alat pengaturan (regulasi) misalnya dalam kebijakan penentuan tarif dan penyesuain-penyesuaian.

1.5.3.3 Sumber-Sumber Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak

  Keabsahan penerimaan negara wajib dituangkan dalam bentuk hukum, khususnya hukum tertulis untuk memberikan kepastian hukum atas keberadaannya. Hal ini merupakan konsekuensi dari Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum.

  Hukum penerimaan negara bukan pajak adalah sekumpulan peraturan tertulis yang mengatur bagaimana cara negara memberikan pelayanan dan pemanfaatan sumber daya alam sehingga mendapat imbalan secara langsung dari yang membutuhkan serta dapat dipaksakan. Tercantumnya kata “dapat dipaksakan” karena hukum penerimaan negara bukan pajak memuat sanksi hukum, baik secara administrasi maupun pidana yang dapat dikenakan bagi pelanggarnya.

  Hukum penerimaan negara bukan pajak merupakan bagian tak terpisahkan dengan hukum keuangan negara. Sebenarnya hukum keuangan negara bersifat makro terhadap pengelolaan keuangan negara sedangkan hukum penerimaan negara bukan pajak bersifat mikro yang tertuju pada penerimaan negara bukan pajak. Norma hukum penerimaan negara bukan pajak hanya lahir secara tertulis, baik dari peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, maupun doktrinnya. Oleh karena itu, tidak ada norma hukum tidak tertulis di bidang penerimaan negara bukan pajak.

  Hukum penerimaan negara bukan pajak sebagai hukum positif merupakan bagian hukum nasional yang berlaku dan memiliki sumber hukum. Akan tetapi, sumber hukum yang dimiliki oleh hukum penerimaan negara bukan pajak hanya bersumber pada sumber hukum tertulis (di luar traktat) yang berkaitan dengan bidang penerimaan negara bukan pajak. Hal ini disebabkan oleh keberadaannya yang hanya didukung oleh undang-undang sebagai produk legislative dan ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif dan yudikatif dalam rangka penegakkannya.

1.5.3.4 Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

  Secara yuridis, norma hukum yang terdapat pada tiga ayat dalam pasal 2 Undang-Undang No. 20/1997 ternyata jenis penerimaan negara bukan pajak beraneka ragam, bergantung pada pelayanan dan pemanfaatan sumber daya alam yang diberikan oleh pemerintah.

  Beberapa Departemen yang melakukan penataan kembali jenis penerimaan negara bukan pajak antara lain sebagai berikut : a.

  Departemen Perhubungan dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 14/2000; b.

  Departemen Luar Negeri dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah No.

  33/2002; c. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah berdasarkan Peraturan

  Pemerintah No. 61/2002; d. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan Peraturan

  Pemerintah No. 45/2003; e. Departemen Agama berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47/2004; f. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata berdasarkan Peraturan

  Pemerintah No. 4/2005; g. Departemen Komunikasi dan Informatika berdasarkan Peraturan

  Pemerintah No. 28/2005; h. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan

  Pemerintah No. 75/2005; i. Departemen Kesehatan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7/2006.

  Sebagai contoh jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia setelah dilakukan penataan kembali adalah sebagai berikut : a.

  Pelayanan jasa hukum; b. Penerimaan Balai Harta Peninggalan; c. Jasa tenaga kerja narapidana; d. Surat Perjalanan Republik Indonesia; e. Visa; f. Izin keimigrasian; g.

  Izin masuk kembali (re-entry permit); h. Surat keterangan keimigrasian; i. Biaya beban; j. Smart card; k.

  Kartu perjalanan pebisnis Asia Pasifik Economic Cooperation; l. Hak cipta desain industry, rahasia dagang dan desain tata letak sirkuit terpadu; m.

  Paten; n. Merek.

  Saat ini PNBP dapat dikelompokkan menurut sifat pemungutannya dalam dua kelompok besar yaitu: Pertama, penerimaan Umum yaitu PNBP yang secara umum terdapat pada setiap departemen/lembaga seperti : (1) penerimaan penjualan seperti penjualan barang yang dihapuskan, penjualan kendaraan bermotor; (2) penerimaan sewa seperti sewa rumah dinas, sewa gedung dan sewa barang milik negara lainnya; (3) penerimaan jasa meliputi penerimaan jasa giro; (4) penerimaan kembali dan penerimaan lain-lain, contohnya penerimaan kembali kelebihan pembayaran gaji/pension serta penerimaan denda.

  Kedua, penerimaan fungsional yaitu PNBP yang bersumber dari hasil penyelenggaraan tugas/fungsi teknis suatu departemen/lembaga seperti : (1) penerimaan rutin luar negeri seperti penerimaan visa/paspor, penerimaan pemeriksaan dan sebagainya; (2) penerimaan khusus seperti pembagian laba BUMN, penerimaan kembali pinjaman, dan penerimaan lain-lain Departemen Keuangan; (3) penerimaan penjualan seperti penjualan hasil pertanian, hasil farmasi, hasil penerbitan dan sebagainya; (4) penerimaan jasa seperti jasa rumah sakit, jasa kantor catatan sipil dan sebagainya; (5) penerimaan pendidikan seperti uang pendidikan, uang ujian masuk, uang ujian praktek dan sebagainya; (6) penerimaan kejaksaan dan pengadilan seperti legalisasi tanda tangan, denda tilang, ongkos perkara dan sebagainya.

  Struktur penerimaan APBN dalam garis besarnya terdiri atas penerimaan dalam negeri dan hibah. Penerimaan dalam negeri pada pokoknya terbagi menjadi : Penerimaan Perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan PNBP mencakup yaitu : 1.

  Penerimaan Sumber Daya Alam 2. Bagian Laba BUMN 3. PNBP lainnya 4. Pendapatan BLU

1.5.3.5 Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

  Penetapan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak tidak boleh ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena tarif tersebut merupakan beban yang harus dipikul oleh rakyat manakala membutuhkan jenis penerimaan negara bukan pajak. Maka, norma hukum yang terdapat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 20/1997 untuk memperhatikan dampak, baik bersifat positif maupun negative berupa:

1. Pengenaan terhadap masyarakat dan kegiatan usahanya;

  2. Biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah sehubungan dengan jenis penerimaan negara bukan pajak yang bersangkutan; dan

3. Aspek keadilan dalam pengenaan beban kepada masyarakat.

  Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak menurut Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 20/1997 diatur dalam undang-undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan jenis penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah telah mengatur mengenai tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak dengan peraturan pemerintah yang berlaku untuk tiap-tiap departemen dan lembaga non departemen. Sebagai contoh, dipaparkan tariff atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

  Pemberlakuannya didasarkan pada Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor

  75 Tahun 2005, sebagaimana tercantum dalam lampirannya, yaitu sebagai berikut I.

   Pelayanan Jasa Hukum

  Biaya yang berkaitan dengan badan hukum; hukum perorangan yaitu perizinan perubahan atau penambahan nama keluarga;notariat; legalisasi tanda tangan; pembuatan surat keterangan surat wasiat per wasiat; sidik jari; dll

II. Penerimaan Balai Harta Peninggalan

  Biaya yang berkaitan dengan pembuatan pencarian dan pemberian salinan surat atau berita acara; biaya pendaftaran akta wasiat per akta; biaya pembuatan surat keterangan waris per surat; biaya yang berkaitan dengan pengurusan harta kekayaan yang dalam pengelolaan BHP; dll.

  III.

  

Jasa Tenaga Kerja Narapidana Per Orang Per Hari Berdasarkan

Kontrak, Sekurang-kurangnya sama dengan UMR

  IV. Surat Perjalanan Republik Indonesia

  Biaya yang berkaitan dengan Jenis halaman paspor, yaitu Paspor biasa 48 halaman untuk WNI perorangan per buku, Paspor biasa 24 halaman untuk WNI perorangan per buku, Paspor RI untuk orang asing perorangan per buku, Pas Lintas Batas perorangan per buku, Pas Lintas Batas keluarga per buku, dll V.

   Visa

  Biaya yang berkaitan dengan Visa Singgah per orang; Visa Kunjungan per orang; Visa Kunjungan Usaha Beberapa Kali Perjalanan dihitung per tahun per orang; Visa Kunjungan Saat Kedatangan 7 hari atau 30 hari per orang; Visa Tinggal Terbatas 1 dan 2 Tahun per orang.

  VI. Izin Keimigrasian

  Biaya yang berkaitan dengan perpanjangan izin kunjungan per orang; izin tinggal terbatas dan perpanjangannnya; Penggantian Kartu Izin Tinggal Terbatas karena rusak atau hilang dan masih berlaku per orang; Izin Tinggal Khusus Keimigrasian, perpanjangan, penggantian dan penambahan masa berlakunya; Teraan Pemberian Izin Tinggal Khusus Keimigrasian, penggantian dan penambahan izin tinggal khusus keimigrasian pada kantor imigrasi per teraan; Izin Tinggal Tetap per orang dan Perpanjangannya; Penggantian KITAP karena rusak atau hilang per orang.

  VII. Izin Masuk Kembali (Re-entry Permit)

  Biaya yang berkaitan dengan Untuk Satu Kali Perjalanan per orang; Untuk Beberapa Kali Perjalanan ( 1 Tahun) per orang; Izin Masuk Kembali untuk beberapa kali perjalanan (2 Tahun) per orang.

  VIII. Biaya yang berkaitan dengan Surat Keterangan Keimigrasian Per Orang IX. Biaya Beban

  Biaya yang berkaitan dengan Orang asing yang berada di wilayah Indonesia melampaui waktu tidak lebih dari 60 hari dari izin keimigrasian yang diberikan, dihitung per hari; Penanggung jawab alat angkut yang tidak memenuhi kewajiban melapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian per alat angkut.

  X. Smart Card per orang XI. Kartu Perjalanan Pebisnis Asia Pasific Economic Cooperation/APEC Business Travel Card Per Orang

1.6 Defenisi Konsep

  Menurut Singarimbun dan Efendi (1995) konsep adalah istilah dan defenisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep peneliti diharapkan mampu menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainnya.

  Oleh karena itu penulis menggunakan konsep-konsep dibawah ini antara lain : a.

  Kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan hasil yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan organisasi dalam periode tertentu. Dalam hal ini, kinerja kantor imigrasi dalam pelaksanaan pnbp tersebut sangat berpengaruh dalam peningkatan atau penurunan pendapatan pnbp tiap tahunnya.

  Adapun indikator-indikator yang dapat mengukur variabel-variabel tersebut adalah :

  1. Struktur Organisasi yaitu hubungan internal antara pegawai kantor imigrasi polonia yang berkaitan sesuai dengan fungsinya dalam melaksanakan PNBP.

  2. Kebijakan Pengelolaan yaitu dimana kantor imigrasi dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan PNBP sesuai dengan visi dan misi organisasi.

  3. Sumber Daya : a.

  Sumber Daya Manusia yang terdiri dari jumlah pegawai, kemampuan pegawai dan tingkat pendidikan pegawai yang berpengaruh terhadap pelaksanaan PNBP yang berjalan secara akuntabel, tepat waktu dan terintegrasi. b.

  Sarana dan Prasarana yang dimiliki yang berhubungan dengan penggunaan alat-alat teknologi di kantor imigrasi dalam menjalankan aktivitas.

  4. Sistem Informasi Manajemen berupa teknologi yang meliputi peralatan kerja dan metode kerja dalam mempertinggi kualitas kinerja kantor imigrasi dalam menjalankan sistem aplikasi yang berkaitan dengan proses pelaksanaan PNBP b.

  Perencanaan, Pelaksanaan, Pengendalian dan Pelaporan Penerimaan Negara Bukan Pajak secara akuntabel, tepat waktu dan terintegrasi di lingkungan Direktorat Jenderal Imigrasi.

1.7 Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

  penelitian. Manfaat penelitian, kerangka teori, defenisi konsep dan sistematika penulisan

  BAB II METODE PENELITIAN Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data. BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini memuat tentang gambaran atau karakteristik lokasi

  penelitian seperti sejarah singkat, visi dan misi, struktur organisasi dan uraian tugas pokok dan fungsi.

Dokumen yang terkait

Kinerja Kantor Imigrasi Polonia dalam Pelaksanaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Studi Pada Kantor Imigrasi Polonia)

1 80 111

Analisis Pengaruh Kebijakan Keimigrasian Dan Pelayanan Terhadap Kepuasan Pemohon Paspor Republik Indonesia Di Kantor Imigrasi Kelas I Polonia Medan (Studi Kasus Di Kantor Imigrasi Kelas I Polonia)

4 49 143

Pertanggungjawaban Pidana Pegawai Imigrasi Yang Melakukan Pemalsuan Paspor (Studi Pada Kantor Imigrasi Medan)

3 55 77

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Evaluasi Pelaksanaan Tugas Jurusita Pajak Negara Dalam Pencairan Tunggakan Pajak (Studi Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam)

0 0 44

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Peranan Kepemimpinan Wanita Dalam Pengambilan Keputusan (Studi Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota)

0 2 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri - Pelaksanaan Surat Teguran Dalam Upaya Untuk Meningkatkan Penerimaan Pajak Negara Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri - Tinjauan Atas Penerimaan Pajak Penghasilan Pasal 23 Atas Sewa Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri (PKLM) - Mekanisme Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

0 0 15

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang PKLM - Pelaksanaan Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Kantor Pelayanan Pajak Medan Polonia

0 0 10