Pertanggungjawaban Pidana Pegawai Imigrasi Yang Melakukan Pemalsuan Paspor (Studi Pada Kantor Imigrasi Medan)
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, 1983.
Arief, Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.
Arif, Moh, “Keimigrasian Di Indonesia, Suatu Pengantar”, Pusdiklat Departemen Kehakiman, Jakarta, 1997.
Bassiouni, M. Cherif, “International Criminal Law, Volume I: Crimes, TransnationalPublishers Inc.”, Dobb Ferry, New York.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 67.
Chazawi, Adami, “Kejahatan Mengenai Pemalsuan”, cet 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Lintas Batas dan Kerjasama Luar Negeri, ”Pemeriksaan Paspor”, Jakarta: Ditjen Imigrasi, 2007.
Harkrisnowo, Harkristuti, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006. Kansil, C.S.T, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia” , cet.7, Balai
Pustaka, Jakarta, 1986.
Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Marpaung, Leden, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum. Makalah, Disampaikan pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Medan, tanggal 18 Pebruari 2003.
(2)
R, Wayne LaFave, “The Decision To Take a Suspect Into Custody”, Boston: Little, Brownand Company, 1964.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983. Soekanto, Soerjono dan Sri Mahmudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1995.
Storia, Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Grafika, Jakarta, 2002.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Peraturan Perundang-undangan
(3)
BAB III
TINJAUAN TERHADAP KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
A. Kesalahan Sebagai Syarat Pertanggungjawaban Pidana
Sekalipun kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana, tetapi mengenai bagaimana memaknai kesalahan masih terjadi saling perdebatan di kalangan para ahli. Pemahaman yang berbeda mengenai makna kesalahan, dapat menyebabkan perbedaan dalam penerapannya. Dengan kata lain, pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup pertanggungjawaban pembuat tindak pidana.
Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjwaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana. Namun orang yang melakukan tindak pidana belum tentu dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, hal ini tergantung pada “apakah dalam melakukan perbuatan ini orang tersebut mempunyai kesalahan”, yang merujuk kepada asas dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea)”. Asas ini memang tidak diatur dalam hukum tertulis tapi dalam hukum tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia.
Namun lain halnya dengan hukum pidana fiskal, yang tidak memakai kesalahan. Jadi jika orang telah melanggar ketentuan, akan diberi pidana denda
(4)
atau dirampas. Pertanggung jawaban tanpa adanya kesalahan dari pihak yang melanggar dinamakan leer van het materiele feit (fait materielle).21
Lebih lanjut Moeljatno menjelaskan bahwa orang yang tidak dapat dipersalahkan melanggar sesuatu tindak pidana tidak mungkin dikenakan pidana, meskipun orang tersebut dikenal buruk perangainya, kikir, tidak suka menolong orang lain, sangat ceroboh, selama dia tidak melanggar larangan pidana. Demikian pula meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dapat dipidana. Mislanya, seorang anak yang bermain dengan korek api dan menyalakannya di dinding rumah tetangga yang hingga menimbulkan bahaya umum baik terhadap barang maupun orang (Pasal 187 KUH Pidana).
Dalam buku-buku Belanda pada umumnya tidak mengadakan pemisahan antara dilarangnya perbuatan (strafbaar heid van het feit) dan dipidananya orang yang melakukan perbuatan tersebut (strafbaar heid van de persoon). Dengan kata lain, schuld (kesalahan) tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederrechttelijkheid (sifat melawan hukum), tapi sebaliknya sifat melawan hukum mungkin ada tanpa adanya kesalahan. Moeljatno mengartikannya; orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan tindak pidana. Tapi meskipun melakukan tindak pidana, tidak selalu dia dapat dipidana.
22
21
Dahulu dijalankan atas pelanggaran tapi sejak adanya arrest susu H.R. 1916 Nederland ( van Bammelen Arresten Strafrecht ), hal itu ditiadakan. Demikian pula bagi delik – delik jenis overtredingen, berlaku asas tanpa kesalahan, tak mungkin dipidana.
22
Pasal 187 KUH – Pidana ; “ barangsiapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran , ledakan atau banjir, diancam : ke-1 dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang; ke- 2 dengan pidana penjara paling lamalima belas tahun, jika karenanya timbul bahaya bagi orang lain;
Walaupun anak tersebut yang membakar rumah tetangga atau setidaknya karena perbuatan anak tersebut rumah
(5)
tetangga terbakar (Pasal 188 KUH Pidana),23
Selain itu orang juga dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana meskipun tak sengaja dilakukan tapi terjadinya perbuatan itu dimungkinkan karena dia alpa atau lalai terhadap kewajiban-kewajiaban yang dalam hal tersebut, oleh masyarakat dipandang seharusnya (sepatutnya) dijalankan olehnya. Dalam hal ini celaan bukan disebabkan oleh kenapa melakukan perbuatan padahal mengerti (mengetahui) sifat jeleknya perbuatan seperti dalam hal kesengajaan, tetapi disebabkan oleh kenapa tidak menjalankan kewajiban-kewajiban yang seharusnya dilakukan olehnya, sehingga karenanya masyarakat dirugikan. Dengan kata lain perbuatan tersebut terjadi karena kealpaan. Selain itu , orang juga dapat melakukan tindak pidana walaupun tanpa adanya kesengajaan ataupun kealpaan, sehingga tidak dapat dicela. Misalnya, orang yang mengendarai mobil sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang diharuskan kepadanya, namun ada seorang anak tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.
Untuk lebih memahami tentang pertanggungjawaban dalam hukum pidana maka harus diketahui apa sebenarnya arti kesalahan (Subjective guilt) itu :
Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana, berpandangan bahwa “orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana , dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut, dengan kata lain perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan.
23
Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya
(6)
anak yang tiba-tiba menyeberang jalan sehingga ditabrak oleh mobilnya dan meninggal dunia. Dalam hal ini ia tidak dapat dicela karena perbuatan yang menyebabkan anak itu mati sama sekali tidak disengaja olehnya ataupun terjadi karena kealpaannya.
Menurut Pompe, kesalahan dapat dilihat dari dua unsur;
1. menurut akibatnya ia adalah hal yang dapat dicelakan (verwijtbaarheid), 2. menurut hakikatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya (verwijdbaarheid)
perbuatan yang melawan hukum
Mezger menerangkan bahwa kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana (schuldist der Erbegriff der Vorraussetzungen, de aus der straftat einen personlichen Verwurf gegen den tater begrunden)
Sudarto mengartikan kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya24
Van Hattum berpendapat; “pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat adalah hubungan bathin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan pada si pembuat itu. Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa.
Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delikmerupakan pengertian psychologis, perhubungan antara keadaan si pembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum (schuld is de verantwoordelijkheid rechtens)”
24
(7)
psychis yang terdapat keseluruhan yang berupa strafbaarfeit termasuk si pembuatnya.
Karni yang menggunakan istilah “salah dosa“ mengatakan: “pengertian salah dosa mengandung celaan. Celaan ini menjadi dasarnya tanggungan jawab terhadap hukum pidana”. Salah dosa ada jika perbuatan dapat dan patut dipertanggungjawabkan oleh si pembuat; harus boleh dicela karena perbuatan itu; perbuatan itu mengandung perlawanan hak; perbuatan itu harus dilakukan baik dengan sengaja maupun dengan salah.
Simons menyebutkan bahwa kesalahan adalah adanya keadaan psychis yang tertentu pada orang yang melakukan tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena karena melakukan perbuatan tadi. Dengan demikian untuk adanya suatu kesalahan harus diperhatikan dua hal disamping melakukan tindak pidana, yakni :
1. adanya keadaan psychis (batin) yang tertentu, dan
2. adanya hubungan tertentu antara keadaan bathin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.
Kedua hal diatas mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan yang pertama merupakan dasar bagi adanya yang kedua, atau yang kedua tergantung pada yang pertama. Lebih jelasnya mengenai keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) diuraikan di bawah ini ;
Kebanyakan KUH-Pidana Negara-Negara lain menentukan bahwa anak dibawah umur tertentu, misalnya 10 tahun tidak dapat diajukan tuntutan pidana. Namun dalam KUH-Pidana Indonesia tidak mengatur hal yang demikian. Dalam
(8)
Swb. Nederland dahulu 1885 terdapat Pasal 38 yang menentukan bahwa anak-anak dibawah 10 tahun tidak dapat dikenai pidana, kemudian pada tahun 1905 Pasal ini dihapus. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dibawah 10 tahun dimungkinkan penuntutan, tidak untuk dipidana melainkan diadakan tindakan (maatregelen). Hal ini mengakibatkan:
1. dengan hilangnya batas umur tersebut berarti anak-anak dibawah umur meskipun belum dapat membedakan antara perbuatan yang baik dengan yang buruk (zonder oordeel des onderscheids) harus dipidana. Pada awalnya Pasal 37 (= Pasal 44 KUH-Pidana Indonesia25
2. terhadap anak-anak itu tentunya lebih lekas dianggap tidak ada kesengajaan/ kealpaan daripada orang dewasa
juga berlaku bagi anak-anak, namun Pasal tersebut tidak dapat digunakan atas dasar umur yang masih sangat muda.
3. kalau memang anak tersebut belum (belum cukup) mempunyai penginsyafan tentang makna perbuatannya, maka atas dasar tidak dipidana jika tak ada kesalahan dia dapat diperkecualikan. Jadi anak tersebut tidak dapat dipidana tidak didasarkan atas suatu Pasal dalam wet, melainkan atas hukum tak tertulis.
Keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan (tindakan) merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvarbaarheid) yang merupakan dasar yang penting untuk adanya suatu kesalahan. Sebab keadaan jiwa
25
Pasal 44 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya , disebabkan keran jiwanya cacat dalam tumbuhnya ( gebrekkige ontwikkeling ) atau terganggu karena penyakit ( ziekelijke storing ), tidak dipidana “ ; (2) “ jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerinthakan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan “ ; (3) “ketentuan tersebut daalm ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, pengadilan tinggi, pengadilan negeri “.
(9)
terdakwa harus sehat atau normal sehingga diharapkan dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan pola yang dianggap baik dalam masyarakat. Jika keadaan jiwanya normal, fungsinya pun normal. Bagi orang yang kondisi kejiwaannya tidak normal tidak ada gunanya diadakan pertanggungjawaban, mereka harus dirawat dan dididik dengan cara yang tepat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 44 KUH-Pidana mengenai hubungan antara keadaan jiwa dengan perbuatan yang dilakukan, yang menimbulkan celaan.
Delik dibagi menjadi :
1. delik dolus yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kesengajaan atau yang diinsyafi sebagai demikian
2. delik culpa yakni perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan kealpaan Delik culpa dibagi menjadi :
1. delik materiil yakni delik yang mensyaratkan adanya akibat. Misalnya Pasal 188 KUH-Pidana.26
2. delik formil yakni delik yang mensyaratkan adanya perbuatan. Mislanya pasla 48027 dan Pasal 28728
26
Pasal 188 KUH – pidana ; “ barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang lain.
27
Pasal 480 KUH-Pidana : “ diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah karena penadahan ; ke- 1 barangsiapa membeli, menawarkan, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan; ke-2 barangsiapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga,bahwa diperoleh dari kejahatan.
28
Pasal 287 KUH-Pidana ; (1) “ barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana
(10)
Dari pendapat-pendapat di atas maka kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya.
Pencelaan dalam hal ini bukanlah pencelaan berdasarkan kesusilaan, (ethische schuld) melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku (verantwoordelijkheid rechtens) seperti yang dikemukakan oleh Van Hamel. Namun Sudarto berpendapat bahwa untuk adanya kesalahan, harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya.
Hal ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass Recht ist das etische minimum”; setidak-tidaknya pembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat yang terdiri dari sesama hidupnya dan yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyatan bahwa kesalahan itu mengandung unsur ethis (kesusilaan) tidak boleh di balik. Tidak selamanya orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan perbuatan yang dapat dikatakan tidka susila itu, dapat dikatakan bersalah dalam arti patut dicela menurut hukum.
Arti kesalahan:
1. kesalahan dalam arti seluas- luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya (verwijtbaarheid) si pembuat atas perbuatannnya. Jadi, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana berarti bahwa dapat dicela atas perbuatannya
(11)
a. kesengajaan (dolus, opzet, vorsatz, atau intention)
b. kealpaan (culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit, atau negligence) ini pengertian kesalahan yuridis
3. kesalahan dalam arti sempit ialah kealpaan (culpa).
Dengan diterimanya pengertian kesalahan (dalam arti luas) sebagai dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya, maka pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif (normatif schuldbegriff).
Pengertian kesalahan psychologis, dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psychologis (batin) antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan bating tersebut bisa berupa kesengajaan29 dan pada kealpaan.30
Pengertian kesalahan yang normatif, pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasar sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbuatannya, tetapi juga ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Saat menyelidiki bathin orang yang melakukan perbuatan, bukan bagaimana sesungguhnya keadaan bathin orang itu yang menjadi ukuran, tetapi bagaimana penyelidik menilai keadaan batinnya, dengan menilik fakta- fakta yang ada.
Jadi dalam hal ini yang digambarkan adalah keadaan batin si pembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan atau akibat perbuatan
Dari pengertian-pengertian yang telah diuraikan di atas, maka kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yakni:
29
Kesengajaan; hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatannya (beserta akibatnya)
(12)
1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat (schuldfahigkeit atau zurechnungsfaghigkeit) artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal, dalam hal ini dipersoalkan apakah oarng tertentu menjadi “ normadressat ” yang mampu.
2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut bentuk-bentuk kesalahan, dalam hal ini dipersoalkan sikap batin seseorang pembuat terhadap perbuatannya. Meskipun yang disebut dalam a dan b, ada kemungkinan bahwa ada keadaan yang mempengaruhi si pembuat sehingga kesalahannya hapus, misalnya dengan adanya kelampauan batas pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat 2 KUH-Pidana).31
3. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.
Sedangkan menurut Moeljatno untuk adanya suatu kesalahan, terdakwa harus:
1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) 2. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan
4. Tidak adanya alasan pemaaf
B. Konsep Pertanggungjawaban Pidana dalam Hukum Pidana di Indonesia
Setiap sistem hukum modern seyogyanya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang
31
Pasal 49 ayat (2) KUH-Pidana ; “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat kaena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana “
(13)
yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasinya.
Baik negara-negara Civil Law maupun Common Law, umumnya pertanggungjawaban pidananya dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana Civil Law Sistem lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan tem lainnya, undnag-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.32
Pertanggungjawaban pidana dipandang ada, kecuali ada alasan-alasan penghapus pidana tersebut. Dengan kata lain, criminal liability dapat dilakukan sepanjang pembuat tidak memiliki defence, ketika melakukan suatu tindak pidana. Dalam lapangan acara pidana, hal ini berarti seorang terdakwa dipandang bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukannya, jika tidak dapat membukt ikan bahwa dirinya mempunyai ‘defence’ ketika melakukan tindak pidana itu. Konsep demikian itu membentuk keseimbangan antara hak mendakwa
Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipidana (strafuitsluitingsgronden), yang untuk sebagian adalah alasan penghapus kesalahan. Sedangkan dalam praktik peradilan di negara-negara common law, diterima berbagai alasan umum pembelaan (general defence) ataupun alasan umum peniadaan pertanggungjawaban (general excusing of liability)
(14)
dan menuntut dari penuntut umum, dan hak menyangkal mengajukan pembelaan dari terdakwa. Penuntut Umum berhak untuk mendakwa dan menuntut seseorang karena melakukan tindak pidana. Untuk itu, penuntut umum berkewajiban membuktikan apa yang didakwa dan dituntut itu, yaitu membuktika hal-hal yang termuat dalam rumusan tindak pidana. Sementara itu, terdakwa dapat mengajukan pembelaan atas dasar adanya alasan-alasan penghapus pidana. Untuk menghindari dari pengenaan pidana, terdakwa harus dapat membuktikan bahwa dirinya mempunyai alasan penghapus pidana ketika melakukan tindak pidana.33
Merumuskan pertanggunjawaban pidana secara negatif, terutama berhubungan dengan fungsi represif hukum pidana. Dalam hal ini, dipertanggung-jawabkannya seseorang dalam hukum pidana berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal tolak pada gagasan monodualistik (daad en dader strafrecht), proses wajar (due process) penentuan pertanggungjawaban pidana, bukan hanya dilakukan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pembuatnya itu sendiri. Proses tersebut bergantung pada dapat
Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana. Pengecualian pengenaan pidana diplomasii sini dapat dibaca sebagai pengecualian adanya pertanggungjawaban pidana. Dalam hal tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan.
33
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 62.
(15)
dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah jika dijatuhi pidana.34
Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana bukan hanya berarti sah menjatuhkan pidana terhadap orang itu, tetapi juga sepenuhnya dapat diyakini bahwa memang pada tempatnya meminta pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya berarti rightfully sentenced” tetapi juga “rightfully accused”. Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan dua arah. Pertama, pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya mengemban aspek preventif. Kedua, pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal consequences) dari keberadaan syarat hukum pidana. Pertanggungjawaban pidana berhubungan erat dengan keadaan yang menjadi syarat adanya pemidanaan dan konsekuensi hukum atas adanya hal itu.35
Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang mennetukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh bagi hakim. Hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif. Hakim harus mempertimbangkan hal itu sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya, ketika terdakwa mengajukan pembelaan yang didasarkan pada alasan
34
(16)
yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalahnya lebih dalam. Dalam hal ini, hakim berkewajiban menyelidiki lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukannya sebagai alasan penghapus kesalahannya. Lebih jauh daripada itu, sekalipun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasar pada alasan penghapus kesalahan, tetapi tetap diperlukan adanya perhatian bahwa hal itu tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana. Hakim tetap berkewajiban memperhatikan bahwa pada diri terdakwa tidak ada alasan penghapus kesalahan, sekalipun pembelaan atas dasar hal itu, tidak dilakukannya. Hal ini akan membawa perubahan mendasar dalam proses pemeriksaan perkara di pengadilan.36
Sementara itu, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Hal ini yang menjadi pangkal tolak pertalian antara pertanggungjawaban pidana dan tindak pidana yang dilakukuan pembuat. Pertanggungjawaban pidana yang merupakan rembesan sifat dari tindak pidana yang dilakukan pembuat. Dapat dicelanya pembuat, justru bersumber dari celaan yang ada pada tindak pidananya. Oleh karena itu, ruang
Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, hakim harus mempertimgbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukkan dalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. Hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).
36
(17)
lingkup pertanggungjawaban pidana mempunyai korelasi penting dengan struktur tindak pidana.
Tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela, ditetapkan sebagai tindak pidana,37 merupakan konsekuensi logis pandangan tersebut. Artinya, ada perbuatan yang sekalipun oleh masyarakat dipandang tercela, tetapi bukan merupakan tindak pidana. Menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam hal ini, mungkin ada sejumlah perilaku yang dipandang tidak baik atau bahkan buruk dalam masyarakat, akan tetapi karena tingkat ancamannya pada masyarakat dipandang tidak terlalu besar, maka perilaku tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan tersebut tidak dirumuskan sebagai suatu tindak pidana.38
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
Sebaliknya, sekali perbautan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum bahkan mengharapkan sistem moral dapat mengikutinya. Artinya, masyarakat diarahkan juga untuk mencela perbuatan tersebut. Dengan demikian, celaan yang ada pada tindak pidana yang sebenarnya lebih pada celaan yang bersifat yuridis, diharapkan suatu saat mendapat tempat sebagai celaan dari segi moral.
37
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 13.
38
Harkristuti Harkrisnowo, Tindak Pidana Kesusilaan dalam Perspektif Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dalam Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan,
(18)
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Penolakan masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barang siapa atau setiap orang yang melakukannya akan dicela pula.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut proses peralihan celaan yang ada pada tindak pidana karena pembuatnya. Mempertanggungjawab-kan seseorang dalam hukum pidana adalah menerusMempertanggungjawab-kan celaan secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya.39
Celaan yang ada pada tindak pidana tetap terus melekat sepanjang perbuatan itu tidak didekriminalisasikan. Dengan demikian, relatif permanen sifatnya, ekcuali undang-undang mengatakan sebaliknya. Sementara celaan yang ada pada pembuat tindak pidana hanya melekat pada orang itu sepanjang masa pemidanaannya. Setelah masa itu, mestinya celaan akan hilang dengan sendirinya. Celaan pada pembuat tindak pidana bersifat lebih kontemporer.40
Celaan yang ada pada perbuatan melakukan sesuatu, tentu berbeda dengan ketika suatu tindak pidana merupakan larangan atas perbuatan tidak melakukan sesuatu. Demikian pula halnya terhadap tindak pidana yang berupa pelarangan timbulnya akibat tertentu. Dalam hal ini, tingkat celaan dalam kesalahan menjadi berbeda-beda tergantung celaan pada tindak pidananya. Apabila celaan-celaan
39
Roelan Saleh, Op.cit, hal. 71.
40
(19)
tersebut diteruskan terhadap pembuatnya, maka bukan hanya bentuk kesalahan (kesengajaan, atau kealpaan) yang menentukan tingkat kesalahan pembuat, tetapi juga bentuk tindak pidananya. Sifat melawan hukum tindak pidana pun karenanya menentukan berat ringannya kesalahan pembuat.
(20)
BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PETUGAS KEIMIGRASIAN DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN PASPOR
A. Pemalsuan Paspor oleh Pejabat Imigrasi dalam Perspektif Hukum Pidana
1. Kejahatan Pemalsuan Paspor yang Diatur Dalam KUHP
Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang didalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Kejahatan pemalsuan yang dimuat dalam Buku II KUHP dikelompokkan menjadi 4 golongan, yakni:
1. kejahatan sumpah palsu (Bab IX) 2. kejahatan pemalsuan uang (Bab X)
3. kejahatan pemalsuan meterei dan merek (Bab XI) 4. kejahatan pemalsuan surat (Bab XII)
Penggolongan tersebut didasarkan atas objek dari pemalsuan, yang jika dirinci lebih lanjut ada 6 objek kejahatan, yaitu:
1. keterangan diatas sumpah, 2. mata uang,
3. uang kertas, 4. meterei, 5. merek dan 6. surat.
(21)
Dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai orang perorangan, sebagai anggota masyarakat maupun anggota kehidupan bernegara, sering bahkan berhubungan dengan objek-objek tersebut diatas, terutama dengan uang dan surat-surat. Masyarakat menaruh suatu kepercayaan atas kebenaran dari objekobjek itu. Oleh karena itu, atas kebenaran dari objek-objek tersebut harus dijamin. Jika tidak, dapat menimbulkan akibat buruk bagi masyarakat. Penyerangan terhadap kepercayaan atas kebenarannya adalah berupa perbuatan yang patut dipidana, yang oleh undang-undang ditentukan sebagai suatu kejahatan. Memberikan atau menempatkan sifat terlarangnya bagi perbuatan-perbuatan berupa penyerangan terhadap kepercayaan itu dalam undang-undang adalah berupa suatu perlindungan hukum terhadap kepercayaan akan kebenaran dari objek-objek itu.
KUHP mengatur adanya perbuatan berupa penyerangan atau perkosaan terhadap kebenaran atas sesuatu objek selain 6 jenis objek pemalsuan tersebut diatas, yang tidak dimasukkan ke dalam golongan kejahatan pemalsuan, tetapi dalam kelompok kejahatan lain, seperti Pasal 380 KUHP ke dalam penipuan (bedrog) atau pasal 220 KUHP ke dalam golongan kejahatan terhadap penguasa umum. Hal ini terjadi oleh adanya perbedaan latar belakang kejahatan. Latar belakang kejahatan Pasal 380 KUHP maupun pasal 220 KUHP berbeda dengan latar belakang dibentuknya kejahatan pemalsuan. Perbedaan itu adalah bagi kejahatan pemalsuan, ditujukan bagi perlindungan hukum terhadap kepercayaan akan kebenaran dari keenam objek pemalsuan tersebut. Pasal 380 memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi atau memerdayakan orang (yang dalam hal ini adalah dibidang: hasil kesusastraan, keilmuan, kesenian dan kerajinan). Orang akan
(22)
merasa tertipu, terpedaya dan karenanya menderita kerugian bilamana mendapatkan benda yang dikiranya benar atau asli padahal sesungguhnya palsu.
Lain bagi kejahatan Pasal 220 KUHP. Kejahatan yang diberi kualifikasi laporan palsu ini, walaupun perbuatan juga berupa penyerangan terhadap kepercayaan atas hukum atas kebenaran isi sesuatu laporan, akan tetapi dalam hal ini lebih dititikberatkan pada pengkhianatan / penyerangan terhadap pelaksanaan tugas dan kedudukan seorang pejabat atau pegawai negeri daripada perkosaan terhadap kepercayaan masyarakat atas kebenaran suatu laporan atau pengaduannya. Oleh karena itu, dimasukkan ke dalam bab tentang kejahatan terhadap pejabat dan bukan kejahatan pemalsuan.
Dibentuknya kejahatan pemalsuan ini pada pokoknya ditujukan bagi perlindungan hukum atas kepercayaan masyarakat atas kebenaran sesuatu : keterangan diatas sumpah, atas uang sebagai alat pembayaran, meterei dan merek, serta surat-surat. Karena kebutuhan hukum masyarakat terhadap kepercayaan atas kebenaran pada objek-objek tadi, maka Undang-Undang menetapkan bahwa kepercayaan itu harus dilindungi dengan cara mencantumkan perbuatan berupa penyerangan tadi sebagai suatu larangan dengan disertai pidana.
Di dalam KUHP, kejahatan pemalsuan paspor dikategorikan masuk kedalam bab pemalsuan surat. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu dari sebuah pemikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat.
(23)
Pemalsuan surat (valschheid in geschriften) diatur dalam Bab XII buku IIKUHP, dari pasal 263 sampai dengan 276 KUHP, yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan pemalsuan surat, yakni:
1. pemalsuan surat pada umumnya: bentuk pokok pemalsuan surat (263) 2. pemalsuan surat yang diperberat (264)
3. menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akte otentik (266) 4. pemalsuan surat keterangan dokter (267, 268)
5. pemalsuan surat-surat tertentu (269, 270, 271)
6. pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (274) 7. menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (275)
Pasal 272 dan 273 telah dicabut melalui stb. 1926 No. 359 jo. 429. Pasal 276 tidak memuat tentang rumusan kejahatan, melainkan tentang ketentuan dapat dijatuhkannya pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu berdasarkan Pasal 35 No. 1-4 bagi kejahatan pemalsuan surat.
Dalam pasal-pasal tentang pemalsuan surat dalam KUHP, kejahatan pemalsuan paspor masuk dalam kategori pemalsuan surat-surat tertentu (269, 270 dan 271 KUHP). Namun yang lebih relevan dengan kejahatan pemalsuan paspor adalah pasal 270 KUHP. Didalam pasal 270 KUHP dirumuskan sebagai berikut :
1. “Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh memberikan surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
2. Dipidana dengan pidana penjara yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut ayat
(24)
pertama, seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah sesuai dengan kebenaran”
Kejahatan membuat secara palsu atau memalsu dan kejahatan menyuruh memberi surat jenis paspor palsu beserta kejahatan menggunakannya sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 270 dapat terjadi secara berbarengan dengan kejahatan mengenai objek paspor menurut UU (Drt) No.8 tahun1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi. Misalnya seorang warga Negara asing memiliki paspor palsu atau paspor dipalsu (hasil kejahatan 270 Ayat 1), kemudian ia menggunakannya untuk masuk dan berada di Indoesia, maka dia telah melanggar sekaligus pasal 270 Ayat 2 dan Pasal 1 sub a UU Tindak Pidana Imigrasi tersebut. Untuk lebih jelasnya, tindak pidana I bidang imigrasi dapat dibaca dalam Pasal 1-4 UU (Drt) No. 8 Tahun 1955, namun saat ini Undang-Undang Tindak Pidana I bidang Imigrasi tersebut sudah tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
Kejahatan kedua dalam Ayat ke-1 adalah berupa kejahatan yang perbuatannya menyuruh memberikan surat-surat tersebut atas (a) nama palsu, (b) nama kecil yang palsu dan (c) menunjuk pada keadaan palsu. Pada kejahatan yang dimaksudkan ini, yang dipidana adalah orang-orang yang melakukan perbuatan meminta dikeluarkannya surat-surat yang disebutkan dalam Ayat 1. Perihal palsunya surat terletak pada nama pemilik surat, nama kecilnya maupun menunjuk pada keadaan-keadaan tertentu.
Bagaimana dengan pejabat pembuat surat-surat yang disuruh membuatkan surat palsu itu? Apabila sikap batinnya sama dengan orang yang meminta dibuatkan surat semacam ini, ia dapat dipidana berdasarkan kejahatan Ayat ke-1. Orang yang menyuruh memberikan surat ini kualitasnya bukan sebagai pelaku
(25)
penganjur (uitlokken) maupun pelaku penyuruh (doen plegen) dari pandangan Pasal 55 KUHP, tetapi berkualitas sebagai petindak (dader). Walaupun perbuatannya dapat sama dengan perbuatan pelaku penganjur (misalnya karena diberi upah untuk itu), atau sama dengan perbuatan pelaku penyuruh (bila pejabat pembuat surat tidak mengetahui perihal palsunya seperti nama, nama kecil), karena yang berdiri sendiri, maka orang yang menyuruh memberikan surat tersebut berkualitas sebagai seorang petindak (dader).
2. Kejahatan Pemalsuan Paspor yang Diatur Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian
Ketentuan pidana yang berlaku di Indonesia, dikenal adanya asas ”Lex Specialis Derogate Lex Generalis”, yakni ketentuan yang lebih khusus menyampingkan ketentuan yang lebih umum, atau keberlakuan ketentuan yang lebih khusus digunakan terlebih dahulu sebagai acuan, namun dengan tetap berpedoman kepada ketentuan yang lebih umum. Dalam perkara-perkara keimigrasian, telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, dalam undang-undang tersebut didalamnya terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang kejahatan-kejahatan yang terkait dengan hal ihwal keimigrasian disertai dengan ancaman hukuman atau ketentuan mengenai pidananya. Dengan demikian, dalam melihat kasus-kasus di bidang keimigrasian, terlebih dahulu mengacu kepada undang-undang tentang Keimigrasian terlebih dahulu, baru mengacu kepada ketentuan mengenai pidana umum yang terkandung dalam KUHP. Sehingga dapat dikatakan pula, bahwa ketentuan pidana keimigrasian yang terdapat dalam undang-undang keimigrasian termasuk dalam
(26)
kategori ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur tentang Tindak Pidana diluar KUHP.
Undang-Undang tentang Keimigrasian selain mengatur hal ihwal yang menyangkut bidang keimigrasian, juga mencantumkan ketentuan pidana yang berhubungan dengan tindak pidana keimigrasian.41
1. Hukuman penjara dan denda (kumulatif);
Ketentuan pidana tersebut akan menjadi acuan bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana yang menyangkut bidang keimigrasian. Didalam ketentuan pidana itu ditentukan tindak pidana yang berupa pelanggaran dan yang berupa kejahatan dan proses peradilan tindak pidana keimigrasian sama dengan proses peradilan umum biasa. Didalam ketentuan pidana, ditentukan pelanggaran dan atau kejahatan di bidang keimigrasian yang ancaman hukumannya dapat berupa:
2. Hukuman penjara saja; 3. Hukuman penjara atau denda; 4. Hukuman denda saja.
Ketentuan pidana di bidang keimigrasian meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Orang yang masuk dan ke luar wilayah Indonesia tanpa melalui
pemeriksaan\ imigrasi di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (Pasal 48);
2. Orang asing yang membuat palsu atau memalsukan visa atau izin keimigrasian (Pasal 49 a)
3. Orang asing yang menggunakan visa atau izin keimigrasian palsu atau yang dipalsukan untuk dan berada di wilayah Indonesia (Pasal 49 b);
41
(27)
4. Orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud pemberian izin keimigrasian yang diberikan kepadanya (Pasal 50);
5. Orang asing yang tidak melakukan kewajibannya untuk memberi keterangan yang diperlukan mengenai identitas diri dan keluargnya, memperlihatkan paspor atau dokumen imigrasi yang dimilikinya pada waktu diperlukan dalam rangka pengawasan orang asing (Pasal 51);
6. Orang asing yang tidak melakukan pendaftaran orang asing bagi mereka yang berada di wilayah Indonesia lebih dari 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 51);
7. Orang asing yang tidak mau membayar biaya beban yang dikenakan kepadanya (Pasal 51);
8. Orang asing yang mempunyai izin keimigrasian yang sudah tidak berlaku lagi dan masih berada di wilayah Indonesia (Pasal 52);
9. Orang asing yang berada di wilayah Indonesia secara tidak sah atau pernah diusir (dideportasi) dan barada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah (Pasal 53);
10.Orang yang dengan sengaja menyembunyikan, melindungi, member pemondokan, memberi penghidupan atau pekerjaan kepada orang asing yang diduga:
a. pernah diusir dan berada kembali di wilayah Indonesia secara tidak sah;
b. berada di wilayah Indonesia secara tidak sah;
(28)
11.Orang yang menggunakan paspor palsu atau yang dipalsukan, menggunakan paspor yang sudah dicabut atau dibatalkan atau menyerahkan paspor yang diberikan kepadanya kepada orang lain untuk dipergunakan secara tidak berhak, memberikan keterangan yang tidak benar untuk mendapatkan paspor atau memiliki atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) paspor atau lebih yang semuanya masih berlaku (Pasal 55);
12.Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mencetak, mempunyai, menyimpan blanko paspor atau dokumen keimigrasian (Pasal 56);
13.Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membuat, mempunyai atau menyimpan cap yang dipergunakan untuk mensahkan paspor atau dokumen keimigrasian (Pasal 57);
14.Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak, menghilangkan atau mengubah baik sebagian atau seluruhnya keterangan atau cap yang terdapat dalam paspor (Pasal 57);
15.Orang yang dengan sengaja dan melawan hukum mempunyai atau menyimpan, mengubah atau menggunakan data keimigrasian secara manual atau elektronik (Pasal 58);
16.Pejabat yang dengan sengaja dan melawan hukum memberikan atau memperpanjang berlakunya paspor atau dokumen keimigrasian kepada seseorang yang tidak berhak (Pasal 59);
17.Orang yang memberi kesempatan menginap kepada orang asing dan tidak melapor kepada Pejabat Kepolisian atau Pejabat Pemerintah Daerah
(29)
setempat yang berwenang dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan orang asing tersebut (Pasal 60);
18.Orang asing yang sudah mempunyai izin tinggal yang tidak melapor kepada Pejabat Kepolisian Republik Indonesia di tempat tinggal atau tempat kediamannya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diperolehnya izin tinggal (Pasal 61).
Dari beberapa tindak pidana keimigrasian yang diatur dalam UU No. 9 Tahun 1992, dapat dilihat bahwa kejahatan pemalsuan terhadap dokumen imigrasi yang diatur dalam undang-undang tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa hal, yakni:
1. membuat palsu atau memalsukan visa atau izin keimigrasian (Pasal 49 a) 2. menggunakan visa atau izin keimigrasian palsu atau yang dipalsukan
untuk dan berada di wilayah Indonesia (Pasal 49 b);
3. menggunakan paspor palsu atau yang dipalsukan (Pasal 55);
Bila dilihat lebih jauh lagi mengenai kejahatan pemalsuan paspor atau penggunaan paspor palsu yang diatur dalam undang-undang keimigrasian, dapat diamati bahwa kejahatan tersebut hanya dapat dikenakan apabila paspor yang dipalsukan atau paspor palsu yang digunakan adalah paspor Republik Indonesia, dalam pasal 55 UU No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian dinyatakan:
”Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menggunakan Surat Perjalanan Republik Indonesia sedangkan ia mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa Surat Perjalanan itu palsu
(30)
atau dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah);
b. menggunakan Surat Perjalanan orang lain atau Surat Perjalanan Republik Indonesia yang sudah dicabut atau dinyatakan batal, atau menyerahkan kepada orang lain Surat Perjalanan Republik Indonesia yang diberikan kepadanya, dengan maksud digunakan secara tidak berhak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah);
c. memberikan data yang tidak sah atau keterangan yang tidak benar untuk memperoleh Surat Perjalanaan Republik Indonesia bagi dirinya sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah);
d. memiliki atau menggunakan secara melawan hukum 2 (dua) atau lebih Surat Perjalanan Republik Indonesia yang semuanya berlaku, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).”
Dapat dilihat dalam pasal tersebut, kejahatan mengenai pemalsuan paspor hanya dapat dikenakan apabila objek yang dipalsukan itu adalah berupa paspor Republik Indonesia, sedangkan mengenai paspor asing palsu atau dipalsukan maupun digunakan untuk masuk dan berada di wilayah Indonesia atau keluar dari wilayah Indonesia, belum diatur dalam undang-undang keimigrasian ini, sehingga harus dilihat kepada ketentuan yang umum yang mengatur tentang tindak pidana umum mengenai pasal-pasal pemalsuan yang terdapat dalam KUHP.
(31)
B. Sanksi Organisasi terhadap Pegawai yang Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Paspor dan Upaya Penanggulangan Pemalsuan pasor oleh Pejabat Imigrasi
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.42
Kejahatan pemalsuan dokumen paspor merupakan salah satu kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan transnational organized crime dan kejahatan itu disebutkan berulang-ulang dari konvensi TOC dan 2 protokolnya, karena itu sebagai landasan operasionalisasi dari adanya kerjasama antar negara-negara di dunia dalam memberantas atau menanggulangi kejahatan atau tindak pidana, yakni dengan menggunakan Konvensi TOC dan 2 protokolnya, namun dalam Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun didalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
42
(32)
proses peradilan dan hukum pidana yang digunakan tetap menggunakan hukum pidana nasional yang dianut oleh negara tersebut. Karena Indonesia sudah meratifikasi perjanjian tentang Mutual Legal Assistance (MLA) dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2008, maka apabila Indonesia menghadapi kesulitan dalam menangani kejahatan pemalsuan dokumen.43
Kejahatan mengenai pemalsuan dokumen ini merupakan kejahatan yang menyerang kepercayaan masyarakat atau publik terhadap dokumen asli yang mempunyai nilai autentik, selain itu pemalsuan paspor telah menjadikan pertanyaan bagi masyarakat, untuk apa pegawai imigrasi melakukan kejahatan tersebut sehingga menimbulkan kekhawatiran dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan mengenai pemalsuan dokumen telah diatur dalam Hukum Pidana Indonesia, baik yang terdapat dalam KUHP maupun dalam Undang-undang Keimigrasian.44
Pemalsuan paspor yang melibatkan pegawai imigrasi sejauh ini belum pernah terjadi di Kantor Imigrasi Medan, walau demikian apabila di kemudian hari hal semacam ini mungkin terjadi, maka oknum pegawai yang terlibat, secara organisatoris akan mendapatkan sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain akan dikenakan penerapan ketentuan pidana yang diatur dalam Hukum Pidana, khususnya Undang-undang Keimigrasian, pegawai yang terlibat akan diberikan sanksi organisasi mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat, yakni pemberhentian/ pemecatan secara tidak hormat.45
43
Wawancara dengan Bpk. Anggiat Napitupulu, SS, M.Si, Kepala Seksi Penindakan pada tanggal 25 Nopember 2010.
44
Ibid
45
(33)
Oleh karenanya, untuk menjaga agar tidak terjadi upaya pemalsuan paspor yang mungkin melibatkan pegawai imigrasi, maka pihak kantor imigrasi Medan melakukan upaya-upaya penanggulangan sebagai berikut:46
1. Terjadinya tindak pidana keimigrasian tidak terlepas dari masalah pengawasan. Pengawasan yang kurang dapat menimbulkan tindakan yang mengarah kepada kejahatan dan pelanggaran. Satu di antaranya adalah pemalsuan paspor yang melibatkan pegawai imigrasi.47
2. Upaya pengawasan merupakan salah satu upaya preventif yang dapat dilakukan untuk menganggulangi pemalsuan paspor yang melibatkan pegawai imigrasi. Selain upaya preventif, dapat juga dilakukan upaya Dapat dikatakan bahwa proses pengamatan dan penghayatan seluruh kegiatan dilakukan sesuai dengan peraturan-peraturan, instruksi-instruksi dan kebijaksanaan yang berlaku. Di dalam pengawasan yang penting mengetahui adalah apakah dalam pelaksanaan tugas-tugas terjadi penyimpangan atau kesalahan. Hal ini secara preventif agar dilaksanakan sedini mungkin supaya tidak terjadi adanya pelanggaran-pelanggaran yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini diadakan pemantapan mekanisme kordinasi dan operasi antara instansi yang terkait dalam rangka pengawasan pengurusan paspor. Instansi-instansi tersebut akan melakukan tugas dan wewenangnya masing-masing sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Koordinasi dimaksudkan untuk memaksimalkan daya guna dan hasil guna pengawasan terhadap pengurusan paspor.
46
(34)
represif, yakni melalui proses penegakan hukum di pengadilan serta sanksi organisasi keimigrasian yang dikenakan bagi pegawai yang terlibat dalam pemalsuan paspor.
(35)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Pasal 1 butir 3 disebutkanbahwa Surat Perjalanan atau paspor adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara. Paspor sebagai dokumen resmi suatu negara merupakan keterangan autentik bagi pemegangnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran data-data yang ada didalamnya. Sebagai dokumen resmi paspor berfungsi sebagai: surat Perjalanan antar negara yang merupakan fungsi utamanya dan sebagai identitas pemegangnya yang berarti dengan memperlihatkan paspornya, seseorang akan dikenal siapa dia, seperti namanya, kebangsaannya, umurnya, kadang-kadang tertera tinggi badan, warna kulit, alamat dan keterngan lain dari pemegang paspor tersebut
2. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan ornag itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.
3. Didalam KUHP, kejahatan pemalsuan paspor dikategorikan masuk kedalam bab pemalsuan surat. Didalam surat terkandung arti atau makna
(36)
tertentu dari sebuah pemikiran, yang kebenarannya harus dilindungi. Diadakannya kejahatan pemalsuan surat ditujukan pada perlindungan hukum terhadap kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran akan isi surat. Dalam pasal-pasal tentang pemalsuan surat dalam KUHP, kejahatan pemalsuan paspor masuk dalam kategori pemalsuan surat-surat tertentu (269, 270 dan 271 KUHP). Namun yang lebih relevan dengan kejahatan pemalsuan paspor adalah pasal 270 KUHP. Didalam pasal 270 KUHP dirumuskan sebagai berikut
Barangsiapa membuat secara palsu atau memalsu surat jalan atau surat penggantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang diberikan menurut ketentuan undang-undang tentang pemberian izin kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia, ataupun barangsiapa menyuruh memberikan surat serupa itu atas nama palsu atau nama kecil yang palsu atau dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan maksud untuk memakai surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsukan atau seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan.
Dipidana dengan pidana penjara yang sama, barangsiapa yang dengan sengaja memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut ayat pertama, seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah sesuai dengan kebenaran”
Undang-Undang tentang Keimigrasian selain mengatur hal ihwal yang menyangkut bidang keimigrasian, juga mencantumkan ketentuan pidana yang berhubungan dengan tindak pidana keimigrasian, termasuk di dalamnya pemalsuan paspor. Ketentuan pidana tersebut akan menjadi acuan bagi pengadilan untuk memeriksa dan memutuskan perkara tindak pidana yang menyangkut bidang keimigrasian. Didalam ketentuan pidana itu ditentukan tindak pidana yang berupa pelanggaran dan yang berupa kejahatan dan proses peradilan tindak pidana keimigrasian sama dengan proses peradilan umum biasa.
(37)
B. Saran
1. Pengawasan pengurusan paspor perlu ditingkatkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya pemalsuan paspor yang melibatkan pegawai kantor imigrasi.
2. Aparat penegak hukum dalam merumuskan pertanggungjawaban pidana harus benar-benar jeli agar pertanggungjawaban benar-benar dapat dikenakan kepada subjek yang tepat, yakni subjek yang harusnya berkewajiban untuk bertanggung jawab.
3. Dalam hal terjadinya pemalsuan paspor oleh pegawai imigrasi, maka sepantasnya pegawai yang terlibat mendapatkan hukuman yang berat, sebab sangat ironi bahwa pegawai imigrasi yang seharusnya menjaga keotentikan sebuah paspor, terlibat dalam pemalsuan paspor.
(38)
BAB II
TINJAUAN TERHADAP PASPOR DAN SUMBER HUKUM POSITIF INDONESIA TENTANG KEJAHATAN PEMALSUAN PASPOR
A. Kedudukan Paspor Sebagai Surat Perjalan
Memasuki wilayah Negara lain, biasanya atau mutlak harus dilengkapi dengan suatu keterangan jalan yang biasa disebut surat perjalanan atau paspor. Surat perjalanan atau paspor yang selanjutnya disebut saja dengan paspor pada umumnya mempunyai ciri-ciriyang sama dari sebagian besar negara-negara yang mengeluarkan paspor, baik jenis, maupun ciri-ciri yang ada dalam paspor dengan beberapa kelainan sesuai dengan kebijaksanaan dari pemerintah yang bersangkutan.12
Jenis-jenis paspor yang dikenal adalah:
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Pasal 1 butir 3 disebutkan bahwa Surat Perjalanan atau paspor adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara.
13
1. Paspor Diplomatik (diplomatic passport) yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri RI
2. Paspor Dinas (service passport) yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri RI
3. Paspor biasa (ordinary passport) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman RI
4. Paspor Haji yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI 12
Moh. Arif, “Keimigrasian Di Indonesia, Suatu Pengantar”, Pusdiklat Departemen Kehakiman, Jakarta, 1997, hal.45.
13
(39)
5. Paspor Biasa untuk orang asing (alien passport) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman RI
6. Surat Perjalanan Laksana Paspor (in lieu of passport ) untuk WNI yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman RI
7. Surat Perjalanan Laksana Paspor (in lieu of passport) untuk WNA yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman RI
8. Surat Perjalanan Dinas yang dikeluarkan oleh Departemen Luar Negeri RI Disamping jenis-jenis paspor tersebut, masih ada jenis paspor lainnya yang dikeluarkan untuk kepentingan perjalanan tertentu, seperti surat perjalanan yang dikeluarkan oleh Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai Lasser Passer untuk staf pegawai PBB dan paspor pengungsi (refugee passport). Ciri-ciri yang terdapat dalam suatu Surat Perjalanan atau paspor pada umumnya adalah sebagai berikut :14
1. Lambang dari negara yang mengeluarkan paspor;
2. Nomor paspor yang umumnya sudah dicetak bersamaan dengan percetakan blanko dalam bentuk perforasi dan/atau dengan bentuk cetakan atau ditulis kemudian;
3. Identitas pemegang paspor yang umumnya terdiri dari nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, bentuk badan, ciri-ciri badan lainnya, terkadang juga alamat, pekerjaan dan lain-lain yang diperlukan untuk menjelaskan identitas dari pemegang paspor yang bersangkutan;
(40)
5. Tanggal berlakunya paspor, dinyatakan dengan jelas atau dinyatakan masa berlaku paspor berlaku sekian tahun dari tanggal pengeluaran;
6. Pejabat yang mengeluarkan paspor, biasanya dengan tanda tangan yang dibubuhkan pada paspor;
7. Pasfoto dan tanda tangan / cap jari dari pemegang;
8. Halaman khusus untuk catatan resmi (catatan atau endorsement)
9. Halaman-halaman kosong yang biasanya diberi nama halaman visa untuk diisi oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan perjalanannya, seperti untuk visa, tanda untuk bertolak, izin masuk dan lain-lain yang berhubungan dengan perjalanannya.
10.Jumlah halaman paspor yang dinyatakan untuk menetapkan paspor tersebut berhalaman sekian dan tidak boleh ditambah secara tidak sah. 11.Ada negara yang mencantumkan pernyataan permohonan kepada
negaranegara yang akan dilalui oleh pemegang paspor untuk memberi kemudahankemudahan dalam perjalanan yang bebas sebagai suatu perlindungan terhadap\ warga negaranya dinegara lain;
12.Ada negara yang membatasi berlakunya paspor untuk negara-negara tertentu atau tidak memberlakukan paspor tersebut untuk negara-negara tertentu.
Surat Perjalanan atau Paspor merupakan Dokumen resmi dari suatu negara, maka pengeluarannya dilakukan oleh Pemerintah Negara tersebut. Namun bagi negara-negara instansi mana dari Pemerintah tersebut yang berwenang mengeluarkan paspor, ditentukan oleh kebijaksanaan Pemerintah masing-masing. Di suatu negara paspor dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri, ada yang
(41)
oleh Departemen Luar Negeri, ada yang oleh Departemen Keamanan dan sebagainya, dan dalam satu negara dimungkinkan ada beberapa Departemen yang diberi wewenang untuk mengeluarkan paspor sesuai dengan bidangnya seperti di Indonesia yaitu Departemen Luar Negeri, Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Agama.
Paspor sebagai dokumen resmi suatu negara merupakan keterangan autentik bagi pemegangnya dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran data-data yang ada didalamnya. Sebagai dokumen resmi paspor berfungsi sebagai:15
1. Surat Perjalanan antar negara yang merupakan fungsi utamanya;
2. Sebagai identitas pemegangnya yang berarti dengan memperlihatkan paspornya, seseorang akan dikenal siapa dia, seperti namanya, kebangsaannya, umurnya, kadang-kadang tertera tinggi badan, warna kulit, alamat dan keterngan lain dari pemegang paspor tersebut.
Paspor sebagai identitas banyak diperlukan, seperti dalam transaksi pencarian uang di bank, untuk jaminan tinggal di hotel dan lain sebagainya. Bagi warga negara suatu negara yang berada diluar negaranya, paspor sangat diperlukan sebagai identitas yang kadang-kadang tidak pernah dipergunakan untuk perjalanan antar negara. Oleh sebab itu Perwakilan Negara di Luar Negeri akan memberikan paspor kepada warga negaranya sebagai bukti identitas dirinya yang sewaktuwaktu dapat dipergunakan untuk melakukan perjalanan antar negara. Paspor sebagai dokumen resmi adalah sangat berharga bagi pemegangnya, oleh karenanya perlu dilakukan pengamanan terhadap dokumen tersebut. Paspor dalam penggunaannya bisa saja hilang, dicuri, paspor palsu (counterfeit passport)
(42)
yaitu paspor yang dibuat palsu, paspor dibuat palsu atau dipalsukan (forgery) yaitu paspor asli kemudian dipalsukan (asli dan dipalsukan) dan biasanya diperjualbelikan secara tidak sah. Oleh sebab itu terhadap paspor perlu diadakan pengamanan, sehingga paspor yang telah dikeluarkan secara sah dan resmi, tidak\ disalahgunakan oleh orang yang tidak berhak. Pengamanan paspor dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal:16
1. Pengamanan terbuka
Yaitu dengan menggunakan peralatan yang canggih, baik dalam memilih bahan atau kertas paspor, cara penulisannya, pemberian pengamanan yang dapat dilihat seperti cara penempelan foto, tanda tangan, sidik jari dan sebagainya, sehingga sukar bagi orang lain untuk memalsukannya, meskipun secara visual dapat dilihat benutknya, sehingga jika terjadi perubahan atau pemalsuan maka akan segera diketahui.
2. Pengamanan tertutup
Yakni dengan menggunakan peralatan yang canggih yang tidak dapat dilihat secara visual, namun bagi pejabat atau petugas yang berwenang mengawasi penyalahgunaan paspor, dengan peralatan tertentu akan dapat menentukan adanya penyimpangan atau pemalsuan paspor tersebut yang berada diluar jangkauan orang yang berusaha melakukan pemalsuan. Saat ini diseluruh dunia tercatat kurang lebih ada 250 paspor dengan fitur pengamanan yang berbeda-beda.17
16
Ibid., hal 50.
17
Direktorat Jenderal Imigrasi, Direktorat Lintas Batas dan Kerjasama Luar Negeri,
”Pemeriksaan Paspor”, Jakarta: Ditjen Imigrasi, 2007, hal 69.
Sehingga adalah hal yang mustahil untuk mengetahui semua ciri-ciri paspor tersebut, terlebih lagi menghafalkannya satu persatu. Kualitas dokumen palsu sangat beragam, sehingga menuntut petugas
(43)
untuk meneliti dokumen secara menyeluruh. Alat bantu akan sangat berguna dalam pemeriksaan paspor, namun demikian kemampuan mata telanjang. Ada beberapa jenis pemalsuan dokumen perjalanan yang mungkin terjadi, yakni: Impostor, Mengubah Data, Memalsukan Identitas Diri dan Menerbitkan dokumen palsu.
1. Impostor
Penggunaan dokumen perjalanan asli dengan identitas asli tanpa melakukan perubahan biodata, akan tetapi orang yang membawanya bukan pemilik sah dari dokumen tersebut. Modusnya adalah berusaha untuk menyerupai wajah pemilik dokumen yang sebenarnya seperti yang tampak pada foto dalam paspor. Dalam modus operandinya pelaku impostor berusaha untuk mencari kedekatan atau kesamaan antara foto yang ada dalam paspor dengan pemilik palsu yang mencoba untuk memanfaatkannya. Secara umum petugas lebih sering memperhatikan daerah tertentu saja pada wajah manusia seperti mata dan bibir, hal ini dikarenakan hanya indera tersebut yang menarik perhatian pada saat dilihat. Daerah tempat dimana panca indera disebut dengan segitiga pengamatan (triangle recognition). Kebiasaan tersebut adalah hal wajar karena semua orang akan melakukan hal yang sama pada saat melihat orang lain. Namun demikian seorang pemeriksa dokumen harus dilatih untuk melakukan pengamatan dengan metode yang berbeda, yaitu dengan mengamati secara seksama bagian pada wajah yang dapat dijadikan patokan dalam mengidentifikasi seseorang.
(44)
Penggunaan dokumen perjalanan asli dengan melakukan pengubahan sebagian dari identitas diri dari pemilik yang sebenarnya. Modus seperti ini dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) kategori:
a. Mengganti halaman paspor, bertujuan untuk menghilangkan informasi yang tertera didalam halaman paspor setelah upaya penghapusan dan penggantian gagal dilakukan. Halaman paspor pengganti bisa berasal dari buku paspor yang sama atau buku lainnya dan dapat pula berupa lembar halaman palsu.
b. Data perjalanan yang tertera didalam buku paspor tidak ingin diketahui oleh pejabat yang berwenang. Data tersebut umumnya stempel pendaratan, keberangkatan, fiskal dan visa. Kesalahan yang terjadi umumnya terletak pada penanggalan yang dilakukan secara terpisah dengan stempel, sehingga akan mengakibatkan ketidak konsistenan dan tidak proporsional.
c. Pemalsuan dapat dilakukan pada lembar halaman paspor palsu yang ditutup dengan cover asli atau bahkan keseluruhan buku paspor adalah palsu. Metode seperti ini memiliki kualitas yang lebih baik dari teknik penghapusan sebagian biodata diri dalam paspor.
Paspor yang digunakan biasanya paspor curian atau paspor yang hilang. Penghapusan dilakukan dengan cara menggunakan bahan kimia dan menggunakan peralatan tertentu, untuk mendeteksi data yang diganti dapat menggunakan sinar UV.
(45)
Dalam proses permohonan paspor data yang diberikan adalah palsu, hal ini dikarenakan dokumen seperti: KTP, akte lahir, kartu keluarga dan identitas lainnya sangat mudah untuk dipalsukan. Modus seperti ini bertujuan untuk memperoleh identitas diri yang baru dan menghilangkan identitas yang lama. Memperoleh identitas baru dikarenakan orang tersebut ingin memiliki identitas ganda sehingga memiliki dokumen perjalanan lebih dari satu. Tujuan lainnya yaitu menghilangkan identitas yang lama/asli, maksudnya agar hal-hal negative yang terkait dengan dirinya menjadi hilang, seperti kriminal, koruptor, dan sebagainya. Umumnya pemalsuan identitas diri memerlukan proses yang agak panjang karena terlebih dahulu harus memiliki identitas baru melalui dokumen seperti KTP, akte lahir, akte nikah, ijazah dan seterusnya. Terlalu banyak pihak yang terlibat dalam proses ini sehingga memerlukan biaya yang besar. Modus seperti ini juga melibatkan pejabat/orang yang memiliki akses terhadap buku paspor, mereka dengan sengaja menghilangkan, mencuri atau bahkan menjual paspor tersebut. Meskipun paspor tersebut memiliki nomor seri yang terdaftar, dalam prakteknya untuk mendeteksi paspor tersebut tetap mengalami kesulitan, kesalahan yang umum dilakukan pemalsu adalah proses penerbitan, validasi data dan stempel pejabat berwenang.
4. Menerbitkan Dokumen Palsu
Yaitu buku blanko paspor yang dibuat menyerupai seperti asli, modus seperti ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: kebutuhan yang mendesak, tidak ingin melibatkan banyak orang, dan kemampuan finansial yang
(46)
baik. Kebutuhan mendesak karena orang tersebut bermaksud dengan segera mencapai negara tujuan. Akses untuk bertransaksi melalui media komunikasi tertentu seperti internet, telephone, SMS dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses transaksi sehingga dalam waktu yang relatif singkat paspor palsu dapat segera diterbitkan. Keterlibatan orang-orang dalam transaksi sangat dibatasi agar tidak mudah terlacak. Biasanya tidak pernah terjadi kontak langsung dengan pembuat pasor palsu, transaksi dilakukan tanpa melalui perantara orang melainkan dengan menggunakan media komunkasi elektronik. Karena berusaha menerbitkan paspor menyerupai seperti aslinya maka pemalsu akan berusaha menggunakan teknologi dan peralatan yang mahal agar hasilnya dapat mendekati seperti aslinya. Penggunaan peralatan yang rumit mengakibatkan biaya yang dibutuhkan menjadi tinggi sehingga hanya orang-orang yang memiliki kemampuan finansial yang baik yang dapat memesan paspor palsu seperti ini.
Dalam ruang lingkup pemeriksaan paspor, ada baiknya menggunakan sistematika yang logis dari tiap-tiap urutan pemeriksaan, yakni sebagai berikut:18
1. Sampul halaman depan
Bagian luar paspor telah dirancang dan diproduksi dengan menggunakan bahan yang sangat sulit untuk dipalsukan. Ituah sebabnya pemalsu sering menggunakan bagian tersebut untuk dikombinasikan dengan lembar halaman paspor palsu sebagai upaya mengelabui petugas. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. ukuran stempel
b. tekstur halaman sampul
18
(47)
c. warna
d. kualitas cetakan tinta dan foil e. perhatikan kesalahan pengejaan
f. bekas sayatan dan lipatan pada jalur penjilidan g. sisi-sisi dan sudut buku paspor
Sangat dianjurkan untuk melakukan perbandingan dengan specimen paspor yang ada atau menggunakan peralatan EDISON yang memuat ciri-ciri paspor di seluruh dunia. Cara terbaik dalam menanggulangi pemalsuan paspor adalah dengan memperhatikan fitur pengaman dan melakukan pengujian atas kualitas fitur pengaman tersebut. Perbedaan yang mencolok atau tidak wajar dalam hal warna pada suatu fitur pengaman paspor maka perlu mendapatkan perhatian serius untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
2. Halaman biodata
Pada bagian ini terdapat data diri pemilik paspor seperti: nama, tanda tangan, tanggal terbit dan masa berlaku paspor, dan sebagainya. Bagian ini umumnya dilindungi dengan lamina (plastik pelindung/pelapis), namun ada pula yang tidak menggunakan lamina. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. ketebalan lembar halaman
b. nama, tanggal lahir dan jenis kelamin c. ketebalan lamina
Bila telah dilakukan penggantian identitas diri baik secara kimiawi maupun non kimiawi dapat segera dideteksi dengan menggunakan kaca pembesar
(48)
dan sinar UV. Perlu diperhatikan umur pemegang paspor seperti tertera dalam tanggal lahir dengan penampilan fisik orang tersebut. Lamina yang telah terkelupas dan ditempel ulang dapat dideteksi dengan sinar UV dan kaca pembesar, khusus untuk lamina 3M dapat menggunakan alat retro-reflektif. Sebagaimana diketahui halaman biodata adalah bagian yang paling banyak dilakukan perubahan dan penggantian oleh pemalsu. Hal ini karena pada bagian tersebut pemeriksaan mendapatkan porsi yang lebih dari bagian yang lain. Setiap perbedaan media cetak memerlukan peralatan tertentu karena sifat dari materi yang berbeda.
3. Foto
Penggantian foto adalah modus operandi yang banyak ditemukan dilapangan, hal ini karena caranya mudah, cepat dan murah karena tidak memerlukan peralatan yang mahal. Ada beberapa cara menerakan foto pada halaman biodata, yaitu: pasfoto dan digital foto. Penggunaan pasfoto masih banyak dijumpai dibeberapa paspor termasuk Indonesia khususnya paspor yang diterbitkan perwakilan RI diluar negeri. Pengaman yang dapat diberikan misalnya dengan memberikan stempel, emboss, grommet, guilloche, dan tanda tangan / paraf petugas berwenang. Atau dapat pula dengan menggunakan pemotongan pasfoto dengan peralatan khusus sehingga hasil pemotongan menjadi unik. Digital foto, hasilnya sangat tergantung dari kualitas kamera dan jenis printer yang digunakan, seperti: dot matrik, laser jet dan ink jet/bubble jet. Saat ini banyak negara yang menggunakan teknologi digital foto dengan menggunakan printer berwarna dengan tingkat resolusi yang tinggi sehingga hasil gambarnya halus. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
(49)
a. ketebalan pas foto
b. periksa bagian belakang lembar halaman biodata c. konsistensi dari cap basah, emboss dan guilloche 4. Lamina
Plastik lamina dapat diaplikasikan pada paspor yang lembar biodatanya berbahan baku kertas maupun plastik. Lamina produksi 3M dapat dideteksi dengan menggunakan peralatan retro-reflektif, meski demikian saat ini banyak ditemui lamina yang telah dilengkapi dengan fitur pengaman tambahan seperti: kinegram, Optical Variable Device, dan pencetakan data diri langsung di plastic lamina. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
a. ketebalan lamina
b. kerutan, lipatan dan bubble air c. konsistensi ukuran lamina 5. Lembar halaman
Karena lembar halaman berasal dari lembar kertas yang sama pada saat penjilidan dan dipotong dengan pisau yang sangat tajam, maka hasilnya akan terlihat sangat rapih dan baik. Bagian sudut paspor umumnya tidak dibuat siku melainkan melengkung, hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari halaman terlipat dan kusut. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. kualitas warna background
b. watermark, fibre, benang pengaman dan planchete c. UV reaction
d. jumlah dan nomor halaman 6. Penomoran
(50)
Setiap halaman kertas diberi nomor secara berurutan dan dalam letak atau posisi yang sejajar, banyak pula yang melengkapinya dengan menggunakan fluorence ink sebagai pengaman dalam penomoran. Pada sebagian negara masih menggunakan penomoran perforasi dengan menggunakan metode punched neil, yaitu menggunakan paku bertekanan untuk membolongi kertas sehingga akan berakibat besarnya lubang yang dihasilkan dari halaman depan sampai dengan belakang sama besar. Sebagai fitur pengaman tambahan beberapa Negara menggunakan jenis huruf tertentu yang tidak terdapat dipasaran/sulit untuk mendapatkannya. Penomoran dengan cara ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: penomoran sekaligus dan penomoran sebagian. Saat ini banyak negara telah menggunakan teknologi laser untuk penomoran paspor, sehingga hasilnya jauh lebih baik dan memiliki tingkat pengamanan lebih. Kertas dapat dilubangi dalam waktu yang cepat dan rapih, karakteristiknya adalah lubang tidak sama besar, ada bekas bakar disekeliling lubang berwarna coklat, mudah dalam membentuk jenis huruf dan model perforasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagi berikut:
a. konsistensi lubang perforasi b. kualitas lubang
7. Penjilidan atau Penjahitan
Perlu diperhatikan apakah telah terjadi penggantian halaman dengan mencabut benang jahitan sehingga akan berakibat letak dari halaman tidak sejajar. Penjahitan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: jahitan berpengaman (stictching lock) dan tidak berpengaman. Jahitan berpengaman menggunakan teknik dua kali penjahitan sehingga jahitan kedua akan mengunci jahitan pertama
(51)
agar tidak mudah untuk dilepas. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. kekencangan jahitan b. konsistensi jahitan
c. lubang jahitan bersih dan rapih
Paspor yang telah diganti halamannya dengan mencabut benang jahitan akan mengakibatkan lobang bertambah besar dan rusak, banyak terdapat bekas sayatan disekitar lubang jahitan dan terlihat kotor.
8. Sinar Ultra Violet (UV)
Lembar kertas halaman terbuat dari kertas berpengaman yang akan bereaksi terhadap sinar UV, begitu pula fitur pengaman yang ada didalamnya seperti: fibre, planchette, dan benang pengaman. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
a. kualitas kertas
b. kualitas fitur pengaman didalamnya 9. Kualitas produksi
Fitur pengaman yang ada didalam paspor harus bekerja sebagaimana mestinya dan memiliki konsistensi dalam kualitas termasuk pula kertasnya. Sebagai dokumen negara maka produksi paspor sangat diawasi dan jumlahnya terkendali dengan baik, begitu juga pengawasan pada saat pengiriman, penyimpanan dan distribusinya tidak akan mengurangi kualitas sejak dikeluarkan dari pabrik pembuatannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut:
(52)
b. ketahanan terhadap panas, air dan kelembaban c. konsistensi kualitas paspor
Untuk mengamankan dan menstandarisasikan paspor, telah direkomendasikan oleh ICAO untuk menstandarisasikan paspor-paspor dari negara-negara yang tergabung dalam ICAO dengan menggunakan paspor dalam bentuk Machine Readable Passport (MRP) yang baik formatnya, maupun cara pengisiannya secara standar, sehingga untuk mengecek paspor tersebut yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dengan menggunakan mesin pembaca (Paspport Reader), sehingga pelayanannya akan lebih cepat, dan penelitiannya akan lebih akurat; dengan demikian akan lebih mudah mendetek adanya penyimpangan atau pemalsuan paspor. Hingga saat ini sudah ada beberapa Negara yang menggunakan MRP, disamping ada pula negara-negara yang sedang mempersiapkan MRP.
B. Sumber Hukum Positif Indonesia tentang Kejahatan Pemalsuan Paspor
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.19
Sumber hukum pidana ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang terdiri dari 3 Buku. Buku I berisi mengenai aturan umum hukum
Sumber Hukum Positif Indonesia tentang kejahatan pemalsuan paspor yakni sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia dan dapat dikenakan kepada petindak terhadap kejahatan-kejahatan pemalsuan paspor atau dokumen perjalanan Negara.
19
C.S.T. Kansil, “Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia” , cet.7, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal. 46.
(53)
pidana, Buku II mengenai tindak pidana kejahatan dan Buku III mengenai tindak pidana pelanggaran.
Seperti yang diterangkan dalam Memorie van Toelichting (MvT), pembedaan dan pengelompokkan tindak pidana menjadi kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen) didasarkan pada pemikiran bahwa:20
1. Pada kenyataannya dalam masyarakat ada sejumlah perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya sudah mengandung sifat terlarang (melawan hukum), yang karenanya pada pembuatnya patut dijatuhi pidana walaupun kadang-kadang perbuatan seperti itu tidak dinyatakan dalam undang-undang. 2. Disamping itu ada perbuatan-perbuatan yang baru mempunyai sifat
terlarang dan kepada pembuatnya diancam dengan pidana setelah perbuatan itu dinyatakan dalam undang-undang.
Pemikiran yang demikian tergambar dari istilah rechdelicten untuk kejahatan sebagaimana yang dimaksudkan pertama, dan wetsdelicten untuk menyebut pelanggaran sebagaimana yang dimaksudkan kedua, yang pada kenyataannya kejahatannya berupa tindak pidana yang lebih berat daripada pelanggaran.
Teranglah bahwa bagi kejahatan pada dasarnya sifat terlarangnya atau tercelanya perbuatan itu adalah terletak ada masyarakat, sedangkan bagi pelanggaran karena dimuatnya dalam undang-undang. Kejahatan-kejahatan yang dimuat dalam Buku II, digolongkan ke dalam bentuk-bentuk tertentu, yang pada pokoknya didasarkan pada kepentingan hukum yang dilanggar/dibahayakan oleh perbuatan itu.
20
(54)
Banyak kepentingan hukum dalam masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang, yang pada pokoknya dapat dikelompokkan dalam 3 golongan besar, yakni:
1. Kepentingan hukum perorangan (individuale belangen)
2. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen) 3. Kepentingan hukum Negara (staatsbelangen)
Walaupun dapat dibedakan dalam 3 kelompok kepentingan hukum, namun ada kalanya suatu kepentingan hukum dapat dimasukkan ke dalam lebih dari satu golongan kepentingan hukum tersebut. Seperti pada kejahatan pemalsuan uang dan uang kertas. Perkosaan atau pelanggaran terhadap kepentingan umum atas kepercayaan uang dan penggunaan uang sebagai alat pembayaran yang sah, tidak saja berupa pelanggaran/ penyerangan terhadap kepentingan hukum masyarakat tetapi juga sekaligus terhadap kepentingan hukum negara.
(55)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum diyakini sebagai alat untuk memberikan kesebandingan dan kepastian dalam pergaulan hidup. Layaknya suatu alat, hukum akan dibutuhkan jika timbul kebutuhan atau keadaan yang luar biasa di dalam masyarakat. Belum dianggap sebagai tindak pidana jika suatu perbuatan tidak secara tegas tercantum di dalam peraturan hukum pidana (Kitab Uundangundang Hukum Pidana) atau ketentuan pidana lainnya.2 Prinsip tersebut hingga sekarang dijadikan pijakan demi terjaminnya kepastian hukum. Guna mencapai kepastian, hukum pidana juga diupayakan untuk mencapai kesebandingan hukum. Peran pembuat undang-undang perlu dikedepankan sebagai sarana untuk mencapai kesebandingan hukum sehingga kebutuhan akan adanya undang-undang yang mengatur tindak pidana yang berkaitan teknologi informasi dan dunia maya mendesak untuk segera direalisasikan.3
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
Selama belum ada peraturan perundang-undangan khusus mengenai kejahatan ini, maka untuk menutupi kekosongan hukum perlu diaktifkan kembali kekosongan hukum oleh hakim-hakim dalam peradilan karena pada dasarnya hakim tidak dapat menolak setiap masalah hukum yang diajukan ke persidangan.
2
Sianturi Storia, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Grafika, Jakarta, 2002, hal. 79.
3
(56)
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara huku m dan moral (etika dalam arti sempit).4
Pada ruang lingkup keimigrasian, terdapat norma-norma atau kaidah-kaidah yang senantiasa hidup dan diwujudkan didalam suatu hukum keimigrasian. Didalam sistem hukum nasional, hukum keimigrasian merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara yang terlihat dari fungsi keimigrasian yang dilaksanakannya, yaitu fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat dan bukan fungsi pembentuk undang-undang dan peradilan. Dengan demikian, keimigrasian dapat dilihat dalam perspektif hukum administrasi negara.
Gangguan penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara ”tritunggal” nilai, kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola prilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusankeputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundangundangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut sebaliknya akan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
4
Wayne LaFave. R. , “The Decision To Take a Suspect Into Custody”, Boston: Little, Brownand Company, 1964.
(1)
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas segala petunjuk Rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi ini berjudu l “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PEGAWAI IMIGRASI YANG MELAKUKAN PEMALSUAN PASPOR (STUDI KANTOR IMIGRASI MEDAN)” yang disusun guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakutas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan, namun dengan lapang hati penulis selalu menerima kritik, saran maupun masukan yang bersifat mendidik dan membangun dari berbagai pihak.
Dalam kesempatan kali ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Syafruddin Sulung Hasibuan, S.H, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi penulis;
4. Muhammad Husni, S.H, M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
(2)
5. Abul Khair S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;
6. Prof. Dr.Syaffruddin Kalo,Sh.M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan dan masukan bagi Penulis;
7. Abul Khair,Sh.M.Hum sebagai Dosen Pembimbing II Departemen Fakultas Hukum Pidana yang telah banyak membantu memberikan arahan, bimbingan, masukan dan nasehat bagi penulis;
8. Alm LH Nainggolan, S.H., sebagai Dosen Wali dari Penulis;
9. Bapak dan Ibu Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan kritik;
10.Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama masa perkuliahan;
11.Teristimewa persembahan kepada kedua orang tuaku : Alm. Dian Hendrata Ginting dan Purnama Tarigan Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, motivasi yang selalu membangun, bantuan moriil dan materi yang tak akan mungkin terbalaskan; 12.Kepada Bpk, Mamak Terminal yg sudah memberikan kasih sayang yang
begitu besar kepada saya ;
13.Kepada nenek karo yang telah membesarkan dan selalu menyayangi saya sampai saat ini;
(3)
usia kita dan mereka-mereka ini dapat menjadi pembesar-pembesar negeri ini, Amin.
15.Kepada teman-teman seperjuangan, Anggi Iskandarsyah, Tessa Yudistira, Atika Ayu Pulungan, Alwan Husni, Milki Irsyad, M.Hariadi Srg, M.Syahril Ichlas, Arridho Chaidir, Ahmad Syarief, Ilham Dodi Prawira, Alvin Hamzah Nst, Sheila Lydia, Irene Kartika Sari Siregar, Yulia Indriani, M.Ferdian, Ferry M Srg, Alki dan semua teman-teman angkatan 2006 yang tidak bisa disebutkan satu- persatu terima kasih atas doa dan dukungan kepada saya;
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, penulis berharap agar karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua. Semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu memberikan Rahmat Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.
Medan, November 2010 Penulis
(4)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAKSI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6
D. Keaslian Penulisan ... 7
E. Tinjauan Kepustakaan ... 8
F. Metode Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN TERHADAP PASPOR DAN SUMBER HUKUM POSITIF INDONESIA TENTANG KEJAHATAN PEMALSUAN PASPOR ... 15
A. Kedudukan Paspor Sebagai Surat Perjalan ... 15
B. Sumber Hukum Positif Indonesia tentang Kejahatan Pemalsuan Paspor ... 29
BAB III TINJAUAN TERHADAP KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ... 32
(5)
A. Pemalsuan Paspor oleh Pejabat Imigrasi dalam Perspektif Hukum
Pidana ... 49
B. Sanksi Organisasi terhadap Pegawai yang Melakukan Tindak Pidana Pemalsuan Paspor dan Upaya Penanggulangan Pemalsuan pasor oleh Pejabat Imigrasi ... 60
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 64
A. Kesimpulan... 64
B. Saran ... 66
(6)
ABSTRAKSI Egi Arjuna Ginting1
Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum** Abul Khair SH, M.Hum**
Maraknya fenomena kejahatan di lingkungan keimigrasian, khususnya pemalsuan dokumen pelengkap imigrasi, yakni paspor dan/atau memberi keterangan baik lisan maupun tertulis secara palsu atau dipalsukan di wilayah hukum keimigrasian membutuhkan keberadaan satuan yang khusus bertugas menyelidiki dan menyidik kasus ini. Direktorat Jendral Keimigrasian hendaknya membentuk satuan khusus untuk menangani kasus kejahatan kepabeanan yang bertanggung jawab terhadap tugas-tugas penegakan hukum berkaitan tindak pidana keimigrasian. Tindak pidana pemalsuan dokumen keimigrasian, yakni paspor, merupakan tindak pidana yang merugikan negara.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana kedudukan paspor sebagai dokumen resmi dalam lingkungan keimigrasian di Indonesia, Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, dan Bagaimana pertanggungjawaban pidana pegawai imigrasi yang melakukan pemalsuan paspor.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.
Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian Pasal 1 butir 3 disebutkan bahwa Surat Perjalanan atau paspor adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang memuat identitas pemegangnya dan berlaku untuk melakukan perjalanan antar negara. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Pelaku tindak pidana pemalsuan paspor diancam dengan ketentuan pemalsuan yang diatur dalam KUHP dan juga ketentuan pidana yang diatur Undang-Undang Keimigrasian.