BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berangkat dari pendapat Niewenhius yang mengatakan bahwa suatu

  perjanjian merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu persetujuan itu tidak lain adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan

   kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya.

  Dari pendapat itu bahwa suatu klausula di dalam perjanjian ditimbulkan oleh kehendak bebas dari para pihak yang membuatnya sehingga menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak tersebut. Apakah suatu perjanjian yang dibuat para pihak itu mengandung unsur penipuan dari salah satu pihak, maka perlu dilakukan suatu ketelitian dari pihak lain untuk memahaminya. Ada kalanya suatu perjanjian mengandung unsur penipuan di dalam klausulanya, dan adapula kalanya suatu perjanjian tidak mengandung unsur penipuan di dalam klausula, tetapi dalam praktik justru mengarah kepada delik penipuan.

  Jika suatu kewajiban dari debitor (si berutang) untuk memenuhi suatu prestasi tidak terlaksana setelah disepakati dalam suatu perjanjian dan terhalangnya prestasi

1 Niewenhius dan Polak dalam Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersil , (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 18.

  itu bukan karena suatu kondisi atau keadaan yang memaksa (force majeure)

  

  , maka debitor tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi (ingkar janji).

   Dikatakan

  wanprestasi menurut Setiawan karena tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi tetapi tidak selayaknya.

   M.

  Yahya Harahap juga mengatakan wanprestasi berarti tidak melaksanakan kewajiban tepat pada waktunya atau dilakukan tetapi tidak menurut yang selayaknya.

   Wanprestasi menurut Subekti adalah kelalaian atau kealpaan dari seseorang

  debitor yang dapat berupa empat macam, yaitu:

   1.

  Tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya; atau 2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; atau

3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau 4.

  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

  Doktrin-doktrin tentang wanprestasi tersebut di atas merupakan penjabaran dari norma yang terkandung di dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menentukan karakteristik wanprestasi disebabkan karena lalainya debitor (si berutang) untuk memenuhi prestasinya dan tenggang waktu yang telah lewat. Pasal 1243 KUH Perdata menentukan:

  Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah melampauinya. 2 Ibid., hal. 269. 3 Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari hubungan Kontraktual , (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), hal. 77. 4 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 18. 5 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 60. 6 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Bandung: Intermasa, 1979), hal. 45.

  Wanprestasi yang disebutkan di atas, merupakan ranah hukum perdata yang sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang melakukan wanprestasi dalam hal ini berdasarkan hukum pidana melainkan harus berdasarkan hukum perdata. Lalu bagaimana jika salah satu pihak di dalam perjanjian yang telah disepakati dianggap telah melakukan wanprestasi kemudian oleh pihak lain diajukan tuntutan berdasarkan hukum pidana karena dianggap telah melakukan penipuan.

  Dalam hal inilah yang menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, bahwa tidak semua wanprestasi itu murni melanggar asas-asas hukum perdata, tetapi adakalanya seseorang “tampaknya” melakukan wanprestasi tetapi sebenarnya ia bukan melakukan wanprestasi melainkan ia melakukan suatu delik penipuan di dalam perjanjian yang telah disepakatinya.

  Sesungguhnya jika membicarakan tentang wanprestasi, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum privat (perdata). Jika membicarakan tentang delik penipuan, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum pidana. Dalam praktik terdapat dua aspek hukum yaitu hukum perdata dan pidana yang menarik untuk dibahas lebih dalam ketika dikaitkan dengan masalah perjanjian.

  Konsep wanprestasi dengan konsep penipuan menurut dogmatig hukum merupakan dua aspek yang berbeda, konsep wanprestasi merupakan domain hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1328 KUH Perdata, sedangkan konsep penipuan merupakan domain hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378

   KUH Pidana. Oleh karenanya kedua aspek tersebut tidak bisa dipertukarkan. Dengan kata lain kedua aspek ini harus dibedakan dan tidak bisa disatukan sama lain.

  Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban dalam perjanjian. Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya perikatan dalam

  

  perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana memiliki rumusan sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara paling lama empat tahun. Jadi suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana penipuan, jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam rumusan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas. Suatu perjanjian yang lahir oleh adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata menentukan, “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Jika merujuk pada ketentuan ini, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus

  7 8 Yahman, Op. cit., hal. 20.

  D.Y. Witanto, “Memahami Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam

Hubungan Kontraktual”, Majalah Hukum Tahun XXVI, Varia Peradilan Nomor: 308 Juli 2011, hal.

  71. dilihat dari pada saat proses perjanjian itu dibuat, bukan pada saat terjadinya

   wanprestasi.

  Dari sisi lain merumuskan penipuan dalam perjanjian adalah sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio, bahwa suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan jika terdapat perbuatan dengan adanya akal salah satu pihak menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain

  

  tergerak memiliki kehendak untuk menutup perjanjian itu. Adanya tindakan menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian ketika dibuat perjanjian sudah memenuhi delik penipuan.

  Praktik dalam pelaksanaan perjanjian sering terjadi perbuatan wanprestasi (ingkar janji) di antara para pihak yang telah menyetujui perjanjian. Hak dan kewajiban dari salah satu pihak yang sudah disepakati bersama tidak dilaksanakan, akibatnya menimbulkan tidak terlaksananya prestasi. Dengan demikian akan muncul

   permasalahan hukum yang memerlukan penyelesaian melalui hakim pengadilan.

  Praktek dalam penegakan hukum berkenaan dengan terjadinya wanprestasi terhadap klausula di dalam perjanjian, untuk memperoleh haknya, ada pihak yang berupaya memilih jalan pintas dengan cara melaporkan perkara wanprestasi perjanjian tersebut kepada Kepolisian dengan laporan delik penipuan telah terjadi di dalam perjanjian tersebut. 9 10 Ibid.

  J. Satrio (I), Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 350. 11 Yahman, Op. cit., hal. 3. Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang (khususnya kreditor) untuk mengambil jalan pintas seperti itu dengan melaporkan debitor kepada Polisi, misalnya untuk sekedar ingin menakut-nakuti agar debitor mau melaksanakan prestasinya, ada pula motivasi ingin benar-benar memenjarakan debitor tersebut

   karena terlalu kesal dengan tindakan debitor yang selalu ingkar dari kewajibannya.

  Upaya yang ditempuh dengan cara melaporkan debitor kepada Polisi karena debitor tersebut wanprestasi dalam kondisi ini merupakan satu-satunya upaya terakhir yang berkemungkinan dapat mengembalikan hak-hak kreditor (si berpiutang) agar debitor (si berutang) tersebut melaksanakan kewajibannya. Jika kreditor kesulitan untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitor, maka upaya inilah yang dapat ditempuh dengan tuduhan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUH Pidana.

  Ternyata meskipun perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, namun dalam praktek di pengadilan bisa pula dijatuhkan hukuman pidana oleh hakim pengadilan jika ternyata di dalam perjanjian tersebut terbukti terdapat pemenuhan unsur-unsur delik penipuan yang ada relevansinya dengan fakta-fakta di lapangan. Dalam kondisi ini wanprestasi berubah menjadi delik penipuan.

  Seperti perkara perjanjian jual-beli alat-alat elektronik antara Terdakwa Kapang Jaya dan Saksi Korban Usin dalam Putusan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN.

  Mdn, majelis hakim menjatuhkan putusan dan menyatakan kepada Kapang Jaya terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 12 D.Y. Witanto, Op. cit., hal. 70.

  378 KUH Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan ini kemudian dikuatkan majelis hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, dan juga dikuatkan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 688 K/Pid/2012.

  Dalam perkara ini Kapang Jaya telah menandatangani 4 (empat) kali lembar faktur pembelian barang-barang eletronik tersebut yaitu:

  1. Kapang Jaya telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001860 pada tanggal 26 Januari 2010.

  2. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001861 pada tanggal 27 Januari 2010.

  3. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001868 pada tanggal 27 Januari 2010.

  4. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor: FJ/10/00000000001910 pada tanggal 28 Januari 2010.

  Kapang Jaya berjanji kepada Usin akan membayar seluruh barang-barang yang dibelinya dari Usin tersebut pada tanggal 28 Januari 2010 bersamaan pada saat pengiriman barang-barang di tanggal 28 Januari 2010 tersebut. Akan tetapi Kapang Jaya tidak menepati janjinya dan meminta kepada Usin untuk pengunduran waktu pembayaran hingga berulang kali.

  Selain Kapang Jaya memiliki utang kepada Usin, ternyata Kapang Jaya juga memiliki utang kepada Ho Kam Cheong sebesar sebesar Rp.37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta rupiah) karena telah melakukan order terhadap barang-barang elektronik milik Ho Kam Cheong tersebut, tetapi belum dibayar.

  Usin terus melakukan penagihan, pada tanggal 07 Februari 2010 Kapang Jaya pernah membayar dengan cara memberikan 1 (satu) lembar bilyet giro Panin Bank Nomor: B-152251 sejumlah uang Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Usin, namun bilyet giro ini ketika dikliringkan ternyata tidak bisa dicairkan di Panin Bank, kemudian dicoba dilakukan kliring di BCA Cabang Tanjung Morawa karena saldo dalam bilyet giro tidak cukup.

  Hingga sampai dilaporkannya kasus ini ke Polisi, Kapang Jaya belum pernah membayarkan uang yang telah dijanjikannya tersebut.

  Akibat perbuatan Kapang Jaya tersebut mengalami kerugian bagi Usin sebesar Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) dan Ho Kam Cheong sebesar Rp.37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta rupiah).

  Setelah semua proses hukum dijalani di semua tingkat pengadilan, majelis hakim di semua tingkat pengadilan menjatuhkan putusan terhadap Kapang Jaya terbukti melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan.

  Kemudian perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan juga diputuskan terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang dalam Putusan Nomor: 71/Pid.B/2012/PN.Spg. Terdakwa Suwarno bersama istrinya meminjam uang sejumlah Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada Tri Budi Waluyo (Saksi Korban) dengan alasan uang tersebut untuk digunakan oleh anak Terdakwa bernama Farid untuk melaksanakan (mengerjakan) Proyek Konstruksi Gorong-Gorong di Bandung karena kekurangan dana.

  Perjanjian dalam perkara ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 25 November 2010. Sejumlah uang tersebut dikirimkan dengan cara transfer antar rekening. Saksi Korban Tri Budi Waluyo mengirimkan melalui transfer kepada Terdakwa Suwarno yang kemudian Suwarno akan melakukan transfer kepada anaknya yang bernama Farid. Namun ketika dilakukan acara pemeriksaan saksi, Farid tidak bisa menunjukkan bukti transfer dari Terdakwa Suwarni (Ayah Farid) dan Farid juga tidak bisa menunjukkan adanya bukti-bukti pelaksanaan pekerjaan Proyek Kontruksi Gorong-Gorong di Bandung.

  Dari peristiwa pinjam-meminjam uang dalam perjanjian ini, Terdakwa Suwarno dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan tipu muslihat, perkataan-perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang kepadanya.

  Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg tanggal 18 September 2012, menyatakan terhadap Stevie Rondonuwu terbukti melakukan perbuatan yang diancam dalam Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378 KUH Pidana, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag van alle rechttsvervolging), tetapi di tingkat kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2200 K/Pid/2012 tanggal 26 Juni 2013, membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg tanggal 18 September 2012 tersebut dan menyatakan Stevie Rondonuwu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.

  Perbuatan Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno serta Stevie Rondonuwu dalam putusan yang berbeda sebagaimana di atas, telah memenuhi rumusan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Jika ingin menjabarkan suatu rumusan delik atau tindak pidana (strafbaar feit) ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam undang- undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu, atau juga karena

   een nalaten yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.

  Setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang (ketentuan pidana) tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.

   Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:

  Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1.

  Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) ; 2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP ;

  3. Macam-Macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahata-kejahatan pencurian , penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang 13 terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP ;

  P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 193-194. 14 Ibid.

  5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :

  1. Sifat melanggar hukum atau wedderrechlijkheid ;

  2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagaai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas “ didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

  3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Berdasarkan hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagaimana tersebut di atas, yaitu unsur-unsur bersifat objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/sipembuat , yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.

15 Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir

  oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya yaitu suatu kejadian dalam alam lahir.

  Menurut van Hamel unsur-unsur

  tindak pidana dibagi dalam dua golongan yakni pertama, mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang kedua mengenai di luar diri si pembuat.

  

  15 Adami Chazawi, Bagian ke-1, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2007), hal. 83.

  Unsur yang

  16 Moeljatno (I), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 58. 17 Ibid. pertama ini adalah sebagai unsur subjektif pelaku sedangkan unsur yang kedua ini

   adalah sebagai unsur objektif dari perbuatan si pelaku.

  Sehubungan dengan rumusan tindak pidana tersebut di atas, jika dikaitkan dengan perbuatan wanprestasi yang dianggap suatu delik penipuan, maka tidaklah mudah untuk menentukan kedua aspek ini, diperlukan suatu kecermatan untuk dapat membedakan kedua aspek ini. Walaupun kadang-kadang delik penipuan yang diadukan karena wanprestasi kepada Polisi didasarkan motivasi untuk menakut- nakuti, namun ada pula pengaduan delik penipuan benar-benar memenuhi rumusannya sebagaimana di dalam Pasal 378 KUH Pidana.

  Tiga perkara tersebut di atas (perkara atas nama Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno dan Stevie Rondonuwu) merupakan perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diancam di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Namun berbeda halnya dalam perkara berikut ini bahwa Terdakwa Sundar Hariram dilaporkan ke Polisi karena melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana (primair) dan Pasal 379 huruf a KUH Pidana (subsidair) sebagaimana dalam dakwaan jaksa penuntut umum.

  Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan dalam Putusan Nomor: 1631/Pid.B/2003/PN.Sby menjatuhkan kepada Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana, melainkan Terdakwa Sundar Hariram terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan 18 P.A.F. Lamintang, Op. cit., hal. 201. subsidair, akan tetapi menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag) sehingga Sundar Hariram tersebut dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

  Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusannya yang demikian itu berarti perbuatan Terdakwa Sundar Hariram dinilai majelis hakim sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi), tetapi tidak masuk dalam ranah hukum pidana, melainkan harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya ini dikuatkan pula oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 208 K/Pid/2013 menyatakan Terdakwa Sundar Hariram tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana.

  Pengadilan dalam perkara ini mempertimbangkan adanya hubungan dagang antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban yaitu: Saksi Korban Madan, Saksi Korban Arvinder, dan Saksi Korban Haresh Chandra. Bahwa perbuatan pembelian barang-barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram tersebut adalah merupakan perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata.

  Terdakwa Sundar Hariram dalam perkara ini tidak terbukti melakukan serangkaian tindakan penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan tipu muslihat, perkataan- perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana. Karena itu perbuatannya merupakan lingkup hukum perdata yaitu ingkar janji.

  Hubungan antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban adalah hubungan dagang jual-beli barang dan Terdakwa Sundar Hariram melakukan hubungan dagang dengan para Saksi Korban tersebut telah berjalan dengan lancar sejak tahun 2000 hingga April 2002. Oleh karena suatu saat hubungan dagang tersebut tidak berjalan dengan lancar pada pembelian barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram dan atas perbuatannya tersebut dikatakan sebagai perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata, bukan domain

   hukum pidana. Inilah pendapat dua orang hakim Mahkamah Agung.

  Dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat (disenting opinion) antara dua orang hakim agung dengan satu orang hakim agung lainnya. Satu orang hakim agung lainnya tersebut justru berpendapat berbeda terhadap perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut dikatakannya masuk dalam ranah hukum pidana. Satu orang hakim agung ini mengatakan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa Sundar Hariram tersebut tidak ada fakta yang menjelaskan ketidakmampuan Terdakwa Sundar Hariram membayar pemesanan barang tekstil dari para Saksi Korban karena adanya kondisi Terdakwa Sundar Hariram benar-benar tidak memiliki uang atau usahanya mengalami kebangkrutan dan Terdakwa Sundar Hariram pernah membayar utang-utang pembelian barang-barang dimaksud dengan memberikan bilyet giro kepada para Saksi Korban namun ternyata bilyet giro tersebut tidak bisa dicairkan dan ditolak oleh bank. Penolakan oleh bank itu karena sudah ditutup oleh 19 Ikatan Hakim Indonesia, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIX Nomor: 337 Desember 2013, hal. 174. Terdakwa Sundar Hariram sendiri, sehingga dalam hal ini Terdakwa Sundar Hariram melakukan pembayaran dengan menggunakan cek kosong, oleh sebab itu hakim agung yang satu ini mengatakan perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut masuk

   dalam ranah hukum pidana yakni delik penipuan.

  Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor: 344/Pid.B/1999/PN,Bwi tertanggal 11 Maret 2000 menyatakan terhadap Nastak Hendriono tidak terbukti melakukan semua tindak pidana yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum (dakwaan pertama Pasal 372 KUH Pidana dan dakwaan kedua

  Pasal 378 KUH Pidana). Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1811/K/Pid/2001 tanggal 16 April 2007, permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh MA (tidak diterima oleh MA).

  Selanjutnya perkara perjanjian yang diputus onslag oleh pengadilan juga terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor: 1349/Pid.B/2008/PN.Mks tanggal 12 November 2012 menyatakan terhadap Ina Malombasi terbukti melakukan perbuatan yang diancam di dalam Pasal 378 KUH Pidana (dakwaan pertama) dan Pasal 372 KUH Pidana (dakwaan kedua), tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Kemudian atas permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh MA sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1905K/Pid/2010 tanggal 27 April 2011.

  Hal yang serupa juga terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn tanggal 3 April 2014, yang memutuskan atas perbuatan 20 Ibid., hal. 174-175. yang didakwakan terhadap Billu terbukti melanggar Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tindak pidana (onslag) dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

  Dari uraian perkara-perkara tersebut di atas, sesungguhnya harus dapat dibedakan karakteristik perbuatan mana yang termasuk sebagai wanprestasi dalam ranah hukum privat (perdata) dan mana perbuatan termasuk sebagai delik penipuan dalam ranah hukum pidana. Penting pula untuk diketahui dan harus bisa dibedakan antara perbuatan wanprestasi dan perbuatan penipuan dalam kaitannya dengan perjanjian.

  Oleh sebab itu, pembedaan ini menjadi sorotan penting dan sangat menarik untuk dibuat penelitiannya, agar semua orang tahu bedanya, akibat-akibat hukumnyanya, khususnya untuk aparat penegak hukum. Maka dalam penelitian ini dipilih, “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian”, sebagai judul di dalam penelitian ini.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, sehingga dirumuskan dua permasalahan penting yang diteliti di dalam penelitian ini, yaitu : 1.

  Bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian?

  2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan?

C. Tujuan Penelitian

  Adapun yang menjadi tujuan dilakukan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian.

2. Untuk mengatahui dan menganalisis penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan.

D. Manfaat Penelitian

  Hasil dari penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:

  1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum antara perbuatan wanprestasi dalam perjanjian dan delik penipuan dalam perjanjian. Penelitian ini juga bermanfaat menjadi bahan referensi bagi para peneliti selanjutannya dalam memperkaya referensi kajian terhadap wanprestasi dan delik penipuan.

  2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi aparat penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Advokat, dan hakim pengadilan. Bagi Polisi, Jaksa dan Advokat dapat mengetahui dan memahami perbuatan mana yang termasuk wanprestasi dan mana yang masuk kategori delik penipuan. Demikian pula manfaat itu sangat berguna bagi hakim-hakim pengadilan yang berperan penting dalam mengadili gugatan wanprestsi maupun menjatuhkan pidana terkait dengan delik penipuan, sehingga mengetahui dan memahami kedua aspek ini adalah berbeda satu sama lain.

E. Keaslian Penelitian

  Untuk menghindari terjadinya plagiat terhadap karya ilmiah antara karya penelitian ini dengan karya milik orang lain, maka sebelumnya, telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan permasalahan tesis berikut ini:

  1. Tesis karya atas nama Rizaldi NIM: 097005037 berjudul “Tanggung Jawab Bank Atas Bank Garansi Dalam Hal Wanprestasinya Principal”. Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai tanggung jawab bank pemberi bank garansi sehubungan dengan terjadinya wanprestasi (ingkar janji) dari pihak ketiga atau pihak yang menerima bank garansi. Karya ini murni masih mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi, sedangkan aspek pidana sama sekali tidak dibahas dalam penelitian ini.

  2. Tesis karya atas nama Akhmad Johari Damanik, NIM: 107005061, berjudul “Tanggung Jawab Para Pihak dan Penyelesaian Sengketa dalam Hal Terjadinya Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Kontrak Kontruksi”. Fokus kajian permasalahan dalam tesis ini adalah tanggung jawab para pihak dalam hal terjadinya wanprestasi khususnya wanprestasi atas kontrak kontruksi.

  Karya ini juga murni masih mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi saja, bukan mengkaji pada aspek pidana.

  Sedangkan judul penelitian ini yang akan dibahas adalah “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian” dengan fokus permasalahan yang dibahas adalah:

  1. Bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian?

  2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan? Dari perbandingan rumusan permasalahan dan judul di atas jelas sekali penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan. Berarti penelitian ini menunjukkan keaslian. Terhadap judul dan rumusan masalah di dalam penelitian ini tidak ada memiliki kemiripan dengan judul dan permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dikatakan sebagai penelitian yang asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional

1. Kerangka Teori

  Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan dan teori tentang perbuatan pidana. Teori kesepakatan digunakan di dalam penelitian ini untuk menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.

  Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan

  

  diri. Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati

   para pihak.

  Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a

   bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared ”.

  Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun 21 Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 18. 22 Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 41-42. 23 George Whitecross Paton, Text Book of Jurisprudence, (Britain: Oxford University Press, 1951), hal. 335. atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata

   sepakat.

  Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.

  R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu

   hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”.

  Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.

  Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa 24 25 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 98.

  R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hal. 7.

  

  menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B, kecuali sesuatu hal yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir manusia.

  R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk

  

  melaksanakan sesuatu”. Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu

  

  perjanjian…”. Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi perjanjian.

  Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai

  

  karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini, menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma

   dan prinsip-prinsip hukum tersebut. 26 27 Ibid. 28 Ibid., hal. 42. 29 Subekti, Op. cit, hal. 3.

  Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 23. 30 Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117. Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya

  

  keadilan yang substansial. Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.

  Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum

  perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi

consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan.

  Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.

  Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan,

  

promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang

  pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji (promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan

   untuk menarik janjinya itu. 31 32 Suharnoko, Loc. cit.

  Ibid., hal. 13. Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

  Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan

   persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.

  Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat

   objektif.

  Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu

  

  terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang

  

  cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan. 33 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal.

  41. 34 35 Yahman, Op. cit., hal. 31. 36 Ibid., hal. 32.

  Subekti, Op. cit., hal. 17. Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau

   substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.

  Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de

   Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Perkembangan ini mencapai

  puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham

   ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).

  Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi

  37 38 Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hal. 110.

  Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9. 39 Agus Yudha Hernoko, Op. cit., hal. 108.

  (ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan

   haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.

  Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat

  

  dari tindakan wanpretasi tersebut. Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian

   menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.

  Namun kadang-kadang dalam suatu perjanjian bisa mengarah pada perbuatan pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan. Oleh sebab itu, sebagai teori yang kedua dalam penelitian ini digunakan teori tentang perbuatan melawan hukum.

  Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah 40 Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2003), hal. 59. 41 Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) yang telah disepakati dalam perjanjian. 42 Ricardo Simanjuntak, “Asas-Asas Utama Hukum Kontrak Dalam Kontrak Dagang Internasional: Sebuah (Tinjauan Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 27, No. 24, Tahun 2008, hal. 43.

  diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh

   dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.

  Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F.

  

Lamintang untuk menyebut tindak pidana. Simons merumuskan een strafbaar feit

  adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan

   kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.

  Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan

  

strafbaar feit . Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang

  dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan

   strafbaar feit .

  Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen- elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan

  43 SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUH Pidana, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hal.

  204. 44 45 P.A.F. Lamintang, Op. cit, hal. 172. 46 Simon dalam S.R. Sianturi, Op cit., hal. 205.

  Moeljatno (I), Op. cit, hal. 5. tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur

   melawan hukum yang subjektif.

  Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar- benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan

   telah dilarang oleh hukum.

  Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif

   bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.

   Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) ada dua yaitu bersifat melawan

  hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal 47 48 Moeljatno (II), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 63.

  E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 125 dan hal. 142. 49 50 Moeljatno (III), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 69.

  E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 143-144. Sifat melawan hukum tidak selalu diancam dengan pidana tetapi adapula sifat melawan hukum dalam hukum perdata yang tidak diancam

dengan pidana misalnya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum perdata dalam pembagian

harta warisan. Itu sebabnya sifat melawan hukum dibedakan, dalam hukum pidana disebut wederrechtelijkheid sedangkan di dalam hukum perdata disebut onrechtmatig daad. dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap

   ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.

  Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

  Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan, maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu,