BAB II KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM SUATU PERJANJIAN A. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat - Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian

BAB II KARAKTERISTIK YANG MEMBEDAKAN ANTARA PERBUATAN WANPRESTASI DENGAN DELIK PENIPUAN DALAM SUATU PERJANJIAN A. Perbedaan Antara Hukum Publik dan Hukum Privat Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan

  hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat

   keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).

  Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan

   kadaluarsa.

  Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau

  

  negara atau melindungi kepentingan umum. Sebagaimana dalam Kitab Undang- 67 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 9. 68 J. Satrio (II), Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1999), hal. 1.

  Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) aspek tersebut diatur dalam tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang pelanggaran.

  Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.

   Handri Raharjo membuat pemetaan untuk membedakan antara hukum publik

  dan hukum privat, dalam tabel 1 berikut:

   Tabel 1 Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat No Perbedaan Hukum Publik Hukum Privat

  1. Dilihat dari subjeknya Salah satu pihaknya adalah penguasa Kedua belah pihak adalah perorangan

  2. Dilihat dari kedudukan dari pihak Kedudukan tidak sejajar

  Kedudukan sejajar

  3. Dilihat dari sifatnya Umumnya memaksa (dwigenrecht)

  Umumnya pelengkap (aanfulenrecht)

  4. Dilihat dari akibatnya Aturannya tidak dapat disimpangi Dapat disimpangi

  5. Dilihat dari aspek perlindungan kepentingan Melindungi kepentingan umum

  Melindungi perorangan Dari tabel 1 tersebut jelas sekali tampak perbedaan antara lingkup yang diatur secara esensial di dalam hukum publik dan hukum privat. Jika dilihat dari sisi subjek hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut. 70 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (Bogor: Politeia, 1994), hal. 7- 9. Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut dengan kedua belah pihak atau para pihak.

  Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan

   dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut.

  Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan dan penjatuhan pidana dalam persidangan, serta

   melaksanakan pidana.

  Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat, yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan

   perdata.

73 E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. cit., hal. 7.

  Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuan- ketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan

   bisnis.

  Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata.

  Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan.

  Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum (algemene belangen).

  Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang

   tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain.

  Ditinjau dari sudut menegakkan atau mempertahankan hukum, maka dalam hukum perdata diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau

   dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur.

  Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lian apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam

   keluarga dan sebagainya.

  Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan 77 Handri Raharjo, Loc. Cit. kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan

   atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).

  Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lainnya. Van Dunne mengatakan yang esensial dalam hukum perdata mengatur individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, perikatan, dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang

   minimal karena dijamin dalam perundang-undangan.

  Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.

  Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir. Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik. Oleh karena itu, ciri-ciri haukum publik harus diketahui terlebih dahulu, yaitu:

   1.

  Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan.

  2. Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan.

  Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa.

  3. Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut.

  4. Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana positif.

  Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Menurut pendapat E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, dewasa ini pada umumnya hukum pidana adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum publik.

83 Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri

  dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal 344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya.

  Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan dan kelangsungan hidup warga masyarakat.

  Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without

  exeption ). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasus-

  kasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun

   yang sudah normatif di dalam undang-undang.

  Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya

   aduan dari korban.

  Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa terhadap orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang tuanya tersebut.

  Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa (dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan atau korban tindak pidana , menunjukkan

85 Ibid., hal. 241. Berbeda dengan delik biasa seperti contoh dalam delik tindak pidana

  

pencurian atau delik jabatan dan lain-lain. Dalam delik biasa petindaknya dituntut oleh petugas tanpa karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu

   untuk delik-delik pengaduan saja.

  Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh

  

  para pihak. Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend

  recht ), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht).

  Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.

  Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka

  

  perjanjian itu terancam batal demi hukum. Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam

  86 87 Ibid., hal. 25. http://asepnurrahman.files.wordpress.com/2011/09/pengantar-ilmu-hukum.pdf, diakses tanggal 19 Juli 2014, artikel yang ditulis oleh Nur Rahman, berjudul “Pengantar Ilmu Hukum”,

  perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

  Jadi pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat- syarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak. Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan- ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan- ketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan

   mengenai hal atau materi yang dimaksud.

  Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht

  

aanvullendrecht ). Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem

  tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang 89

  http://strategihukum.net/pro-kontra-eksistensi-surat-kuasa-mutlak, diakses tanggal 19 Juli menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.

B. Hukum Perjanjian menurut KUH Perdata

  Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum

  

  perdata (hukum privat). Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.

  Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.

91 Gunawan Widjaja dalam bukunya berjudul, Seri Hukum Bisnis Memahami

  

Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata , mengkaji hukum perjanjian dan hukum

perikatan dalam bab-babnya secara terpisah.

   Namun itu tidak berarti konsepnya

  harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian,

   Perjanjian dan perikatan menurut Handri Raharjo merupakan dua hal yang

  berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Handri Raharjo mengutip dari R. Subekti dan J. Satrio untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini: walaupun sedikit terdapat perbedaan.

   Tabel 2

Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan

No Perjanjian Perikatan

  1. Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan.

  Perikatan adalah isi dari perjanjian.

  2. Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.

  Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).

  3. Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak.

  Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan 91 Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata , (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 247. 92 Ibid., hal. 247 dan hal. 309.

  Hal ini bermakna bahwa hak dan (hutang karena judi) karena kewajiban dapat dipaksankan. pemenuhannya tidak dapat Pihak-pihak berjumlah lebih dari dipaksakan. Pihaknya hanya atau sama dengan dua pihak berjumlah satu sehingga ia disebut sehingga bukan pernyataan sepihak, bersegi satu dan pernyataannya dan pernyataan itu merupakan merupakan pernyataan sepihak serta perbuatan hukum. merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).

  Menurut J. Satrio, perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang.

  Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali

   (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan.

  Jadi sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada

   dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.

  Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang- undang. Selain itu Abdulkadir Muhammad menambahkan pula di samping berasal dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari

   kesusilaan.

  Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang- undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH

98 Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak

  ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan

   berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusilaan.

  Menurut Gunawan Widjaja, hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas

   cakupannya.

  Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni 97 98 Titik Triwulan Tutik, Op. cit., hal. 221.

  Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit, Beberapa Masalah Hukum Dalam

Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hypotheek Serta Hambatan-Hambatannya Dalam Praktek , (Bandung: Alumni, 1983), hal. 40. sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetaplah sama.

  Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi.

  Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan yang tentunya mudah ditemukan banyak persoalan dagang, maka perjanjian umumnya dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Agus Yudha Hernoko dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya

   sama.

  Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Menurut Subekti menyebutkan hukum kontrak memiliki

  

  pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan Agus Yudha Hernoko tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan

   pengertian antara perjanjian dan kontrak.

  Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat

   dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama.

  Sedangkan Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter Mahmud Marzuki ia menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan

   bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja.

  Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat

   dipenuhi.

  102 103 R. Subekti, Op. cit, hal. 1. 104 Ibid., hal. 13. 105 Ibid., hal. 13-14.

  Ibid. Lihat juga: Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Jurnal Yuridika , Volume 18 Nomor 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196. 106 Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak, Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis di dalam buku karangan Muhammad Syaifuddin berjudul, “Hukum Kontrak”, ia mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit

   Contract of Overeenkomst Geboren Worden ”.

  Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, bahwa istilah kontrak lebih

  

  menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai

   perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.

  Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan

  107 Agus Yudha Hernoko, Loc. cit. Lihat juga: Muhammad Syaifuddin, hukum Kontrak,

  Memahami Kontral Dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan) , (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 15. dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan

   istilah kontrak tersebut di Eropa Barat.

  Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.

  Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian. Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis.

  Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian.

  Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan.

  Namun pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Handri Raharjo memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Beliau mengatakan kelemahan itu terdapat pada beberapa hal

   sebagaimana tabel 3 berikut ini.

  

Tabel 3

Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata

No Kelemahan Seharusnya

  1. Merupakan perbuatan (hal ini Perbuatan hukum bermakna terlalu luas).

  2. Yang mengikatkan dirinya hanya Saling mengikatkan diri atau syarat satu pihak (kurang lengkap) minimal pihaknya harus dua orang sehingga bisa disebut perjanjian saja. sepihak.

  3. Tujuannya tidak jelas. Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.

  Sementara kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata menurut Taryana Soenandar,

  

  ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu: 1.

  Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja; 2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk 111 mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum; Handri Raharjo, Op. cit., hal. 41.

3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin); 4.

  Tanpa menyebutkan tujuannya.

  Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Menurut J. Satrio kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak.

  

  Oleh karena kelemahan tersebut, Handri Raharjo mencoba memberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini:

  

  Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum .

  Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya.

  Menurut Titik Triwulan Tutik, unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi

  

  yaitu: 1.

  Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak; 2. Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap; 3. Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak; 4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan; 5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan; 6. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.

  Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian sebagaimana yang disebutkan oleh Titik Triwulan Tutik tersebut di atas. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.

  Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat

   objektif.

  Suatu perjanjian maupun kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif

   yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).

  Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu

  

  terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang

  

  cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut objek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.

  Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak

   ketiga.

  Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek 117 118 Muhammad Syaifuddin, Op. cit., hal. 111.

  Ibid., hal. 32.

  

  hukum. Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain-

   lain.

  Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian)

  

  untuk memenuhi prestasi masing-masing. Itu sebabnya objek perjanjian dalam

  Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan. Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum,

   kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan.

  Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai

  

  dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya 121 122 R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 7. 123 M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 4-5.

  R. Wijono Prodjodikoro, Op. cit., hal. 223. untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja,

  

  sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi.

  Bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan, karena ada ketentuan undang- undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak

   menghendaki harus dalam bentuk tertulis.

  

C. Perbedaan Antara Perbuatan Wanprestasi Dengan Delik Penipuan Dalam

Suatu Perjanjian

1. Karakteristik Perbuatan Wanprestasi

  Ketika membicarakan tentang wanprestasi, maka sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari konsep hukum perjanjian, karena wanprestasi masuk dalam satu bahasan ketika membicarakan tentang hukum perjanjian, sehingga pihak yang tidak melaksanakan isi perjanjian lebih tepatnya disebut melakukan wanprestasi, sebagai bentuk pengingkaran terhadap isi perjanjian.

  Wanprestasi merupakan suatu istilah yang menunjuk pada suatu keadaan atau peristiwa tidak terlaksananya prestasi oleh debitor. Wanprestasi dapat berwujud dalam beberapa bentuk menurut Gunawan Widjaja seperti

  Terlambat memenuhi prestasi.

  d.

  Melaksanakan prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya.

  c.

  Melaksanakan prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya.

  b.

  Tidak melaksanakan prestasi sama sekali.

   a.

  Kemudian Muhammad Syaifuddin, juga menyebut bentuk-bentuk wanprestasi yang mirip dengan di atas, beliau menyebutkan dalam wanprestasi ada empat macam wujudnya, yaitu:

  Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

  d.

  Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya.

  c.

  b.

   a.

  Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tetapi tidak bermanfaat lagi atau tidak dapat diperbaiki.

   a.

  Bentuk-bentuk wanprestasi menurut Handri Raharjo adalah:

  

  Wanprestasi tersebut dapat terjadi karena kesengajaan debitor tidak mau melaksanakannya, maupun karena kelalaian debitor untuk tidak melaksanakannya.

  Debitor melaksanakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

  d.

  Debitor tidak melaksanakan kewajibannya pada waktunya.

  c.

  Debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya atau melaksanakan kewajibannya tetapi tidak sebagaimana mestinya.

  b.

  Debitor sama sekali tidak melaksanakan kewajibannya.

  Melaksanakan perbuatan yang dilarang di dalam perjanjian. 128 Gunawan Widjaja, Op. cit., hal. 356. 129 Ibid., hal. 357.

  Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian dapat dilihat dari kesalahan debitor disangkutkan dengan kelalaiannya melakukan prestasi dan karena keadaan

  

  memaksa. Dalam kamus hukum, wanprestasi diartikan sebagai “keadaan di mana debitor tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, tidak memenuhi janji dalam suatu

   perikatan, kealpaan, kelalaian”.

  Wanprestasi menunjukkan keadaan atau kondisi di mana debitor (si berutang) tidak melaksanakan prestasinya yang telah diwajibkan di dalam perjanjian/kontrak, yang dapat timbul karena kelalaian debitor itu sendiri dan karena adanya keadaan

  

  memaksa. Sehingga harus dipersyaratkan ada dua aspek penting dalam wanprestasi sekaligus harus dibuktikan oleh debitor yaitu pertama, disebabkan karena kesalahan (lalai), kedua disebabkan karena kondisi yang memaksa.

  Munir Fuady menggunakan istilah default, nonfulfillment, breach of contract, atau cidera janji untuk menjelaskan padanan kata dari wanprestasi. Menurutnya wanprestasi merupakan kondisi tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan dalam perjanjian, yang merupakan pembelokan dari pelaksanaan perjanjian, sehingga menimbulkan kerugian yang

   disebabkan oleh kesalahan dari salah satu atau dari kedua belah pihak. 132 133 Handri Raharjo, Op. cit., hal. 81. 134 M. Marwan dan Jimmy P., Kamus Hukum, (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hal. 643.

  P.N.H. Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2007), hal. 340. Apakah wanprestasi merupakan salah satu bentuk perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad atau perbuatan melawan hukum dalam konsep

  

wederrechtelijkheid ? Untuk itu harus pula diketahui apa yang menjadi syarat

  perbuatan melawan hukum dalam konsep onrechtmatig daad. Perbuatan melawan

  

  hukum dalam konsep onrechtmatig daad adalah: a.

  Perbuatan yang melanggar hak subjektif orang lain.

  b.

  Melanggar kewajiban hukumnya sendiri (kedua-duanya sebagaimana dirumuskan dalam undang-undanga).

  c.

  Melanggar etika pergaulan hidup (goede zeden), dan d. Melanggar kewajibannya sebagai anggota masyarakat dalam pergaulan hidup.

  J. Satrio mengatakan dengan tegas bahwa wanprestasi merupakan perbuatan melawan hukum, antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil. Wanprestasi adalah sama dengan perbuatan melawan

  

  hukum yang dilakukan oleh pihak dalam kedudukannya sebagai debitor. Sehingga dengan demikian pemaknaan ini sesungguhnya didasarkan pada perkembangan yang memperluas makna perbuatan melawan hukum dari arti sempit (dalan undang- undang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang menyangkut asas-asas).

  Sehingga dengan diperluasnya makna perbuatan melawan hukum dari arti sempit (dalan undang-undang) menjadi arti lebih luas (di luar undang-undang yang menyangkut asas-asas), berimplikasi pada terkategorinya perbuatan seseorang yang tidak saja hanya melanggar isi perjanjian tetapi juga melanggar asas kepatutan, asas 136

  J. Satrio (III), Wanprestasi Menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2012), hal. 4. Perbuatan melawan hukum tersebut di atas telah dianut dalam doktrin

maupun dalam yurisprudensi setelah peristiwa perkara Lindenbaum melawan Cohen (HR 31 Januari kehati-hatian, dan asas kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dalam kehidupan. Tepatlah kiranya terhadap perbuatan salah satu pihak dikatakan melawan hukum berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran karena ia tidak mau menyerahkan suatu barang jaminan padahal masa waktu perjanjian telah selesai dilaksanakan oleh masing-masing pihak tersebut, karena hal itu bertentangan dengan asas kepatutan dan asas kewajaran. Jika semua ketentuan dalam perjanjian sudah selesai dilaksanakan, maka tidak patut dan tidak wajar jika ada salah satu pihak yang tidak menyerahkan misalnya tidak menyerahkan suatu barang jaminan atas perjanjian tersebut.

  Demikian pula Suharnoko dalam kajian yang sama, mengatakan semula pengertian perbuatan melawan hukum diartikan secara sempit sebagaimana dalam

  Pasal 1365 KUH Perdata, namun setelah Hoge Raad dalam kasus yang terkenal yaitu Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum bukan saja hanya dalam Pasal 1365 KUH Perdata (dalam undang-undang), tetapi juga setiap perbuatan yang melanggar asas kepatutan, asas kehati-hatian, dan asas kesusilaan dalam hubungan antar sesama warga masyarakat dan terhadap benda milik orang

   lain.

  Namun jika bersandarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata, sebenarnya tidak bisa digunakan istilah perbuatan melawan hukum untuk wanprestasi karena hal demikian akan membingungkan. Memang kadang-kadang bisa ada situasi yang membingungkan, apakah perbuatan itu wanprestasi atau merupakan perbuatan melawan hukum, misalnya dalam pengakhiran perjanjian sewa-menyewa, jika si penyewa tidak mengembalikan objek sewaannya dan tetap memakainya walaupun perjanjian sewa-menyewa telah berakhir, maka apa yang seharusnya dikenakan

   kepada si penyewa itu, apakah masih tetap wanprestasi atau melawan hukum.

  Timbul pula pertanyaan-pertanyaan lainnya, bukankah sesudah masa perjanjian sewa-menyewa berakhir berarti sudah tidak ada hubungan sewa-menyewa lagi? Bukankah kalau tidak ada hubungan perjanjian (hubungan kontraktual) mestinya dasar gugatannya adalah perbuatan melawan hukum? Bukankah si penyewa tadi telah memenuhi prestasinya berdasarkan hubungan dalam perjanjian sewa- menyewa? Tidak mengosongkan rumah sewa setelah perjanjian sewa-menyewa

   berakhir menurut J. Satrio adalah wanprestasi.

  Lalu kemudian masalahnya adalah apakah orang boleh menggugat ganti rugi atas dasar wanprestasi dengan menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata? Ternyata sekalipun diterima sebagai suatu bentuk perbuatan melawan hukum, namun karena doktrin dan yurisprudensi berpendapat bahwa karena wanprestasi sudah mendapatkan pengaturannya dalam Bab I Buku III KUH Perdata dan perbuatan melawan hukum sudah mendapatkan pengaturannya dalam Bab III Buku III KUH Perdata, maka orang tidak dibenarkan untuk menuntut wanprestasi dengan mendasarkan pada ketentuan- ketentuan perbuatan melawan hukum sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal

  

Dokumen yang terkait

Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian

5 65 168

Penerapan Batas-Batas Antara Wanprestasi Dengan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Suatu Perikatan

11 108 97

BAB II PENGERTIAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGACARA A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Penjelasan Hukum Wanprestasi Yang Dilakukan Klien Dengan Tidak Membayar Honor/Tarif Pengacara

0 6 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PENERBIT DAN PEDAGANG A. Perjanjian Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Perjanjian Kerjasama Electronic Data Capture Antara Bank Dengan Pedagang (Merchant) M

0 1 36

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Tinjauan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tanaman Bibit Karet Antara Cv.Saputro Jaya Agrindo Dengan Masyarakat Petani Di Kabupaten Simalungun

0 0 44

BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan - Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.

0 0 33

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA A. Pengaturan Hukum Perjanjian - Tanggung Jawab Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Pemenuhan Hasil Produksi Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Perjanjian Antara Karyawan Dengan Ptpn Iv Perkebunan Pabatu)

0 0 28

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT SERTA ASPEK HUKUM JAMINAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian dan Perjanjian Kredit Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian - Tinjauan Yuridis Terhadap Penyelesaian Kredit Bermasalah Dalam Pinja

0 0 40

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAMAI DALAM HUKUM PERDATA A. Pengertian Perjanjian Dan Perjanjian Damai - Efektifitas Perjanjian Damai Dalam Pengadilan (Akta Van Dading) Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dan Wanprestasi Dalam Penegakan Hukum Perdata (Studi

0 0 25