Generasi Fried Chicken Lokal pdf

Generasi Fried Chicken Lokal
(Studi Tentang Globalisasi dan Lokal Ekonomi Melalui Kasus Perilaku Mahasiswa
di Kos Sayang Bunda Yogyakarta Dalam Mengkonsumsi Makanan Lokal Yang
Dipengaruhi Unsur Global ‘Siap Saji’ dari Restoran Lokal Berbasis Global)

oleh: Kenia Aninditya Pintoko
(Bachelor of Arts in Cultural Anthropology,
Gadjah Mada University)
(tulisan ini pernah diajukan sebagai syarat ujian
akhir mata kuliah kajian konsumsi dan gaya hidup
di Jurusan Antropologi Budaya
Universitas Gadjah Mada
2014)

Abstrak
Manusia merupakan makhluk homoeconomicus, dapat saya katakan demikian
karena manusia selalu melakukan tindakan ekonomi agar dapat bertahan hidup untuk
menghadapi pilihan ekonomi (konsumsi, jual-beli, untung-rugi) yang tidak terbatas ,
namun sumberdayanya terbatas. Antropologi Ekonomi sebagai sebuah sub-disiplin
ilmu antropologi sosial mencoba untuk melihat gejala-gejala ekonomi bukan hanya
pada material atau untung rugi saja , namun mencoba melihat pada orientasi nilai

atau pengetahuan yang terkandung dalam tindakan ekonomi, bukan hanya secara
mikro ataupun makro, namun juga secara kompleks. Tulisan ini mencoba melihat
bagaimana nilai dari tindakan ekonomi manusia sebagai makhluk homoeconomicus
menghadapi pilihan yang dipengaruhi oleh globalisasi dengan kemampuan
sumberdaya lokal ekonomi terhadap konsumsi makanan.
Pengantar

Globalisasi, sering sekali dibicarakan dalam berbagai macam kasus yang
berhubungan dengan modernisasi dan perkembangan yang terjadi diseluruh dunia.
Tak lepas dari modernisasi, globalisasi juga sering dibicarakan dengan pasangannya
yaitu kapitalisme. Namun sesungguhnya bagi saya, globalisasi sendiri adalah sebuah
hasil/ fenomena yang muncul akibat runtuhnya negara adikuasa atau unisoviet, yang
akhirnya menyebabkan terjadinya sebuah tatanan baru yaitu mekanisme pasar bebas,
dimana tata perekonomian seluruh dunia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas
lintas negara yang bersifat multilateral. Namun karena diserahkan kepada mekanisme
pasar bebas maka muncul sebuah pendorong utama terjadinya globalisasi adalah
karena adanya

ekspansi kapitalisme (paham kapitalisme: bertujuan untuk


penumpukan modal melalui proses penanaman modal) global yang tata perekonomian
seluruh dunia diserahkan kepada mekanisme pasar bebas lintas negara yang bersifat
satu kuasa atau control dan partnership. Menurut Noam Chomsky (dalam
Nopriadi,2007) ia menyebutkan dan menjelaskan bahwa sebenarnya globalisasi
adalah konspirasi elite barat untuk mengukuhkan tirani swasta diseluruh dunia.
Globalisasi sebagai hasil produk keruntuhan unisoviet dan perang dunia II
memunculkan dua negara adikusasa yaitu Amerika dan Russia. Dari globalisasi itu
sendiri muncul tiga macam globalisasi yaitu globalisasi itu sendiri , americanisasi, dan
mcdonaldisasi. Dalam sebuah perkembangan ekonomi globalisasi, Mcdonald dapat
menjadi sebuah bagian karena mampu membawa konsep rasionalitas, yaitu di zaman
yang semakin modern ini, dimana manusia membutuhkan efisiensi dan kecepatan
dalam setiap proses kehidupan ekonomi termasuk dalam hal makan. Sehingga dengan
kemampuannya McDonald mampu merasuki tubuh-tubuh perekonomian masyarakat
diberbagai negara termasuk Indonesia , yang akhirnya memunculkan perubahan nilai
terhadap makanan atau kuliner Indonesia.
Dalam artikel ini saya mencoba memandang melalui pendekatan simbolik
bahwa secara tidak terlihat ataupun terlihat McDonald yang merupakan produk
negara adikuasa Amerika, mencoba melakukan penjajahan kapitalisme secara halus
keberbagai negara yang ada di dunia dengan kehebatan dan kemampuan merasuki
tubuh sosial masyarakat dengan nilai bahwa apapun yang berasal dari mereka adalah

yang terbaik termasuk dalam tindakan ekonomi yang tidak dapat lepas dengan
perilaku konsumsi masyarakat lokal diberbagai daerah. Marx dalam Lee mengatakan
bahwa globalisasi memunculkan sebuah pemaknaan bahwa nilai dari tindakan
ekonomi bukan lagi sebuah simbol yang abstrak yang berguna bagi kuantifikasi
pertukaran ekonomi, namun saat ini sudah menjadi sebuah simbol yang riil (nyata)
dan konkret. Pada kasus ini saya ingin melihat bagaimana makanan fastfood menjadi
sebuah simbol yang memiliki nilai nyata dan konkret dalam kehidupan masyarakat ,
dimana bentuk nilai selalu berhubungan dengan materi yaitu dalam kasus ini
materinya adalah makanannya.
Fenomena pengalaman transformasi kebudayaan diatas bagi saya adalah
sesuatu yang empiris atau berdasarkan pengalaman-pengalaman, maka dalam
penulisan artikel ini saya menggunakan metode etnografi. Penggunaan metode
penelitian kualitatif saya pilih untuk menyusun artikel ini dengan observasi dimana
saya mengamati dan melihat sendiri secara seksama baik secara langsung dengan

pengamatan indrawi saya maupun melalui media-media yang menunjukan
tranformasi perubahan perilaku ekonomi masyarakat lokal dalam hal mengkonsusmsi
makanan yang dipengaruhi gaya global, usaha mencapai makanan global, melalui
objek penelitian saya yaitu mahasiswa UGM yang kos di Kos Sayang Bunda,
Blimbingsari, Yogyakarta, dengan alasan kebanyakan dari penghuni kos merupakan

mahasiswa kedokteran dengan penghasilan orang tua diatas Rp10.000.000,-/bulan,
untuk mencoba melihat bagaimana dari kebutuhan masyarakat lokal akan makanan
global memunculkan usaha inovasi masyarakat lokal mencapai makanan global
tersebut.

Dari Kebutuhan Pokok Menjadi Kebutuhan Sosial

Di Indonesia terutama Yogyakarta memiliki sebuah lokal ekonomi yang sangat
kuat, dimana kemampuan masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya lokal yang
sifatnya berkembang melalui kemitraan (rekan, sahabat, atau keluarga), yang dalam
lingkup kecil untuk mempengaruhi perkembangan kehidupan. Namun sebagai
masyarakat yang berkembang terutama dalam hal makanan maka terjadilah
perkembangan dimana globalisasi menghilangkan kebiasaan masyarakat yang saya
lebih sebut dengan adanya sebuah transformasi etika menjadi estetika atau nilai
tertentu. Dimana awalnya lokal ekonomi yang memunculkan kata kuliner makanan
lokal yang memiliki etika, nilai makanan dimana membawa dan menjual memiliki
interaksi langsung yang memunculkan cerita, namun munculnya makanan global
fastfood menekan rata makanan lokal menjadi dibawah dan sering dikesampingkan
oleh masyarakat karena dianggap nilai prestigenya lebih rendah dibanding dengan
fastfood. Akibat kondisi liminal tersebutlah masyarakat lokal dengan sumberdaya

yang terbatas berusaha menciptakan inovasi dengan cara memanipulasi makanan
lokal menjadi seolah seperti makanan global. Usaha yang dipilih adalah dengan
menciptakan franchise lokal dengan menu unggulan yang sama dengan McDonald
yaitu fried chicken atau ayam goreng tepung.
Masyarakat lokal memiliki pengertian sebagai sekelompok masyarakat yang
menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima
sebagai nilai-nilai yang berlaku umum. Dalam hal mengkonsumsi makanan lokal dari
segi ekonomi , masyarakat lokal dalam kasus ini adalah mahasiswa Universitas
Gadjah Mada yang tinggal di Kos Sayang Bunda, Yogyakarta, awalnya memiliki

standard makanan sesuai dengan apa yang telah ditentukan pemerintah Indonesia
yaitu empat sehat lima sempurna, kemudian karena berkembangnya jaman dan
merasuknya globalisasi serta materi dalam bentuk uang yang berlebih , nilai makanan
bukan lagi hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmani lagi, namun berubah menjadi
sebuah simbol kemampuan dengan nilai prestige. Bukti ketika seharusnya sehari-hari
cukup makan makanan yang memenuhi standard gizi, mahasiswa di Kos ini lebih
memilih untuk memakan makanan fastfood, westernfood, ataupun kuliner globalisasi,
dengan alasan bahwa dengan makan makanan tersebut terutama fastfood untuk
membuktikan bahwa perekonomian mereka mapan dan tidak ketinggalan jaman.
Walaupun demikian sebagai mahasiswa yang kebanyakan merantau (tidak

tinggal dirumah bersama orangtua), membuat mereka berpikir dua kali ketika
mengkonsusmsi McDonald, dengan alasan ekonomi, yaitu keuangan yang terbatas.
Namun usaha yang dilakukan oleh mahasiswa selain dengan alasan prestige tetapi
juga praktis kemudian mahasiswa memiliki restoran lokal berbasis franchise dengan
menu unggulan yang sama seperti McDonald yaitu friedchicken, seperti Olive
Chicken, Rocket Chicken, dan Yogya Chicken. Munculnya franchise lokal berbasis
menu global yaitu fastfood bagi saya merupakan sebuah transformasi perlakuan
modal ekonomi yang merupakan hasil pertemuan antara nilai kultural dan nilai
ekonomi yang memunculkan nilai kultural yang direproduksi (Marx dalam Lee).
Awalnya masyarakat lokal melakukan tindakan produksi dan modal terhadap
makanan dengan tuntutan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari kemudian berubah
menjadi memenuhi tuntutan pasar.

McDonald vs Olive
Dalam konsep pemikiran McDonald, ada delapan prinsip pemikiran fastfood
yang dikenal dengan 8F:
1. Family : Fast Food harus bisa disukai oleh seluruh anggota keluarga, karena
di era modern yang serba sibuk seorang Ibu tidak sempat memasak.
2. Fast


: Layanan pada restoran Fast Food harus cepat, karena melayani orang-

orang sibuk
3. Fried : Makanan yang dimasak harus garing dan kering, konsep enak
menurut orang Amerika adalah masakan yang dimasak “deep frying”
4. Filling : Makanan harus mengenyangkan, tidak hanya cepat namun juga dapat
menghilangkan rasa lapar.

5. Fresh : Bahan baku pembuatan makanan harus bahan-bahan yang segar
6. Fantasy: Konsep gerai Fast Food dianjurkan memenuhi hasrat rekreasi, karena
orang-orang pergi ke restoran Fast Food tak hanya makan tapi bisa juga untuk
rekreasi atau mencari hiburan.
7. Fordism: Mengacu pada sistem “ban berjalan” Henry Ford, untuk
penghematan makanan-makanan Fast Food jalur produksinya diolah bagian
demi bagian untuk penghematan.
8. Franchise: Bekerjasama dengan pelaku bisnis lokal untuk mengembangkan
usahanya, supaya bisa menguntungkan kedua belah pihak.

Dari delapan prinsip, pada dasarnya masyarakat lokal Indonesia terutama
Yogyakarta sangatlah berbeda dengan kebiasaan masyarakat Amerika. Dalam

sejarahnya pada tahun 1867, Charles Feltman, seorang tukang daging Jerman,
membuka tempat penjualan hot dog pertama di Coney Island di Brooklyn, New York
City, meskipun asal-usul istilah ini masih diperdebatkan. World's Columbian
Exposition (Chicago 1893) dan St. Louis World's Fair pada 1904 disebut sebagai
promosi masal pertama untuk sejumlah makanan yang siap dibawa, termasuk hot dog,
kerucut es krim dan teh es. Kemudian muncul McDonald's, rantai makanan siap saji
terbesar di dunia dan merek yang paling sering dihubungkan dengan istilah "makanan
siap saji", didirikan sebagai sebuah restoran drive-in barbecue pada 1940 oleh Richard
J. dan Maurice McDonald. Setelah menyadari bahwa keuntungan terbesar mereka
berasal dari hamburger, kedua saudara ini menutup restoran mereka selama tiga bulan
dan membukanya kembali pada 1948 sebagai sebuah stan dengan menu sederhana
berupa hamburger, kentang goreng, milkshake, kopi, dan Coca-Cola, yang dilayankan
dalam bungkusan kertas yang langsung dibuang. Hasilnya, mereka dapat
memproduksi hamburger dan kentang goreng terus-menerus, tanpa menunggu
pesanan pelanggan, dan menyajikannya dengan segera. Hamburger seharga 15 sen,
sekitar setengah harga makanan lainnya. Metode produksi singkat ini, yang
disebutnya "Sistem pelayanan kilat" (Speedee Service System) dipengaruhi oleh
inovasi jalur produksi oleh Henry Ford yang kemudian mencoba untuk memproduksi
fried chicken untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kauskasoid yang membutuhkan
banyak asupan karena bekerja keras. Dewasa ini Masyarakat Amerika umumnya

merupakan masyarakat pekerja dengan slogan time is money, maka dari itu bagi
mereka tidak akan memiliki waktu yang cukup disaat hari kerja atau sehari-hari untuk

membuat makanan yang bukan makanan siap saji, maka dari itu fastfood menjadi
bagian dari kehidupan masyarakat pekerja yang membutuhkan makanan praktis.
Namun untuk masyarakat Indonesia , di negara berkembang yang
kebanyakan pekerja santai bukan industri ataupun pekerja yang bermain dengan
waktu, terutama di Yogyakarta yang terkenal dengan alon-alon asal kelakon yang
memiliki pengertian bahwa bekerja pelan-pelanpun tidak apa-apa yang penting tetap
dikerjakan. Sehingga ketika melihat bagaimana basis fastfood muncul dan masuk
dalam budaya masyarakat Amerika , maka terlihat sangat timpang ketika muncul
sebuah nilai yang terreproduksi dimana fastfood menjadi bagian budaya dalam
masyarakat Yogyakarta atau dengan kata lain muncul sebuah transformasi ekonomi
masyarakat dari lokal menjadi global. Tetapi perlu diingat kembali bahwa hal nilai
tersebut dapat muncul karena pertemuan nilai kultural dan nilai ekonomi, dimana nilai
ekonomi dipengaruhi oleh ekonomi pasar.
Market atau pasar sebagai pemegang kuasa pada globalisasi yang merubah
konstruksi masyarakat ini bersifat kapitalis , seperti yang saya katakan diawal bentuk
kehidupan masyarakat di negara adikuasa yang memiliki slogan ‘time is money’ atau
‘money talk’ dengan bentuk modal. Pasar dan globalisasi begitu berpengaruh terhadap

konstruksi perilaku masyarakat , karena yang pertama adanya sebuah creative
destruction yang didalamnya ada sebuah proses perubahan dari global civilization
menjadi global network, yang menyebabkan nilai bergeser dan menjadi muncul
sebuah simbol global bukan lagi menjadi simbol satu hal tertentu atau masyarakat
tertentu. Yang kedua karena uang dan teknologi mengubah waktu dan segalanya.
Yang ketiga globalisasi memiliki peran sebagai sebuah harga baru dimana mengubah
culture menjadi beyond culture. Dan yang terakhir globalisasi mengubah orientasi
masyarakat bahwa lingkungan luar bukan lagi berorientasi pada wilayah pusat/ center
namun pada wilayah sekitarnya.
Dari pasar itulah dapat kita lihat bagaimana pasar yaitu McDonald
mempengaruhi franchise lokal yang bernama Olive. Olive pertama kali muncul di
Yogyakarta dengan tujuan awal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
memiliki kemampuan terbatas secara materi untuk mengikuti globalisasi yang
merasuk dalam tubuh budaya masyarakat. Sepenuhnya konsep Olive mengadopsi
sistem serta konsep branding dari McDonald. Awalnya konsep efisiensi yang
dianggap sebagai konsep yang membawa dunia kuliner lokal ke arah modernitas

diterima oleh masyarakat lokal, namun lama kelamaan restoran fastfood lokal
dijadikan alternatif sebagai gaya kuliner barat yang dianggap lebih menyatu dengan
masyarakat karena cita rasa lokal yang masih ada, seperti tepung yang digunakan

adalah tepung buatan Indonesia bukan import, serta menjadi sebuah alternative nilai
prestige. Nilai yang dicari oleh masyarakat lokal terhadap Olive adalah masalah rasa
dimana masyarakat ingin mendapat hal yang sama, kemudian sistem produksinya
yang juga disamakan seperti McDonal, dimana untuk bagian nasi ada sendiri, ayam ,
kentang, dan minuman, yang ketiga adalah atmosfer dimana masyarakat mencari
sensasi dan pengakuan ketika memakan makanan tersebut adalah orang yang mampu
secara materi, dan yang terakhir adalah standard atau tempat restoran tersebut yang
dibuat sedemikan rupa agar dapat menyerupai dengan McDonald.
Bagi Mahasiswa Kos Sayang Bunda, Olive seolah menjadi alternative yang
terbaik untuk mengkonsumsi makanan fastfood , karena bagi mereka yang pertama
fried chicken merupakan simbol bahwa mereka bisa makan enak dan memiliki materi
yang berlebih, kemudian kedua nilai ekonomi yang terkandung adalah prinsip dimana
dengan sumberdaya yang terbatas dapat memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas
yang maksudnya dengan uang jajan yang relative murah dibandingkan dengan
McDonald (Rp6.500,00 vs Rp25.500,00) , mahasiswa mampu makan enak dengan
kata lain mampu makan fried chicken, yang terakhir adalah masalah rasa dimana rasa
ayam Olive lebih seperti ayam kampung asli bukan ayam potong seperti di
McDonald, sehingga lebih mudah diterima oleh lidah masyarakat lokal.
Ada sebuah teori yaitu teori homeostatis dimana teori ini menerangkan
mengenai perilaku manusia mengkonsumsi berlebih dikarenakan dorongan dari
dalam. Baulliard menjelaskan dalam teorinya yaitu teori patologis, dimana
kebudayaan konsumen manusia global saat ini cenderung patologis. Patologis sendiri
adalah semacam penyakit individu masa kini yang merasa tidak penah puas dalam
mengkonsumsi makanan, yang begitu merasa cukup untuk membutuhkan kekosongan
atau tidak membutuhkan makanan, yang merasa begitu kurang sehingga butuh
konsumsi berlebih dan mengkonsumsi makanan secara berlebihan namun memiliki
sumberdaya terbatas (dalam hal materi). Dari teori tersebutlah dapat dilihat Olive
sebagai hasil reproduksi nilai kebudayaan dan nilai ekonomi merupakan sebuah
simbol usaha masyarakat lokal untuk mencapai dan masuk dalam pranata globalisasi
yang lebih tinggi namun karena keterbatasan sehingga yang terjadi bukan berhasil

berintegrasi namun berreproduksi melalui transformasi perubahan nilai lokal ekonomi
yang menjadi lokal ekonomi berbasis global.

Globally but Still Locally

Fenomena Olive dan McDonald melalui perilaku konsumsi dengan dasar
ekonomi yang dilakukan oleh mahasiswa Kos Sayang Bunda bahwa kegiatan
wirausaha terutama dalam hal ini tentang bagaimana globalisasi dan lokal ekonomi
bukan hanya melulu pada ekonomi, namun juga pada masalah sosial (Geertz). Dilihat
dari sejarahnya hingga kenyataannya yang ada saat ini, kegiatan yang terjadi
menunjukan pola-pola transformasi kebudayaan dalam masyarakat lokal yang belum
mencapai tahap berubah secara total menjadi global. Masyarakat lokal pada
perilakunya adalah act globally, dimana melakukan transformasi modal dari makanan
lokal berbasis kekeluargaan menjadi franchise, secara tindak konsumsi, mereka
berubah dari mengkonsumsi makanan lokal menjadi mengkonsumsi makanan global
fastfood. Pada kenyataannya seolah perilaku mereka sebenarnya dikontrol oleh
tangan-tangan yang tidak terlihat yaitu pihak kapitalis yang kemudian merubah sistem
pranata dan norma yang ada. Namun sayangnya seperti yang saya katakan diatas
bahwa masyarakat lokal juga mencari kesesuaian rasa, dimana yang muncul bukan
sebuah transformasi melainkan reproduksi nilai. Ketika masyarakat act globally,
namun mereka masih berpikir agar bagaimana menciptakan inovasi dengan rasa lokal
tetapi kualitas global dengan kata lain mereka masih think locally, dan kemudan
memproduksi dan mengkonsumsi makanan dengan selimut global namun rasa lokal
atau do locally, sehingga para pengkonsumsi fried chicken lokal ini dapat disebut
sebagai generasi fried chicken lokal yang tidak lagi mementingkan brand namun
berusaha mencari kesamaan walaupun tidak sama, hanya demi nilai dan kebutuhan
semata.
Pada akhirnya artikel ini memiliki kesimpulan melalui hasil perbandingan
yang menggunakan pendekatan simbolik dan aliran subtantif antara restoran lokal
berbasis global dengan restoran global yaitu bagaimana McDonaldisasi mampu
mengubah tatanan nilai lokal ekonomi yang tidak lagi berbasis lokal melainkan
menjadi global, dimana kemudian bagi masyarakat konsumsi perilaku ekonomi
mengkonsumsi makanan lokal berbasis global merupakan sebuah usaha dengan
keterbatasan sumberdaya namun kebutuhan kehidupan yang tidak terbatas dan juga

muncul sebuah simbol dimana fastfood memiliki status yang lebih tinggi dibandingan
dengan makanan lokal lainnya sehingga terkandung sebuah nilai prestige yang lebih
tinggi ketika memakan makanan yang berselimut global tersebut. Sehingga Olive
merupakan simbol representasi bagaimana masyarakat lokal berusaha dan diusahakan
untuk mengikuti dan menjadi global.

Daftar Pustaka

Cateora. 2007. Pemasaran Internasional 1 (ed. 13). Jakarta. Penerbit Salemba Empat
Graham, Cateora. 2007. Pemasaran Marketing. Jakarta: Penerbit Salemba Pusat
Hall, Stuart. 1992. “The West and The Rest: Discourse and Power”. In Formations of
Modernity (edited by Stuart Hall and Bram Gieben). Cambridge: Polity.
Harrison. 1995. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Singapore. Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Hudayana, Bambang, Pujo Semedi, dan Sjafri Sairin. 2002. Pengantar Antropologi
Ekonomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Khosman, Ali. 2009. Rahasia Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Jakarta. Penerbit
Buku Kompas.
Lee, Martyn J. 2006. Budaya Konsumen Terlahir Kembali. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Lechte, John. 2001. 50 filsuf kontemporer: dari strukturalisme sampai
postmodernitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Schlosser, Eric. 2004. Negeri Fast Food. Yogyakarta: INSIST
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Tarcher, Jeremy P. 2005. Fat: The Anthropology of an Obsession. United States of
America. Penguin Group.
Tortora, Gerard J. dan Bryan H. Derrickson. 2009. Principles of Anatomy and
Physiology: Twelth Edition. Asia: Wiley
Wolf, Eric. 1982. Europe: People Without History. University of California Press.