Malioboro dan Dialektika Ruang Sosial

Malioboro dan Dialektika Ruang Sosial
Galatia Puspasani Nugroho
Kelanjutan proyek intelektual Marx, materialisme sejarah dan
dialektika, diterjemahkan oleh Henri Lefebvre ke dalam gagasannya
mengenai produksi ruang. Lefebvre mengemukakan bahwa bahwa
aktivitas produksi manusia tidak hanya menciptakan produk-produk
kebudayaan seperti sistem sosial dan barang-barang konsumsi.
Ruang juga merupakan sebuah produk dari sebuah kebudayaan.
Dalam magnum opus-nya The Production of Space, Lefebvre
menjabarkan gagasannya mengenai pendekatan trikotomis dalam
melihat produksi ruang1 yang dibagi ke dalam tiga tataran, praktik
spasial (fisik-material), representasi ruang (gagasan-konsep-ide),
ruang representasi (pengalaman individu secara fisik-konseptual).
Bagi Lefebvre, cara yang dikotomis untuk melihat ruang menjadi
tidak relevan, karena faktor means of control dan means of
production
menjadi
tereduksi.
Padahal
Lefebvre
sendiri

berkeyakinan bahwa ruang sendiri memuat dominasi dan kekuatan,
selain kemampuannya untuk berproduksi2.
Pendekatan trikotomis ini penting untuk dikaji sebagai alat untuk
menjabarkan bagaimana ruang-ruang di perkotaan paska industri
berkembang menjadi tempat yang kapitalistik transaksional.
Artinya, fungsi ruang-ruang tersebut dibayangkan hanya sebagai
ruang fisik-material semata dan tentunya mereduksi relasi sosial di
dalamnya.
Deskripsi mengenai ruang perkotaan yang transaksional kapitalistik
tersebut mengacu pada kondisi masyarakat paska industri yang
lebih mengedepankan relasi kapital dibandingkan dengan relasi
kultural. Kritik Henri Lefebvre mengenai kondisi tersebut adalah
dengan mengemukakan praktik spasial sebagai bentuk aproriasi
secara fisik terhadap ruang, yang menyebabkan relasi sosial dapat
terjalin, meskipun ruang-ruang transaksional masih saja tetap
terjadi.
Walaupun begitu, ruang-ruang perkotaan yang cenderung
kapitalistik transaksional tersebut pada kenyataannya memiliki
kondisi yang beragam. Ini terkait dengan pra kondisi yang berbedabeda antara kota satu dengan yang lain. Misalnya saja geopolitik,
histografi, dan kondisi masyarakat yang mendiami. Ambil contoh

Malioboro, sebuah jalan yang cukup terkenal di Yogyakarta. Terletak
1

Henri Lefebvre beranggapan ruang (sosial) adalah produk (sosial), sehingga di dalam
gagasannya dia tidak memisahkan antara ruang dan ruang sosial. “(Social) space is a
(social) product ...” (Lefebvre,1991, 26)

2 “ ... the space thus produced also serves as a tool of thought and of action; that in
addition to being a means of production it is also a means of control, and hence of
domination, of power; yet that, as such, it escapes on part from those who would make use
of it.” (Lefebvre,1991, 26-27)

di pusat kota Yogyakarta, berdekatan dengan pusat pemerintahan
administrasi dan kultural, pusat perekonomian, dan salah satu
tempat tujuan wisata.
Sebelum beranjak lebih jauh ada baiknya untuk melihat bagaimana
secara konsep dan gagasan Malioboro terbentuk. Dalam buku Etika
Jawa, Magnis Suseno mengungkapkan bagaimana orang jawa dalam
membagi ruang hidupnya tercermin dari keseharian hidup mereka.
Masyarakat, alam, dan alam adikodrati adalah ruang-ruang hidup

yang dianggap sangat erat kaitannya sebagai kesatuan. Akibatnya,
mereka mempercayai bahwa kejadian di alam empiris berkaitan
persis dengan peristiwa-peristiwa di alam metempiris. Dengan
konstruksi pemikiran tersebut, maka sangat wajar apabila ruangruang profan dapat terbentuk di ranah publik.
Pembagian ini yang menyebabkan masyarakat Yogyakarta
memberikan makna absolut terhadap garis imajiner Keraton-Merapi.
Konsep numinus (yang dipopulerkan oleh Adolf Otto mengenai
"pengalaman yang non-rasional dan tidak terinderakan, atau
perasaan yang objek utamanya yang langsung berada di luar diri
pribadi") pada masyarakat Yogyakarta juga memiliki peran dalam
membentuk ruang profan di ranah publik ini. Sehingga peran
Keraton sebagai pusat kosmik di dalam masyarakat3 menjadi
penting sebagai penggambaran dari kekuatan maha besar di luar
sana. Ini yang akhirnya menjadikan Malioboro mempunyai peran
penting dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta baik secara
spiritual maupun sosial.
Pada konteks ini, runtutan sejarah akan gagasan dan konsep
merupakan pra kondisi yang sangat kuat dalam membentuk
Malioboro
sebagai

ruang
di
perkotaan.
Dengan
begitu
perkembangan
fisik-material
hadir
mengikuti
setelahnya.
Pendekatan dikotomis semacam itulah yang sebenarnya diyakini
oleh Lefebvre berakibat kepada hilangnya relasi sosial. Karena
secara garis besar pendekatan dikotomis semacam ini hanya
memuat rasionalisme kausalitas4.
Berangkat dari premis Henri Lefebvre mengenai bagaimana
seharusnya ruang diproduksi, tulisan ini akan mencoba untuk
melihat Malioboro melalui trikotomi ruang. Dalam perspektif
trikotomis tersebut, ruang ditempatkan sebagai hal yang bisa
memproduksi dirinya sendiri, oleh sebab itu relasi sosial didalamnya
menjadi unsur yang sangat penting. Namun begitu, sebagai salah

satu alat produksi kapitalisme, ruang-ruang di perkotaan seperti
3 Magnis Suseno, Etika Jawa, 1984, 100
4 Foucault (1967) berpendapat mengenai

relasi antar-ruang yang terjadi sepanjang
sejarah peradaban Barat telah memposisikan ruang secara dikotomis terhadap waktu.
Sedangkan dalam rasionalisme kausalitas, ruang dan waktu menjadi satu kesatuan yang
tidak bisa dipisahkan, jika ada ruang maka ada waktu, atau waktu harus meruang jika ingin
menjadi ada.

Malioboro, mempunyai kesempatan untuk beralih rupa menjadi
ruang fisik-material semata, disaat seperti itu pendekatan trikotomis
diperlukan untuk menandai relasi sosial yang ada. Lalu
bagiamanakah trikotomi ruang tersebut bekerja? apakah Malioboro
dapat dilihat dengan menggunakan cara yang trikotomis tersebut?
lalu seperti apakah Malioboro dilihat melalui trikotomi ruang?
Ruang Sosial ; Rujukan Terminologi
Henri Lefebvre mengungkapkan bahwa “space is socially produce”
sementara itu “we are spatially produced”. Menurutnya, kita
menciptakan ruang menurut cara kita bertinggal dalam kehidupan

sosial kita (lived space), yang mana dalam realitas kehidupan
tersebut kita bersinggungan dengan aspek material fisik dari ruang
yang terserap oleh indera kita (perceived space) dan aspek-aspek
non-material (mental) dari ruang yang terkonsepsi dalam benak kita
(conceived space).
Batu pijakan yang penting dari The   Production   of   Space  adalah
memberikan andil atas satu aspek yang tidak terbayangkan oleh
kaum Marxis (bahkan Marx sendiri) yaitu peran ruang dalam
kehidupan manusia dan bagaimana pertarungan perebutan wacana
di dalamnya. Relasi produksi dan akumulasi kapital yang di
bicarakan Marx tidak dapat berlangsung tanpa adanya ruang. Relasi
produksi sendiripun menciptakan ruang yang secara khusus di
peruntukan baginya. Bahkan dalam pembahasan kapitalisme lebih
lanjut, ruang dijadikan sebagai sarana dari akumulasi kapital, misal
tanah dan bangunan sebagai asset.
Relasi sosial menciptakan ruang, tapi yang lebih penting bagi
Lefebvre adalah bagaimana melihat Ruang Sosial sebagai Produksi
Sosial. Ini yang membuat Lefebvre percaya bahwa ruang sosial
memiliki logika yang panjang untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Ruang Malioboro ; Deskrispi Trikotomi Ruang

Menurut Henri Lefebvre (1991), ruang dapat dilihat dan dimaknai
melalui trikotomi ruang yang dia tawarkan, praktik spasial,
representasi ruang dan ruang representasi. Ketiganya bersifat
sejajar dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain dalam praktik
kerjanya.

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Untuk bisa mencapai produksi ruang yang sepenuhnya, maka
Malioboro harus ditempatkan di dalam trikotomi ruang. Keberadaan
praktik sosial, konstruksi wacana tentang konsep ruang dan terakhir
apakah ruang tersebut (Malioboro) bisa luruh menjadi makna (dalam
pendekatan semiotik, makna yang menjadi ikon dan akhirnya
menjadi denotasi yang baru). Hal-hal tersebut merupakan cakupan
dari praktik spasial, representasi ruang, dan ruang representasi
yang ketiganya berada pada tingkat yang sama dan tidak

berjenjang.
Pengelompokan gambar diatas (gambar 1-3) mengungkapkan
bagaimana Malioboro sebagai ruang telah berhasil ber-produksi.
Gambar 1 merupakan bentuk dari praktik spasial. Bagi Lefebvre,
praktik sosial selalu mengapropriasi ruang-ruang fisik tempat
praktik sosial berlangsung/terjadi, ini tampak pada bagaimana
ruang luar5 Malioboro tercipta melalui deretan pedagang kaki lima
yang mengaproriasi arcade. Gambar 1 dan 2 menunjukan
bagaimana posisi pedagang kaki lima mengapropriasi secara fisik
ruang di depan ruang privat toko6 maupun ruang luar primer7 (Bank
Danamon). Ruang fisik yang seharusnya digunakan untuk pejalan
kaki lambat laun menjadi ruang yang beralih sifatnya untuk
kegiatan ekonomi, pada tahap ini praktik spasial telah terjadi.
Karena pedagang kaki lima secara sadar mengambil alih fungsi
ruang fisik atau dengan kata lain memaknai ruang fisik tersebut
untuk kegiatan perdagangan mereka. Sedangkan pada gambar
kedua, pemaknaan yang berbeda terjadi pada pohon di trotoar
depan Hotel Mulia. Pohon dan trotoar yang sekiranya digunakan
untuk tempat berteduh dan bersantai oleh pengunjung mengalami
apropriasi oleh tukang ojek. Bentuk apropriasi ini dengan

menjadikan fungsi pohon dan trotoar sebagai pangkalan ojek.

5

Malioboro dapat dilihat sebagai ruang dalam pengertian memiliki kejelasan fisik.
Berdasarkan keterlingkupannya Malioboro dapat di bagi menjadi dua bagian ruang, Ruang
Dalam, ruang yang memiliki keterlingkupan tinggi, pembatasan oleh bidang dinding dan
atap cukup sempurna sedangkan Ruang Luar, adalah ruang yang memiliki keterlingkupan
rendah dan kadang tanpa atap. (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata
Persada & BappedaKota Yogyakarta)

6 Walaupun pada prinsipnya ruang privat toko ini terbuka bagi siapapun, akan tetapi
karakter orang yang mengakses menjadi lebih spesifik dan terfokus kepada jenis barang
yang diperjualbelikan (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada
& BappedaKota Yogyakarta)

7 Ruang linier Malioboro sebagai ruang primer tercipta dan dibentuk oleh artikulasi dinding
dan masa bangunan pada kedua sisi jalan yang membentang secara linier dari utara ke
selatan (Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra Tata Persada &
BappedaKota Yogyakarta)


Pada gambar 2, tanda dilarang parkir, papan nama jalan Malioboro
dan papan pemberitahuan bangunan cagar budaya merupakan
representasi ruang Malioboro. Beberapa peraturan dan tanda
tersebut merupakan hasil dari konseptualisasi ruang Malioboro yang
di abstraksi terus menerus dan kemudian diwacanakan berulangulang oleh Pemerintah Daerah beserta beberapa pihak yang
berkompeten (ahli tata ruang, arsitek, ahli sosial). Ini sejalan dengan
penuturan Lefebvre bahwa konsepsi dan wacana ruang hanya
memungkinkan dipraktikan secara verbal dan melalui representasi
bahasa dan sistem tanda. Ia mengatakan bahwa ruang ini adalah :
“… the dominant space in any society (or mode of production) …
towards a system of verbal (and therefore intellectually worked out)
signs.” (1991, 39).
Gambar dua orang wanita sedang berpose di bawah penanda Jl.
Malioboro (gambar 3) menunjukan perilaku wisatawan ketika sedang
mengunjugi sebuah tempat wisata. Sedangkan dua gambar terakhir,
yang dipotret antara pukul 06.00-07.00 pagi pada tanggal 31
Desember 2012, menunjukan antusiame yang tinggi terhadap
Malioboro baik dari segi pengunjung maupun penjual. Datang ke
Malioboro dengan pakaian seadanya, mencari sarapan atau sekedar

jalan-jalan dengan keluarga, keadaan trotoar masih lapang tanpa
adanya sepeda motor yang parkir (gbr kiri). Tingkat hunian yang
tinggi di hotel di sekitar kawasan Malioboro di kala musim liburan
membuat pagi hari disana sangat ramai baik oleh pengunjung
maupun pedagang. Contohnya pedagang cobek yang menjajakan
dagangan sedang di tawar oleh salah satu calon pembeli wanita.
Ketiga gambar terakhir merupakan bukti bahwa Malioboro sudah
luruh menjadi sebuah simbol/ikon atas kota Yogyakarta. Jika melalui
pendekatan semiotik, Malioboro sudah menjadi denotasi yang baru
yaitu luruh menjadi simbolisasi, kalau ke Yogyakarta dan belum
berkunjung ke Malioboro rasanya belum lengkap, begitu kira-kira
idiom yang sering terdengar.
Mengutip Lefebvre perihal trikotomi ruang, ini yang dimaksudkan
sebagai “The Production of Space,” yaitu praktik memroduksi ruang
yang dilakukan manusia melalui relasi produksi pada sebuah relasi
dan praktik sosial, maka Malioboro sudah, sedang, dan akan terus
memroduksi ruangnya.

Malioboro dan Ruang Sosial Diantara
Dalam menjelaskan ruang sosial perlu kembali melihat kepada
kaidahnya, bahwa ruang sosial mempunyai logika tersendiri dalam
usaha menjelaskan dirinya sendiri. Tentu saja ini terkait dengan
historisitas yang berbeda-beda pada setiap ruang. Semisal
Malioboro dengan jalan Solo, walaupun sama-sama bertda di ruas
jalan utama di Yogyakarta, dan terdiri dari deretan pertokoan, tetapi

apabila ditempatkan sesuai dengan trikotominya pasti akan
mempunyai penjelasan logika yang berbeda. Uraian-uraian
mengenai produksi ruang di Malioboro sebenarnya tidak terhenti
pada kesimpulan bahwa ruang sosial di Malioboro sebenarnya
adalah Malioboro sendiri. Merujuk kepada bahasan di The
Production of Space, Lefebvre sebenarnya sedang menawarkan dua
hal. Pertama, pada bab Social Spaces, wacana mengenai ruang
sosial yang ideal. Kerangka ruang sosial yang ditawarkan
merupakan reproduksi dari pemikiran Marx. Ini berkaitan erat
dengan keinginan Henri Lefebvre untuk menggeser fokus teori
Marxian dari cara-cara produksi ke produksi ruang. Atau dengan
kata lain, dia ingin melihat pergeseran fokus dari hal-hal dalam
ruang (misalnya, cara-cara produksi seperti pabrik) ke produksi
ruang aktual itu sendiri. Teori Marxian perlu memperluas
perhatiannya dari produksi (industri) ke produksi ruang. Ini adalah
cerminan dari fakta bahwa fokus perlu digeser dari produksi ke
reproduksi. Ruang berfungsi dengan berbagai macam cara untuk
mereproduksi sistem kapitalis, struktur kelas di dalam sistem
ekonomi, dan sebaliknya. Jadi, setiap aksi revolusioner harus
berhubungan dengan restrukturisasi ruang. Pemikiran Henri
Lefebvre ini tentu tidak lepas dari latar belakangnya yang pernah
menjadi aktifis pergerakan Situasionist.
Tawaran kedua, pada bab Openings and Conclusion, adalah
mengenai kondisi perubahan sosial yang terjadi pada era
kapitalisme. Dimana kontrol dipegang oleh negara, kapitalis, dan
borjuis. Keadaan ini memungkinkan manusia tersingkirkan oleh
moda produksi dan penyediaan yang dominan, atau bahkan
mengganggap manusia sebagai penyediaan itu sendiri. Henri
Lefebvre menganggap ruang sosial yang dipergunakan sebagai alat
kontrol dan dominasi oleh kelompok dominan spasial hanya akan
mendominasi praktik spasial sekaligus melenyapkan ruang
representasi. Namun anggapan ini tampaknya berlaku berbeda di
Malioboro. Sebagai ruang (sosial) hasil produksi (sosial), Malioboro
sudah memenuhi trikotominya. Sehingga tawaran pertama The
Production of Space atas ruang sosial yang diproduksi secara sosial
sudah sepenuhnya terjadi di Malioboro. Akan tetapi, meminjam
istilah Foucault, apabila Malioboro dipahami sebagai ruang sosial
yang benar-benar di produksi secara sosial dan lepas dari hegemoni
atau kontrol kelompok dominan spasial justru akan menjebaknya ke
dalam utopia ruang sosial. Utopia ruang sosial berarti menampilkan
ruang lain yang tidak pernah ada atau berkebalikannya. Untuk
menghindari itu, maka penting untuk melihat tawaran kedua The
Production of Space mengenai bagaimana kelompok dominan
spasial menghegemoni ruang. Bisa jadi sebenarnya Malioboro
berada pada posisi diantara kedua hal tersebut, atau justru menjadi
jalan tengah.

Dalam persekpektif kritis, tawaran kedua The Production of Space
ini memiliki logika untuk menjelaskan bagaimana ruang-ruang di
perkotaan menjadi sangat homogen. Ruang-ruang dikooptasi oleh
kepentingan kapitalis dan negara turut serta di dalamnya. Mengenai
perihal ini, Malioboro menjadi laboratorium ruang yang menarik. Di
satu sisi Malioboro sudah berhasil memproduksi ruangnya sendiri, di
sisi lain kontrol dan hegemoni Negara atas ruang masih terus
berlangsung. Artinya kedua hal tersebut bertemu di tengah,
berkelindan, dan memberikan gambaran Malioboro seperti
sekarang. Representasi ruang yang di asumsikan berada
mendominasi praktik spasial ternyata tidak sepenuhnya mendapat
kontrol atas ruang. Ini ditunjukan dengan adanya pedagang kaki
lima yang masih memadati trotoar dan arcade toko dan
mengganggu fungsi pedestrian. Artinya penataan yang dilakukan
representasi ruang atas pedagang kaki lima tersebut hanya memiliki
kontrol terbatas. Tujuan tata ruang untuk membuat pedagang kaki
lima tertata rapi dan dapat bersinergi dengan fungsi pedestrian
tidak tercapai sepenuhnya. Kondisi seperti ini bisa saja menyeret
keduanya dalam kondisi banalitas ruang. Dimana keduanya tidak
mampu menjaga jarak dengan realitas dan tenggelam begitu saja,
tidak sanggup menakar tindakaanya, dan yang paling pokok adalah
tidak mampu berdialog dengan dirinya sendiri. Jika itu terjadi,
sangat mungkin Malioboro justru tumbuh menjadi ruang sosial yang
penuh negoisasi. Negoisasi yang tidak secara alami tumbuh akibat
kesadaran akan keberlangsungan ruang dan kepentingan masingmasing kelompok, akan tetapi negoisasi yang dipaksakan karena
ketidakhadiran kesadaran atas ruang kolektif.

Gambar 4

Munculnya peraturan tentang biaya parkir menunjukan negoisasi
antara representasi ruang dan praktik spasial berhasil dilakukan.
Kehadiran peraturan biaya parkir merupakan salah satu contoh
representasi ruang yang terjadi akibat pola praktik spasial yang
dinamis. Dengan kondisi seperti ini, representasi ruang lebih
berfungsi sebagai penyeimbang dan praktik spasial berposisi
sebagai organ-organ ruang yang terus berkembang. Satu pola
produksi tertandai.
Sementara praktik spasial dan representasi ruang di Malioboro
sudah menemukan polanya, ruang representasi hadir mengisi
ruang-ruang abstrak dan sebagai simbol grafis. Ruang-ruang
abstrak merupakan hasil dari pengalaman individu atas ruang.
Selanjutnya, ruang-ruang abstrak ini, berfungsi dalam membentuk
persepsi atas ruang. Akibatnya, ruang menjadi luruh ke dalam
simbol/ikon. Ketika ruang sudah luruh ke dalam simbolisasi tertentu,
bisa jadi timbul ruang representasi baru. Ini yang terjadi pada
Malioboro. Ketika ruang representasi menjadikan Malioboro sebagai
ikon wisata Yogyakarta, muncul juga ruang representasi baru
melalui simbol-simbol grafis yang berada pada badan becak,
andong, dan lapak pedagang kaki lima.

Gambar 5

Dari ruang representasi baru ini muncul pola relasi baru. Relasi yang
muncul atas kesadaran akan ruang kolekttif. Ini bisa dijelaskan
dengan menandai karakter ruang representasi yang muncul. Apabila
sebelumnya ruang representasi berhasil membuat Malioboro luruh
ke dalam simbolisasi, maka grafis visual yang merupakan ruang
representasi baru ini merupakan kelanjutannya. Dengan merujuk
konteks Malioboro sebagai ikon wisata, maka hotel/toko
membutuhkan ruang promosi. Ruang promosi belum bisa disebut
sebagai ruang representasi, pengalaman atas ruang, apabila tidak
berhasil meruangkan pengalamannya. Di sisi lain andong dan
becak, yang merupakan alat transportasi tradisional, memposisikan
dirinya sebagai salah satu daya tarik pariwisata di Yogyakarta.
Sehingga sangatlah wajar ketika Malioboro dijadikan sebagai salah
satu tempat ‘mangkal’ andong dan becak. Karena dengan begitu,
kesempatan mereka untuk mendapatkan penumpang lebih besar.
Entah siapa yang memulainya lebih dahulu, namun pertemuan
hotel/toko dengan andong becak menciptakan ruang representasi
baru (gambar 15). Seperti yang diungkapkan Henri Lefebvre, bahwa
ruang representasi cenderung berhenti kepada tren estetik. Logo,
grafis dan simbol-simbol visual lainnya merupakan ruang
representasi yang ditujukan sebagai penanda relasi antar-ruang.
Hotel/toko yang membutuhkan ruang promosi memiliki keuntungan
dengan praktik spasial yang dilakukan andong dan becak di
Malioboro. Dengan adanya grafis visual dan logo yang menempati
badan andong/becak, ruang representasi menandai hubungan antarruang dalam bentuk yang konkret.

Kekhawatiran Lefebvre tentang dominasi representasi ruang tidak
sepenuhnya terjadi. Hegemoni yang diasumsikan sebagai kontrol
atas ruang berubah bentuk ke dalam negoisasi dan bersifat lentur
dalam relasinya dengan praktik spasial. Sedangkan ruang
representasi ternyata tidak lenyap begitu saja, akan tetapi
menempati ruang-ruang abstrak di Malioboro dan bahkan mampu
mereproduksi ruang representasi baru yang menjadi penanda relasi
antar ruang dalam bentuk yang konkret. Sederhananya Malioboro
muncul sebagai ruang sosial yang baru, ruang sosial yang berada di
antara. Itu dikarenakan Malioboro dapat merangkum dan
mentransformasikan hegemoni dan kontrol menjadi sebuah relasi
antar ruang yang setara.

Daftar Pustaka
A.P, Suryadi 2002. Malioboro : Djokja Itu Loetjoe, Hanindita, 2002.
Agger, Ben 2006. Teori Sosial Kritis, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Aunurrohman, Cholis, 2007. Malioboro, Soal Pembangunan Kawasan
Pejalan Kaki dan Dusta Proyek-Proyek Disana, Pustaka Pelajar
Yogyakarta.

Bateson, G, dan Mead, M 1942. Balinese Character : A Photographic
Analysis. New York : New York Academy of Science.
Becker, H.S 1974. Photography and Sociology, Journal.Becker, H.S
1986. Doing Things Together. Evanston : Northwestern University
Press.
Bintarto, 1977. Pengantar Geografi Kota, Spring.
Bungin, Burhan 2008,.“Penelitian Kualitatif”, Kencana, Bandung.
st
Chaplin, 1994. Sociology Visual and Representation, 1 Edition,
Routledge, London, United Kingdom.
Denzin, Norman & Lincoln, Yvonna 2009. Handbook of Qualitative
Research, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Indonesia.
Ertanto, Bambang, 1992. Ritus Untuk Menjadi Jawa, Jurusan
Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Giddens, Anthony 1993. New Rules of Sociological Method ; A
Positive Critique of Interpretative Sociologies, Stanford University
Press, California.
Harper, Douglas 1988. Visual Sociology; Expanding Sociology Vision,
Jurnal American Sociologist/Spring.
Knowles, Caroline and Harper, Douglas 2009. Hong Kong Migrant
Lives, Landscapes, and Journeys Fieldwork Encounters and
Discoveries, The University of Chicago Press, London.
Laksono, PM, 2004. Keadilan Sosial ; Upaya Mencari Makna
Kesejahteraan Bersama di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Lefebvre, Henri 1991. The Production of Space –translated by
Donald Nicholson- Smith, Oxford UK: Blackwell.
Lefebvre, Henri 2009, State, Space, World, Selected Essays,
Translated by Gerald Moore, Neil Brenner, and Stuart Elden.
University of Minnesota Press, Minneapolis.
Pour, Julius. 2009. Doorstoot Naar Djokja, Kompas Penerbit Buku.
Prasetya, Erick 2011. Jakarta Estetika Banal, Kepustakaan Populer
Gramedia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta.
Ricoeur, P 2006. Hermeneutikal Ilmu Sosial, Kreasi Wacana,
Yogyakarta.
Rietzer, Goerge & Gooodman, Douglas, 2004. Teori Sosiologi
Modern–alih bahasa oleh Alimandan- Kencana, Jakarta, Indonesia.

Soemardjan, Selo, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta, Gadjah
Mada University Press.
Tuti Artha, Arwan, 2000. Yogyakarta Tempoe Doloe, BIGRAF
Publishing. Usman, Sunyoto 2006. Malioboro, Kerjasama PT. Mitra
Tata Persada & Bappeda Kota Yogyakarta.
Weber, Max 1968. The City –translated by Don Martindale- Collier
Macmillian Publisher, London.