BAB I seminar docx (16)

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Hirschsprung’s Disease

2.1.1 Definisi dan epidemiologi
Hirschsprung’s disease atau penyakit megacolon kongenital merupakan

suatu kondisi tidak adanya segmen ganglion intrinsik parasimpatis pada
submukosa dan myenteric plexuses yang secara anatomi terletak pada bagian anus
dan membentang secara proksimal (Amiel, et al., 2001). Kondisi ini menyebabkan
obstruksi akibat penurunan fungsi relaksasi kolon (Kessmann, 2006).
Pada tahun 1691, seorang anatomist Belanda, Fredericus Ruysche,
melakukan otopsi pada anak perempuan berusia 5 tahun dimana ditemukan
megacolon dengan riwayat nyeri abdomen dan konstipasi (Georgeson, 2010). Hal

ini sebagai awal dikenalnya penyakit megacolon namun patogenesis penyakit
belum dapat dijelaskan (Wang, et al., 2009). Harald Hirschsprung, seorang dokter
anak berasal dari Denmark, merupakan orang pertama yang dapat menjelaskan

penyakit ini secara definitif melalui presentasi ilmiah dalam konfrensi asosiasi
pediatri di Berlin, Jerman pada tahun 1886 (Wang, et al., 2009; Moore, et al.,
2010). Dia memaparkan dua kasus bayi yang meninggal akibat komplikasi
obstruksi usus. Usus besar tampak dilatasi dan hipertropi namun rektum tampak
normal. Tidak ditemukannya sel ganglion intramural pada myenteric dan
Meissner’s plexuses (Auerbach’s dan Meissner’s plexuses) turun ke arah bawah

6

7

dari bagian colon yang mengalami dilatasi menjadi hal yang paling dikaitkan
sebagai penyebab penyakit megacolon kongenital (Amiel, et al., 2001).
Insiden penyakit ini sebesar 1: 5000 kelahiran hidup (Yan, et al., 2014).
Secara epidemiologi, Hirschsprung’s disease ditemukan empat kali lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan (Esayias, et al., 2013). Terdapat studi
yang menyatakan bahwa risiko lebih tinggi (12.4%-33%) terjadi pada penderita
yang memiliki saudara kandung dengan total colonic involvement.

Sekitar 25%


obstruksi intestinal pada newborn disebabkan oleh Hirschsprung’s disease
(Georgeson, 2010).
Berdasarkan batas inferior secara anatomi (internal anal sphincter ),
penderita dapat diklasifikasikan menjadi short- dan long-segment disease. Shortsegment disease merupakan lokasi terbanyak dan mempengaruhi bagian
rectosigmoid pada colon (80% dari seluruh kasus). Sedangkan long-segment
disease kasusnya lebih jarang (kurang lebih 20% kasus) dan mempengaruhi

hampir seluruh bagian colon, tetapi sangat jarang mengenai usus halus
(Kessmann, 2006; Moore, 2010).

2.1.2 Biologi molekuler
Overexpression of gene on chromosome 21 diperkirakan sebagai faktor

pencetus munculnya Hirschsprung’s disease dan dipengaruhi oleh gene mapping
to 21q22. Walaupun penyebab tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan sel

ganglion belum diketahui secara jelas, identifikasi gen yang paling berpengaruh
(disebut The REarranged during Transfection (RET) gene dan The Endothelin B


8

receptor gene (EDNRB) serta variasi gen lainnya) dapat membantu memahami

etiologi dari kondisi ini. Penelitian secara berkelanjutan mengidentifikasi
sejumlah gen yang dicurigai sebagai gen penyebab, antara lain (the EDNRB
ligand EDN 3, the glial cells line derived neurotrophic factor (GDNF) dalam

kromosom 5p12-13 dan dihubungkan dengan GFRα). Hubungan antara PHOX2B
dan SOX-10 pada kromosom 22q13 juga menunjukkan kesinergisan dengan
sistem endotelin dalam kasus aganglonic segment yang sangat panjang (Moore,
2010; Khazdouz, et al., 2015).

2.1.3 Patofisiologi
Secara normal, neural crest-derived neuroblast terlihat pada perkembangan
esofagus pada masa gestasi minggu ke-5. Sel ini akan mengalami migrasi ke arah
craniocaudal kemudian memasuki fase perkembangan usus pada usia gestasi

minggu ke-5 sampai ke-12 (Amiel, et al., 2001; Georgeson, et al., 2010).
Abnormalitas seluler dan molekuler dalam perkembangan enteric nervous system,

yaitu tidak sempurnanya migrasi neural crest cells adalah penyebab utama
Hirschsprung’s disease. Fenotif Hirschsprung disebabkan oleh besarnya
kemungkinan abnormalitas selama perkembangan enteric nervous system dan
menahan migrasi neural crest-derived cells. Semakin dini migrasi nueral crest
tertahan, maka akan semakin panjang segmen usus yang tidak memiliki sel
ganglion (aganglionosis). Faktor lain yang juga dicurigai sebagai penyebab
berkembangnya Hirschsprung’s disease antara lain berubahnya matriks

9

ekstraselular, abnormalitas faktor neutrophic, dan neural cell adhesion molecules
(Georgeson, 2010).
Beberapa penelitian terbaru yang dilakukan para ahli mendukung bahwa
faktor genetik besar kaitannya sebagai etiologi Hirschsprung’s disease, yaitu
kurang lebih 12% dari keseluruhan kasus. Walaupun banyak perkembangan yang
menunjukkan kemungkinan peran mekanisme malfungsi gen dalam patofisiologi
Hirschsprung’s disease, etiologi kompleks penyakit ini tetap berkaitan dengan
dua hal utama, genetik dan microenvironmental, dalam mempengaruhi
perkembangan klinis fenotif (Moore, 2010). Selain itu, beberapa kondisi lain yang
dicurigai berkaitan dengan penyakit ini antara lain hydrocephalus, diverticulum

kandung kemih, Meckel’s diverticulum, imperforated anal, ventricular septal
defect, agenesis ginjal, cryptorchidism, Waardenburg’s syndrome, neuroblastoma,

dan Ondine’s curse (Diaz, et al., 2015).
Terdapat empat jenis kasus Hirschsprung’s disease yang dilaporkan para
ahli, yaitu (1) total colon aganglionosis (TCA, 3-8% kasus), (2) total intestinal
Hirschsprung’s disease dimana seluruh usus besar terlibat, (3) ultra short segment
Hirschsprung’s disease dimana melibatkan rectum bagian distal, dan (4) tidak
termasuk Hirschsprung’s disease yang merupakan kondisi yang kontroversial
dimana bagian colon yang aganglionosis berada di atas segmen distal yang
normal.

10

2.1.4 Manifestasi Klinis
Sekitar 92% bayi dengan Hirschsprung’s disease lahir dari ibu dengan
riwayat antenatal yang normal dan memiliki nilai APGAR yang baik. Namun,
evaluasi klinis selama 24 jam pertama kehidupan masih merupakan bagian yang
penting untuk mengidentifikasi kelainan kongenital pada neonatus (hampir 90%
manifestasi klinis nampak pada periode setelah lahir) (Ekenze, et al., 2011).

Keterlambatan pengeluaran meconium (>24 jam) atau sedikitnya jumlah
meconeum yang keluar menjadi salah satu gejala klinis utama untuk dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut terkait dengan Hirschsprung’s disease (>80% dari
keseluruhan kasus). Gejala lainnya yang menguatkan diagnosis antara lain
obstruksi usus fungsional dan mulai usia 2 hari. Pada usia yang lebih tua (10%50% kasus), dapat juga ditemukan distensi abdomen (hampir 100% kasus),
konstipasi, diare, dan keterlambatan pertumbuhan (Moore, 2010).
Gejala lain yang perlu diperhatikan yaitu Hirschsprung’s-associated
enterocolitis (HAEC). Kasus ini terjadi kurang lebih 16%, muncul pada 2-4

minggu pertama setelah lahir dengan gejala diare berdarah, distensi abdomen, dan
muntah. HAEC penting untuk diperhatikan karena meningkatkan mortalitas
penderita Hirschsprung’s disease hingga 53% (Pirie, 2010; Yan, et al., 2014).
Pemeriksaan anorectal manometry (ARM) merupakan tes diagnostik
noninvasif

yang

digunakan

untuk


mendeteksi

refleks

pada

rectoanal

(rectosphincteric reflex). Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila
ditemukan adanya hambatan pada refleks rectoanal. Terdapat penelitian yang
menunjukkan bahwa ARM berguna untuk mengeksklusi Hirschsprung’s disease

11

(negative predictive value 100%) (Jarvi, et al., 2009). ARM termasuk dalam tes
diagnostik yang mudah dilakukan namun memerlukan penderita yang kooperatif
sehingga pemeriksaan ini lebih akurat dilakukan pada anak-anak usia diatas satu
tahun (de Lorijn, et al., 2006; Saravanan, et al., 2008). Hal ini menyebabkan
ARM lebih sering digunakan sebagai preliminary screening kasus Hirschsprung’s

disease (Ishfaq, et al., 2014).

2.1.5

Penatalaksanaan
Tanpa penegakan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, maka

kondisi penderita Hirschsprung’s disease akan berkembang kearah komplikasi
yang serius seperti enterokolitis akut atau toxic megacolon (Ekenze, et al., 2011).
Setelah Hirschsprung’s disease terdiagnosa, pembedahan merupakan terapi
definitif utama (Kessmann, 2006; Sharp, et al., 2013). Tujuan dilakukannya
pembedahan adalah mereseksi bagian abnormal usus (aganglionic) dan
menganastomis bagian usus yang normal dengan rectum tanpa mempengaruhi
kontinensia (Moore, 2010; Ekenze, et al., 2011). Sebelum dilakukan pembedahan,
penderita harus mendapatkan beberapa tindakan, antara lain pemberian cairan dan
elektrolit, antibiotik serta irigasi menggunakan salin hangat melalui rektal secara
berkala untuk mengurangi tekanan intraabdomen (dekompresi usus) dan
mencegah enterokolitis (Wang, et al., 2009; Moore, 2010).
Berbagai


teknik

pembedahan

sudah

dilakukan

untuk

mengatasi

Hirschsprung’s disease. Prosedur Swenson adalah teknik pembedahan pertama
yang diperkenalkan Swenson dan Bill (1948), yaitu dengan merese

12

ksi bagian usus aganglionic dan anastomosis. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain trauma pada saraf pelvis dan pembuluh darah akibat diseksi perirektal.
Kemudian Rehbein memperkenalkan teknik dengan prinsip mereseksi aganglonic

colon sampai di atas rektum (± 2 cm dari peritoneal reflection) diikuti tindakan

dilatasi adekuat pada sisa rektum dan anal kanal. Namun, pada studi menunjukkan
bahwa konstipasi paska-operasi lebih banyak terjadi dan dianggap kurang radikal
digunakan sebagai terapi definitif (Wilkinson, et al., 2015).
Pada tahun 1960, Duhamel memperkenalkan teknik pembedahan yang
berbeda, yaitu dengan prinsip bypass partially rectum dan end to end anastomosis
menggunakan anal approach. Dibandingkan dengan teknik sebelumnya, teknik
ini relatif tidak menimbulkan komplikasi pada persarafan sekitar anus. Soave pada
tahun 1964 menyempurnakan prosedur

Duhamel dengan

menggunakan

transabdominal approach. Prinsip prosedur Soave adalah mencegah diseksi luar

pada rektum dan mempertahankan normal muscular cuff untuk menjaga inervasi
di sekitar anal sphincter (Wang, et al., 2009).
Total transanal endorectal pull-through (TTEP) diperkenalkan pertama kali


oleh De La Torre dan Ortega pada tahun 1998 dengan prinsip prosedur complete
dissection dan mobisasi aganglionic colon secara keseluruhan serta anastomosis

kolon normal ke anus melalui muscular tube. Teknik ini paling banyak digunakan
oleh para ahli bedah karena komplikasi konstipasi dan inkontinensia yang
minimal (Wang, et al., 2009; Kamal, 2010).

13

Gambar 2.1.
Total transanal endorectal pull-through (Kamal, 2010)

Minimally invasive surgery (MIS) saat ini menjadi teknik pembedahan

pilihan pada banyak kasus thoraks, abdomen, dan cervical. Georgeson adalah ahli
bedah pertama yang melakukan pendekatan ini pertama kali sebagai terapi pada
neonatus penderita Hirschsprung’s disease, dimana dilakukan reseksi pada coloanal dan dikeluarkan menggunakan laparoskopi tanpa melakukan colostomy
secara cepat dan hati-hati sehingga meminimalisasi komplikasi metode laparotomi
(Jona, 2005; Thomson, et al., 2015).

Gambar 2.2.
Teknik operasi conventional laparoscopic pull-through
(Aubdoollah, et al., 2015)

14

2.2

Histopatologi Hirschsprung’s disease
Metode suction biopsy pertama kali dilakukan oleh Helen Noblett dengan

mengambil

spesimen

pada

lapisan

submukosa

dan

mukosa

dengan

meminimalisasi ketidaknyamanan dan tanpa anestesi (Moore, 2010). Gambaran
histologi klasik pada H irschsprung’s disease adalah hyperthropic nerve trunk
(proliferasi saraf tepi) serta tidak ditemukannya sel ganglion dalam intramuscular
myenteric (Auerbach’s) plexus dan submucosal Meissner’s plexus (Moore, 2010;
Esayias, et al., 2013).
Spesimen biopsi diambil pada 2-4 cm (3-5 cm pada usia yang lebih tua) dari
dentate line. Kegagalan pengambilan spesimen rectal suction biopsy yang adekuat

sebagai dasar diagnostik menyebabkan diperlukannya tindakan full thickness
biopsy (Saravanan, et al., 2008).

Gambar 2.3.
Gambaran makroskopis aganglionic colon melalui pull-through procedure
(Abbas, et al., 2013)

Full thickness biopsy (FTB) merupakan pemeriksaan baku emas untuk

penegakan diagnosis Hirschsprung’s disease (Pratap, et al., 2007). Spesimen
biopsi diambil pada mukosa rektum dan otot dibawahnya dengan lokasi 2 cm

15

diatas dental line pada bagian posterior (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al.,
2007). Kemudian, dengan menggunakan frozen-sectioned, spesimen biopsi
tersebut diiris setebal ± 15 µm (Kapur, et al., 2009).
Pada spesimen suction biopsy tersebut dilakukan teknik pewarnaan
acetylcholinesterase (AChE) untuk mengevaluasi peningkatan aktivitas saraf
parasimpatis pada area yang tertentu yang terpengaruh maupun neurofibril
diantara lamina propria dan mukosa muskularis. Interpretasi pewarnaan AChE
dipengaruhi oleh pola yang berbeda pada kenampakan AChE. Hal ini sering
terjadi terutama pada neonatus. Pada pewarnaan tipe A, AChE akan tampak
positif pada serabut saraf sepanjang lamina propria. Sedangkan, pada pewarnaan
tipe B, pola AChE yang positif tampak di mukosa muskularis dan dekat lamina
propia dalam beberapa minggu (Kapur, et al., 2009).

Gambar 2.4.
Neurofibril pada lapisan lamina propria penderita Hirschsprung’s disease
(pewarnaan acetylcholinesterase) (Moore, 2010)

Pewarnaan menggunakan hematoxylin dan eosin (H&E) juga digunakan
sebagai metode pilihan selain pewarnaan AChE dalam penegakkan diagnosis
karena jenis pewarnaan ini lebih mudah didapat. Namun kelemahan pewarnaan

16

H&E adalah lebih sulit mengidentifikasi sel ganglion immatur dari sel plasma dan
limfosit (Memarzadeh, et al., 2009).

Gambar 2.5.
Gambaran mikroskopis menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E)
kasus Hirschsprung’s disease (Abbas, et al., 2013)
Hirschsprung’s disease dikatakan positif apabila pada hasil biopsi
ditemukan peningkatan aktivitas acetylcholinesterase (AChE) pada serabut saraf
cholinergic dari aganglionic segments (sensitivitas 93%, spesifisitas 98%)
ditambah dengan tidak ditemukannya sel ganglion pada pewarnaan (sensitivitas
96%, spesifisitas 98%) (de Lorijn, et al., 2006; Pratap, et al., 2007). Komplikasi
yang harus diwaspadai dalam prosedur ini antara lain perdarahan rektal, perforasi,
atau sepsis (de Lorijn, et al., 2006).

2.3

Barium Enema

2.3.1 Prinsip
Pemeriksaan barium enema merupakan pemeriksaan radiografi kolon
dengan menggunakan bahan kontras barium sulfat (BaSO4) yang menyerupai

17

colon in loop (CIL) tetapi terdapat beberapa perbedaan pada persiapan dan

prosedur. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran anatomis
kolon dan membedakan kelainan-kelainan obstruksi letak rendah saluran cerna
terutama pada bayi yang baru lahir (Karami, et al., 2008). Selain itu, barium pada
usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas lain pada saluran gastrointestinal,
seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, dan hernia (Reid, et al.,
2000; Smith, 2001)

2.3.2 Indikasi dan kontraindikasi
Beberapa kecurigaan penyakit yang mengindikasikan barium enema sebagai
pemeriksaan penunjang diagnostik antara lain:
- Ileus obstruksi letak rendah pada bayi baru lahir
- Hirschsprung’s disease
- Meconium plug syndrome atau functional immaturity of the colon
- Atresia kolon
- Meconium ileus
- Atresia ileum
Namun, terdapat kondisi tertentu yang menjadi kontraindikasi dilakukannya
barium

enema sebagai

pemeriksaan. Salah

satu

kontraindikasi

mutlak

pemeriksaan barium enema adalah alergi terhadap kontras (Soetikno, 2014).

18

2.3.3 Persiapan
Neonatus sampai bayi berusia dua tahun tidak memerlukan persiapan
khusus. Bayi berusia dua tahun sampai anak berusia 10 tahun makan makanan
rendah residu pada malam sebelum pemeriksaan dan satu tablet bisacodyl atau
laksatif lain sebelum tidur malam. Enema pencahar juga dapat diberikan pada pagi
hari sebelum pemeriksaan. Anak berusia 10 tahun sampai dewasa memiliki
persiapan yang sama dengan anak berusia 2-10 tahun, namun tablet bisacodyl
yang diminum adalah sebanyak dua tablet.
Zat kontras yang digunakan adalah zat kontras barium. Persiapkan juga
kateter (biasanya menggunakan folley catheter) atau feeding tube ukuran 8F untuk
memasukkan kontras (Soetikno, 2014).

2.3.4 Prosedur
Berikut ini adalah prosedur dilakukannya pemeriksaan barium enema
(Soetikno, 2014).
1. Sebelum zat kontras dimasukkan, terlebih dahulu dibuat foto polos perut.
2. Gunakan perisai gonad pada pasien.
3. Ujung kateter dimasukkan hanya sedikit ke dalam rektum dengan balon
yang tidak dikembungkan (balon dapat mengganggu penilaian dan bahkan
dapat mebuat perforasi bagian rektum yang aganglionic).
4. Kontras kemudian dimasukkan.
5. Terdapat dua metode memasukkan kontras, yaitu melalui spuit atau
dengan gravitasi (selang infus). Pada metode memasukkan kontras dengan

19

spuit harus berhati-hati agar tidak memberikan tekanan terlalu besar yang
dapat menyebabkan perforasi.
6. Foto lateral kiri diambil pada saat awal pengisian dan foto anteroposterior
(AP) atau posteroanterior (PA) diambil setelah kontras mengisi seluruh
kolon. Foto posisi lain dapat diambil jika terdapat super posisi bagianbagian kolon.
7. Refluks kontras ke ileum harus diusahakan agar kelainan di ileum dapat
terlihat juga.
8. Foto retensi barium dilakukan 24-48 jam setelah foto pertama, dengan
gambaran khas pada Hirschsprung’s disease adalah barium yang membaur
dengan feses kearah proksimal kolon.

2.3.5 Interpretasi
Hal yang dinilai pada hasil pemeriksaan barium enema adalah pasase
kontras, bentuk, dan posisi serta mukosa dan adanya filling defect atau bayangan
tambahan (filling affect). Rasio rektosigmoid juga dinilai, dimana rasio ini
merupakan perbandingan antara diameter rektum terbesar (dibawah segmen 3
sacrum) dan diameter kolon sigmoid.pengukuran ini dapat dilakukan pada foto
posisi AP/PA maupun lateral. Tanda-tanda adanya microcolon juga harus
diperhatikan (Soetikno, 2014).

20

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang paling ditakutkan terjadi dalam proses pemeriksaan
barium enema adalah adanya perforasi pada saluran cerna akibat penggunaan
instumen yang kurang tepat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya kebocoran
kontras bahkan hingga menimbukan peritonitis pada penderita (Soetikno, 2014).

2.3.7 Barium enema pada Hirschsprung’s disease
Pada kasus keterlambatan pengeluaran mekonium 24 jam pertama
kehidupan, foto polos abdomen (BOF) diperlukan dalam mendiagnosis
Hirschsprung’s disease pada neonatus, terutama pada kasus dengan total colonic
aganglionosis (kondisi distensi berat) (Huang, et al., 2011). Pada foto polos akan

tampak tanda obstruksi intestinal bawah dan distensi bowel loops, fluid level
(posisi berdiri saat pengambilan foto), rektum menyempit (pada posisi lateral
view) (Hayakawa, et al., 2003). Namun, pemeriksaan ini tidak berguna dilakukan

pada anak usia lebih tua dengan gejala konstipasi. Rendahnya spesifisitas (52%),
ketersediaan pemeriksaan lain yang memiliki nilai diagnostik lebih tinggi, dan
kurang membantu dalam perencanaan prosedur pembedahan menyebabkan
pemeriksaan foto polos abdomen tidak dijadikan sebagai pilihan pemeriksaan
untuk menegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease (Hayakawa, et al., 2003;
Huang, et al., 2011).

21

Gambar 2.6.
Foto polos abdomen posisi anteroposterior (AP) tampak distensi pada colon
sigmoid (Alaish, et al., 2013)

Barium pada usus digunakan untuk mendeteksi abnormalitas pada saluran
gastrointestinal, seperti tumor, ulkus dan kondisi inflamasi lainnya, polip, hernia,
dan obstruksi (striktur) (Smith, 2001; Diamond, et al., 2007). Pada kasus
Hirschsprung’s disease, barium enema merupakan salah satu modalitas diagnosis
awal yang terjangkau, invasif minimal, dan dapat meminimalisasi komplikasi
sejak dini (Esayias, et al., 2013). Metode yang digunakan yaitu dilute barium
sulfate dimasukkan melalui rektal menggunakan infant feeding tube nomor enam

tanpa menggunakan balon kateter (Pratap, et al., 2007). Kriteria radiologi positif
pada Hirschsprung’s disease adalah tampak gambaran kontraksi irreguler dan
spasme (sensitivitas 65%-80%, spesifisitas 66%-100%) (Huang, et al., 2011).
Selain itu, gambaran transitional zone juga mengarahkan diagnosis pada
Hirschsprung’s disease (sensitivitas 75%, spesifisitas 81%) (de Lorijn, et al.,
2006; Wong, et al., 2014). Gambaran lain yang membantu mengarahkan

22

diagnosis, antara lain indeks rektosigmoid (lebar maksimal rektum berbanding
lebar maksimal sigmoid; dikatakan abnormal jika < 1) dan tampak mukosa yang
irreguler (Wong, et al., 2014).

Gambar 2.7.
Pemeriksaan barium enema pada dua infant dengan gambaran Hirschsprung’s
disease. Aganglionic rectum (tanda panah) tampak kecil. Bagian proksimal adalah
ganglionic colon tampak dilatasi. Terlihat jelas zona transisional diantara
ganglionic colon dan aganglionic colon (Georgeson, K. E., 2010)