Fetishisme dan desain sebagai bagian dar

FETISHISME KOMODITAS DAN DESAIN DALAM
PERSPEKTIF BUDAYA POPULER
(Objek kajian: Deus ex machine custom bike)

Makalah sebagai UAS
Mata Kuliah Desain dan Kebudayaan

Oleh
FREDDY CHRISSWANTRA 27114028

PROGRAM STUDI MAGISTER DESAIN
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2014

I. PENDAHULUAN
Sudah menjadi kodrat manusia untuk memiliki rasa dan cinta dalam
mengagumi Tuhan dan ciptaan-Nya. Selain itu, manusia juga memiliki
kekaguman atas sesuatu dikarenakan keindahan, kemampuan dan
kekuatan pesona dari suatu objek. Sehingga tidak mengherankan jika
manusia memuja dan mengidolakan serta menginginkan objek tersebut

menjadi miliknya dan merepresentasikan dirinya menjadi apa yang
manusia inginkan dihadapan sesama manusia yang lain. Perilaku inilah
yang disebut sebagai fetishism. Untuk menjadi idola bagi penggemarnya,
sebuah objek harus mampu “menghipnotis” dan membuai calon-calon
penggemarnya dengan suatu penawaran. Penawaran tersebut dapat
dikategorikan sebagai “performa” dari objek tersebut, apakah bentuknya,
materialnya,

atau

kegunaannya

hingga

pada

kebanggaan

dari


penggunanya. Pada titik inilah desain memegang peranan yang sangat
krusial. Desain menjadi sebuah alat atau media yang dianggap mampu
memberikan nilai tambah pada suatu objek hingga memiliki persona yang
dikehendaki pada objek itu.
Oleh sebab itu pemujaan pada objek tidak akan bisa lepas dari peranan
desain. Desain pada tahap ini membantu perwujudan dari suatu objek
menjadi lebih didambakan dan sesuai dengan keinginan dari calon
penggunanya. Desain mampu menggugah hati dengan tampil dalam
wujud objek yang disukai oleh umum sehingga kesan objek tersebut dapat
tampil sebagai pujaan atau dambaan. Dampak dari pemujaan terhadap
sebuah objek hadir melalui kesepakatan bersama dari para dan calon
pemujanya. Kesepakatan ini hadir menjadi sebuah penyeragaman baik
dari segi ideologi maupun estetik melalui sebuah komoditi (objek) yang
dapat berujung pada pembentukan budaya populer. Sebagai suatu kajian,
budaya

populer

merupakan


konsep

yang

masih

diperdebatkan.

Didefinisikan menurut berbagai kajian dan sudut pandang, serta seringkali
tumpang tindih dengan apa yang disebut sebagai budaya massa (disukai
oleh umum).

II. PEMBAHASAN
2.1 FETHISISME KOMODITAS
Pernahkah membayangkan dan mengingat kembali pada sesuatu atau
seseorang yang membuat kita berpikir “ saya ingin menjadi sosok
seperti itu atau andai saja saya memiliki itu maka saya bisa….”?
Mungkin setiap orang pernah mengalami pada kondisi itu. Bayanganbayangan kesan tersebut muncul dihadapan kita melalui berbagai
media. Imej-imej tersebut kerap kali “meracuni” pemikiran-pemikiran
setiap individu dengan tujuan mengajak untuk membeli atau

menggunakan komoditas tersebut. Pada akhirnya timbulnya sebuah
kesepakatan umum yang menyatakan bahwa objek tersebut adalah
simbolisasi dari sesuatu yang didambakan seperti kegagahan,
kecantikan, keseksian atau apapun yang kita inginkan. Penjelasan di
atas merupakan salah satu contoh dari terjadinya fetishisme
komoditas.
2.2 TEORI FETISHISME KOMODITAS
Menurut Strinati dalam Jones (2010) yang dimaksud dengan
fetishisme komoditas adalah segala sesuatu yang dimulai ketika kita
meminjam kekuatan atau pengaruh tertentu dari suatu objek yang kita
pakai atau beli dan jika pada proses peminjaman kekuatan dari objek
yang kita konsumsi tersebut terjadi, maka detik itu pula hal tersebut
telah menjadikan subyek pelaku sebagai konsumen. Sebagai contoh
ketika kita membeli sepasang sepatu sepak bola mahal dengan merek
tertentu yang dipakai oleh seorang atlet sepak bola dunia (melalui
iklan) dan berpikir atau membayangkan bahwa kita dapat bermain
layaknya bintang sepak bola tersebut saat bermain sepak bola.
Fenomena tersebut telah membuktikan terjadi pergantian nilai antara
nilai guna dengan nilai tukar. Kita lebih menikmati dan memuja pada
nilai-nilai sugesti yang kita anggap hadir dari sepasang sepatu

daripada nilai guna sesungguhnya seperti, kenyamanan, material yang
digunakan, atau tehnik produksi yang diterapkan.

2.3 DESAIN
Definisi desain menurut Jervis (1984) dalam Sachari dan Sunarya
(2002), secara etimologis kata desain berasal dari kata designo (Itali)
yang berarti gambar. Sedangkan dalam dunia seni rupa di Indonesia,
kata desain kerapkali dipadankan dengan: rekabentuk, rekarupa,
tatarupa, rancangan, mode, fashion dan pelbagai kegiatan yang
berhubungan dengan kegiatan merancang dalam arti luas (Sachari
dan Sunarya, 2002).
Sedangkan menurut Yasraf dalam Walker (2010) mendefinisikan
desain berbeda dengan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mempunyai kesatuan ilmu dan objek kajian yang relatif koheren
dengan ukuran pasti. Desain juga berbeda dari ilmu sosial dan
kemanusiaan yang lebih menaruh perhatian pada kajian manusia dan
masyarakat dan tidak terlau banyak berurusan dengan dunia benda.
Sebaliknya desain berurusan dengan benda dan manusia sekaligus,
sehingga dalam kajiannya memerlukan pendekatan yang lebih holistik
dan kompleks.

2.3.1 PERAN DESAIN PADA FETISHISME KOMODITAS
Fetishisme komoditas berkaitan dengan awal perkembangan
desain, yang dipicu oleh peristiwa revolusi industri di belahan
dunia Eropa. Pada masa itu, produk barang-barang kebutuhan
yang sebelumnya dikerjakan secara manual, kuantitas produk
terbatas dan harga mahal, diproduksi secara masal dan berakibat
pada barang konsumsi tidak lagi menjadi hak khusus orang-orang
berada (Widagdo, 2000). Akibat produksi masal tersebut, telah
menciptakan produk barang kebutuhan yang sangat berlimpah
dengan

kecenderungan

bentuk

yang

sama.

Berdasarkan


fenomena itu, maka para industrialis memutar haluan, bahwa
produk-produk mereka harus memiliki kekhasan, pada momen
inilah

desain

mulai

dianggap

sebagai

pembeda

dengan

menampilkan penanda dan petanda sehingga dapat dijadikan

ujung tombak dari industrialisasi dalam menciptakan citra produk

di mata calon konsumennya.
Desain saat ini erat kaitannya dengan dunia industri. Desain
dianggap sebagai ujung tombak dari tampilan atau sistem dari
suatu produk (visual) yang akan diproduksi secara masal oleh
pelaku-pelaku industri sebagai komoditas dalam lingkup bisnis.
Desain juga diharapkan mampu untuk menjawab kebutuhan
konsumen (desire) dan memberikan pengalaman yang unik
kepada konsumen yang berujung pada kepuasan konsumen.
Dalam proses pengembangan sebuah produk, desain merupakan
sebuah metode atau pendekatan yang digunakan karena berada
pada posisi irisan antara market research, tehnik dan seni rupa.
Menerapkan desain pada sebuah objek berdampak pada
membawa

objek

menjadi

lebih


“dekat”

kepada

calon

penggunanya.
Melalui desain, fetishisme terhadap suatu objek dapat dibangun,
baik melalui reka bentuk, atau komunikasi sebagai iklan. Desainer
sebagai pelaku rancangan dapat melakukan reka bentuk yang
ditujukan pada segmentasi pasar tertentu dengan diperkuat oleh
iklan yang ditujukan untuk membangun sistem kesepakatan
bersama bahwa objek yang mereka rancang atau pasarkan
merupakan sebuah objek yang mampu memberikan nilai
dambaan

dan

masyarakat.


sangat cocok bagi

suatu

komunal

dalam

2.4 DEUS EX MACHINA CUSTOM BIKE SEBAGAI FETISHISME
KOMODITAS.

Gambar 1 gambar objek dan pengguna dues ex machine custom bike
Sumber : http://www.deuscustom.com diakses pada 17 Desember 2014

Pada makalah ini, penulis mengambil objek motor modifikasi karya dari
deus ex machina (DEM) yang berkedudukan di Bali sebagai objek
kajian dari bentuk fetishisme komoditas dan desain. Menggunakan
berbagai mediasi, DEM terus menerus mengisyaratkan gaya hidup
yang diusung olehnya. Gaya hidup bersepeda motor bebas, mandiri,
pemberontak namun dikemas dengan desain yang kustom adalah

nilai-nilai yang ditawarkan kepada para penonton, penggemar dan
calon penggemarnya. Melalui gambar sosok wanita dan pria dengan
motor sebagai objek yang mengisyaratkan dan menegasi kebebasan
(terkesan

tidak

perduli)

dan

keseksian

yang

baru

sehingga

memungkinkan untuk memunculkan penikmat yang memiliki keinginan
yang sama.

Untuk mewujudkan kehendak tersebut, maka para “penontonnya” pun
sepakat bahwa mereka harus memiliki atau mengendarai objek motor
seperti itu. Mereka yakin bahwa objek motor tersebut dapat
memberikan

arti

kebebasan,

kegagahan,

keseksian

yang

sesungguhnya bagi mereka dari pada nilai fungsi. Objek sepeda motor
bukan lagi dilihat dari fungsi sesungguhnya, yaitu sebagai moda
transportasi, tetapi lebih pada symbol representasi pemiliknya.
Pengendara sepeda motor DEM tersebut meyakini bahwa dengan
mengendarai sepeda motor itu akan membuat mereka tampak sebagai
seseorang yang didambakan oleh lingkungannya karena kebebasan,
kemandirian, dan keseksian dirinya.
2.5 BUDAYA POPULER
Suatu kebudayaan lahir karena memiliki latar belakang dan bisa
dikatakan lahirnya budaya populer karena kehadiran dari industri
budaya, dimana dalam industri budaya itu yang terjadi adalah
komersialisasi, sehingga proses yang berlangsung dalam industri
budaya adalah komodifikasi, standarisasi serta masifikasi (Ristinawati,
R. 2009).
Salah satu kategori dalam budaya popular adalah budaya pop sebagai
budaya massa. Pengertiannya adalah budaya populer yang bukan
berasal dari rakyat atau kalangan masyarakat namun berasal dari
desakan kalangan tertentu yang memiliki tujuan komersial. Dalam
lingkup pengertian ini, budaya populer mempunyai tujuan untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui mekanisme pasar.
Budaya populer yang ditonjolkan merupakan perwujudan relasi antar
individu yang memiliki kesamaan karakter (homogenitas) yang di
dalamnya mengandung simbol, nilai, ide dan perilaku individu dalam
lingkup industri.

Gambar 2 Pengaruh gaya DEM pada gaya berkendaraan masyarakat sebagai
contoh budaya populer (imitasi)
Sumber: http://s479.photobucket.com/user/lilshot23/media/9B7E0262-D070-42C1A20D-208AB83CC8FB-16747-0000061C4B60F927.jpg.html diakses pada 19
Desember 2014

Hal ini dapat ditilik dari eksistensi DEM yang mengusung gaya
berkendaraan yang baru. DEM telah melakukan penetrasi terhadap
komunal yang memiliki kemungkinan akan kesamaan karakter dan
nilai yang telah ada sebelumnya namun belum muncul dan belum
terlihat eksistensinya. Penetrasi ini dapat dibilang berhasil, terbukti
dengan maraknya dan bermunculan komunitas atau individu yang
mengusung gaya berkendaraan tersebut.
Gaya yang ditawarkan oleh DEM kepada masyarakat sebenarnya
merupakan imitasi budaya berkendaraan di dunia Barat. Hal ini dapt
tercermin dari gaya-gaya yang diterapkan pada setiap karya motornya
yang menganut gaya-gaya jalanan ala barat. Namun untuk jenis dan
merek motor disesuaikan dengan yang sudah ada sehingga berkesan

lebih membumi dengan harapan dapat diterima dengan baik oleh calon
penggunanya di Indonesia.

3. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fetishisme
komoditas dan desain memiliki hubungan yang sangat dekat, jika
fetishisme komoditas adalah sebuah proses peminjaman “kekuatan”
tertentu dari sebuah objek hingga menjelma menjadi sebuah bentuk
“pemujaan” maka desain berperan dalam memproduksi “kekuatan” dari
suatu objek dengan melakukan reka bentuk dan kekuatan komunikasi
yang dilakukan dalam skala industri budaya.
Setelah nilai-nilai objek tersebut diproduksi dan didistribusi pada
masyarakat dengan segementasi tertentu maka tahap selanjutnya
adalah menunggu terjadinya kesepakatan bersama “homogenitas”
yang di dalamnya mengandung simbol, nilai, ide dan perilaku individu
dalam lingkup industri (perspektif budaya populer). Storey (2010)
mempertegas bahwa teks ditarik mendekat buka agar penggemar bisa
dimiliki olehnya melainkan sebaliknya agar penggemar bisa lebih
penuh memilikinya. Hanya dengan mengintegrasikan isi media kembali
dalam kehidupan sehari-hari mereka, hanya dengan keterlibatan yang
karib

dengan

makna

dan

materinya,

para

penggemar

bisa

mengkonsumsi fiksi dan menjadikannya sebagai sumber daya yang
aktif.

REFERENSI
Walker, John A. (2010). Desain, Sejarah, Budaya Sebuah Pengantar
Komperehensif. (cetakan pertama) . Yogyakarta: Jalasutra.
Sachari, Agus., Sunarya, Yan Yan (2002). Sejarah Dan Perkembangan
Desan Dan Dunia Kesenirupaan Di Indonesia. Bandung: Penerbit ITB.
Storey, John. ((2010). Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. (edisi ke
empat). Yogyakarta: Jalasutra.
Kellner, Douglas. (2010). Budaya Media Cultural Studies, Identitas, Dan
Politik: Antara Modern Dan Postmodern. (edisi pertama). Yogyakarta:
Jalasutra.
Widagdo. (2000). Desain Dan Kebudayaan (cetakan pertama). Bandung:
Penerbit ITB.
Lawson, Bryan. (2007). Bagaimana Cara Berpikir Desainer. (edisi
pertama). Yogyakarta: Jalasutra.
Strinati, D. (2010) The Theory of Commodity of Fetishism. In Jones, A., R.
Fads, Fetishes, and Fun : A Sociological Analysis of Pop Culture (1 st
edition). (pp11-13). California: Cognella.