Nurudin Media Barat dan Propaganda Ameri

Dimuat: Harian Solo Pos, 8 September 2006
[Pick the
date]

Media Barat Dan Propaganda Amerika
Oleh Nurudin

“Bukan apa yang mereka katakan, melainkan apa yang mereka tidak katakan” (Jerry D. Gray)

Dalam acara dialog 2 hari antar wartawan dari 44 negara di Bali (2/9/2006), presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengkritik standar ganda yang diterapkan media
Barat (baca: Amerika) dalam memberitakan kaum muslim di berbagai negara. Bagi
SBY, ada berita yang sengaja ditutup-tutupi dan ada yang sengaja dibesar-besarkan
oleh media Barat.
Kegalauan SBY ini sejalan dengan pendapat Jerry D. Gray (2006) yang mengungkap
bahwa media Barat tidak saja menutup-nutupi suatu fakta, tetapi membuat fakta yang
sebenarnya tidak terjadi. Menurut mantan US Air Force dan wartawan CNBC Asia
tersebut, media Amerika telah banyak membohongi publik Amerika sendiri dan
masyarakat dunia untuk meraih kepentingannya sebagai “polisi dunia”.
Contohnya kasus Saddam Hussain (penguasa Irak 25 tahun yang akhirnya dihukum
gantung pada 21 Agustus 2004 setelah Negara itu diserang Amerika). Ia tidak pernah

memiliki senjata pemusnah massal. Namun, dengan bantuan media korporat Amerika,
Bush membohongi publik agar percaya pada informasi tersebut. Kampanye kotor yang
dilakukan terhadap mantan presiden Irak itu sedemikian hebatnya, bahkan sekiranya
kita bisa membersihkan Saddam dari setiap tuduhan, dunia tetap membenci dan
memandangnya sebagai seorang jahat.
Bahkan apa yang pernah dicatat oleh Noam Chomsky (2001) semakin memperkuat
kenyataan itu. Penentangan yang pernah dilakukan presiden Lybia Muammar Qaddafi
atas Amerika pun dituduh sebagai pembangkangan atas perdamaian internasional.

Dimuat: Harian Solo Pos, 8 September 2006
[Pick the
date]

Bahkan Amerika (lewat medianya) menyebut Qaddafi dengan “momok bengis
terorisme” dan “anjing gila”. Padahal tak tanggung-tanggung Amerika pernah
menenggelamkan kapal Libya di teluk Sidra.
Bagaimana Peran Media?
Yang bisa menggambarkan kenyataan tersebut adalah karena Amerika dan mediamedianya punya kepentingan terhadap dunia ini. Dalam catatan Joel Andreas (2004),
Amerika sangat lihai berlindung di balik ungkapan ideal. Misalnya, hanya alasan untuk
merebut kilang minyak di Timur Tengah yang merupakan dua pertiga cadangan minyak

dunia, AS berdalih melindungi Timur Tengah dari ancaman komunis, terorisme, dan
sebagainya.
Bukti perubahan sikap karena kepentingan bisa dilihat dari kasus Saddam Hussein
dan Osama Bin Laden(Pimpinan Al Qaeda). Saddam Hussein berkuasa atas dukungan
AS pada tahun 1963 setelah menggulingkan Raja Irak Abdel Karim Qasim. Tetapi,
Saddam Hussein justru menasionalisasi minyaknya dan tidak ingin membaginya
bersama AS. Tentu saja AS was-was dan marah. Sampai-sampai Henry Kissinger
mengatakan bahwa minyak teralu penting dikelola bangsa Arab dan Timur Tengah.
Akhirnya, Saddam Hussein dengan berbagai cara harus digulingkan. Setelah tahun
1991 tidak berhasil, baru tahun 2003 berhasil dengan menyisakan persoalan yang tidak
kunjung usai karena AS justru semakin memperkuat kekuasaanya di Irak.
Restrukturisasi yang pernah dijanjikan juga tidak pernah dilakukan.
Apa yang terjadi pada Saddam Hussein, hampir sama dengan yang dialami Osama Bin
Laden. Awalnya, ia adalah sekutu Amerika ketika perang melawan Uni Soviet di
Afganistan. Tetapi, setelah Uni Soviet keluar dari Afganistan, Osama Bin Laden tidak
membela kepentingan AS. Bahkan berusaha memeranginya. Osama tidak suka caracara Amerika menguasai dunia, termasuk terlalu “menganakemaskan” Israel. Maka dia
kemudian menjadi musuh nomor 1 AS. Apalagi kasus peledakan gedung World Trade
Center (WTC) tahun 2001 semakin mengukuhkan AS untuk memerangi terorisme
dunia. Artinya, dengan alasan memberantas teroris, AS semakin punya alasan kuat


Dimuat: Harian Solo Pos, 8 September 2006
[Pick the
date]

mencengkeram kekuasaannya.
Ambisi AS ini ternyata didukung juga oleh media massanya. Itu dimulai pada tahun
1954. Sebabnya tak lain karena televisi-televisi AS dikuasai oleh perusahaan besar
dunia yang punya kepentingan ekspansi bisnis ke negara lain. Sebut saja misalnya
NBC oleh GE, CBS oleh Viacom, ABC oleh Disney, Fox oleh Rupert Murdoch’s News
Corporation, dan CNN oleh Time Warner. Bahkan dewan direktur mereka juga anggota
direksi perusahaan pembuat senjata dan perusahaan lain di dunia. Semua media itu
tentu saja mendukung perang AS karena punya kepentingan bisnis di dalamnya.
Jadi jika presiden SBY mengatakan media Barat mempunyai standar ganda sudah
bukan menjadi rahasia lagi. Itu tak lain karena media Barat mempunyai agenda
tersembunyi yang didukung oleh kebijakan pemerintahnya. Dalam cultural imperialism
theory (teori imperialisme budaya) dikatakan bahwa media Barat memang sengaja ingin
menyebarkan budayanya lewat berbagai tampilan, berita agar media Timur dan budaya
Timur menjadi “Barat”.
Bagaimana Dampaknya?
Dampak nyata dari pemberitaan media Barat tersebut kita akhirnya menjadi “Barat”.

Berbagai sikap, perilaku, atribut, tolok ukur kita memakai standar Barat. Misalnya,
bagaimana kita menilai seorang perempuan cantik? Biasanya akan memakai standar
langsing, kulit kuning atau putih, rambut panjang kalau perlu agak pirang (makanya
banyak perempuan Indonesia ramai-ramai rambutnya dipirang), hidung mancung, tubuh
semampai yang semua kriteria itu karena faktor budaya Barat yang sudah sedemikian
masuk ke pemikiran dan perilaku kita.
Tidak berlebihan jika pakar komunikasi Jalaluddin Rakhmat pernah mengatakan bahwa
kita saat ini memiliki dua dunia; dunia nyata dan dunia yang sudah dibatasi oleh kamus
memori manusia dan membatasi tentang realitas, yakni newspeak. Dunia nyata adalah
dunia apa adanya tanpa pengaruh kamus tertentu berdasar pengamatan kita dalam arti
sebenarnya. Sedang dunia newspeak adalah dunia yang diciptakan untuk kepentingan

Dimuat: Harian Solo Pos, 8 September 2006
[Pick the
date]

Amerika atas penggunaan kata dan pemberian makna tertentu.
Dengan demikian, media Barat telah menjadi kamus dari apa yang ingin dilakukan oleh
negara Barat atas dunia ini. Dunia newspeak telah mempengaruhi pikiran kita,
menuntun, dan memberikan kategori tertentu kepada realitas yang kita hadapi seharihari. Dunia newspeak juga tanpa sadar telah mengarahkan kita untuk berbuat dan tidak

berbuat sesuai “kamus” tersebut. Kita menjadi baik dan tidak baik juga bisa karena
“kamus” itu.
Melihat kenyataan tersebut tak ada cara lain media massa kita harus melakukan
rekonstruksi peristiwa yang disajikan media Barat. Artinya, tidak semua yang berasal
dari Barat harus diterima dan ditelan mentah-mentah. Muatan-mutan lokal meskipun
seringkali masih dipahamai sebagai “yang belum modern” lebih berguna untuk melawan
hegemoni dunia newspeak tersebut. Mengirim wartawannya ke luar negeri meskipun
menjadi kebanggaan media, bukan sesuatu yang hebat bagi masyarakat
perkembangan Indonesia di masa datang. Sebab tak sedikit diantara mereka yang tidak
melakukan investigasi ke lapangan, tetapi hanya sekadar mengutip dari koran-koran
dimana dia berada. Lalu apa bedanya dengan mengutip dari kantor berita luar negeri?
Agaknya kita perlu belajar dari kode etik koran The New York Times yang sudah
berumur 100 tahun lebih dan telah mengawal 20 presiden Amerika dan mempunyai
reputasi baik dibanding koran Amerika yang lain, “All members of the news staff of the
New York Times share a common and essensial interets in protecting the integrity of the
newspaper” Integritas, kemampuan dan reputasi itulah yang penting. Artinya,
kepercayaan pembaca adalah nomor satu.

Sumber: Solo Pos, 8 September 2006