huungan hukum internasional dan hukum na (1)

Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
(Analisis Teori dan Penerapan Teori di Indonesia)
Tugas Mata Kuliah
Hukum Internasional
Dosen Pengampu;
Dr. Suwandi, M.H

Oleh:
AHKAM RIZA KAFABIH
NIM: 15781025

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAHSIYYAH
PASCASARJANA
UNIVERISTAS ISLAM NEGRI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi pada zaman modern

memberikan

dampak

terhadap

kemudahan

interaksi

antar

manusia.

Kemudahan interaksi ini pun juga mempengaruhi hubungan antar negara,
dimana hubungan antar negara dan pemerintahannya, serta organisasi
internasional dapat diselenggarakan dengan lebih mudah, cepat dan hemat.
Kemudahan hubungan antar negara ini menuntut adanya peraturan
yang jelas ketika terjadi interaksi antar negara, agar tidak terjadi ketidakadilan
dan sikap merasa dirugikan bagi suatu negara atas negara lain. Maka peran

hukum Internasional pada zaman modern mengalami perkembangan
dibandingkan sebelumnya dikarenakan adanya tuntutan akan hal itu.
Perkembangan peran hukum internasional terhadap suatu negara,
menyebabkan timbulnya dua peraturan hukum dalam suatu negara, yakni
hukum nasional negara itu sendiri dan hukum internasional bagi negara
tersebut. Adanya dua peraturan hukum dalam suatu negara ini memerlukan
adanya penjelasan lebih lanjut mengenai kedudukan dan hubungan antara
keduanya, mengingat adanya kedaulatan bagi negara tersebut baik ke luar
negeri maupun dalam negerinya.
Penjelasan di atas kiranya cukup memberikan alasan perlunya
mempelajari hubungan hukum internasional dengan hukum nasional, baik
secara teoritis maupun secara praktis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana teori yang merumuskan hubungan hukum internasional dan
hukum nasional?
2. Bagaimana penerapan hukum internasional di Indonesia?

1

BAB II

PEMBAHASAN
A. Analisis Teori-Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum
Nasional
Terdapat dua teori konvensional dalam membahas tentang hukum
internasional, yaitu teori hukum alam (naturalisme) dan teori hukum positif
(positivisme).1 Kedua teori ini merupakan grand theory yang menjadi pijakan
dalam merumusan teori-teori tentang hubungan hukum internasional dan
hukum nasional.
1. Trasformasi teori hukum alam menuju teori monisme dan obyektivisme
Teori hukum alam memiliki asumsi bahwa prinsip-prinsip hukum
dalam semua sistem hukum bukan berasal dari manusia, melainkan berasal
dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan
dapat ditemui dengan akal sehat.2 Dari asumsi ini dapat diketahui bahwa
pada dasarnya hukum merupakan suatu kesatuan yang utuh, baik itu
hukum internasional maupun hukum nasional. Berdasarkan pada teori ini,
lahirlah teori monisme, yang menyatakan bahwa hubungan antara hukum
nasional dengan hukum internasional merupakan dua bagian dari satu
kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan
manusia.3
Konsekwensi dari teori monisme adalah adanya hirarki antara

hukum internasional dan hukum nasional. Primat (keutamaan) dalam
hirarki akibat dari teori monisme ini ada dua, yakni primat hukum
internasional, yang menempatkan hukum internasional di atas hukum
nasional, dan primat hukum nasional yang menempatkan hukum nasional
di atas hukum internasional.4

1 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung: PT
Rafika Aditama, 2006), 12.
2 Boer Mauna, Hukum Internasional:Pengertian, Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global (Bandung: Penerbit Alumni,2003), IV:6.
3 Mochtar Kusuma Atmaja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Rosda Offset,1996), hlm.
56.
4 J.G. Starke, Introduction To International Law, terj. Bambang Iriana (Jakarta: Sinar Grafika,
2008), 99-101.

2

Karena hukum adalah suatu kesatuan yang utuh, maka tidak ada
alasan bagi suatu negara untuk tidak menerima hukum internasional
sebagai peraturan yang mengikat terhadap negara tersebut, sehingga

negara tidak memiliki kekuasaan untuk menolak berlakunya hukum
internasional di negaranya. Pernyataan ini selaras dengan apa yang
terkandung dalam teori obyektivisme tentang penerimaan hukum
internasional dalam suatu negara, yakni bahwa ada dan berlakunya hukum
Internasional dalam suatu negara itu terlepas dari kemauan Negara
tersebut.5
2. Transformasi teori Positivisme menuju teori dualisme dan voluntarisme
Teori positivisme dalam hukum internasional menyatakan bahwa
hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang
dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum
hukum internasional adalah kesepakatan bersama antar negara-negara
yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan
internasional.6
Berbeda dengan teori hukum alam, teori positivisme lebih
menekankan pada kedaulatan negara, sehingga negara berhak untuk
menentukan kebijakan internasionalnya sendiri. Dampaknya, terdapat
dualisme antara hukum internasional dan hukum nasional dalam suatu
negara, hal inilah yang mendasari teori dualisme dalam hubungan hukum
internasional dan hukum nasional.
Dalam teori dualisme dijelaskan bahwa hukum internasional dan

hukum nasional merupakan dua bidang hukum yang sama sekali berbeda
dan berdiri sendiri satu dengan yang lainnya. Asumsi yang mendasarinya
adalah keberlakuan hukum internasional murni kewenangan dari penguasa
domestik. Oleh karena itu hukum internasional mempunyai kedudukan
lebih tinggi dibanding dengan hukum internasional.7
Menurut aliran dualisme, perbedaan antara hukum nasioal dan
hukum internasional terdapat pada:8
5 Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, 40.
6 Mauna, “Hukum Internasional.”, 6-7.
7 Thontowi, “Hukum Internasional.”, hlm. 80.
8 Mauna, “Hukum Internasional.”, 12-13.

3

a. Perbedaan Sumber Hukum
Hukum nasional bersumberkan pada hukum kebiasaan dan
hukum tertulis suatu negara sedangkan hukum internasional
berdasarkan pada hukum kebiasaan dan hukum yang dilahirkan atas
kehendak bersama negara-negara dalam masyarakat internasional.
b. Perbedaan Mengenai Subjek

Subjek hukum nasional adalah individu-individu yang terdapat
dalam suatu negara sedangkan subjek hukum internasional adalah
negara-negara anggota masyarakat internasional.
c. Perbedaan Mengenai Kekuatan Hukum
Hukum nasional mempunyai kekuatan mengikat yang penuh
dan sempurna kalau dibanding dengan hukum internasional yang lebih
banyak bersifat mengatur hubungan negara-negara secara horisontal.
Kedaulatan negara dalam menentukan kebijakan luar negeri yang
bekaitan dengan hukum internasional juga merupakan dasar bagi teori
voluntarisme. Dalam teori ini disebutkan bahwa berlakunya hukum
Internasional bahkan persoalan ada atau tidaknya hukum Internasional ini
pada kemauan Negara.9
B. Penerapan Hukum Internasional Di Tingkat Nasional
1. Teori Transformasi
Pengikut ajaran positivisme mengakui bahwa peraturan ketentuanketentuan hukum Internasional untuk dapat berlaku sebagai norma hukum
nasional harus melalui proses transformasi atau alih bentuk baik secara
formal ataupun substansial. Secara formal artinya mengikuti bentuk
peraturan yang sesuai dengan perundang-undangan nasional negara yang
bersangkutan. Sedangkan secara substansial artinya materi dari peraturan
hukum Internasional itu harus sesuai dengan materi peraturan hukum

nasional yang bersangkutan. Sebagai contoh, dalam hal perjanjian
Internasional untuk menjadi bagian dari hukum Nasional, harus memalui
pengalihan bentuk yang sesuai dengan ketentuan hukum nasional terbut
baik dalam substansi isi maupun materi dari perjanjian itu.
9 Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, 40

4

Pengikut ajaran ini menyatakan tanpa tranformasi tidak mungkin
hukum perjanjian Internasional dapat diberlakukan dalam hukum
Nasional. Hal ini disebkan perbedaan karakter dimana Hukum
Internasional didasarkan pada persetujuan negara sedangkan hukum
Nasional bukan.
Perjanjian

Internasional

dengan

hukum


Nasional

terdapat

perbedaan yang angat besar. Perjanjian Internasional secara natural adalah
berupa janji-janji, sedangkan hukum Nasional memperlihatkan perintahperintah melalui undang-undangnya. Karena perbedaan-perbedaan ini,
maka hukum Internasional tidak dapat berlaku secara “et propriovigore”
dalam hukum nasional sehingga perlu di transformasikan melalui adopsi
khusus. Transformasi ini merupakan syarat substantive bagi berlakunya
hukum Internasional dalam hukum nasional.10
Mengingat bahwa seperti telah dikatakan diatas persoalan ini tidak
iatur dalam Undang-undang Dasar 1945, satu-satunya petunjuk dalam
usaha menjawab pertanyaan ini harus didasarkan atas praktik kita bertalian
dengan pelaksanaan kewajiban kita sebagai peserta beberapa perjanjian
Internasional.
Memperhatikan
Kusumaatmadja

kenyataan


berpendapat

tentang

bahwa

kita

hal

ini

tidak

Prof

Muchtar

menganut


teori

Transformasi apalagi system Amerika Serikat. Kita lebih condong pada
system negara-negara continental Eropa, yakni langsung menganggap diri
kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan
perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi
perundang-udangan pelaksanaan (implementing legislation).11
2. Teori Delegasi.
Menurut

teori

delegasi,

kaidah-kaidah

fungsional

hukum

Internasional mendelegasikan kepada setiap konstitusi negara, hal-hal
untuk menentukan kapan ketentuan traktat atau konversi akan berlaku dan
bagaimana cara memasukkannya kedalam hukum nasional. Jadi hal ini
10 Alma Manuputy, et.al., Hukum Internasional, (Makasar: Rechta, 2008), 160.
11 Kusumaatmadja, “Pengantar Hukum Internasional”, 92.

5

merupakan posisi kelanjutan dari penutupan traktat atau konvensi,
sehingga tidak ada pembentukan hukum nasional baru.
Selanjutnya dalam teori delegasi juga mengharuskan adanya adobsi
khusus dalam berlakunya hukum Internasional dalam hukum nasional.
Adopsi ini merupakan kelanjutan satu proses pembentukan hukum yang
dmulai dari penetapan perjanjian Internasional sampai menjadi ketentuan
hukum yang mengikat umum di suatu negara.
Menurut teori delegasi, implementasi hukum Internasional
diserahkan kepada negara-negara atau hukum nasional masing-masing.
Jadi implementasinya didelegasikan kepada hukum nasional. Oleh karena
itu, masing-masing negara berwenang menentukan sendiri-sendiri hukum
Internasional mana yang hendak diterapkan di dalam wilayahnya, mana
yang tidak atau ditolak untuk diterapkan dan mana yang diterima untuk
diterapkan.12
3. Teori Harmonisasi.
Penganut

teori

harmonisasi

adalah

D.P.D.

Cornell

yang

menyatakan bahwa hukum Internasional dan hukum nasional harus
diartikan sedemikian rupa bahwa antara keduanya terdapat keharmonisan.
Eksistensi hukum Internasional dan hukum nasional berada dalam suatu
hubungan yang harmonis. Tetapi tidak berarti bahwa antara keduanya tidak
akan pernah terjadi pertautan. Jika terjadi pertautan antara keduanya, bisa
saja diutamakan salah satu dari keduanya itu tetapi harus tetap diartikan
dalam suasana hubungan yang harmonis.13
C. Analisis Teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional di
Indonesia
Indonesia menerima hukum kebiasaan Internasional sebagai bagian
dari hukum nasional Indonesia, misalnya hukum kebiasaan yang berlaku di
laut tentang hak lintas damai (right of passage innocent) bagi kapal-kapal
12 Manuputy, et.al., “Hukum Internasional”, 160.
13 Manuputy, et.al., “Hukum Internasional”, 160.

6

asing di laut teritorial Indonesia diakui dan diterapkan oleh Indonesia serta
dihormati pula oleh kapal-kapal asing. Namun, bukan berarti Indonesia lemah
dalam mempertahankan kedaulatannya di laut, karena jika terdapat
pelanggaran yang dilakukan oleh kapal-kapal asing di peraira Indonesia,
maka Indonesia tidak segan-segan untuk menengelamkannya.
Akan tetapi, pernah terjadi bahwa Indonesia justru bertindak
sebaliknya yaitu dengan mengesampingkan hukum kebiasaan Internasional
dan mengutamakan hukum atau undang-undang nasionalnya. Hal ini terjadi
dalam kasus nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing milik Belanda yang
beroperasi di Indonesia. Pada tanggal 31 Desember 1958 Indonesia
mengelurkan Undng-undang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik
Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia (Undang-undang
Nomor:86 tahun 1957) dan mengambil langkah menasionalisasi perusahaanperusahaan milik Belanda yang beroperasi di Indonesia.14
Indonesia juga pernah mengesampingkan kaedah hukum kebiasaan
Internasional dalam penerapan lebar laut territorial. Menurut hukum kebiaaan
Internasional lama, lebar laut territorial negara-negara adalah sejauh 3(tiga)
mil laut diukur dari garis pangkal normal. Hukum kebiasaan Internasional
iijuga diterima sebagai bagian dari ukuran nasional Indonesia yaitu di dalam
Undang-undang peninggalan jaman Belanda yang terkenal dengan sebutan
Territoriale Zee en Maritmei Kringen Ordonantie (Stb. 1939 Nomor 442).
Ketentuan tersebut berlaku dalam alam kemerdekaan Indonesia melalui pasal
I aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945. Dalam Stb tersebut ditetapkan
lebar laut territorial Hindia Belanda (Indonesia) sejauh 3(tiga) mil laut diukur
dari garis pangkal normal. Sampa disini dapat dikemukakan bahwa terdapat
kesesuaian antara kaidah hukum kebiasaan Internasional mengenai lebar laut
territorial dengn hukum atau undang-undang Indonesia mengenai hal yag
sama.
Akan tetapi kemudian pada tanggal 13 Desember 1957 Indonesia
secara sepihak mengklaim laut territorial 12 mil laut berdasarkan system
14 Manuputy, et.al.,” Hukum Internasional”, hlm. 167

7

penarikan garis pangkal lurus dari ujung ke ujung. Sekaligus menyatakan
bahwa Stb. tahun 1939 Nomor 442 tersebut sepanjang menyangkut lebar laut
territorial dan system penarikan garis pangkal normal menjadi tidak berlaku
lagi.15
Tindakan ini menunjukkan bahwa Indonesia lebih mengutamakan
Undang-undang

atau

hukum

nasionalnya

walaupun

undang-undang

nasionalnya itu lahir belakangan dibandingkan dengan hukum kebiasaan
Internasional. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut
teori dualisme secara mutlak.
Pada masa sekarang maupun masa-masa yang akan datang tampaknya
kecenderungan masyarakat Internasional untuk menempuh langkah-langkah
seperti halnya yang dilakukan Indonesia dan negara-negara lain akan semakin
banyak dilakukan. Dalam masyarakat Internasional yang strukturnya
koordinatif (tanpa adanya badan penguasa sentral), langkah-langkah seperti
ini akan menjadi langkah yang wajar dalam tatanan hubungan Internasional.
Namun demikian tindakan atau langkah-langkah tersebut haruslah dipantau
terus sejauh manakah akan dapat diikuti dan diterima oleh masyarakat
Internasional sebagai suatu kaidah hukum Internasional baru yang mampu
menggantikan kedudukan kaedah hukum kebiaaan Internasional yang lama
itu, selagi perubahan tersebut tidak menghalangi terciptanya keadilan dan
kesejahteraan masyarakat Internasional pada umumnya.

15 Ibid, 168

8

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori Hubungan HI dan HN
Terdapat dua aliran tentang hubungan hukum internasional dengan
hukum nasional, yaitu aliran monisme dan dualisme. Aliran monisme
berpendapat bahwa hubungan antara hukum nasional dengan hukum
internasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar
yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia, sedangkan aliran
dualisme berpendapat bahwa hukum internasional dan hukum nasional itu
adalah merupakan dua bidang hukum yang berbeda satu sama lain.
Perbedaan yang mencolok yaitu tenang subjek hukum, sumber hukum dan
ruang lingkup.
2. Praktek di Indonesia
Indonesia menerima hukum kebiasaan Internasional sebagai bagian
dari hukum nasional Indonesia, namun apabila dilihat dari segi primatnya,
maka Indonesia lebih mengutamakan hukum Internasioanl daripada
hukum nasional, terlihat dari peristiwa nasionalisasi perusahaan asing dan
penetapan zona kelautan sejah 12 mil. Oleh karena itu kebijakan luar
negeri Indonesia dan penetapan hukum internasional Indonesia sesuai
dengan teori dualisme.

9

DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Mochtar Kusuma. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Rosda
Offset,1996.
Manuputy, Alma. et.al., Hukum Internasional. Makassar: Rechta, 2008.
Mauna, Boer. Hukum Internasional:penertian, peranan dan fungsi dalam era
dinamika global. Bandung: Penerbit Alumni, 2003.
Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar. Hukum Internasional Kontemporer.
Bandung: PT Rafika Aditama, 2006.
Sefriani. Hukum Internasional. Jakarta: Raja Grafindo, 2011.
Starke, J.G. Introduction To International Law, terj. Bambang Iriana. Jakarta:
Sinar Grafika, 2008.

10