KESEIMBANGAN VERSUS KEADILAN DALAM KONTRAK (Upaya Menata Struktur Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan) Repository - UNAIR REPOSITORY

  KESEIMBANGAN VERSUS KEADILAN DALAM KONTRAK (Upaya Menata Struktur Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan) UNIVERSITAS AIRLANGGA BADAN HUKUM MILIK NEGARA Pidato

  Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Kontrak pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada Hari Sabtu, Tanggal 1 Mei 2010

  Oleh

AGUS YUDHA HERNOKO

  

Buku ini khusus dicetak dan diperbanyak untuk acara

Pengukuhan Guru Besar di Universitas Airlangga

Tanggal 1 Mei 2010

  Dicetak : Airlangga University Press

Isi di luar tanggung jawab AUP Bismillahirrahmanirrahim

  Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Selamat pagi dan salam Sejahtera untuk Kita Semua.

  Yang Terhormat: Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas

  Airlangga, Ketua, Sekretaris, Para Ketua Komisi dan Anggota Senat Akademik

  Universitas Airlangga, Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga, Para Direktur Direktorat di Lingkungan Universitas Airlangga Para Guru Besar Universitas Airlangga, dan Guru Besar Tamu, Para Dekan dan Wakil Dekan di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Ketua Lembaga di Lingkungan Universitas Airlangga, Para Teman Sejawat dan segenap Civitas Academika Universitas

  Airlangga, Para Mahasiswa, Sanak Keluarga yang saya cintai, serta Para Undangan dan hadirin sekalian.

  Segala puji syukur yang tak terhingga sepatutnya saya panjatkan kehadirat Allah swt, karena hanya dengan rahmat dan kuasa-Nya saya dapat berdiri di mimbar terhormat ini untuk menyampaikan orasi ilmiah sebagai tradisi akademis dalam setiap penerimaan gelar “guru besar”, khususnya di Lingkungan Universitas Airlangga. “Tiada daya dan kekuatan yang dapat dicapai oleh manusia tanpa

  

seizin Allah swt”. Oleh karena itu sebagai hamba yang dalam setiap

  langkah dan tarikan nafasnya menggantungkan pada ridhlo dan kasih sayang-Nya, ucap syukur dan terima kasih kiranya menjadi sebuah keniscayaan serta totalitas yang mutlak bagi saya.

  Hadirin yang saya muliakan,

  Pada pagi hari yang dipenuhi dengan tebaran nikmat, kasih dan karunia Ilahi, saya memperoleh kehormatan untuk menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka penerimaan jabatan Guru Besar saya di bidang Hukum Kontrak pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, almamater tercinta, yang selama 20 tahun telah mengasuh, mendidik dan membesarkan saya dengan keteguhan, dedikasi serta kebesaran namanya. Selama dua dasawarsa itu pula, disiplin ilmu bidang hukum keperdataan, khususnya Hukum Kontrak telah saya geluti, meskipun hingga saat ini masih begitu terasa kurang apa yang telah saya pelajari dan tekuni tersebut, ibarat “bejana kosong yang senantiasa haus untuk di isi air

  kehidupan (tirta amrta).Hadirin yang saya muliakan,

  Sebagai bidang ilmu yang paling dinamis dalam perkembangan dunia hukum. Hukum Kontrak tumbuh dan berkembang sejalan dengan dinamika, kompleksitas serta problematika yang ada di masyarakat. Dinamika ini demikian terasa khususnya dalam perspektif aktivitas bisnis yang semakin global. Dalam bisnis, pertukaran kepentingan para pihak senantiasa dituangkan dalam bentuk kontrak mengingat “Setiap langkah bisnis adalah

  

langkah hukum (i.c. kontrak)”. Ungkapan ini merupakan landasan

  utama yang harus diperhatikan para pihak dalam berinteraksi di dunia bisnis, di mana kontrak merupakan simpul utama yang menghubungkan kepentingan mereka. Meskipun acap kali para pelaku bisnis tidak menyadarinya, namun perlu diingat bahwa setiap pihak yang memasuki belantara bisnis pada dasarnya melakukan langkah-langkah hukum dengan segala konsekuensinya.

  Untuk itu pada kesempatan yang berbahagia ini saya ingin mengajak hadirin untuk berkontemplasi mengenai hakikat hubungan kontraktual yang diharapkan, dibangun dan dilaksanakan para pihak, terutama di dunia bisnis, yang mampu mewujudkan ide-ide tentang model kontrak yang bersubstansikan keadilan. Ide tersebut saya coba tuangkan dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar saya ini, dengan judul:

  

KESEIMBANGAN BERKONTRAK VERSUS KEADILAN

BERKONTRAK

(Upaya Menata Struktur Hubungan Bisnis dalam Perspektif

Kontrak yang Berkeadilan)

  Hadirin yang saya muliakan, Urgensi Kontrak dalam Bisnis

  Dewasa ini perdebata n mengena i keseimba nga n da n ketidakseimbangan berkontrak, serta pada akhirnya berujung pada isu-isu tentang “keadilan berkontrak” tampaknya sudah waktunya untuk ditinggalkan, khususnya apabila dikaitkan dengan kontrak bisnis (komersial). Bukan bermaksud apriori, namun demikian perbincangan mengenai posisi para kontraktan dalam perspektif kontrak-kontrak bisnis komersial seyogianya perlu dikaji secara jernih, terutama pada struktur hubungan serta bangunan azas- azasnya.

  Dimensi kontrak bisnis komersial yang lebih menekankan pada aspek penghargaan terhadap kemitraan dan kelangsungan bisnis (efficiency and profit oriented), tidak lagi berkutat pada keseimbangan matematis. Konstruksi hubungan para pihak dalam kontrak bisnis komersial justru lebih menekankan pada proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban di antara pelaku- pelakunya. Dengan diterimanya prinsip-prinsip universal seperti itikad baik dan transaksi yang adil atau jujur (good faith and

  

fair dealing; reasonableness and equity; redelijkheid en billijkheid;

  kepatutan dan keadilan) dalam praktik bisnis, membuktikan bahwa yang diutamakan adalah memberikan jaminan bahwa perbedaan kepentingan di antara para pihak telah diatur melalui mekanisme pembagian beban kewajiban secara proporsional, terlepas berapa proporsi hasil akhir yang diterima para pihak.

  Hadirin yang saya muliakan,

  Problematika di atas tentunya merupakan tantangan bagi para yuris untuk memberikan jalan keluar terbaik demi terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (win-win solution

  

contract), di satu sisi memberikan “kepastian hukum” dan

  1

  di sisi lain memberikan “keadilan”. Meskipun disadari untuk memadukan kepastian hukum dan keadilan, konon merupakan perbuatan yang mustahil, namun melalui instrumen kontrak yang mampu mengakomodir perbedaan kepentingan secara proporsional, maka dilema pertentangan ”semu” antara kepastian hukum dan keadilan tersebut akan dapat dieliminir. Bahkan akan menjadi suatu keniscayaan terwujudnya kontrak yang saling menguntungkan para pihak (win-win contract).

  Urgensi pengaturan kontrak dalam praktik bisnis adalah untuk menjamin pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) berlangsungan secara proprosional bagi para pihak, sehingga dengan demikian terjalin hubungan kontraktual yang adil dan saling menguntungkan. Bukan sebaliknya, merugikan salah satu pihak atau bahkan pada akhirnya justru merugikan para pihak yang berkontrak. Sekedar menyoal ketidakseimbangan kontraktual berdasarkan bunyi klausul kontrak justru bertentangan dengan esensi hubungan kontraktual yang dibangun para pihak. Pada kontrak bisnis komersial, tujuan para pihak lebih ditujukan membangun hubungan bisnis yang berlangsung fair. 1 Istilah ”kepastian hukum dan keadilan” sering kali dinamakan ”blanketnorm”, karena dengan

  

sifatnya yang abstrak (kosong) memberikan peluang untuk diinterpretasi sesuai selera masing-masing

pihak. Periksa Djasadin Saragih, “Peran Interpretasi dalam Sosialisasi Hukum: Khususnya Hukum

Perdata di dalam BW“, Yuridika, No. 8 Tahun III, Pebruari–Maret 1988, h. 39.

  Tentunya untuk menganalisis secara lebih cermat mengenai seluk-beluk hubungan para pihak dalam kontrak bisnis komersial diperlukan suatu metode pengujian terhadap eksistensi suatu kontrak sebagai proses yang sistematis dan padu. Sudah bukan waktunya lagi untuk berkutat pada “dilema semu ketidakseimbangan

  

atau ketidakadilan berkontrak”, tetapi seyogianya lebih difokuskan

  pada bagaimana perbedaan kepentingan para pihak dapat diatur sedemikian rupa secara proporsional (berkeadilan).

  Hadirin yang saya muliakan,

  Pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi di antara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan)

  

2

  melalui proses tawar-menawar. Pendek kata, pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang dicoba dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodir dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak. Dalam kontrak bisnis pertanyaan mengenai sisi kepastian dan keadilan justru akan tercapai apabila perbedaan yang ada di antara para pihak 2 Dinamika negosiasi dalam kontrak bisnis merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam kontrak

  

bisnis. Hal ini diulas dalam beberapa literatur, antara lain: Jeremy G. Thorn, Terampil Bernegosiasi,

alih bahasa Edi Nugroho, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1995, h. 7. Negosiasi mempunyai banyak

definisi tergantung pada bidang dan kebutuhannya. Garry Goodpaster, Negosiasi dan Mediasi - Sebuah

Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi , ELIPS PROJECT, 1993, Jakarta, h.

5 Periksa juga Donald W. Hendon & Rebecca Angeles Hendon, Negosiasi Berskala Global (How to

  

Negotiate Worldwide), Alih Bahasa Rosa Kristiwati, Binarupa Aksara, Jakarta, 1993, h. x–xi. Periksa juga

Tim Hindle, Negotiating Skills, alih bahasa P. Buntaran, Dian Rakyat, Jakarta, 2001, h. 5–6. Periksa juga Periksa juga

Dennis A. Hawver, How To Improve Your Negotition Skills, Alexander Hamilton Insitute Incorporated,

New York, 1982, h. 1–2. Periksa juga Herb Cohen, You Can Negotiate Anything, alih Bahasa Zainal Bahri Tafal, Cet. III, Pantja Simpati, Jakarta, 1992, h. 14. terakomodir melalui mekanisme hubungan kontraktual yang bekerja secara proporsional.

  Hadirin yang saya muliakan, Hakikat Keadilan dalam Kontrak

  Pembahasan tentang hubungan kontraktual para pihak pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dalam hubungannya dengan masalah keadilan. Kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil. Pertanyaan seputar apa itu ”keadilan” adalah sebuah pertanyaan yang acap kali kita dengar, namun pemahaman yang tepat justru rumit bahkan abstrak, terlebih apabila dikaitkan dengan pelbagai kepentingan yang demikian

  3

  4

  kompleks. Keadilan menurut Aristoteles, dalam karyanya “Nichomachean ethics”, artinya berbuat kebajikan, atau dengan kata

  5

  lain, keadilan adalah kebajikan yang utama. Menurut Aristoteles, ”justice consists in treating equals equally and unequals unequally,

  

in proportion to their inequality.” Prinsip ini beranjak dari asumsi

  ”untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, secara proporsional.”

  6 Ulpianus

  menggambarkan keadilan sebagai “justitia est

  

constans et perpetua voluntas ius suum cuique tribuendi” (keadilan

3 Robert Reiner dalam tulisannya berjudul “Justice” menggambarkan perdebatan tentang keadilan

sebagai suatu ‘essentially contested concept,” hal ini bermakna bahwa sebagai sebuah konsep, keadilan

merupakan konsep abstrak dan interpretatif-visioner (ditentukan oleh pemahaman dan cara pandang

masing-masing). Dalam James Penner et. al. (editors), Introduction to Jurisprudence and Legal Theory

(Commentary and Materials), Butterworths, London, 2002, h. 719. Menurut Plato, keadilan merupakan

bagian dari virtue (kebajikan). Periksa Burhanuddin Salam, Etika Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 1997,

h. 117. 4 5 Loc. Cit.

   Raymond Wacks, Jurisprudence , Blackstone Press Limited, London, 1995, h. 178. Periksa juga O.

  

Notohamidjojo, Masalah: Keadilan, Tirta Amerta, Semarang, 1971, h. 7. Pemikiran Aristoteles tentang

keadilan tersebut merupakan salah satu titik tolak pemikiran saya tentang pentingnya azas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak. Periksa Burhanuddin Salam, Ibid. 6 O. Notohamidjojo, Op. Cit., h. 18–19. adalah kehendak yang terus-menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya) atau “tribuere cuique

  

suum” - “to give everybody his own”, memberikan kepada setiap orang

  7

  yang menjadi haknya. Perumusan ini dengan tegas mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya serta apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.

8 Menurut Thomas Aquinas Dalam konteks keadilan distributif,

  keadilan dan kepatutan (equity) tidak tercapai semata-mata dengan penetapan nilai yang aktual, melainkan juga atas dasar kesamaan antara satu hal dengan hal yang lainnya (aequalitas rei ad rem). Ada dua bentuk kesamaan yaitu: a. kesamaan proporsional (acqualitas proportionis)

  b. kesamaan kuantitas atau jumlah (acqualitas quantitas) Sementara itu pembagian keadilan menurut pengarang modern, antara lain sebagaimana yang dilakukan oleh John Boatright dan

9 Manuel Velasquez

  , yaitu:

  a. Keadilan distributif (distributive justice), mempunyai pengertian yang sama pada pola tradisional, di mana benefits and burdens harus dibagi secara adil,

  b. Keadilan retributif (retributive justice), berkaitan dengan terjadinya kesalahan, di mana hukum atau denda dibebankan kepada orang yang bersalah haruslah bersifat adil,

  c. Keadilan kompensatoris (compensatory justice), menyangkut juga kesalahan yang dilakukan, tetapi menurut aspek lain, di mana orang mempunyai kewajiban moral untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi kepada pihak lain yang dirugikan.

  7 8 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, Kanisius, Yogjakarta, 2000, h. 86–87.

E. Sumaryono, Etika Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta,

  2002, h. 90–91 9 .. Ibid.

  Dari beberapa pembedaan tentang keadilan tersebut di atas, keadilan distributif dipandang segala awal mula segala jenis teori keadilan. Dinamika keadilan yang berkembang di masyarakat dalam telaah para ahli pada umumnya berlandaskan pada teori keadilan distributif, meskipun dengan berbagai versi dan sisi pandangnya masing-masing. Oleh karena itu menurut saya, melakukan telaah kritis mengenai hubungan kontraktual para pihak, khususnya dalam kontrak bisnis komersial, tentunya harus dilandasi pemikiran proporsional yang terkandung dalam keadilan distributif. Keadilan dalam berkontrak lebih termanifestasi apabila pertukaran kepentingan para pihak terdistribusi sesuai dengan hak dan kewajibannya secara proporsional.

  Dalam teori etika modern terdapat dua prinsip untuk keadilan distributif, yaitu prinsip formil dan prinsip materiil. Kedua prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  10

  a. Prinsip formil, sebagaimana yang dikemukakan Aristoteles

  bahwa, ”equals ought to be treated equally and unequals may

  be treated unequally”. Prinsip ini beranjak dari asumsi ”untuk

  hal-hal yang sama diperlakukan secara sama” (dengan syarat seluruh kondisi dalam keadaan “ceteris paribus”). Prinsip ini menolak adanya perbedaan perlakuan (diskriminasi).

  

b. Prinsip materiil, prinsip ini mempunyai karakter melengkapi

  prinsip formil. Prinsip ini bersanding secara korelatif dengan prinsip formil yang menekan pada aspek formalitas prosedural, dengan tetap memperhatikan aspek substantif terhadap penghargaan perlakuan kepada masing-masing pihak.

10 Nozick mengajukan keberatan terhadap prinsip materiil keadilan distributif yang tradisional, karena

  

prinsip itu mempunyai dua kelemahan, yaitu bersifat, pertama, a-historis dan, kedua, sudah terpolakan

sebelumnya (patterned). K. Bertens, K. Bertens, Op. Cit., h. 105.

  11 Hal yang sama dikemukakan oleh L.J. van Apeldoorn,

  12 J. va n Ka n

  dan J.H. Beek huis, bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Azas keadilan tidak menjadikan persamaan hakiki dalam pembagian kebutuhan-kebutuhan hidup. Hasrat akan persamaan dalam bentuk perlakuan harus membuka mata bagi ketidaksamaan dari kenyataan-kenyataan. Terkait dengan pandangan tersebut, perlu diperhatikan makna keadilan dari suatu azas yang menentukan ”bentuk” menjadi azas yang memberikan ”isi” dari suatu standar atau ukuran.

13 Beauchamp

  dan Bowie mengajukan enam prinsip agar keadilan distributif terwujud, yaitu apabila diberikan: a. kepada setiap orang bagian yang sama;

  b. kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya;

  c. kepada setiap orang sesuai dengan haknya;

  d. kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;

  e. kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya; f. kepada setiap orang sesuai dengan jasanya (merit).

  Hadirin yang saya muliakan,

  Sehubungan dengan hakikat keadilan dalam kontrak, beberapa sarjana mengajukan pemikirannya tentang keadilan yang berbasis kontrak, antara lain John Locke, Rosseau, Immanuel Kant,

  14

  serta John Rawls. Para pemikir tersebut menyadari bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, maka masyarakat bisnis tidak akan berjalan. Oleh karena itu tanpa adanya kontrak, orang tidak akan bersedia terikat dan bergantung 11 12 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. xxx, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, h. 11–13. 13 J. van Kan dan J.H. Beekhuis, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, h .171–172. 14 Ibid., h. 95.

  Raymond Wacks, Op. Cit., h. 191. Periksa juga James Penner et. al., Op. Cit., Cit., h. 721–722. pada pernyataan pihak lain. Kontrak memberikan sebuah cara dalam menjamin bahwa masing-masing individu akan memenuhi janjinya, dan selanjutnya hal ini memungkinkan terjadinya transaksi di antara mereka.

  Dengan mengambil pelajaran dari kegagalan teori-teori

  15

  sebelumnya, Rawls mencoba menawarkan suatu bentuk penyelesaian yang terkait dengan problematika keadilan dengan membangun teori keadilan berbasis kontrak. Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, di mana azas-azas keadilan yang dipilih bersama benar-benar merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua person yang bebas, rasional, dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual, konsekuensinya setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri.

16 Dalam konteks ini Rawls menyebut ”justice as fairness” yang

  17 ditandai adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.

  Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih

  15 16 Loc. Cit .

  James Penner et. al., Op. Cit., h. 726. Sedang menurut K. Bertens, justice as fairness, dalam

makna leksikal (kamus) just berarti adil juga fair. Tetapi ada perbedaan, Tetapi ada perbedaan, just berarti adil menurut isinya

(substansi) atau disebut keadilan substantial (substantive justice), sedangkan fair berarti adil menurut

prosedurnya atau keadilan prosedural (procedural justice). Contohnya: undian yang berjalan Contohnya: undian yang berjalan fair (keadilan

prosedural), yang diikuti orang kaya dan orang miskin ternyata dimenangkan orang kaya, maka dari sisi

prosedurnya memang telah berjalan fair, namun dari sisi hasil dianggap sama sekali tidak adil (unjust).

  

Fairness berarti keadilan yang didasarkan atas prosedur yang wajar (tidak direkayasa atau dimanipulasi).

  K Bertens, Op.Cit., h. 103. 17 Andre Ata Ujan, Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls) Keadilan dan Demokrasi (Telaah Filsafat Politik John Rawls) , Kanisius, Yogjakarta, 1999, h. 71.

  71.

  18

  mengutamakan azas hak daripada azas manfaat. Rawls merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut: a. Prinsip I - the greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan

  19

  terwujud (Prinsip Kesamaan Hak);

  b. Prinsip II, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau prinsip berikut:

  (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity.

  Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang

  20 (Prinsip Perbedaan Objektif ).

18 John Rawls, A Theory of Justice, Revised Edition, The Belknap Press of Harvard University Press

  

of Cambrigde, Massachusetts, 1999, h. 107. Periksa juga Raymond Wacks, Op. Cit., h. 193. Andre Ata

Ujan, Op. Cit., h. 129. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya Etika Bisnis (Tuntutan dan Relevansinya ), Kanisius, Yogjakarta,

1998, h. 152–155. K Bertens, Op.Cit., h. 103. James Penner et. al., Op. Cit., h. 739. 19 Prinsip I, Prinsip I, the greatest equal principle, menurut saya, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak”,

merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban

kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c. para kontraktan). Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan

berkontrak. 20 Prinsip II, yaitu “the different principle” dan ”the principle of (fair) equality of opportunity”,

menurut saya merupakan “prinsip perbedaan objektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin

terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (objektif)

diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness (redelijkheid en

billijkheid ). Dengan demikian, Prinsip I dan Prinsip II tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai

dengan azas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan

secara komprehensif-proporsional.

  Menarik untuk digarisbawahi bahwa konsep kesamaan menurut

  Rawls

  harus dipahami sebagai ”kesetaraan kedudukan dan hak”, bukan dalam arti ”kesamaan hasil” yang dapat diperoleh semua orang. Kebebasan yang ada selalu dalam kebebasan yang ”tersituasi”

  21

  (dalam konteks ”ini” dan ”di sini” ), sehingga disandarkan pada berbagai kondisi, keadaan-keadaan dan kualitas masing-masing. Tentunya pandangan ini semakin membuka mata mereka yang senantiasa menuntut hasil yang sama tanpa memandang proses (prosedur) dari awal hingga akhir. Bagi Rawls kesamaan hasil bukanlah alasan untuk membenarkan sebuah prosedur. Keadilan sebagai fairness atau sebagai pure procedure justice tidak menuntut setiap orang yang terlibat dan menempuh prosedur yang sama juga harus mendapat hasil yang sama. Sebaliknya, hasil prosedur yang

  

fair itu harus diterima sebagai adil, juga apabila setiap orang tidak

  mendapat hasil yang sama. Dengan demikian konsep keadilan yang lahir dari suatu prosedur yang diterima oleh semua pihak juga harus

  22

  diterima sebagai konsep yang pantas berlaku untuk umum. Oleh karena itu harus dipahami bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama, tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara objektif ada pada setiap individu.

  Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. 21 Konteks ”ini” dan ”disini” tampaknya menjadi pembenaran terhadap pemahaman keadilan yang seyogyanya dimaknai kontekstual-kasuistik. 22 Andre Ata Ujan, Op. Cit., h. 45.

  Hadirin yang saya hormati,

Azas Proporsionalitas sebagai Jalan Keluar terhadap

Diskursus “Keseimbangan Versus Keadilan dalam Kontrak

  Pemikiran mengenai azas proporsionalitas perlu dikemukakan disamping azas keseimbangan dalam kontrak yang sudah sekian lama dikenal (secara tekstual), namun belum tentu dipahami secara kontekstualnya. Menurut saya, pengertian azas keseimbangan lebih abstrak pemahamannya dibandingkan azas proporsionalitas. Untuk memudahkan pemahaman antara kedua azas tersebut dapat ditelusuri melalui makna leksikal, pendapat para sarjana, karakteristik maupun daya kerjanya.

  Pemahaman makna azas keseimbangan jika ditelusuri dari pendapat beberapa sarjana, secara umum memberi makna azas keseimbangan sebagai keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak. Oleh karena itu, dalam hal terjadi ketidakseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi kontrak diperlukan intervensi otoritas tertentu (pemerintah). Beranjak dari pemikiran tersebut di atas, maka pemahaman terhadap daya kerja azas keseimbangan yang menekankan keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa dominan dalam kaitannya dengan kontrak konsumen. Hal ini didasari pemikiran bahwa dalam perspektif perlindungan konsumen terdapat ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Hubungan konsumen – produsen diasumsikan hubungan yang sub-ordinat, sehingga konsumen berada pada posisi lemah dalam proses pembentukan kehendak kontraktualnya. Hubungan sub-ordinat, posisi tawar yang lemah, dominasi produsen serta beberapa kondisi lain diasumsikan terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan para pihak. Interpretasi terhadap pemaknaan dan daya kerja azas keseimbangan, adalah:

  

a. Pertama, lebih mengarah pada keseimbangan posisi para pihak,

  artinya dalam hubungan konraktual tersebut posisi para pihak diberi muatan keseimbangan.

  

b. Kedua, kesamaan pembagian hak dan kewajiban dalam

  hubungan kontraktual seolah-olah tanpa memperhatikan proses yang berlangsung dalam penentuan hasil akhir pembagian tersebut.

  

c. Ketiga, keseimbangan seolah sekedar merupakan hasil akhir dari

  sebuah proses;

  

d. Keempat, intervensi negara merupakan instrumen pemaksa dan

mengikat agar terwujud keseimbangan posisi para pihak.

  

e. Kelima, pada dasarnya keseimbangan posisi para pihak hanya

dapat dicapai pada syarat dan kondisi yang sama (ceteris paribus).

  Sementara itu ruang lingkup dan daya kerja azas proporsionalitas tampak lebih dominan pada kontrak bisnis komersial. Dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak bisnis komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontrakan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang

  

fair (proporsional). Azas proporsionalitas tidak dilihat dari konteks

  keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara

  fair.

  Menur ut pendapat saya untuk menca r i ma k na a za s proporsionalitas dalam kontrak harus beranjak dari makna filosofis keadilan. Hal ini dapat ditelusuri dalam berbagai pendapat serta pemikiran para filosof dan sarjana. Filosof besar seperti Aristoteles, menyatakan bahwa” justice consists in treating equals equally and

  

unequals unequally, in proportion to their inequality”. Ulpianus

  menggambarkan keadilan sebagai “justitia est constans et perpetua

  

voluntas ius suum cuique tribuendi”, artinya keadilan dapat terwujud

  apabila sesuatu yang diberikan kepada seseorang sebanding dengan yang seharusnya ia terima (praeter proportionem dignitas ipsius). Pada hakikatnya gagasan tersebut merupakan titik tolak bagi pemaknaan azas proporsionalitas dalam hubungan kontraktual para pihak.

  Demikian pula dengan pandangan beberapa sarjana, seperti

  Paul Tillich , L.J. van Apeldoorn, J. van Kan dan J.H. Beekhuis

  , yang menyatakan bahwa keadilan itu memperlakukan sama terhadap hal yang sama dan memperlakukan yang tidak sama sebanding dengan ketidaksamaannya. Beauchamp dan Bowie, dengan kriteria pembagian proporsionalnya, serta pemikiran John

  Rawls

  tentang ”justice as fairness” yang menekan prinsip hak berlandaskan rasionalitas, kebebasan dan kesamaan. P.S. Atijah memberikan landasan pemikiran mengenai azas proporsionalitas dalam kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, bahwa transaksi para pihak yang berkontrak sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in

  

what they want). Pandangan para sarjana tersebut di atas merupakan

  dasar bagi argumentasi saya bangun untuk merumuskan makna azas proporsionalitas.

23 Menurut Lyons suatu iklim kontrak yang sesungguhnya,

  pada hakikatnya memberi peluang bagi perbedaan pendapat, tawar-menawar, atau bahkan perbedaan-perbedaan yang relevan di antara para pihak. Hanya dalam proses seperti ini hasil dari suatu kesepakatan sungguh-sungguh merefleksikan kepentingan semua

  24 pihak.

  23 24 Andre Ata Ujan, Op. Cit., h. 140.

  Loc. Cit.

25 Peter Mahmud Marzuki

  menyebut azas proporsionalitas dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta

  

fairness. Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang

  setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar. Dengan merujuk pada azas aequitas

  

praestasionis, yaitu azas yang menghendaki jaminan keseimbangan

dan ajaran justum pretium, yaitu kepantasan menurut hukum.

  Tidak dapat disangkal bahwa kesamaan para pihak tidak pernah ada. Sebaliknya, para pihak ketika masuk ke dalam kontrak berada dalam keadaan yang tidak sama. Akan tetapi ketidaksamaan tersebut tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Dalam situasi semacam inilah azas proporsionalitas bermakna

  equitability.

  Pada dasarnya azas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin ”keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi azas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan

  26

  ketidakadilan. Konrad Zweigert dan Hein Kotz, mengingatkan para sarjana untuk membuang sikap memperlihatkan seolah- olah kebebasan berkontrak merupakan prinsip utama dalam pembentukan undang-undang kontrak. Tugas utama para sarjana kini bukan lagi mengagungkan kebebasan berkontrak, melainkan mencari kriteria serta prosedur bagi perkembangan doktrin “keadilan kontraktual”.

  Per w ujuda n keadila n berkontra k ditentuka n mela lui dua pendekatan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam 25 Peter Mahmud Marzuki, “Batas-Batas Kebebasan Berkontrak”, Yuridika, Volume 18 No. 3, Mei 2003. h. 205. 26 Periksa Periksa Sakina Shaik Ahmad Yusoff, Isi Kandungan Kontrak: Klasifikasi Terma dan

  

Permasalahannya, Malaysian Journal of Law and Society, Faculty of Law Universiti Kebangsaan Malaysia, Vol. V, 2001, h. 87–88. , h. 87–88. suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekan kandungan atau substansi serta pelaksanaan kontrak. Dalam pendekatan substanstif perlu diperhatikan adanya

  25 kepentingan yang berbeda.

  Mengambil moralitas pertimbangan tersebut, maka azas proporsionalitas bermakna sebagai ”azas yang melandasi atau

  

mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai

proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.” Azas

  proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase pra-kontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak (pre-contractual, contractual, post contractual). Azas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak (i.c. menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair).

  Terkait dengan kontrak bisnis komersial yang berorientasi keuntungan para pihak, fungsi azas proporsionalitas menunjukkan

  26

  pada karakter kegunaan yang ‘operasional dan implementatif’ dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian fungsi azas proporsionalitas, baik dalam proses pembentukan maupun pelaksanaan kontrak bisnis komersial adalah:

  a. Dalam tahap pra-kontrak, azas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu adalah tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad 25 buruk; 26 Loc. Cit.

  Karakter ‘ Karakter ‘operasional dan implementatif ’ dari azas proporsionalitas hendaknya tidak diartikan

bahwa azas ini dengan sendirinya berlaku mengikat para pihak. Sesuai dengan sifatnya, azas berkedudukan

sebagai meta norma sehingga tidak dapat langsung mengikat para pihak. Namun yang dimaksudkan dalam

kajian ini adalah seyogianya para pihak menuangkan dan mengimplementasikan azas proporsionalitas ini ke dalam klausul-klausul kontrak yang mereka buat. b. Dalam pembentukan kontrak, azas proporsional menjamin kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan/mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair;

  c. Dalam pelaksanaan kontrak, azas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati/dibebankan pada para pihak;

  d. Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental (fundamental breach) sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekedar hal-hal yang sederhana/kesalahan kecil (minor important). Oleh karena itu pengujian melalui azas proporsionalitas sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain; e. Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, azas proporsionalitas menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair. Dengan demikian, kontrak sebagai proses mata rantai hubungan para pihak harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan. Pengakuan terhadap eksistensi hak para kontraktan tersebut termanifestasi dalam pemberian peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban). Namun demikian pengakuan terhadap hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran kepentingan (hak dan kewajiban) tersebut tetap harus dalam bingkai aturan main yang mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional.

  Ukuran proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan (equitability), kebebasan, distribusi-proporsional, tentunya juga tidak dapat dilepaskan dari azas atau prinsip kecermatan (zorgvuldigheid), kelayakan (redelijkheid; reasonableness) dan kepatutan (billijkheid; equity). Untuk menemukan azas proporsionalitas dalam kontrak dengan menggunakan kriteria atau ukuran nilai-nilai tersebut di atas, hendaknya tidak diartikan akan diperoleh hasil temuan

  27

  berupa angka-angka matematis. Azas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan (kesamaan) hasil secara matematis, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut (fair and reasonable).

  Contoh sederhana yang dapat menjelaskan eksistensi dan daya kerja azas proporsionalitas, sebagai berikut: a. A dan B sepakat untuk membeli sebungkus rokok yang berisi 10 batang seharga Rp10.000,00 secara patungan dan akan membaginya secara proporsional. A mempunyai uang sebesar Rp8.000,00 dan B sebesar Rp2.000,00.

  Secara sederhana maka pembagian hak dan kewajiban yang pro- porsional dari kasus di atas adalah sebagai berikut:

  (i) Dari beban kewajiban membayar sebesar Rp8.000,00 maka A memperoleh hak sebanyak 8 (delapan) batang rokok;

  (ii) Sebaliknya, B yang membayar sebesar Rp2.000,00 memperoleh hak sebanyak 2 (dua) batang rokok; (iii) Secara matematis, hasil yang diperoleh masing-masing pihak adalah tidak sama (tidak seimbang - tidak adil). Hal ini dikarenakan sebagian besar pihak yang memberikan 27 penilaian semata-mata hanya melihat dari hasil akhir

  Pendapat ini saya ajukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa makna, kriteria maupun wujud

azas proporsionalitas. Bukan hal yang mudah, bahkan mustahil menimbang atau menakar hubungan

kontraktual yang sesuai dengan azas proporsionalitas dalam bentuk hasil akhir yang terukur secara

matematis. Azas-azas pokok dalam hukum kontrak yang lain pun tidak ada yang memberikan jawaban

yang pasti mengenai makna, kriteria maupun wujud nyatanya. Namun azas-azas tersebut dapat ditemukan

dan diterima melalui interpretasi yang komprehensif, dengan memperhatikan karakteristiknya masing- masing. tanpa memahami proses yang berlangsung sebelumnya. Oleh karena itu mereka hanya memaknai perbandingan matematis, yaitu: 8 (delapan) batang: 2 (dua) batang.

  (iv) Namun apabila ditinjau dari azas porporsionalitas pembagian tersebut adil dan proporsional. Seharusnya penilaian adil atau tidak adil harus dianalisis secara komprehensif pada seluruh proses, bahwa untuk memperoleh 8 (delapan) batang rokok tersebut A dibebani kewajiban membayar Rp8.000,00. Tentunya beban kewajiban ini lebih berat dibandingkan dengan kewajiban B yang hanya membayar Rp2.000,00. Sehingga wajar untuk pengorbanan yang lebih besar A memperoleh hasil yang lebih besar pula. Jadi proporsionalitas harus dihitung dari awal proses hingga hasil akhirnya. (v) Baik A maupun B, keduanya sama memperoleh rokok serta merasakan kenikmatan rokok. Perbedaan hanya terletak jumlah dan lama waktu menghisap rokok, namun rasa rokok sama-sama dapat dinikmati keduanya. (vi) Proses penyelesaian tersebut di atas menggambarkan bagaimana prinsip kesamaan atau kesetaraan, kebebasan dan distribusi proporsional berlangsung dengan fair. Berdasarkan contoh-contoh tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa daya kerja azas proporsionalitas meliputi proses pra-kontrak, pembentukan maupun pelaksanaan kontrak. Asumsi kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosiasi serta aturan main yang fair menunjukkan bekerjanya mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional. Di sini problematika mengenai ada atau tidaknya keseimbangan para pihak pada dasarnya kurang relevan lagi diungkapkan, karena melalui kesetaraan posisi para pihak, terbukanya peluang negosiasi serta aturan main yang fair, maka substansi keseimbangan itu sendiri telah tercakup dalam mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang proporsional.