Implementasi dan Implikasi Tax Amnesty d

Quo Vadis Tax Amnesty1
(Suatu Tinjauan terhadap Implementasi dan Implikasi Kebijakan Pengampunan
Pajak di Indonesia)
Dirga Achmad Yasin2
A. Pendahuluan
Salah satu tujuan negara Indonesia sebagaimana dimanatkan dalam
konstitusi yakni untuk memajukan kesejahteraan umum, dalam mewujudkan
tujuan itu maka diperlukan berbagai agenda pembangunan secara terus-menerus
dan berkesinambungan. Realisasi agenda pembangunan dapat berjalan dengan
efektif apabila disertai anggaran pembangunan yang cukup besar. Upaya yang
dilakukan pemerintah dalam meningkatkan penerimaan negara untuk membiayai
agenda pembangunan yakni dengan menggali potensi sumber pendapatan negara.
Sumber pendapatan negara yang paling memberikan kontribusi besar
adalah sektor perpajakan. Menurut Prof. Rachmat Soemitro, Pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin.3 Dari berbagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan,
dewasa ini peran penerimaan pajak semakin penting. Paling tidak terdapat 4
(empat) argumentasi yang mendukung pernyataan tersebut.
Pertama, semakin kecilnya ketergantungan pembiayaan pembangunan
dari sumber - sumber yang selama ini menopang penerimaan pajak. Sektor
migas yang menjadi primadona di masa Orde Baru sudah


semakin

sedikit

jumlahnya; Kedua, ketatnya likuiditas dan krisis keuangan global meciptakan
kesulitan pendanaan pembangunan lewat utang ataupun opsi hibah. Selain itu,
utang yang tidak terkendali dapat menciptakan kerawanan fiskal di masa
mendatang dan ketergantungan dengan negara lain. Ketiga, korelasi antara
perpajakan dengan apa yang disebut dengan state building. Keempat, Indonesia
1 Disampaikan dalam Kegiatan Kajian Ilmu Hukum, Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu
Hukum (KMMIH) UGM pada tanggal 7 Oktober 2016 di Fakultas Hukum UGM
2 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Klaster Kenegaraan 2015
dirgaachmadyasin@gmail.com/085230981111
3 Adrian Sutendi, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 1.

1

juga terlibat dalam komitmen mencapai suatu ambang batas pembiayaan
untuk pembangunan seperti yang tertera dalam Millennium Development Goals

dan komitmen terhadap reformasi pajak seperti yang tertuang dalam Doha
Declaration tentang Financing for Development.4
Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam
struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hampir 70 persen
penerimaan berasal dari sektor pajak. Pemerintah menargetan penerimaan pajak
84,6% dari total APBN 2016.5 Besarnya ketergantungan pemerintah terhadap
penerimaan dari sektor perpajakan, ternyata tidak selaras dengan realisasi
pencapaian target penerimaan pajak selama ini. dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir realisasi penerimaan pajak selalu dibawah target.6 Rasio penerimaan
perpajakan (tax ratio) Indonesia yang saat ini berada di kisaran 11 persen masih
berada di bawah standar negara-negara ASEAN dan Organisation on Economic
Cooperation and Development (OECD).7
Buruknya situasi perpajakan tidak terlepas dari kepatuhan pajak yang
masih rendah, adanya kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy)
yang sengaja disembunyikan untuk menghindarkan pembayaran pajak, serta
sebagai dampak banyaknya harta WNI yang banyak dilarikan ke negara-negara
yang mempunyai pajak rendah atau bebas pajak (tax haven country). Hal ini
mengindikasikan perlunya suatu upaya reformasi dari pemerintah secara
komprehensif di sektor perpajakan.
Oleh karena itu, melalui pengesahan Undang-undang Nomor 11 Tahun

2016 pemerintah menetapkan kebijakan pengampunan pajak (Tax Amnesty)
dengan tujuan untuk mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi
melalui pengalihan harta, reformasi perpajakan, serta peningkatan penerimaan
pajak. Selanjutnya akan diuraikan mengenai bagaimana implementasi dan
implikasi kebijakan pengampunan pajak di Indonesia.
4 Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak, hlm.1-2.
5 Nota Keuangan APBN 2016
6 Lihat “Kinerja Penerimaan Pajak Jangka Panjang”, Inside Tax. Edisi 36, 2016, hlm.3435.
7http://www.kemenkeu.go.id/Berita/menkeu-tax-ratio-indonesia-di-bawah-standar
diakses pada tanggal 05 Oktober 2016 pukul 18.50 Wib

2

B. Teori Perpajakan Secara Umum
Definisi pajak memiliki perspektif yang berbeda-beda, pajak dari
perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat
kepada sektor publik. pahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan
individu; Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara.8 Sedangkan dalam
perspektif hukum menurut Rachmat Soemitro bahwa “pajak adalah iuran rakyat

kepada kas negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.9
Pajak sebagai sebuah realitas yang ada di masyarakat mempunyai fungsi
tertentu. Pada umumnya dikenal adanya dua fungsi utama pajak, yakni fungsi
anggaran (budgeter) dan fungsi mengatur (regulerend).10 Agar pemungutan pajak
tidak menimblkan hambatan dan perlawanan, maka pemungutan pajak harus
memenuhi syarat sebagai berikut :11
1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)
2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis)
3. Tidak menganggu perekonomian (syarat ekonomis)
4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil)
5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana
C. Tinjauan Umum tentang Pengampunan Pajak
Secara etimologis, istilah pengampunan pajak berasal dari kata “tax
amnesty”. Kata amnesty (amnesty) berasal dari bahasa Yunani “amnestia” yang
dapat diartikan, melupakan atau suatu tindakan melupakan. 12 Di Amerika Serikat,
istilah amnesty juga biasa diidentikkan dengan pardon atau pengampunan.13
8 Adrian Sutendi, Loc.Cit.
9 Rachmat Soemitro, 1974, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco, Bandung, hlm. 8.

10 Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, CV. Andi, Yogyakarta, hlm.16-17.
11 Mardiasmo, 2004, Perpajakan, Ed.Revisi, CV. Andi, Yogyakarta, hlm. 2.
12 Webster New Twentieth Century Dictionary, Edisi Kedua, Dikutip dari Ifhdal Kasim,
2000, Menghadapi Masa Lalu : Mengapa Amnesti, dalam majalah Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (ELSAM), No.2 Tahun I, Jakarta, hlm.2.
13 Jimly Ashiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 344.

3

Secara umum amnesti merupakan hak kepala negara untuk meniadakan
akibat hukum yang mengancam suatu perbuatan atau sekelompok kejahatan
politik. Dalam UUD 1945, amnesti merupakan hak mutlak atau preogratif
Presiden sebagai kepala negara.14 Pemberian amnesti mempunyai akibat hukum ,
hilangnya kesalahan pelaku kejahatan/pelanggaran, sehingga pelaku dibebaskan
dari sanksi atau ancaman pidana maupun administrasi.
Dengan mengacu pada pengertian amnesty, maka pengampunan pajak
merupakan konsep penghapusan sanksi yang diberikan oleh Presiden dalam
situasi tertentu kepada wajib pajak yang telah melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang perpajakan. Dengan demikian, tax amnesty merupakan pemberian

fasilitas perpajakan berupa pembebasan dalam periode atau tenggang waktu
tertentu dari pengenaan, pemeriksaan, pengusutan, dan penuntutan atas harta
kekayaan atau penghasilan yang sebelumnya tidak atau belum sepenuhnya
dikenakan pajak yang dilandasi oleh adanya pengakuan kesalahan dari wajib
pajak dengan menyesali kesalahan tersebut dan janji tidak akan mengulangi
kesalahan.15
D. Implementasi dan Implikasi Kebijakan Pengampunan Pajak di Indonesia
Pengampunan pajak di Indonesia bukanlah merupakan kebijakan baru,
pemerintah melalui dirjen pajak pernah melaksanakan kebijakan pengampunan
pajak yaitu pada tahun 1964,1984, serta 2008 (sunset policy).
Dari 3 (tiga) Kebijakan Pengampunan Pajak yang pernah dilaksanakan,
sunset policy 2008 adalah kebijakan yang dianggap berhasil karena realisasi
penerimaan pajak pada tahun 2008 telah mencapai target yang ditetapkan dalam
APBN. Namun demikian, data kepatuhan Wajib Pajak pada tahun 2009
menunjukkan bahwa Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan mencapai 47,39 persen dari total Wajib Pajak sebanyak 15.469.590. Hal
ini menunjukkan masih rendahnya tingkat kepatuhan dan kemungkinan Wajib
Pajak kembali ke perilaku ketidakpatuhan. Di samping itu, dari sisi administrasi
14 Lihat Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan

Perwakilan Rakyat.
15 Zainal Muttaqin, 2012, Tax Amnesty di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 30.

4

perpajakan tidak dapat dibedakan antara Wajib Pajak yang memanfaatkan sunset
policy dengan Wajib Pajak yang menyampaikan SPT tahunan sehingga tidak dapat
dilakukan monitoring tingkat kepatuhan pada tahun-tahun berikutnya.16
Pada tanggal 1 Juli 2016, Presiden Joko Widodo mengesahkan UndangUndang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam UU tersebut
dinyatakan bahwa Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang
seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi
pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang
Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.17 adapun tujuannya
adalah sebagai berikut :18
1. Repatriasi atau menarik dana warga negara Indonesia yang ada di luar
negeri;
2. Mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih
berkeadilan
3. Meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek;
4. Menambah jumlah wajib pajak;

5. Meningkatkan pertumbuhan nasional
6. Meningkatkan basis perpajakan nasional, yaitu aset yang disampaikan
dalam permohonan pengampunan pajak dapat dimanfaatkan untuk
pemajakan yang akan datang.
Adapun formulasi uang tebusan yang akan dibayarkan adalah dengan
mengalikan antara nilai harta bersih dengan tarif. Sedangkan Tarif yang ditetapkan
dalam UU Pengampunan Pajak, berikut akan penulis uraikan dalam bentuk tabel :
Periode
Periode I (1 Juli 2016-30 Sept 2016)
Periode II (1 Okt 2016 – 31 Des 2016)
Periode III (1 Jan 2017 – 31 Mar 2017)

Repatriasi/Deklaras

Deklarasi

i dalam Negeri
2%
3%
5%


Luar Negeri
4%
6%
10 %

16 Naskah akademik RUU Pengampunan Pajak, hlm. 44.
17 Lihat pasal 1 angka 1 UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak
18 Lihat pasal 2 ayat (2) UU No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

5

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, Indonesia pernah
menerapkan pengampunan pajak. Namun pelaksanaannya belum efektif karena
wajib pajak sendiri kurang merespon dan tidak diikuti dengan reformasi sistem
administrasi perpajakan secara terpadu dan menyeluruh. Demikian juga minimnya
keterbukaan dan peningkatan akses informasi ke masyarakat termasuk sistem
kontrol dari Ditjen Pajak sendiri. Pemberian tax amnesty tidak sekedar menghapus
hak tagih atas wajib pajak namun yang lebih penting lagi sebenarnya adalah
memperbaiki sikap dan perilaku WP, sehingga diharapkan akan terjadi

peningkatan penerimaan negara di masa yang akan datang.
Menurut penulis, dengan melihat berbagai ketentuan dalam UU
Pengampunan Pajak, implementasi kebijakan tax amnesty akan optimal dan
efektif dibanding dengan kebijakan sebelumnya sepanjang seluruh stakeholder
yang terlibat memiliki komitmen yang kuat dalam rangka reformasi sistem
perpajakan.
Adapun implikasi dari kebijakan tax amnesty, itu akan berdampak terhadap
peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak pada tahun diterapkannya
program tersebut. Hal ini karena untuk mendapatkan pengampunan, Wajib Pajak
wajib membayar sejumlah uang tebusan. Selain itu, penerimaan negara di masa
yang akan datang juga akan meningkat seiring dengan meningkatnya kepatuhan
Wajib pajak. Hal ini didasari bahwa kepatuhan sukarela akan meningkat setelah
program pengampunan pajak dilakukan. Selain itu, kebijakan ini akan berdampak
terhadap perbaikan sistem perpajakan secara menyeluruh bahkan akan
mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta.
Sebaliknya, jika kebijakan ini tidak dijalankan secara konsisten maka pada
realisasinya akan menimbulkan berbagai dampak seperti, pertama, munculnya
pandangan ketidakadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh pada kewajiban
perpajakannya; kedua, sangat rentan untuk disalahgunakan sehingga perlu adanya
pengawasan dari dirjen pajak; Ketiga, kebijakan pengampunan pajak dapat

mengakibatkan berkurangnya bahkan hilangnya penerimaan negara dari sektor
pajak.

6

E. Penutup
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
implementasi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dapat berjalan optimal
sepanjang sesuai dengan ketentuan pelaksanaannya serta partisipasi seluruh pihak
yang terkait baik pemerintah melalui dirjen pajak maupun wajib pajak bahkan
masyarakat secara umum. Selain itu, kebijakan ini harus diikuti dengan suatu
penegakan hukum (law enforcement) yang tegas maka dalam jangka panjang
pengampunan pajak akan bermanfaat dalam meningkatkan investasi dan dapat
memberikan peningkatan penerimaan negara dengan bertambahnya basis
perpajakan.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adrian Sutendi, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta.

7

Jimly Ashiddiqie, 2007, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Mardiasmo, 2004, Perpajakan, Ed.Revisi, CV. Andi, Yogyakarta.
Rachmat Soemitro, 1974, Pajak dan Pembangunan, PT. Eresco, Bandung.
Y. Sri Pudyatmoko, 2009, Pengantar Hukum Pajak, CV. Andi, Yogyakarta.
Zainal Muttaqin, 2012, Tax Amnesty di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
Jurnal, Majalah, dan Website
“Kinerja Penerimaan Pajak Jangka Panjang”, Inside Tax. Edisi 36, 2016.
Ifhdal Kasim, 2000, Menghadapi Masa Lalu : Mengapa Amnesti, majalah
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), No.2 Tahun I, Jakarta,
http://www.kemenkeu.go.id
http://www.Dirjenpajak.go.id
Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Naskah akademik RUU Pengampunan Pajak.
Undang-undang No.11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak

8