Bangsa negara pemerintah bangsa (1)

Bangsa ini semakin demokratis dalam proses Pemilu 2004 melalui keberadaan kontrak sosialpolitik berisi kesepakatan antara konstituen dan legislatif. Namun, sistem hukum di Republik ini
tidak mengenal perikatan berbentuk kontrak sosial-politik sehingga dikhawatirkan hanya
menjadi macan kertas belaka karena tidak memiliki konsekuensi yuridis.
DALAM kondisi tersebut, praktis tidak ada sanksi tegas yang dapat mengikat dan membatasi
sepak terjang anggota legislatif yang mengikatkan diri dalam kesepakatan tersebut. Di saat
ribuan anggota DPRD se-Indonesia terindikasi bermasalah dalam penyalahgunaan keuangan
negara, bahkan sekitar 320 di antaranya telah berstatus tersangka, sebetulnya lembaga kontrak
politik menjadi angin segar dalam membangun demokrasi sekaligus memberikan rambu bagi
para anggota Dewan.
Andi W Syahputra, Sekretaris Jenderal Government Watch (Gowa), menjelaskan, masyarakat
belajar banyak dari kinerja korupsi massal DPR di seluruh Indonesia yang mendorong maraknya
aksi penolakan pelantikan anggota DPRD belakangan ini.
Rangkaian aksi tersebut tidak berdiri sendiri dan didasari pengalaman betapa DPR sama sekali
tidak menjadi wakil rakyat. Penyebabnya adalah partai politik selama proses reformasi yang
bergulir tak terkendali telah memilih orang tidak berkualitas sebagai anggota Dewan. Kini proses
hukum dan penolakan terhadap anggota Dewan merupakan peringatan bagi para wakil rakyat.
Bahkan, rakyat telah berani menuntut pembuatan kontrak sosial agar tidak dikhianati kembali
oleh para wakil rakyat, kata Andi memaparkan.
Jauh hari sebelum pemilu legislatif, sudah terjadi gerakan massa menuntut para calon anggota
legislatif menandatangani kontrak politik dengan masyarakat. Sejauh ini baru satu partai politik,
yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang secara terbuka berani mengadakan kontrak politik

dengan konstituen.
Di sejumlah partai lain, praktik ini lebih banyak dilakukan atas inisiatif perorangan. Bahkan, di
kubu politik reformis seperti Partai Amanat Nasional (PAN) pun, tambah Andi, tidak dilakukan
kontrak politik sebagai kebijakan partai.
Sejatinya, pelembagaan kontrak politik sudah menjadi keharusan sebagai sarana memberantas
korupsi dan pendidikan politik bagi masyarakat. Akan tetapi, partai-partai besar justru tidak
melakukan kebijakan mendukung budaya kontrak politik dalam budaya demokrasi Indonesia.
Pasalnya, para anggota legislatif terutama dari partai besar tersebut membutuhkan sumber dana
besar untuk mendapatkan kursi. Otomatis pada kesempatan pertama, posisi mereka sebagai
anggota dimanfaatkan untuk mengembalikan modal dengan menguras anggaran negara. Tentu
saja ini menjadi lingkaran setan tiada akhir
KONTRAK politik sudah tidak dapat ditawar lagi sebagai upaya mengerem perilaku anggota
DPRD yang kebablasan. Andi W Syahputra mencontohkan, anggota DPRD DKI yang memiliki
kualitas intelektual meriah kini telah mengusulkan kenaikan gaji dari Rp 11 juta menjadi Rp 22
juta per bulan.

Niatan tersebut sungguh tidak mencerminkan sense of crisis. Kenaikan penerimaan mereka
melambung tinggi tidak seimbang dengan pemulihan ekonomi yang masih merayap, kata Andi
menegaskan.
Selain itu, masih ada mark up anggaran, studi banding, perjalanan dinas fiktif, kegiatan

pembuatan undang-undang dan nyaris seluruh kegiatan DPRD merupakan beberapa trik klasik
dalam mencari tambahan. Belum lagi praktik percaloan proyek pembangunan menjadi lagu lama
yang sulit diberantas di lembaga legislatif.
Ketua Program Pascasarjana STF Driyarkara Herry- Priyono menyatakan kontrak politik
konstituen-legislatif dapat meminimalkan kebocoran keuangan yang diakibatkan sepak terjang
anggota Dewan.
Anggota legislatif sebagai salah satu pemegang kekuasaan sangatlah dominan dan dalam praktik
kekuasaan memiliki pengaruh berdampak positif maupun negatif. Lagi pula, tidak ada jaminan
kekuasaan digunakan sebaik mungkin, maka dibuatlah kontrak politik.
Concept of power sangat-sangat sentral dalam praktik. Untuk itu, kita perlu memiliki posisi
ekual, berdiri sama tinggi. Dalam konteks kehidupan sosial, saya akan meminta anggota Dewan
untuk menandatangani kontrak. Karena dia akan memiliki kekuasaan tetapi harus terjaga posisi
seimbang dengan konstituen. Bahkan, ini pun seharusnya diberlakukan bagi para calon presiden
sekalipun, kata Herry.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah bagaimana si calon anggota legislatif itu atau
anggota legislatif mau mengadakan kontrak supaya seluruh suara mereka di DPRD atau DPR itu
supaya sungguh-sungguh adalah suara rakyat. Perkara itu terwujud-kontrak-atau tidak kita
bicarakan lagi.
Dia mencontohkan, di Ungaran, Jawa Tengah, sebelum pemilu sejumlah calon anggota legislatif
sudah membuatkan jalan seperti diminta warga sebelum pemilu. Kiat ini merupakan salah satu

cara efektif yang dapat ditempuh konstituen agar para wakil rakyat memenuhi janji mereka.
Dari sisi gerakan mahasiswa, tak ketinggalan isu kontrak politik demi memerangi korupsi
menjadi salah satu tema sentral yang mampu mempersatukan pelbagai elemen demokrasi.
Sekretaris Jenderal Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) Gigih Buntoro
mengungkapkan, kontrak politik menjadi bagian tema yang diusung bersama gerakan mahasiswa
selain isu neoliberalisme, militerisme, dan kesejahteraan.
Namun, perlu disadari kontrak politik tidak serta-merta menghambat praktik korupsi yang sudah
bukan menjadi aksi perorangan, melainkan institusional di semua lini dan lembaga kenegaraan.
Inisiatif kontrak politik PKS memang patut diacungi jempol, tetapi belum mampu menjawab
persoalan. Perlu aksi lebih lanjut untuk memerangi korupsi yang berangkat dari gerakan moral
menjadi gerakan massa, kata Gigih.
Gerakan mahasiswa di Indonesia, menurut Gigih, kini semakin cermat dalam menggalang isu
untuk memicu kesadaran massa. Salah satu yang dapat menjadi pemicu adalah pencerahan

masyarakat atas korupsi dana APBD yang selalu menjadi sumber utama pesta anggaran bersama
antara legislatif dan eksekutif.
Mereka juga membangun sinergi dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM), akademisi, dan
media massa. Keberhasilan membangun kesadaran telah terbukti seperti dilakukan Saldi Isra di
Sumatera Barat yang dengan dukungan masyarakat dan aparat berhasil menyeret para anggota
DPRD ke hadapan penegak hukum.

Gerakan ini diharapkan menjadi gelombang yang memuncak menjadi gerakan nasional.
Tantangan tentu menghadang karena selama ini para elite dari kubu politik berbeda akan saling
melindungi demi melanggengkan kekuasaan seperti muncul dalam pelbagai jenis koalisi
pragmatis elite politik.
Saat ini gerakan baru terjadi di luar Jakarta yang seharusnya menjadi titik puncak gerakan massa.
Di Jabotabek isu persaingan Mega-Hasyim melawan SBY-Kalla telah mengaburkan inti
persoalan korupsi DPRD dan kontrak politik, tutur Gigih menambahkan.
DI balik sejuta harapan atas keberadaan kontrak politik, kelemahan masih menghantui praktik ini
sebagai sebuah perikatan hukum. Praktik dalam kehidupan masyarakat senantiasa meninggalkan
produk hukum formal yang sebetulnya diperlukan dalam mengatur hubungan tersebut seperti
kontrak politik.
Keengganan atau tidak tanggapnya aparat penegak hukum kerap menghambat inisiatif
masyarakat dalam memerangi korupsi di DPR. Andi W Syahputra mengungkapkan, Gowa
berulang kali melaporkan kasus dugaan pelanggaran keuangan di DPRD Jember, Kediri, Batam,
dan Rokan Hilir, tetapi tidak mendapat tanggapan dari pihak kepolisian dan kejaksaan. Demikian
pula serangkaian inisiatif masyarakat setempat yang terlebih dahulu melakukan langkah serupa
sama sekali tidak membuahkan hasil. Di lain pihak, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
hanya berfokus pada kasus-kasus besar saja.
Meski demikian, Herry-Priyono menambahkan, keberadaan kontrak politik membawa kita
menuju langkah lebih baik. Di masa lampau, DPR adalah tuan dan kita adalah hamba. Kontrak

politik setidaknya meminimalkan bahwa legislatif tidak bisa melakukan apa saja.
Di tahap berikutnya mekanisme apa yang akan kita pakai untuk menagih janji. Itu menjadi
bagian terpenting. Sebuah kontrak sosial politik hanyalah langkah awal. Next stop, konstituen
memberi legislatif berisi ketentuan jika caleg setuju tanda tangani demikian pula konstituen.
Statusnya ini bukan law, melainkan semacam perjanjian dan peraturan. Langkah terakhir adalah
menciptakan mekanisme-mekanisme untuk menagih janji juga jika seandainya dia tidak mau
ditagih janjinya, kata Herry.
Kita perlu menciptakan mekanisme-mekanisme paling efektif untuk menagih janji. Juga
seandainya calegnya tidak mau memenuhi janjinya. Ini sangat penting karena pendekatan hukum
kita selalu legalistik, ini hanya separuh dari cerita.

Patut diingat, keluasan KKN di Indonesia bukan hanya sengaja di pemerintahan saja, melainkan
juga karena keaktifan institusional mengorupkan diri. Semisal sekarang seseorang yang terikat
kontrak politik duduk di DPRD, warga setempat menuntut untuk memperjuangkan aspirasi
menghadapi kepentingan perusahaan besar.
Meski tidak memiliki perangkat pidana atau perdata untuk menindak pelanggaran kontrak
politik, ini tidak menjadi alasan bagi penegak hukum untuk berdiam diri. Asas keadilan dan
praduga tidak bersalah yang berkembang di negara hukum dan beradab dapat menjadi acuan.
Di sejumlah negara maju, keganjilan berupa gaya hidup mewah para elite politisi dan pejabat
sudah dapat menjadi landasan awal untuk menyeret mereka ke hadapan hukum. Mereka tidak

dapat bertindak seperti para elite di Indonesia yang selalu berlindung di balik asas praduga tak
bersalah.
Dengan kesadaran seperti ini di kalangan penegak hukum kita, barulah sebuah kontrak politik
memiliki makna. Tanpa itu, langkah maju dalam demokrasi di Republik ini hanya akan menjadi
macan kertas belaka. (Iwan Santosa)
Sumber: Kompas, 18 September 2004