Pelatihan dan Pengembangan Kecerdasan Em

PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN KECERDASAN
EMOSIONAL BAGI AUDITOR INTERNAL
Eduardus Maryarsanto Padmosulistyo
Notoyudan GT II 1199A Yogyakarta 55272
[email protected] atau [email protected]

Berbagai literatur tentang pengauditan internal menunjukkan adanya perkembangan peran auditor internal dalam organisasi atau perusahaan. Peran awal dari
watchdog, berkembang menjadi consultant dan akhirnya menjadi catalyst. Perkembangan atau perubahan peran ini diharapkan mampu meningkatkan sumbangan auditor internal bagi pencapaian tujuan perusahaan.
Pemberian sumbangan bagi perusahaan tersebut dapat terlaksana bila auditor internal dapat menjalankan perannya dengan baik. Dalam menjalankan peran tersebut
auditor iternal harus berhadapan dengan auditee, respon yang diperoleh auditor internal saat melaksanakan tugas pengauditan tersebut bisa dibagi menjadi respon negatif
dan positif (YPIAa, 1997). Respon yang sangat membantu auditor internal menyelesaikan tugasnya adalah respon yang positif,meskipun demikian tidak jarang diperoleh
respon negatif dari auditee. Respon negatif tersebut dapat berupa sikap diam, tidak
mau memberikan informasi yang dibutuhkan, tidak mau bertemu dengan auditor, dan
berbagai sikap lain yang sangat tidak menguntungkan bagi auditor internal dalam
penyelesaian tugasnya.
Hampir semua tulisan tentang auditor internal dan pengauditan internal – yang
semua ditulis oleh auditor internal - menyatakan bahwa telah terjadi perubahan paradigma dalam tubuh auditor internal, dari “mata-mata” menjadi “partner”. Pengakuan
tentang perubahan paradigma tersebut bertentangan dengan pandangan auditee terhadap auditor internal, 58% auditee masih memandang auditor internal sebagai polisi.
Peran kedua terbesar adalah jaksa (23%) dan peran yang ketiga adalah guru sebesar

1


11% (Hoesodo, 2008). Melihat persentase tersebut bisa dikatakan bahwa pandangan
auditee terhadap auditor internal belum positif, sebagian besar masih berpandangan
bahwa auditor internal adalah orang yang bertugas mencari kesalahan auditee. Pandangan yang negatif ini tentu akan membawa akibat pada timbulnya respon negatif
yang akan menghambat auditor internal dalam pelaksanaan tugasnya.
Faktor yang sangat berpengaruh pada hubungan auditor internal dan auditee
adalah perilaku (YPIAa, 1997). Sikap tidak ramah auditor internal akan membuat
bosan auditee dan menghasilkan sikap tidak mau kerja sama (Sawyer et. al, 2003: p.
1224). Faktor perilaku ini yang akan membentuk pandangan dan sikap auditee
terhadap auditor internal, dalam ilmu psikologi perilaku seseorang sangat dipengaruhi
oleh kecerdasan emosional orang tersebut. Melihat besarnya pengaruh perilaku (atau
kecerdasan emosional) pada keberhasilan pelaksanaan tugas auditor internal, maka
penulis tertarik untuk mengulas “Pelatihan dan Pengembangan Kecerdasan
Emosional bagi Auditor Internal.”

TINJAUAN PUSTAKA
A. AUDITOR INTERNAL DAN HUBUNGAN MANUSIAWI
Perubahan peran yang dijalani oleh auditor internal sejalan dengan perubahan
risiko yang dihadapi perusahaan (Moeller & Witt, 1999: 1-3). Semua peran yang
dijalankan oleh auditor internal adalah jawaban dari kebutuhan manajemen atau

pemilik modal atas keberadaan fungsi independen yang membantu mengevaluasi
unit-unit perusahaan untuk memberikan jaminan atas tercapainya tujuan perusahaan.
Salah satu hal yang membuat penyelesaian tugas auditor internal menjadi sulit adalah
faktor manusia. Dalam pelaksanaan tugasnya, dapat dipastikan auditor internal
berhadapan dengan sesama manusia.
Sawyer (2003: 1223) menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya baik
dalam pencarian informasi maupun dalam rangka menindaklanjuti hasil audit, auditor

2

internal harus mengembangkan dan mempertahankan hubungan baik dengan klien
atau auditee. Senada dengan hal tersebut, Moeller dan Witt (1999; 4-13) menyatakan
terdapat tiga kualifikasi personal yang harus dipenuhi seorang auditor internal untuk
dapat menjalankan tugas dengan baik yaitu:
a. Mampu memberikan kesan pertama yang baik saat melaksanakankan audit
baik melalui citra personal maupun profesional.
b. Mampu mengembangkan hubungan baik dengan auditee dengan atribut
yang dimiliki seperti integritas, dedikasi pada organisasi, sikap
profesional, empati, konsistensi peran, percaya diri, pantang menyerah,
keberanian, semangat, dan kemampuan membuat kebijakan yang baik.

c. Mampu mengembangkan kecakapan profesional.
Secara khusus YPIA (1999: 13) menyebutkan dalam modul pelatihannya tentang
kualitas yang dipersyaratkan bagi auditor internal: 1) Kemampuan beradaptasi dengan
lingkungan penugasan yang selalu berubah, 2) Harus memahami hal-hal yang
membuat orang lain senang dan tidak senang, dan 3) Mampu menahan tekanan yang
dapat menjauhkan dari tujuan.
“Bagaimana sebaiknya saya bersikap untuk mendapatkan respon yang positif dari
pihak yang diperiksa?” adalah pertanyaan yang sering diajukan auditor internal saat
menjalankan tugas pengauditan. Dalam pertanyaan tersebut tersirat bahwa auditor
internal ingin mendapatkan respon positif dari auditee, akan tetapi dalam kenyataan
banyak respon negatif yang ditemui auditor internal saat menjalankan tugas. Banyak
faktor yang berpengaruh dalam hubungan auditor internal dengan auditee, seperti
peran, citra, atribut pribadi, perilaku, dan lain sebagainya. Satu yang paling berpengaruh dalam hubungan tersebut adalah faktor perilaku (YPIA, 1997).
B. PERILAKU DAN KECERDASAN EMOSIONAL
Sawyer (2003), YPIA (1999: 13) dan Moeller dan Witt (1999; 4-13) menyebutkan
pentingnya menciptakan dan menjaga hubungan baik dengan auditee untuk
penyelesaian tugas auditor internal. Lebih jauh lagi Moeller dan Witt, menambahkan

3


beberapa atribut yang harus dimiliki seorang auditor internal untuk dapat
menciptakan dan menjaga hubungan baik dengan auditee. Dalam istilah psikologi,
atribut-atribut tersebut adalah komponen dari kecerdasan emosional atau emotional
intelligence. Istilah kecerdasan emosional dikemukakan pertama kali oleh Mayer dan
Salovey, dengan definisi sebagai berikut:
The capacity to reason about emotions, and of emotions to enhance thinking. It
includes the abilities to accurately perceive emotions, to access and generate
emotions so as to assist thought, to understand emotions and emotional
knowledge, and to reflectively regulate emotions so as to promote emotional and
intellectual growth (Mayer, 2005b).
Goleman (dalam www.familycounseling.co.za, 2006) menulis tentang kecerdasan
emosional sebagai berikut “Emotional intelligence refers to the capacity for recognizing our own feelings and those of others, for motivating ourselves and for managing emotions well in ourselves and in our relatonships.” Definisi lain dari kecerdasan emosional adalah “… an ability, capacity, or skill to perceive, assess, and
manage the emotions of one’s self, of others, and of group” (en.wikipedia.org, 2006).
Ketiga definisi yang sudah disebut di atas meskipun sedikit berbeda tapi menunjuk
pada hal yang sama yaitu kemampuan untuk mengenali arti dan hubungan dari emosi,
memahaminya dan memakainya sebagai dasar untuk memecahkan masalah.
Selain perbedaan dari segi definisi, komponen kecerdasan emosional yang diajukan oleh Mayer dan Salovey dan komponen teori kecerdasan emosional Goleman
tidak berbeda, karena komponen kecerdasan emosional Goleman mengacu pada
model Mayer dan Salovey. Goleman menyatakan komponen atau kompetensi
kecerdasan


emosional

tersebut

adalah

kemampuan

atau

kapasitas

untuk

(en.wikipedia.org, 2006):
1. Identify and name one’s emotional states and to understand the link between
emotions, tought, and action.
2. Manage one’s emotional states, to control emotions or to shift undesirable
emotional states to more adequate ones.

3. Enter into emotional states (at will) associated with a drive to achieve and be
successful.
4. Read, be sensitive to, and influence other people’s emotions.

4

5. Enter and sustain satisfactory interpersonal relationships.
Dalam bahasa Indonesia, komponen kecerdasa emosional tersebut dikenal dengan 1)
Pengenalan Diri, 2) Pengendalian Diri, 3) Motivasi, 4) Empati, 5) Ketrampilan Sosial
untuk menyebut kelima kompetensi di atas secara berurutan. Istilah-istilah tersebut
banyak dipakai untuk menyebut lima kompetensi kecerdasan emosional secara
singkat. Kelima kompetensi ini berdiri sebagai satu hirarki. Pengetahuan dari kompetensi 1 diperlukan untuk bisa beralih ke kompetensi selanjutnya, demikian juga
pengetahuan atau kemampuan dari tiga kompetensi pertama diperlukan untuk
membaca-mengetahui-mempengaruhi emosi orang lain kompetensi 4). Keempat
kompetensi pertama menjadi dasar untuk memiliki kompetensi kelima.
Kecerdasan emosional seseorang berkembang sejalan dengan pertambahan usia,
seiring dengan pengalaman yang dialami saat kanak-kanak hingga usia dewasa
(Goleman, 1999). Mayer (2005a) mengatakan kecerdasan emosional ini dapat
dipelajari, dikembangkan, dan diperbaiki dengan berbagai cara. Cara yang bisa
dipakai untuk mengembangkan kecerdasan emosional misalnya (Hein, 2005):

1. Mengenali emosi dan perasaan diri sendiri daripada menunjuk orang lain atau
keadaan di sekitar.
2. Bedakan antara pikiran dan perasaan.
3. Gunakan perasaan dalam membuat suatu keputusan.
4. Berilah penghargaan pada perasaan orang lain.
5. Berlatih untuk mendapatkan hal-hal positif dari emosi yang timbul.
Dalam institusi pendidikan formal terdapat juga cara-cara yang bisa ditempuh untuk
mengembangkan kecerdasan emosional tersebut, antara lain:
1. Membuat kurikulum yang mengajarkan skill sosial dan emosional.
2. Membuat bentuk komunikasi yang baik untuk meminimalisir isu dan gosip,
meningkatkan kemitraan wali-guru, memperbaiki mutual respect dari siswa.
3. Membuat pendekatan yang sistematis untuk mengajarkan dasar-dasar
pencegahan yang dapat mengurangi resiko keterlibatan dengan narkoba,
kekerasan, dan drop-out.
4. Desain instruksional yang dapat memperbaiki siswa dalam hal intelektual dan
emosional.
5. Akuntabilitas institusi pendidikan untuk perbaikan berkelanjutan.

5


Kelima usaha peningkatan kecerdasan emosional tersebut dapat terlaksana dengan
baik dengan syarat institusi pendidikan mempunyai lingkungan pembelajaran yang
positif dan sesuai (www.6seconds.org, 2006).
B. PELATIHAN

DAN

PENGEMBANGAN

KEPRIBADIAN:

SEBUAH

SINTESA
Perilaku adalah hal yang sangat berpengaruh pada hubungan auditor internal
dengan auditee, bahkan bisa dikatakan menjadi kunci dalam keberhasilan pelaksanaan tugas auditor internal. Perilaku ini adalah gambaran dari ketrampilan sosial
seseorang yang secara teoritis disebut sebagai kecerdasan emosional. Kecerdasan
emosional ini diharapkan akan meningkat sendiri sejalan dengan bertambahnya umur
(Goleman, 1999), Mayer (2005a) dan Hein (2005) menambahkan bahwa kecerdasan
emosional ini bisa dikembangkan dengan berbagai cara termasuk di dalamnya

menggunakan pelatihan formal. Dengan program pelatihan dan pengembangan yang
tepat, skor kecerdasan emosional seseorang – dalam hal ini auditor internal – dapat
ditingkatkan dan memenuhi kualifikasi personal yang disyaratkan untuk dapat
melaksanakan tugas dengan baik.

6

APLIKASI

BAB 3
DAN PE M BAHASAN

A. PEMENUHAN KEBUTUHAN TENAGA AUDITOR INTERNAL
Dalam usaha memenuhi kebutuhan tenaga auditor internal, perusahaan dapat
melakukan tiga cara yaitu 1) melakukan rekrutmen, 2) mengambil SDM dari dalam
perusahaan, dan 3) melakukan outsourcing. Pada bagian beikut ini, penulis akan
mengulas masing-masing cara:
a. Rekrutmen
Cara ini sangat umum dilakukan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga auditor internal. Proses rekrutmen dilakukan dengan
menjalankan serangkaian seleksi untuk memilih calon (biasanya fresh

graduate) yang sesuai dengan kriteria yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Seleksi yang biasa dilakukan meliputi psikotes, tes
akademis, dan wawancara.
b. Mengambil SDM dari dalam Perusahaan
Mengambil SDM dari bagian lain perusahaan biasanya dilakukan
karena bagian/fungsi audit internal membutuhkan tenaga ahli di
bidang tertentu yang terkait dengan operasi perusahaan. Beberapa
perusahaan melakukan cara yang hampir serupa tapi bukan berdasar
kebutuhan bagian audit internal melainkan berdasar rotasi SDM
reguler, bahkan cara ini mempunyai konotasi negatif dan sering
diistilahkan dengan “diSPIkan”.
c. Outsourcing
Cara lain untuk memenuhi kebutuhan tenaga auditor internal adalah
mengambil tenaga dari luar perusahaan. Perusahaan biasanya
mengikat kontrak dengan institusi lain.

7

B. PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN STAF AUDITOR INTERNAL
Perusahaan yang memenuhi kebutuhan tenaga auditor internal dengan cara

rekrutmen atau pengambilan SDM intern perusahaan akan melakukan pelatihan
sebelum staf baru tersebut melaksanakan tugas pengauditannya. Pelatihan yang diberikan biasanya meliputi teknik-teknik audit, pembuatan laporan, pengenalan perusahaan dan operasinya, dan deskripsi tugas.
Pelatihan-pelatihan lain biasanya dilakukan saat meeting tahunan dengan materimateri baru yang terkait dengan tugas sebagai auditor internal. Metode yang dipakai
bervariasi antara sharing antar staf auditor internal, mengundang pakar bidang tertentu, atau melakukan kerja sama dengan institusi yang menyediakan pelatihan yang
terkait dengan tugas auditor internal.
C. PEMBAHASAN: KONFLIK AUDITOR INTERNAL VS AUDITEE
Melihat proses yang dilakukan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan tenaga
auditor internal dan mengembangkan keahlian profesionalnya, bisa dikatakan kalau
auditor internal pasti memiliki kompetensi yang tinggi dan bisa menyelesaikan
tugasnya dengan baik dan lancar. Kenyataan yang terjadi berbeda dari harapan
tersebut, sering terjadi konflik antara auditor internal dengan auditee. Bentuk konflik
tersebut bisa bermacam-macam, mulai dari aksi diam sampai dengan konflik badan.
Melihat dari proses pemenuhan tenaga auditor internal adalah salah satu hal yang
bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik auditor internal vs auditee. Proses
awal adalah rekrutmen, pemindahan SDM, atau outsourcing. Dalam ketiga proses ini
kurang memperhatikan aspek ketrampilan sosial yang sebenarnya menjadi kunci
dalam menjalin hubungan yang baik dengan sesama. Psikotes yang dilakukan saat
rekrutmen belum mampu menggambarkan ketrampilan sosial personal, meskipun
demikian tidak berarti bahwa seleksi auditor internal yang menjadi sumber dari
semua konflik yang terjadi. Hampir semua psikotes yang dipakai dalam seleksi
karyawan tidak memperhitungkan kondisi kecerdasan emosional.

8

Hal lain yang kurang baik adalah fokus pelatihan atau pengembangan kecakapan
profesional yang juga kurang memperhatikan aspek hubungan emosional manusia.
Berdasar pengalaman pribadi penulis, pelatihan awal yang diberikan pada staf audit
internal baru hanya memberi penekanan pada masalah teknis pengauditan saja tanpa
memberi bekal tentang pengenalan karakter manusia, sikap yang harus dijaga, pemilihan kata dan intonasi dalam pelaksanaan tugas, gaya tubuh, dan lain hal yang berkaitan dengan hubungan personal antara auditor internal dengan auditee. Hampir bisa
dipastikan, penugasan pertama seorang auditor internal baru pasti diwarnai dengan
konflik.
Tidak ada sumber yang bisa diacu untuk menulis hal berikut – tapi penulis yakin
– sebagian besar konflik yang terjadi antara auditor internal dengan auditee pasti
melibatkan usia muda yang kecerdasan emosionalnya belum matang. Auditor internal
yang tua atau dewasa jarang terlibat dalam konflik yang berkepanjangan, besar
kemungkinan karena yang bersangkutan mempunyai kecerdasan emosional yang
baik. Hal ini sesuai dengan teori tentang kecerdasan emosional yang mengatakan
bahwa kecerdasan emosional seseorang akan berkembang sejalan dengan pertambahan usia (Goleman, 1999). Tetapi sangatlah tidak mungkin membiarkan auditor
internal muda meningkatkan kecerdasan emosionalnya berdasar pengalaman pribadi
yang diperoleh dengan perjalanan usia, bila membiarkan hal tersebut berlarut-larut
akan sangat buruk akibatnya bagi profesi auditor internal.
Pada tahun 2008 penulis melakukan penelitian tentang skor kecerdasan
emosional pada mahasiswa program studi akuntansi di salah satu universitas,
responden peneli-tian terdiri dari mahasiswa angkatan tahun 2004, tahun 2005, tahun
2006, dan tahun 2007. Dugaan awal penulis adalah terdapat perbedaan skor
kecerdasan emosional antar tahun angkatan berdasar teori yang dikemukakan
Goleman (1999). Hasil yang di-peroleh ternyata berbeda dengan dugaan awal, tidak
ada perbedaan yang nyata untuk skor kecerdasan emosional total antar angkatan.
Demikian juga halnya dengan pengujian masing-masing kompetensi tidak
menunjukkan adanya perbedaan kecuali untuk kompetensi keempat yaitu empati.

9

Berdasar bahasan tentang konflik dan hasil penelitian tersebut, penulis melihat
bahwa sangatlah penting untuk melakukan pelatihan dan pengembangan kecerdasan
emosional bagi auditor internal untuk mempercepat kematangan kepribadian, bahkan
bisa juga dilakukan hal ekstrim saat rekrutmen yaitu menerapkan kriteria kematangan
kecerdasan emosional untuk menjaga nama baik profesi auditor internal.

10

BAB 4
K E S I M P U LA N D A N S A R A N

A. KESIMPULAN
Perilaku yang merupakan perwujudan dari kecerdasan emosional individu mempunyai pengaruh yang besar pada respon auditee terhadap auditor internal. Kekurangmatangan kecerdasan emosional auditor internal akan mendapatkan respon negatif
dari auditee yang pada akhirnya akan menjadi konflik. Jika terlalu banyak konflik
auditor internal vs auditee yang timbul, hal ini akan sangat merugikan bagi profesi
auditor internal sendiri. Salah satu cara mengurangi dan mencegah konflik adalah
dengan melakukan evaluasi, pelatihan dan pengembangan kecerdasan emosional.
B. SARAN
Berdasar bahasan dan analisis dari bab sebelumnya, penulis mengajukan saran
kepada beberapa pihak yang terkait dengan profesi auditor internal.
a. Saran untuk perusahaan
Sangat disarankan bagi perusahaan untuk melakukan pelatihan dan pengembangan kecerdasan emosional, baik untuk auditor internal baru maupun yang
lama. Cara ini dipakai untuk mempercepat kematangan pribadi individu yang
seharusnya diperoleh lewat pengalaman sehari-hari.
b. Saran untuk institusi pendidikan tinggi
Ada baiknya bila institusi pendidikan tinggi lebih serius menggarap program
pengembangan kepribadian mahasiswa dengan menyediakan lingkungan
pembelajaran yang mendukung, selain bermanfaat bagi pengembangan
pribadi mahasiswa secara utuh juga akan membawa nama institusi sebagai
pencetak lulusan berkecerdasan emosional tinggi. Program pengembangan

11

kepribadian mahasiswa ini dapat dalam bentuk program yang terpisah dari
proses belajar mengajar (misal: pelatihan pengenalan diri, pelatihan
pengendalian diri) atau menjadi satu dalam proses belajar mengajar dalam
bentuk desain instruksional khusus.
c. Saran untuk lembaga pelatihan dan konsultan
Sesuai dengan bahasan tulisan ini, penulis memberi saran kepada lembaga pelatihan untuk menyediakan materi pelatihan dan pengembangan kecerdasan
emosional, juga alat evaluasi yang memadai untuk kecerdasan emosional
yang sangat penting bagi perusahaan dalam rangka mencapai tujuannya.

12

DAFTAR PU STAKA

Emotional Intellegence Network. http://www.6seconds.org. [20 April 2006].
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence. (Terjemahan T. Hermaya). Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 1999. Working With Emotional Intelligence. (Terjemahan Alex Tri
Kantjono W). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hein, Steve. 2005. “Developing Emotional Intelligence.” http://eqi.org/summary.htm.
[20 April 2006].
Hoesodo, Soekardi. 2008. Paradigma Baru Peran Auditor Internal. Jakarta: Yayasan
Pendidikan Internal Audit.
Mayer, J. 2005a. “Can Emotional Knowledge be Improved? Can you raise emotional
intelligence?” The University of New Hampshire.
http://www.unh.edu/emotional_intelligence/ei%20Improve/ei%20Rasing
%20EI.htm. [1 April 2006].
Mayer, J. 2005b. “What Is Emotional Intelligence.” The University of New
Hampshire. http://www.unh.edu/emotional_intelligence/ei%20What%20is
%20EI/ei%20definition.htm. [1 April 2006].
Moeller, R and Herbert Witt. 1999. Brink’s Modern Internal Auditing. New York:
John Wiley & Sons.
Parenting and Family Counseling. http://www.familycounseling.co.za/EmotionalIntelligence.asp. [1 April 2006].
Sawyer, Lawrence B., Mortimer A. Dittenhofer, and James H. Scheiner. 2003.
Sawyer’s Internal Auditing. 5th edition. Florida: The Institute of Internal
Auditors.
Wikipedia, the Free Encyclopedia.
http://en.wikipedia.org/wiki/Emotional_intelligence. [30 Maret 2006].

13

Yayasan Pendidikan Internal Audit. 1999. Modul Manajemen Internal Audit. Jakarta:
Yayasan Pendidikan Internal Audit.
Yayasan Pendidikan Internal Audit. 1997. Modul: Komunikasi dan Psikologi Audit.
Jakarta: Yayasan Pendidikan Internal Audit.

14

BIO DATA PENULIS

Nama Lengkap
Tempat, Tanggal Lahir
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Alamat Rumah
Alamat Kantor

:
:
:
:
:
:

Eduardus Maryarsanto Padmosulistyo
Yogyakarta, 13 Oktober 1968
S1 Akuntansi FE - UGM
Staf Pengajar Prodi Akuntansi FE Univ. Sanata Dharma
Notoyudan GT II 1199a, Yogyakarta 55272
Mrican Tromol Pos 29, Yogyakarta 55002

15