Filsafat Sains Sosial dan Teologi

FILSAFAT, SAINS,
SOSIAL, DAN TEOLOGI
(HANDOUT 3)

1.

Teologi merupakan bagian dari agama yang merupakan
institusionalisasi pengalaman iman. Oleh karena itu,
berteologi yang lepas dari jemaat rasanya tidak mungkin
(bisa). Karena teologi berhubungan dengan agama, maka
Ia harus memiliki sifat 4 C dan 1 T.
C = Creed (Rumusan Kepercayaan)
C = Community (Komunitas)
C = Cult (ibadah)
C = Code of Conduct (membawa tambahan orientasi
tertentu
T = Trancendence (Keabadian)
Komunitas yang menyembah sesuatu dan percaya
berperilaku seperti yang daialami dalam ibadah. Mengapa
T itu sangat penting? Karena orang beriman ada ultimate
image semacam “ yang mengatasi” (trancendence)


Menurut Th. Sumartana (2000) teologi itu bertanya kritis
50% sedangkan sisanya 50% merupakan interpretasi
kenyataan dan pilihan-pilihan etis.
Teologi dapat memiliki tafsir positif dan negatif terhadap
pengalaman religi umat. Asumsi yang digunakan untuk
mendukung pernyataan tersebut bahwa teologi sebagai
karya manusia ttidak bersifat netral, subjektif, penuh
dengan dogma, dan berpengaruh positif dan negatif.
Pemikiran teologi mutakhir selalu berkaitan pada
penyusunan paradigma-paradigma yang memunculkan
anomali karena adanya pemikiran kritis, interpretasi
kenyataan dan pilihan-pilihan etis, yang pada akhirnya
memercikkan krisis untuk memunculkan paradigmaparadigma pilihan teologi baru.

2. Teologi hampir dipastikan selau belajar dari disiplin lain
yaitu sains (natural science) dan ilmu sosial (social).
Teolgi ingin menyatakan tentang realitas dan kebenaran.
Dalam Fisika Kuantum misalnya, ia tidak deterministic
dan mekanistik terhadap realitas yang ditawarkan. Ia

selalu relativistik. Jika sains saja memiliki sifat relativistic
maka teologi jga memiliki tafsir relativistic. Teologi
senantiasa berhubungan dengan agama dan iman.
Teologi dapat membantu, memotivasi pertumbuhan
kelompok. Munculnya teologi feminis, teologi lingkungan,
teologi kemiskinan, bahkan teologi kemakmuran
(sukses/kapitalis) merupakan tafisr relativistic berteologi.

Sama halnya ketika Max Weber dengan
Paradigmanya “Chistian ethics and
Development”. Prinsip yang harus dipegang
bahwa dalam segala sesuatu itu tidak ada yang
pasti. Prinsip empirisme senantiasa dipraktikkan
dalam penekatan ilmiah. Dalam bahasa
psikologi ada prinsip trial, error, and Ahaa
expression. Sebagai contoh: membangun rumah
di atas batu, di atas pasir, dan di atas rawsarawa senantiasa memperhatikan konstruksi
yang cermat agar rumah itu menjadi kokoh.

Demikian pula dalam mengkonstruksi mobil,

pesawat, telepon seluler, komputer, dan
barang elektronik lain senantiasa melewati
eksperimentasi tanpa menghilangkan prinsip
relativisme. Berbicara mengenai bom, selain
ada bom atom, muncul bom nuklir, bom
hidrogin, dan bom antarbenua. Dalam bidang
persenjataan pun selain senjata konvensional
ada pula senjata biologi, kimia, dan senjata
pemusnah masal.

3. Ilmu sosial bersifat interpretative. Bahkan ilmu
sosial yang mengklaim menggunakan
pendekatan kuantitatif tidak lepas dari proses
interpretative. Data-data yang dikumpulkan
dalam studi kuantitatif diolah menurut
interpretasi. Dalam studi jumlah peristiwa dapat
diangkan. Misalnya: wabah flu burung di
jabotabek sudah menewaskan 62 orang , bukan
72 orang seperti yang dilansir oleh media
massa. Angka 62 dan 72 tersebut data

kuantitatif tetapi dapat juga kualitatif.

Ketika 3 orang dalam satu mati secara
tiba-tiba di Tangerang beberapa saat lalu,
maka angka 3 tersebut juga dapat
dikualitatifkan. Contoh analisis kualitatif
sangat dipengerauhi oleh interpretasi
yang berbeda-beda. Sebagai contoh: Cliff
Sangra menembak menantunya (Suami
Kiki Maria) merupakan fakta. Namun,
interpretasi penembakan itu mengapa
dilakukan akan berbeda-beda.

4. Ilmu sosial tidak selalu positivistic dan
rasioalistik, selalu ada unsure-unsur lain yang
mengikutinya (konteks dan teks). Namun
seorang peneliti ilmiah harus memperhatikan
juga data-data positifnya. Sebagai contoh:
Kotbah yang “menyala-nyala” dalam Alkitab
dapat bernilai kualitatif, namun belum tentu

cocok dengan relaitas kehidupan. Bandingkan
dengan data kuantitatif-kualitatif berikut. Dari 3
pasangan Kristen 1 pasang bercerai. Tiga dari
laki-laki Jakarta 2 orang berselingkuh dengan
pasangan lain.

Mahasiswi Yogyakarta kata Iib Wijayanto
(2001) 98% tidak perawan. Kelaparan di
Yahukimo menewaskan 52 orang dan 114
dirawat di rumah sakit. Penghasilan (baca: gaji
atau tanda kasih) pendeta Baptis Rp 4.00.000
– Rp 15. juta. Angka-angka tersebut masih
perlu interpretasi. Dalam dunia hubungan
antarvariabel penelitian yang menggunakan
angka-angka uji statistik (SPSS Statistics
Package for Social Sciences) hasil uji
senantiasa memerlukan interpretasi.

5. Paradigma holistic (menyeluruh) harus
diperhatikan dalam penelitian sosial.

Paradigma ini mengantar orang pada
cakrawala yang luas supaya orang lebih
terbuka. Dengan kata lain ilmu sosial
selalu merelasikan dengan konteks
(dalam arti sempit). Artinya pendeekatan
kontekstual tidak harus dikait-kaitkan
dengan segala-galanya.

6.

Pernyataan mengenai realitas tidak bersifat absolut,
statis, monologis, dan eksklusif. Namun ia histories,
perspeksional, parsial, dan interpretaitif.
Pengembangan teologi yang nirrealitas seperti yang
digambarkan di atas akan sulit dipahami oleh orangorang nonteologi. Oleh karena itu, selayaknya
diperlukan pluralisme teologi. Teologi yang
monocentris dan monocultural tidak bisa lagi
diandalkan. Lebih dahsyat lagi kalau terdapat
paradigma Eropa dan Yunani dalam konteks teologi
Indonesia. Dengan kata lain, teologi juga dapat

diungkapkan oleh bahasa dan budaya lain (Jawa, Bali,
Arfak, Batak, Minahasa, dsb).

7. Sifat relasional dalam pengkajian filsafat
ilmu sosial mereferensi pada hal-hal
yang tidak absolut yang memiliki ciri-ciri
berikut.
a. sifat relatif sains, sosial, dan teologi selalu
dirumuskan dalam konteks histories.
Realitas kebenaran yang dideabsolutisasi;

b. sifat relasional yang kelihatan dari premis nilai
yang menyatakan tentang kenenaran. Orang
sudah memiliki nilai intensi atau maksud yang
tidak lepas dari nilai-nilai. Misalnya: Menggapa
Gereja bersusah payah ikut dalam amandemen
UUD 1945? Nilai yang mungkin diberikan untuk
menjawab pertanyaan itu adalah karena UUD
1945 itu merupakan kehidupan bersama, maka
perlu diatur dengan etika. Contoh Etika lain

dikemukakan oleh Karl Marx “Agama itu candu”,
etika yang mengajari mengurangi sifat manusia
yang bergantung pada agama tetapi bekerja.

c. Sifat relasional itu juga dapat terlihat dari
sosiologi pengetahuan. Karena
pengetahuan memiliki titik tolak atau
perspektif lain. Sebagai contoh: Orang
Kristen yang memiliki jabatan di gereja
dengan orrang Kristen yang memiliki
jabatan di pemerintahan (Kira-kira mana
yang lebih rohami dan humanis.

d. Sifat relasional itu merupakan simbol yang
terbatas. Tetapi di pihak lain tanpa simbolsimbol itu tidak bisa dikomunikasikan sesuatu.
Sebagai contoh: 1. Injil itu berita gembira. 2
Alkitab itu Firman Allah. Kedua pernyataan itu
akan beda nuansanya jika diungkap di gereja
dengan yang diungkap dengan minum the di
beranda rumah. Oleh karena itu, teologi tidak

lepas dari pengkomunikasian simbol-simbol
dalam bentuk verbal.

e. Sifat relasional itu interpretative. Sebagai
contoh: apakah ada jemaat yang
measakan bahwa kebaktian/ibadah pada
Minggu tadi tidak baik? Ilmu, termasuk
merespon tehadap peristiwa senantiasa
interpretative. Dalam ilmu, apa yang
dimaksudkan harus dapat diformulasikan
dengan bahasa tulis.

f. Sifat relasional itu juga bersifat dialogis.
Teologi yang tidak berdialog dengan
yang lain akan miskin. Teologi harus
berdialog dengan siapa? Berteologi di
bumi tidak lepas dari agama lain, budaya
lain, komunitas lain.

8. Pertanyaan kritis lain berkait dengan filsafat

teologi adalah apakah teologi bagian dari
komunitas? Apakah teologi hanya
membincang komunitas Kristen saja?
Jawabnya BISA. Namun tidak dapat dipungkiri
juga ada Abraham Religion, berupa interfaith
(keyakinan antar iman) Islam, Kristen dan
Yahudi. Dalam kajian itu banyak mengambil
unsure-unsur dari islam, Kristen, Yahudi
dengan referensi Torah, Injil, Yesus, Torah,
Quran, Mohamad.

9. Dalam kaitannya dengan pengkajian
teologi. Ilmu itu dikembangkan dengan
berbasis iman. Dengan kata lain yang
diimani itu apa? Sebagai contoh: Orang
Kristen yang membuat studi tgentang
Islam, bukan berteologi Islam.
Pengkajian islam seperti yang dilakukan
oleh orang Kristen tersebut adalah
referensi filosifis (Islam) bukan mengkaji

teologinya.

Pertanyaan-Pertanyaan Diskusi
Adakah sumbangan budaya pop seperti televisi (sinetron
Islam, Kristen, Hindu, Budha, dlsb) terhadap teologi
Kristen? Bagaimana sikap teolog terhadap sinetron yang
mistis, irrasional, konsumtif, kontradiktif, dalam
penumbuhan iman?
Adakah sumbangan sains terhadap teologi? Atau
sebaliknya sumbangan teologi terhadap sains.
Adakah sumbangan ilmu sosial terhadap teologi? Atau
sebaliknya sumbangan ilmu sosial terhadap teologi?