Pentingnya Insturmen Ekonomi Lingkungan persepsi

Pentingnya Insturmen Ekonomi Lingkungan Hidup Bagi Pembangunan Hotel di
Jogjakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia,
sebagai daerah destinasi wisata tentu diperlukan sarana penunjang yang memadai dan
nyaman. Salah satu sarana penunjang tersebut adalah hotel. Jumlah hotel di Dais.Yogyakarta
sangat banyak dan setiap tahun pasti bertambah. Hal tersebut dapat terlihat dari data yang
penulis ambil dari http://yogyakarta.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/41 diakses tanggal 22
Oktober 2016). Jumlah hotel berbintang di Provinsi Dais.Yogyakarta pada tahun 2012 adalah
54 dengan total jumlah kamar 5.150 kamar. Pada tahun 2013 mengalami kenaikan menjadi
61 hotel dengan total kamar 5.801. Pada Tahun 2014 mengalami kenaikan lagi 10 hotel baru
yakni menjadi 71 hotel dengan total kamar 6.864 kamar. Sedangkan jumlah hotel tidak
berbintang di Provinsi Dais. Yogyakarta pada tahun 2012 berjumlah 1100 dengan total
jumlah kamar sebanyak 13.309. Pada tahun 2013 jumlah tersebut bertambah 9 hotel menjadi
1109 dengan total jumlah kamar sebanyak 13.547. Pada tahun 2014 jumlah hotel meningkat
lagi menjadi 1.067 dengan jumlah kamar sebanyak 13.624.
Berdasarkan angka diatas dapat diketahui bahwa setiap tahun jumlah hotel, dan kamar
hotel berbintang ataupun tidak berbintang mengalami kenaikan bahkan setiap tahunnya
meningkat. Hal tersebut menimbulkan sisi positif dan negatif bagi DIY. Hal positif misalnya
adalah dengan semakin bertambah jumlah hotel, maka semakin menambah pendapatan
daerah, menambah lapangan pekerjaan, dan memudahkan wisatawan untuk menginap. Hal
negatifnya antara lain, timbulnya kerusakan lingkungan jika hotel tidak dibangun sedemikian

rupa.
Pembangunan hotel di Jogjakarta juga mendatangkan sisi negatif, menurut Francis
Wahyono, Direktur Center for Integrated Development and Rural Studiesi dalam acara
diskusi Yogya Sold Out, sebagaimana dilansir oleh www.detik.com tanggal 22 April 2015
“mal-mal dan hotel hanya menjadi tontontan tak elok di tengah rakyat yang setia mengawal
keistimewaan Yogyakarta, warga tidak mendapatkan apa-apa dari pembangunan tersebut.”
Hal senada juga diungkapkan oleh Dodok Putra Bangsa, salah satu aktivis Gerakan Jogja
Asat dalam acara serupa sebagaimana dilansir juga oleh www.detik.com tanggal 22 April
2015, pembangunan hotel-hotel justru semakin menekan masyarakat kecil. Masyarakat jadi
korban kerusakan lingkungan, salah satunya adalah persoalan air bersih yang selama ini
diambil dari sumur.
Kota Yogyakarta mengalami defisit air akibat salah satunya ialah pembangunan hotel
tidak sebanding dengan ketersediaan imbuhan atau daerah resapan air yang mampu
menambah air tanah secara alamiah. Hal tersebut dikemukan oleh Amrta Institute, LSM yang
bergerak di bidang pengelolaan air sebagaimana dilansir oleh www.detik.com tanggal 15
Agustus 2016. Menurut Amrta Institute terdapat 5 (lima) dari total 14 (empat belas)

kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta yang berstatus merah atau krisis air yakni
Gondokusuman, Mergangsan, Mantirejon, Jetis, dan Umbulharjo.
Hal diatas selayaknya tidak akan terjadi jika, investor mentaati peraturan perundangundangan, perizinan yang telah ada. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup selanjutnya disebut UUPPLH 2009. UUPPLH 2009 adalah paying hukum dan harus
ditaati oleh investor jika ingin membangun hotel yang harus berwawasan lingkungan hidup.
Beberapa tujuan dibentuknya UUPPLH 2009 yakni terdapat dalam Pasal 3 yakni; (1).
Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup; (2). Menjamin kelestarian fungsi lingkungan hidup; (3).
Menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; (4).
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
UUPPLH 2009 mengatur dengan tegas, rinci terkait pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup salah satunya yang penulis kritisi dalam tulisan ini adalah
tentang “instrumen ekonomi lingkungan hidup” Dewasa ini, menjadi pertanyaan kita
bersama adalah apa itu instrumen ekonomi lingkungan hidup? Apa saja bentuk instrumen
ekonomi lingkungan hidup di Indonesia? Bagaimana pentingnya instrumen ekonomi
lingkungan hidup bagi pembangunan hotel di Yogyakarta?
Berdasarkan Pasal 1 angka (33) UUPPLH 2009, definsi “instrumen ekonomi lingkungan
hidup adalah seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, Pemerintah
Daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.” Pelaksanaan
ketentuan mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup, maka berdasarkan Pasal 43 ayat
(4) UUPPLH 2009 haruslah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan Pasal 42 ayat (2) UUPPLH 2009, bentuk instrumen ekonomi lingkungan

hidup di Indonesia adalah (1). Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; (2).
Pendanaan lingkungan hidup; (3). Insentif dan/atau disinsentif. Berdasarkan Pasal 43 ayat (1)
UUPPLH 2009, Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi dapat dilakukan dengan
cara (a). penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup; (b). penyusunan
produk domestik bruto dan produk domestik regional yang mencakup kerusakan lingkungan
hidup; (c). memberikan imbal jasa lingkungan hidup antar daerah; menyusun internalisasi
biaya lingkungan hidup dengan memasukan biaya pencemaran. Sedangkan pendanaan
lingkungan hidup diatur dalam Pasal 43 ayat (2) UUPPLH 2009 yakni meliputi: (a). dana
jaminan pemulihan lingkungan hidup untuk pemulihan lingkungan yang rusak; (b). dana
penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup serta (c).
dana amanah/bantuan untuk konservasi.
Insentif dan/atau disinsentif sebagai salah satu bentuk instrumen ekonomi lingkungan
hidup adalah upaya untuk memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau
non-moneter kepada setiap orang ataupun Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar
melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas
fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 43 ayat (3) UUPPLH 2009, bentuk insentif
dan/atau disinsentif yakni: (a). pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup; (b).
penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup; (c). pengembangan sistem lembaga
keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup; (d). pengembangan sistem


perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi; (e). pengembangan sistem pembayaran
jasa lingkungan hidup; (f). pengembangan asuransi lingkungan hidup; (g). pengembangan
sistem label ramah lingkungan hidup; (h). sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Menurut Koesnadi Harjadsoemantri dalam bukunya Hukum Tata Lingkungan (Edisi VIII:
2000: 353), insentif dan disinsentif yang mengatur instrumen ekonomi dalam memberikan
kemudahan kepada para pengusaha dalam usaha pelestarian fungsi lingkungan. Adapun
upaya preventif dalam instrumen adalah tindakan tingkatan pelaksanaan melalui penataan
baku mutu limbah dan atau instrumen ekonomi, serta hal tersebut adlaah kewajiban
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
Instrumen ekonomi lingkungan hidup sangat penting bagi pembangunan hotel di
Yogyakarta baik bagi investor, dan Pemerintah Daerah. Menurut penulis, keuntungan yang
didapat oleh investor/pengembang hotel hal tersebut dapat dijadikan sebagai (a). alat untuk
menaikan image perusahaan yang ramah lingkungan. Perusahaan/pengembang dengan citra
baik, eco-friendly dapat menaikan nilai penjualan suatu barang, ataupun pengembang
tersebut tidak akan sering di-demo oleh warga setempat yang menuntut karena daerahnya
telah dicemari; (b). hal tersebut dapat sebagai pengukur kinerja penataan
perusahaan/pengembang, pengembang hotel yang taat peraturan, berusaha mencegah
terjadinya pencemaran lingkungan tentu akan mendapatkan reward dari Pemerintah, dan hal
tersebut menandakan bahwa pengembang tersebut memiliki kinerja dan penataan yang baik.

Pemerintah Daerah seyogyanya dapat menjadikan instrumen ekonomi lingkungan hidup
sebagai alat pengukur dan alat preventif mencegah terjadinya pencemaran lingkungan.
Instrumen tersebut dapat dijadikan sebagai instrumen pengawasan, alat kontrol terhadap
perusahaan yang sering melangggar aturan pembangunan hotel, dan alat untuk menilai
pengembang hotel di Yogyakarta, apakah telah membangun hotel dengan teknologi yang
ramah lingkungan atau belum?. Jika suatu pengembang hotel di Yogyakarta telah mentaati
peraturan, mengurus, mematuhi perizinan dengan baik, melakukan pembangunan dengan
cara-cara dan teknologi yang ramah lingkungan, Pemerintah Daerah dapat memberikan
insentif dalam bentuk diatas tadi kepada pengembang, dan sebaliknya jika pengembang hotel
tersebut melanggar peraturan dalam pembangunan, membangun dengan teknologi,
perancanaan yang tidak tepat, maka Pemerintah Daerah dapat memberikan disinsentif berupa
pengenaan beban atau ancaman secara moneter dan/atau moneter kepada pengembang
tersebut yang bertujuan untuk mengurangi kegiatn yang berdampak negatif pada cadangan
sumber daya alam khususnya air tanah, dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Jadi insentif
dan disinsentif yang diberikan oleh Pemerintah Daerah adalah bentuk reward and
punishment terhadap investor pembangunan hotel. Bentuk reward and punishment tersebut
juga dalam bentuk ekonomi yang mendatangkan manfaat bagi permodalan, pemasukan
perusahaan, ataupun kedepannya dapat menambah beban biaya bagi perusahaan, jika
perusahaan pengembang hotel di Yogyakarta seringkali mendapat punishment/disinsentif
dalam bentuk denda. Menurut hemat penulis, jika pengembang hotel sering mendapatkan

disinsentif ada baiknya jika izin pengembang tersebut dicabut karena selain perusahaan
tersebut tidak punya itikad baik dalam membangun hotel, pengembang tersebut juga
membahayakan lingkungan serta masyarakat sekitar hotel tersebut.

UUPPLH 2009 mengamanatkan bahwa pelaksanaan instrumen ekonomi lingkungan
hidup harus diatur dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Namun, hingga tulisan ini dibuat
Pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanan instrumen ekonomi
lingkungan hidup. Pemerintah masih menggodok dalam bentuk Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP), semoga saja dalam waktu dekat RPP tersebut dapat segera disahkan agar
Pemerintah, Pemerintah Daerah dapat segera membuat peraturan dan menerapkannya di
daerah masing-masing, adanya kejelasan pendanaan insentif yang akan diberikan bersumber
dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) atau APBD, serta jika diberikannya
disinsentif kepada perusahaan pengembang hotel, uang disinsentif masuk sebagai pendapatan
daerah atau pendapatan negara. Hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh
Badan Legislatif.

Rizky Karo Karo
Mahasiswa Magister Hukum, Fakultas Hukum UGM
rizkykarokaro@hotmail.com