Teologi Mesianik dan Reformasi Sosial Ko

Nama
Asal

: Yason Resyiworo Hyangputra
: STT Jakarta
Teologi Mesianik dan Reformasi Sosial :
Koperasi Sebagai Sistem Ekonomi Umat dalam Menanti Penggenapan Kerajaan Allah
Selama ini konsep mesianik dianggap tunggal dan penekanannya cenderung pada

dimensi spiritual dan personal semata. Sementara itu, konsep mesianik dalam Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru, sebetulnya beragam dan tidak tunggal dan banyak diantara
konsep-konsep tersebut yang justru menekankan baik dimensi personal dan spiritual
maupun dimensi material dan sosial yang mengangkat tema perubahan sosial yang dibawa
oleh sang mesias dan sebuah semangat yaitu keberpihakan kepada orang miskin (terutama
dalam Injil Lukas). Makalah ini akan memusatkan perhatian pada konsep mesianik dalam
Perjanjian Lama dan dalam Injil Lukas.
Kemiskinan adalah salah satu tema yang menjadi sasaran pembaruan oleh konsep
mesianik tersebut. Tema kemiskinan tidak hanya terbatas dalam Alkitab pada masanya dan
di Timur Tengah tetapi tetap relevan hingga saat ini di Indonesia. Sang Mesias menjadi
corong suara kenabian terhadap keadaan buruk pada masanya (cth: kemiskinan) agar
terjadi perubahan menuju keadaan ideal yang perlu diwujudkan (kesejahteraan bersama).

Saya melihat konsep mesias pada masa sekarang ini, tidak bisa lagi hanya dimaknai sebagai
seseorang/person tetapi sebagai sebuah sistem yang membawa perubahan sosial dan
dalam konteks ini sistem ekonomi. Saya melihat perlunya sebuah sistem ekonomi yang
menjadi sebuah sistem yang membawa perubahan atau reformasi sosial dalam bidang
ekonomi di Indonesia. Sistem ekonomi tersebut adalah sistem ekonomi koperasi yang
mempertemukan dan menjembatani antara orang kaya dengan orang miskin, dalam
semangat solidaritas untuk kesejahteraan bersama.
Kata Kunci : Mesias, Mesianik, Ekonomi, Koperasi, Kemiskinan, Kesejahteraan, Yesus
Konsep Mesianik dalam Perjanjian Lama
Yesus adalah seorang Yahudi. Sebagai orang Yahudi, pemikiran dan hidup Yesus pasti
dipengaruhi oleh gagasan-gagasan mesianik Yahudi yang berkembang di antara kaum
sebangsa dalam zaman-Nya. Bisa dikatakan bahwa gagasan mesianik dalam lingkungan
Palestina pada akhir periode Bait Allah Kedua sampai pada zaman Yesus merupakan
gabungan dari berbagai macam gagasan mesianik yang ada (Riyadi 2011, 33).

Menurut J.D.G Dunn, dalam tulisannya “Messianic Ideas and their influence on Jesus of
History” yang terdapat dalam buku J.H. Charlesworth (ed.), The Messiah, sebagaimana
dikutip Riyadi, beberapa gagasan mesianik yang bisa disebut antara lain gagasan mesianik
rajawi, gagasan mesianik imami, gagasan mesianik kenabian. Mereka yang memegang
gagasan mesianik rajawi, mengharapkan figur seorang raja dari keluarga Daud. Dasar

kokoh bagi pengharapan akan seorang Mesias rajawi ini adalah janji Allah kepada Daud
sehingga Mesias rajawi itu disebut anak Daud atau anak Allah (2 Sam. 7:12-14), tunas
rajawi (Yer. 23:5; 33:15), pangeran Daud (Yeh. 34:24; 37:25) dan teks-teks lainnya di
Perjanjian Lama yang dihubungkan dengan figur Mesias rajawi (2 Raj. 7, Mzm. 2, 110, Yes.
9:1-6). Pada zaman Yesus, kebanyakan orang Yahudi (tidak semua) menantikan kedatangan
figur Mesias rajawi yang datang dari keluarga Daud yang akan memerintah atas mereka
untuk selama-lamanya (membebaskan mereka dari tirani penjajahan romawi). Gagasan ini
bukan tanpa kritik sebab periode Bait Allah Kedua bukan lagi periode monarki raja-raja
tetapi pemimpin masyarakat Yahudi adalah Imam Agung di Bait Allah yang dibantu oleh
para imam dan ahli taurat (Riyadi 2011, 34-35). Gagasan ini paling tidak menunjukkan
bahwa ada dimensi sosial dan material, semangat untuk lepas dari penindasan penjajah
romawi.
Selain figur Mesias rajawi, juga terdapat pengharapan akan seorang Mesias Imami,
Gagasan ini tidak asing dalam tradisi Israel karena dalam Perjanjian Lama, juga dikatakan
bahwa para imam diurapi untuk melaksanakan fungsi imaminya (Im. 4:3,5,16). Mesias
imami ini kadang ditempatkan di atas Mesias rajawi atau juga disatukan dengannya. Dalam
pemberontakan Yahudi yang kedua, imam Eleazar bersatu dengan Bar Kokhba dan
keduanya menampilkan gagasan Mesias imami dan Mesias rajawi (Riyadi 2011, 36).
Gagasan Mesias imami ini bukan tanpa kritik, sebab nampaknya oleh Yesus, gagasan ini
tidak masuk dalam pernyataan Yesus tentang diri-Nya. Yesus tidak pernah menyebut

dirinya Imam. Orang-orang di sekitar Yesus tidak pernah menyebut dirinya imam,
melainkan Guru, Rabbi, Nabi, Anak Daud, dst. Yesus memang bukan seorang imam dan
bukan keturunan Lewi. Bahkan ia konflik dengan para imam (karena kritiknya terhadap
praktik beragama Yahudi pada masa itu yang justru menyengsarakan rakyat) dan satusatunya tulisan Perjanjian Baru yang berbicara tentang Yesus sebagai imam adalah surat
Ibrani, itupun harus dicatat bahwa imamat yang diterapkan adalah imamat menurut

peraturan Melkisedek (Riyadi 2011, 40). Lagi-lagi gagasan ini juga menunjukkan kepada
kita bahwa dalam Perjanjian Lama terdapat dimensi material dan sosial dari konsep
mesianik.
Selain Mesias raja dan Mesias imam, ada kelompok tertentu juga yang menantikan
datangnya Mesias nabi. Beberapa teks Perjanjian Lama juga menyebut seorang nabi yang
juga diurapi Allah (1 Raj. 19:16; Yes. 61:1-2; Yoel 3:1). Gambaran akan figur nabi muncul
terutama dari kalangan rakyat kebanyakan dan nabi-nabi ini menyampaikan warta tentang
pengadilan atau juga pembebasan oleh Allah. Ada begitu banyak figur yang dikaitkan
dengan Mesias nabi a.l. Elia (Mal. 4:5), Musa (Ul. 18:15-18) dan lainnya (Riyadi 2011, 36).
Menjadi catatan tersendiri, bahwa Perjanjian Baru, nampaknya banyak menampilkan sisisisi kenabian yang dijalankan oleh Yesus dalam hidup dan perutusan-Nya. Sebelum
memulai karya publik-Nya, Yesus mengacu perutusan-Nya kepada teks Yesaya 61:1-2, yang
muncul dalam ucapan bahagia (Mat. 5:3; Luk. 6:20) dan dalam jawaban Yesus kepada para
utusan Yohanes Pembaptis (Mat. 11:5; Luk. 7:22). Yes. 61 sendiri berbicara tentang utusan
Tuhan yang diurapi oleh-Nya untuk membawa kabar baik kepada yang sengsara,

memberitakan pembebasan kepada tawanan, memberitakan tahun rahmat Tuhan dan hari
pembalasan Allah atau dengan kata lain tugas dan perutusan seorang nabi Allah. Yesus
sendiri ketika ditolak oleh orang-orang Nazaret mengatakan bahwa “seorang nabi
dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri…” (Mrk. 6:4; Yoh. 4:44). Yesus
sendiri menyadari bahwa nasib seorang nabi dalam sejarah Israel adalah penderitaan
hingga kematian sebagai konsekuensi warta pembebasan yang dibawa oleh-Nya dari Allah
(Riyadi 2011, 44). Gagasan ini juga menunjukkan kepada kita, bahwa nabi bersuara
(menyuarakan suara Allah) ketika melihat struktur sosial (ada dimensi sosial dan material)
yang tidak adil pada masanya.
Telah kita lihat keragaman konsep mesianik dalam Perjanjian Lama, yang
memengaruhi kemesiasan Yesus pada masa ia menjalankan karya-Nya. Tentu ada beragam
konsep lainnya, tapi kita bisa melihat dalam konsep mesianik yang telah kita bahas bahwa
konsep-konsep tersebut memiliki kesamaan prinsip yaitu terdapat seorang yang diurapi
oleh Allah untuk membawa perubahan sosial di masanya (baik itu dalam perannya sebagai
raja, imam atau nabi menurut saya bukanlah persoalan utama). Bagi saya ini berarti Allah
sendiri turut bertindak melalui mesias itu dalam sebuah tindakan yang menentukan gerak

sejarah manusia. Hal yang menarik dilihat bahwa dalam konsep-konsep tersebut terdapat
penekanan dimensi material dan sosial (tanpa mengabaikan dimensi spiritual dan personal
bahwa Allah bertindak dalam sejarah manusia melalui sang Mesias). Hal itu bermuara

dalam satu semangat yaitu Allah yang berpihak kepada orang miskin (sebagai simbol dari
penindasan manusia oleh manusia lainnya).
Perlu dicatat bahwa kata ‫ח‬
‫משששי ח‬
‫( מ‬Māšîaḥ) yang digunakan dalam Perjanjian Lama
adalah “yang terurapi”, bukan sosok yang diharapkan kedatangannya di masa depan, yang
kedatangannya akan menandai dimulainya sebuah zaman keselamatan. Mesias dalam
Perjanjian Lama senyatanya telah diurapi dengan minyak untuk sebuah fungsi tertentu,
entah sebagai raja atau imam (atau nabi). Hampir semua kata ‫ח‬
‫משששי ח‬
‫( מ‬Māšîaḥ) yang
digunakan dalam Perjanjian Lama diterapkan pada seorang raja yang menunjukkan
kedekatan antara Allah dan raja Israel yang dipilih dan diangkat-Nya. Raja-raja (atau imam,
atau nabi) itu adalah orang yang saat itu (bukan di masa depan!) diurapi oleh Allah. Setelah
pembuangan Babilonia, barulah orang-orang Israel mengharapkan tumbuhnya dinasti
Daud yang dibarui. Dalam pengharapan ini, gelar ‫ח‬
‫משששי ח‬
‫( מ‬Māšîaḥ) semakin menjadi sebuah
istilah teknis untuk menyebut seorang yang diutus Allah untuk memperbarui kemerdekaan
dan keadilan Israel (Riyadi 2011, 106). Dengan demikian menjadi jelas dimensi sosial,

duniawi dan kemendesakan dari Mesias itu sendiri dalam Perjanjian Lama.
Konsep Mesianik dalam Injil Lukas
Bagaimana dengan konsep mesianik dalam Perjanjian Baru? Keseluruhan Perjanjian
Baru memusatkan pewartaan iman bahwa Yesus adalah Kristus. Gelar Kristus tentu saja
diwarisi oleh para penginjil, dari Perjanjian Lama. Akan tetapi apa yang mereka tulis
mengenai Yesus sebagai Kristus, bukan sebuah perkembangan linier yang lurus-lurus saja
dari gagasan Perjanjian Lama mengenai Mesias, sampai pada tahap di mana Mesias/Kristus
menjadi nama diri bagi Yesus. Pemahaman para penulis Perjanjian Baru akan Yesus sebagai
Kristus justru dibangun oleh hidup, kematian dan kebangkitan Yesus. Hidup, kematian dan
kebangkitan Yesuslah yang terus memberi terang dan makna baru bagi mereka yang
menyatakan iman kepada Yesus, sehingga meskipun gelar mesianik dari Perjanjian Lama
digunakan, isi dan pengertian dari gelar tersebut muncul dari hidup, kematian dan
kebangkitan Yesus (Riyadi 2011, 104-105). Oleh karena kristologi Injil-injil Sinoptik
beragam, demikian juga memiliki perbedaan dengan kristologi Injil Yohanes dan juga

berbeda dengan kristologi dalam surat-surat Paulus, maka saya memutuskan untuk
membatasi pembahasan kristologi hanya dalam Injil Lukas yang memang jelas
menunjukkan keberpihakan kepada orang miskin.
Gelar Kristus adalah satu dari gelar-gelar yang paling populer yang dimiliki oleh
Yesus dalam Perjanjian Baru. Dalam keseluruhan Perjanjian Baru, gelar ini digunakan 531

kali. Gelar ini digunakan oleh keempat penulis Injil dengan nuansa dan tekanan yang
berbeda sesuai dengan paham kristologi masing-masing penginjil dan juga dipengaruhi
oleh situasi jemaat yang mereka hadapi (Riyadi 2011, 105). Dalam dunia Yunani, Χριστός,
pada awalnya tidak memiliki nuansa religius apa-apa. Χριστός adalah sebuah partikel
pasif yang dibentuk dari kata kerja χρίειν yang berarti mengurapi. Kata Χριστός bisa
berarti diurapi atau juga dia yang terurapi. Pengurapan biasanya dilakukan dengan minyak.
Kata Χριστός kemudian digunakan dalam Septuaginta (LXX) untuk menerjemahkan kata
Ibrani ‫ח‬
‫משששי ח‬
‫( מ‬Māšîaḥ) yang juga berarti diurapi (Riyadi 2011, 106).
Fitzmyer, sebagaimana dikutip Riyadi, menegaskan bahwa penulis Injil Lukas dan
Kisah Para Rasul juga menggunakan gelar Kristus untuk menyebut Yesus. Meskipun bukan
gelar yang paling sering digunakan tetapi gelar ini harus dimengerti sebagai yang paling
penting dalam tulisan-tulisan Lukas. Ketika Lukas mulai menulis Injil dan Kisah Para Rasul,
gelar Kristus sudah menjadi gelar par-exellence bagi Yesus dari Nazaret, bahkan sudah
menjadi nama diri bagi-Nya. Dalam terang salib dan kebangkitan Yesus, nama “Kristus” itu
yang awalnya sebuah gelar, berhenti berfungsi sebagai gelar, dan menjadi nama diri bagi
Yesus (Riyadi 2011, 124).
Refleksi Kristologis yang secara khusus dikembangkan Lukas adalah identitas Yesus
sebagai Tuhan dan Penyelamat. Ia adalah Kristus Tuhan (Luk. 2:10). Gagasan Kristologis

Perjanjian Lama tentu saja memberi bahan refleksi bagi penulis Lukas tentang pemahaman
akan Yesus sebagai penyelamat. Mesias memang diutus Allah untuk membarui kehidupan
umat-Nya, untuk membawa mereka ke dalam keselamatan. Mesias itu membawa
keselamatan bagi bangsa Israel, keselamatan dari musuh dan dari bahaya yang mengancam
mereka. Oleh Lukas, gelar Kristus juga digunakan untuk menyatakan Yesus sebagai Tuhan
yang akan datang kembali membawa umat ke dalam kesatuan di dalam Kerajaan Allah di
antara mereka. Dengan bergesernya gagasan kristologi praktis menjadi kristologi
eskatologis, pengharapan akan keselamatan ini tentu saja berkembang lebih lanjut.

Keselamatan itu tidak hanya keselamatan di dunia ini, tetapi juga keselamatan yang tidak
akan berkesudahan (Riyadi 2011, 129).
Berkaitan dengan dimensi eskatologis, Lukas membagi sejarah penyelamatan Allah
atas tiga masa, yaitu masa sebelum Yesus (masa hukum Taurat dan nabi-nabi), masa Yesus
(sebagai pusat sejarah penyelamatan Allah) dan masa sesudah Yesus (masa Gereja dan Roh
Kudus). Masa sebelum Yesus adalah masa Perjanjian Lama, di mana hukum Taurat
diberikan dan para nabi bernubuat. Sedangkan masa Yesus adalah masa di mana Kerajaan
Allah mulai diberlakukan (Luk. 4:13). Pada masa ini pemerintahan Allah (mulai) dialami
oleh orang-orang miskin, orang lemah, orang sakit, orang yang dirasuki setan, dan ini
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan masa Gereja dan Roh Kudus adalah masa
pekabaran Injil (Kis. 1:8) dan juga penantian akan kedatangan Kristus kembali, masa

penantian Kerajaan Allah digenapi secara sempurna oleh kedatangan Kristus kembali
(Hakh 2010, 297).
Eskatologi Lukas adalah eskatologi telah-belum (already-not yet) dalam pengertian
bahwa Mesias membawa pemerintahan Allah secara bertahap dan orang-orang percaya
hidup di antara dua kedatangan Tuhan (yang sudah datang dan akan datang kembali),
dengan ketentuan agar mereka melakukan kehendak Allah dalam masa penantian tersebut
(keberpihakan kepada orang miskin, dll). Umat harus setia sampai harapan pembenaran,
keadilan, dan perdamaian dari Allah digenapi (Bock & Kostenberger 2011, 404-405).
Berkaitan dengan keselamatan yang dibawa oleh Mesias, menurut Scheffler,
sebagaimana dikutip Bosch, orang dapat mengatakan bahwa bagi Lukas, keselamatan yang
dibawa Mesias, sesungguhnya mempunyai enam dimensi : ekonomi, sosial, politik, fisik,
psikologis, dan rohani. Pertobatan pribadi bukanlah tujuan akhir. Menurut Malherbe,
sebagaimana dikutip Bosch, pertobatan tidak hanya berkaitan dengan tindakan keyakinan
dan komitmen seseorang; ia memindahkan seorang percaya ke dalam paguyuban orang
percaya dan menuntut suatu perubahan yang sungguh-sungguh, bahkan radikal, dalam
kehidupan seorang percaya, yang membawa serta tanggung jawab moral yang
membedakan orang Kristen dari “orang lain” sementara pada saat yang sama menekankan
kewajiban mereka terhadap “orang-orang luar” tersebut. Menafsirkan karya gereja sebagai
usaha “memenangkan jiwa” berarti membuat pertobatan menjadi produk akhir, yang jelas
bertentangan dengan pemahaman Lukas tentang maksud misi. Misi bagi Lukas nampaknya

diberikan penekanan khusus kepada aspek ekonomi (menurut Scheffer, sebagaimana

dikutip Bosch) dan memberikan paradigma yang revolusioner mengenai hubungan yang
baru antara orang kaya dan orang miskin (Bosch 2015, 183).
Telah umum diketahui bahwa Lukas mempunyai perhatian yang khusus terhadap
kaum miskin dan kelompok marjinal lainnya. Bahkan sejak Nyanyian Pujian Maria (Luk.
1:53) kita melihat bahwa “Allah melimpahkan segala yang baik kepada orang yang lapar
dan menyuruh orang yang kaya pergi dengan tangan hampa”. Perhatian Lukas kepada kaum
miskin juga nampak dalam ucapan berbahagia kepada orang-orang miskin yang paralel
dengan kecaman-kecaman terhadap orang kaya (Luk. 6:20, 24), perumpamaan tentang
orang kaya yang bodoh (Luk. 12: 16-21), kisah tentang orang kaya dan Lazarus (Luk. 16:1931), dan perilaku yang patut diteladani dari Zakheus, kepala pemungut cukai di Yerikho
(Luk. 19:1-10). Istilah ptokhos (orang miskin), muncul sepuluh kali dalam Lukas
dibandingkan lima kali dalam Markus dan Matius. Namun, Lukas telah menghilangkan
acuan kepada orang miskin yang selalu ada di antara kita (Mrk. 14:7, Mat. 26:11, Yoh. 12:8),
barangkali karena ucapan itu pada zamannya telah ditafsirkan bahwa, karena orang-orang
miskin selalu ada di antara kita, kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi tentang keadaan
mereka. Kemiskinan terutama sekali adalah sebuah kategori sosial di dalam Lukas.
Sebaliknya, istilah plousios (orang kaya), adalah istilah untuk mereka yang serakah, yang
menghisap orang miskin, yang begitu sibuk mencari uang hingga mereka bahkan tidak
punya waktu untuk menerima undangan untuk menghadiri perjamuan (Luk. 14:18), yang

tidak memperhatikan Lazarus di gerbang mereka (Luk. 16:20), yang berperilaku hedonistis
dan karena itu terhimpit oleh kekayaannya sendiri (Luk. 8:14) (Bosch 2015, 153-155).
Melalui Injil Lukas, Mesias seringkali menyuarakan perubahan sosial terkait relasi
antara yang kaya dan yang miskin. Sebagaimana telah kita bahas dalam ayat-ayat diatas
yang terdapat dalam Lukas, penulis Lukas menunjukkan bahwa Mesias, memihak kepada
orang miskin yang mengalami ketidakadilan, terutama dalam hal ekonomi. Umat, yang
menantikan kedatangan kembali Yesus Kristus, harus hidup dalam masa penantian dan
mengisinya dengan melaksanakan perintahNya, antara lain keberpihakan kepada orang
miskin.
Telah kita lihat bahwa konsep mesianik dalam Perjanjian Lama, dan juga dalam Injil
Lukas, tidak semata menekankan dimensi spiritual dan personal. Justru dalam konsep
mesianik yang telah kita bahas, dimensi sosial dan material sangat terasa (dengan demikian
ekonomi juga mendapatkan bagian yang membutuhkan perhatian dalam konsep mesianik

ini). Konsep-konsep tersebut justru menunjukkan ada sebuah semangat yang sama yaitu
perubahan yang dibawa oleh Mesias dan hal itu menekankan keadilan dan kesejahteraan
yang dirasakan oleh umatNya.
Koperasi sebagai sistem yang menjembatani jurang antara orang kaya dan orang
miskin – sebuah sistem mesianik
Semangat konsep mesianik Perjanjian Lama yang menekankan dimensi sosial dan
material serta kemendesakannya, dan juga konsep mesianik Injil Lukas dengan semangat
keberpihakannya kepada orang miskin, menjadi inspirasi saya untuk mencoba membuat
konsep sistem ekonomi koperasi. Kemiskinan merupakan masalah mendesak di Indonesia,
sebagai negara dunia ketiga, yang menjadi calon negara Industri maju baru. Semangat
individualisme, industrialisasi dan kapitalisme (dengan segala kelebihan dan
kekurangannya) membuat mereka yang mampu bersaing, yang kaya, yang punya akses
terhadap kapital, bisa melesat jauh, meninggalkan mereka yang tidak punya akses terhadap
kapital, yang tertindas, yang miskin. Ini membuat yang miskin semakin miskin sementara
yang kaya menjadi semakin kaya. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan konsep mesianik
menurut Perjanjian Lama maupun menurut Injil Lukas.
Sebagai tubuh Kristus, corpus Christi, baik secara organisasional maupun individual,
tentu kita dituntut untuk memiliki kepekaan dalam melihat situasi ini. Sebagai umat Allah
yang telah diselamatkan, sambil menanti kedatangan Kristus kembali, maka perlu ada
suatu upaya agar kondisi ini diperbaiki (direformasi), sehingga secara mesianik Kerajaan
Allah dinyatakan, melalui kesejahteraan bersama dalam upaya keberpihakan kepada orang
miskin. Penggenapan Kerajaan Allah adalah situasi di mana kedaulatan Allah ditegakkan
dan itu berarti dalam segi ekonomi adalah kesejahteraan bersama. Umat percaya, yang
hidup dalam masa penantian akan penggenapannya, mengisinya dengan usaha yang
mencerminkan keberpihakan kepada kaum miskin. Ini bukan usaha utopia semata,
sebagaimana anggapan bahwa kemiskinan akan tetap ada, tetapi justru kesejahteraan
bersama itu akan digenapi pada kedatangan Kristus kembali, sehingga dalam penantian
akan penggenapan itu perlu adanya usaha manusia dan bukan suatu usaha yang bersifat
utopia.

Dimensi spiritual dan personal dari konsep mesianik sering ditekankan untuk

mengalihkan isu sehingga mereka yang miskin tetap miskin karena pandangan bahwa

materi tidak perlu dikejar dan keselamatan itu personal sehingga orang menjurus kepada
individualisme, bersaing masing-masing tanpa memperdulikan orang lain. Kecenderungan
ini semakin membuat yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Mereka
yang miskin, dengan penekanan pada konsep mesianik yang spiritual dan personal,
menjadi cenderung eskapis, melarikan diri pada kehidupan selanjutnya dan tidak mau
berbuat banyak untuk memperjuangkan nasib mereka agar lepas dari kemiskinan.
Sementara hal sebaliknya kita lihat dalam konsep mesianik material dan sosial dalam PL
maupun dalam Lukas, bahwa keberpihakan kepada orang miskin harus diperjuangkan dan
materi (dalam hal ini bidang ekonomi) menjadi pintu masuk untuk menyejahterakan umat
bersama-sama dan menyeluruh.
Dengan dasar teologis konsep mesianik PL maupun Lukas, serta konteks kemiskinan
di Indonesia, maka saya melihat gereja, sebagai tubuh Kristus dalam melaksanakan karyaNya di Indonesia perlu dan mendesak untuk melihat koperasi sebagai sebuah solusi
(katakanlah dalam aspek diakonia). Saya menyadari betul, bahwa ada kebaikan-kebaikan
dan keburukan-keburukan tersendiri dalam berbagai macam sistem ekonomi, baik itu
kapitalisme (dengan segala kebaikan dan keburukannya) maupun sosialisme (dengan
segala kebaikan dan keburukannya). Oleh karena itu, dalam makalah ini saya menghindari
sikap menyerang kapitalisme maupun sosialisme secara membabi buta dan lebih memilih
melihat keduanya secara teologis. Secara teologis kelemahan kedua sistem tersebut,
meminjam pandangan Solagratia S. Lumy, keduanya tidak melihat peran faktor teologis.
Keduanya menolak campur tangan atau intervensi faktor teologis sementara dalam sistem
ekonomi Pancasila, justru faktor teologis itu mendapat peranan dengan adanya sila
pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kelima : keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, dan diatur juga dalam UUD 1945 Pasal 33 yang mengandung unsur-unsur
esensial yaitu usaha bersama, asas kekeluargaan dan untuk rakyat banyak (Lumy 2000, 6364). Solagratia S. Lumy sendiri membangun sebuah konsep Desa Koperasi/Desa Pancasila
sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul deskripsi gagasan Desa Pancasila,
Desa Koperasi, sebagai benih sistem ekonomi Pancasila: manifesto iman universal radiasi
Pancasila.
Ide mengenai Koperasi ini sendiri bukanlah hal baru. Paling tidak Bung Hatta,
sebagai Bapak Koperasi Indonesia, meletakkan dasar UUD 1945 pasal 33 dan mengatakan

bahwa nafas atau semangat UUD tersebut adalah Koperasi yang mengedepankan asas
kekeluargaan. Asas kekeluargaan ini tentu jangan direduksi menjadi sebuah paham
nepotisme, sebab bukan itu yang dimaksud. Kekuatan koperasi terletak pada sifat
persekutuannya yang berdasarkan tolong menolong serta tanggung jawab bersama. Bukan
mengadakan permusuhan kepada pihak luar tapi mendidik orang agar sadar akan harga
dirinya dan menanamkan rasa percaya diri, tidak lagi inferior dan eskapis, tidak lagi
melarikan diri pada semboyan dan mengelakkan diri dari perjuangan ekonomi yang nyata
(Hatta 1987, 3-7).
Menurut Bung Hatta, bagi kooperasi (ia sengaja memakai kooperasi dan bukan
koperasi karena menekankan usaha bersama, kerjasama, kesukarelaan, dalam bentuk
solidaritas) yang sangat diperlukan adalah rasa solidaritas, rasa setia kawan, rasa cinta
kepada masyarakat. Kita tinggal menghidupkan rasa sosial (tenggang rasa, gotong royong
dan musyawarah) yang telah ada pada masyarakat (suatu kooperasi sosial) yang perlu
diwujudkan juga dalam kooperasi ekonomi (Hatta 1985, 222).
Alasan Bung Hatta mencetuskan koperasi adalah karena pada masanya ia melihat
bahwa ekonomi yang atas dipegang oleh orang kulit putih sementara yang menengah
dipegang oleh orang Cina, sehingga yang dipegang oleh orang Indonesia ialah yang kecil.
Semua yang kecil itu tidak bisa menjadi kuat kalau berdiri sendiri-sendiri. Ia memulai
dengan koperasi konsumsi tapi gagal karena orang Cina banting harga sehingga koperasi ini
kalah bersaing karena tidak ada kesatuan juga di dalam praktiknya oleh anggotaanggotanya sehingga kemudian ia beralih kepada koperasi simpan pinjam (Hatta1978, 95).
Tentu yang kita lihat disini bukanlah permusuhan Hatta kepada orang Cina tetapi aspek
sejarah yang membuat Hatta harus melihat keberpihakannya kepada orang miskin.
Dalam sistem ekonomi koperasi, tujuannya adalah memperbaiki nasib orang-orang
yang lemah ekonominya dengan jalan kerja sama. Kerja sama adalah dasar koperasi
ekonomi, sebab itu solidaritas mesti ada pada koperasi (Hatta 1987, 158). Ini menurut saya
sejalan dengan konsep mesianik dalam Injil Lukas dan juga Perjanjian Lama, yang
menekankan keberpihakan kepada orang miskin dan melihat dimensi sosial dan material
dalam konsep mesianik yaitu seorang mesias yang juga membebaskan umatnya dari
ketertindasan termasuk dalam bidang ekonomi.
Selain itu, konsep solidaritas dalam koperasi juga sejalan dengan konsep mesianik
Lukas yang justru menekankan agar yang kaya menolong yang miskin. Pada titik ini, kita

jangan berpikir bahwa yang miskin itu akan senantiasa menikmati pertolongan itu begitu
saja tetapi ia sendiri dengan bantuan koperasi memberdayakan dirinya karena ia sendiri
mempunyai harga diri agar bisa sejahtera. Pada giliran lain, ia sendiri memilik tanggung
jawab setelah sukses nanti agar menolong orang lain juga yang masih berada pada keadaan
miskin.
Telah kita lihat bersama dasar-dasar teologis dari koperasi yang menurut saya
sejalan dengan konsep mesianik PL maupun Injil Lukas. Saya melihat pada masa sekarang
ini, gagasan mesianik tidak lagi bisa diandalkan kepada person atau individu, sebab
biasanya ganti pejabat, pemimpin maka ganti kebijakan. Saya melihat sistem ekonomi
koperasi perlu digalakkan kembali sebagai sebuah sistem mesianik dalam bidang ekonomi,
yang tanpa kekhawatiran ganti pemimpin maka ganti kebijakan.
Perlu kita kemukakan juga salah satu kelemahan koperasi, yang menurut saya masih
bisa diperbaiki dalam hal implementasinya nanti di lapangan. Sejauh saya mencermati
koperasi, maka kelemahannya adalah seringkali koperasi simpan pinjam (salah satu bentuk
koperasi) menyalurkan pinjamannya untuk kredit konsumsi. Hal ini tidak sejalan dengan
semangat mula-mula berdirinya koperasi yaitu solidaritas untuk kesejahteraan bersama
dengan semangat bahwa pinjaman disalurkan sebagai modal kerja, produksi dan bukan
konsumsi.
Implikasi Ministerial
Nama Program : Koperasi Simpan Pinjam GKI (Gerakan Karya Indonesia) Camar
Saya mencoba mengkonsep sebuah koperasi dengan nama Koperasi GKI, dengan
singkatan berbeda yaitu Gerakan Karya Indonesia Camar. Nama ini menunjukkan bahwa
koperasi ini diprakarsai oleh gereja GKI Camar, dan untuk jemaat gereja GKI Camar, sebagai
model/percontohan yang nantinya bisa diperluas jangkauannya. Koperasi ini bergerak
dalam menghimpun dana dari jemaat agar bisa disalurkan sebagai modal kerja/usaha bagi
kalangan ekonomi bawah agar mereka dapat hidup. Berdasarkan semangat mesianik
dimensi sosial dan material bahwa manusia harus bekerja keras, apapun panggilan mereka,
hidup hemat, tidak boros dan menunjukkan solidaritas kepada kaum miskin, tetapi bukan
sekedar solidaritas yang membuat orang malas sehingga bukan diakonia karitatif tetapi
transformatif, yang membuat kalangan bawah bisa bekerja dan memiliki usaha agar mereka
dapat hidup dan mentransformasi diri mereka.

Tujuan Program :
-

Memberikan pinjaman modal kerja bagi kalangan bawah anggota jemaat GKI Camar
agar mereka bisa bekerja dan melakukan usaha/bisnis mereka, sesuai panggilan
mereka.

-

Mengajarkan kepada jemaat kalangan menengah dan atas, anggota jemaat GKI
Camar agar mereka bisa menabung dan tidak boros dengan menyimpan uang
mereka yang nantinya simpanan mereka juga disalurkan untuk anggota jemaat
kalangan bawah GKI Camar dengan tujuan diakonia transformatif.

-

Jemaat Kalangan menengah dan atas bertemu dan berelasi (memberi bantuan dana
pelatihan, solusi semangat dan motivasi kepada kalangan bawah (agar berdaya guna,
bekerja keras dan cerdas, memiliki kreativitas, memiliki harga diri dan berdaya
juang) dalam menjalankan bisnisnya layaknya sahabat) dengan jemaat kalangan
bawah, saling menopang dan aktif bersama menjalankan koperasi sebagai wujud
relasi yang baru antara orang kaya dan miskin.

Road Map :
Menurut saya paling tidak ada 5 langkah untuk mendirikan Koperasi Simpan Pinjam
GKI (Gerakan Karya Indonesia) Camar. Langkah tersebut adalah:
-

Mengkonsultasikan dengan Majelis Jemaat GKI Camar (Penatua, dan Pendeta)
mengenai ide ini, dasar dan landasan teologi yang menjadi acuan diadakan program
ini, terutama berkoordinasi dengan bagian diakonia gereja.

-

Melakukan penerangan dan penyuluhan kepada jemaat agar memperoleh
pengertian dan kejelasan mengenai maksud dan tujuan mendirikan koperasi,
termasuk struktur organisasi manajemen (siapa saja yang mengelola, anggota, dan
tim audit internal) serta kegiatan usaha koperasi (Website Republik2016).

-

Mengadakan rapat pembentukan, menyusun AD/ART Koperasi Simpan Pinjam GKI
(Gerakan Karya Indonesia) Camar, SOP (standard operational procedure/ prosedur
operasional standar) penyimpanan dan peminjaman uang dan SOP operasional
lainnya dari koperasi ini (bahwa peminjaman uang hanya untuk modal kerja dan
bukan untuk konsumsi).

-

Mengikuti prosedur pendirian Koperasi Simpan Pinjam, membuat akta pendirian,
agar bisa berbadan hukum, sesuai dengan Undang-undang yang berlaku di negara
ini.

-

Setelah semua dokumen dan surat-surat pendirian lengkap, barulah koperasi ini
bisa berjalan dan melakukan operasional. Dalam operasionalnya yang terpenting
adalah rasa saling percaya, dan peminjam harus disurvei mengenai kesanggupannya
membayar dan kredibilitasnya.

Cara mengevaluasi program itu:
Program ini bisa dievaluasi secara berkala baik semesteran atau tahunan. Akan
tetapi saya menyarankan agar evaluasi program ini dilakukan pada semesteran sehingga
kalau memang ada sesuatu yang salah bisa diperbaiki lebih cepat, dan tidak harus tunggu
setahun. Cara mengevaluasi program ini bisa dengan diadakan audit internal atau
pemeriksaan internal oleh tim audit internal kepada manajemen koperasi mengenai
pelaksanaan SOP peminjaman dan penyimpanan uang di koperasi ini. Manajemen koperasi
juga diharuskan membuat laporan terselenggaranya koperasi setiap tahunan, semesteran
(kalau perlu bulanan). Pengelolaan dan evaluasi program ini dengan menggunakan PABU
(Prinsip Akuntansi Berlaku Umum) dan sistem operasional manajemen koperasi
sebagaimana pada umumnya.
Perlu diingat bahwa koperasi gereja ini adalah sebuah model percontohan, sehingga
setelah koperasi ini berjalan dan terbilang berhasil maka keanggotaannya perlu diperluas
kepada masyarakat sekitar sehingga dengan demikian aspek publik dari diakonia gereja
bisa terwujud. Untuk mencapai aspek publik tersebut tentu tidak bisa langsung dilakukan
ketika koperasi ini pertama kali dibuka dengan berbagai macam alasan, sehingga upaya
terbaik adalah dilakukan dulu dalam konsep terbatas pada warga gereja baru kemudian
setelah berjalan dan dinilai berhasil maka keanggotaan diperluas pada warga masyarakat.
Perluasan keanggotaan ini pun tentu bertahap, dan diperlukan sistem trial and error yang
bisa mengevaluasi dan memperbaiki upaya perluasan keanggotaan koperasi kepada
masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Telah kita lihat bersama bahwa dalam konsep mesianik Perjanjian Lama maupun
Injil Lukas memiliki penekanan pada dimensi material dan sosial. Beberapa konsep

mesianik Perjanjian Lama seperti mesianik rajawi, imami dan nabi, yang telah kita bahas
menekankan kemendesakan dan juga harapan bahwa keselamatan itu tidak hanya nanti
pada kehidupan mendatang, tetapi sekarang pada kehidupan di dunia ini. Selain itu, dalam
konsep mesianik Injil Lukas, kita juga menemukan bahwa Lukas sangat menekankan
keberpihakan kepada orang miskin sebagai konsekuensi dan sikap hidup umat percaya
yang menantikan kedatangan Kristus kembali dalam konteks penggenapan Kerajaan Allah.
Kerajaan Allah itu telah datang sehingga kedaulatan Allah (keberpihakan kepada orang
miskin) harus dinyatakan sambil tetap berharap akan kepastian penggenapan hal-hal yang
belum, sehingga tuduhan utopia bisa dijawab bahwa usaha keberpihakan kepada orang
miskin bukanlah harapan utopia semata sebab pasti akan disempurnakan oleh Allah.
Berdasarkan konsep mesianik Perjanjian Lama dan Injil Lukas tersebut maka
koperasi adalah sebuah sistem mesianik yang justru perlu diupayakan gereja sebab
menekankan campur tangan Allah sekaligus upaya manusia untuk mengusahakan
kesejahteraan bersama. Koperasi yang memberdayakan kaum miskin bukanlah
memberikan bantuan karitatif semata, juga bukan hanya pada batas reformatif tapi justru
transformatif sebab pada hakekatnya koperasi menyadarkan umat agar tidak lupa
mengusahakan kesejahteraan bersama dan keberpihakan kepada orang miskin sesuai
konsep mesianik Perjanjian Lama maupun Injil Lukas.
Daftar Acuan
Riyadi, St. Eko. 2011. Yesus Kristus Tuhan Kita : mengenal Yesus Kristus dalam warta
Perjanjian Baru. Yogyakarta : Kanisius.
Bock, Darrell L & Kostenberger, Andreas J. 2011. A theology of Luke and Acts : biblical
theology of the new testament. Grand Rapids Michigan.
Bosch, David J. 2015. Transformasi misi Kristen : sejarah teologi misi yang mengubah dan
berubah. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Hakh, Samuel B. 2010. Perjanjian Baru: Sejarah, Pengantar, dan Pokok-Pokok Teologisnya.
Bandung: Bina Media Informasi.
Hatta, Mohammad. 1978. Bung Hatta menjawab. Jakarta : Gunung Agung.
_____________________. 1985. Mohammad Hatta : kumpulan pidato III. Jakarta : Inti Idayu.
_____________________. 1987. Membangun koperasi dan koperasi membangun. Jakarta : Inti
Idayu.
Lumy, Solagratia S. 2000. Di bawah nurani rakyat : gagasan mengentaskan kaum papa.
Yayasan Desa Koperasi Paripurna.
_______________. 1994. Deskripsi gagasan Desa Pancasila (Desa Koperasi – 3345) sebagai
benih sistem ekonomi Pancasila. Yayasan Kampus Diakonia Modern.
Republik2016. Tata cara pendirian koperasi dan prosedur pendirian koperasi.

https://republik2016.wordpress.com/2016/09/14/tata-cara-pendirian-koperasidan-prosedur-pendirian-koperasi/ (diakses 4 Desember 2017).