Reforma Agraria dan Kemiskinan masyarakat

Reforma Agraria dan Kemiskinan

A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang kehidupan rakyatnya bercorak
agraris. Sehingga tanah mempunyai arti penting bagi bangsa Indonesia. Amanat konstitusi
negara Indonesia UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sebagai sumber lahirnya Undang-Undang nomor
5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) pada pasal 1
menyatakan bahwa sumber daya agraria merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
memiliki relasi yang bersifat abadi bagi seluruh bangsa Indonesia. “Hal ini berarti bahwa
dalam setiap sumber agraria selalu terlibat didalamnya hubungan-hubungan agraria yang
sangat kompleks. Hubungan agraria yang dimaksud bukan saja berupa hubungan manusia
dengan obyek-obyek agraria, khususnya tanah (yang di negara-negara agraris umumnya
dipandang sebagai bersifat "religio-magis")”1.
Sumber daya agraria terutama tanah merupakan kekayaan nasional yang dapat
membawa manfaat yang sangat besar, sebaliknya juga merupakan penyebab berbagai
permasalahan serius seperti banyak yang terjadi sengketa dan konflik pertanahan. “Sumber
konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, ketidakselarasan
atau incompabilities. Di indonesia terdapat sedikitnya tiga macam ketimpangan, yaitu :
a) Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah
b) Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah ; dan
c) Incompabilities dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria."2

Ketimpangan-ketimpangan seperti ini menjadi cikal bakal kemiskinan dan berimbas pada
munculnya sengketa dan konflik pertanahan, karena masyarakat yang lapar tanah.
1 Endriatmo Soetarto & Moh. Shohibuddin, Reforma Agraria Prasyarat Utama Bagi Revitalisasi Pertanian
dan Pedesaan, Cetakan Pertama, (Bandung : Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), 2005), hlm. 4
2 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan Yang Belum Berakhir, Cetakan pertama, (Yogyakarta : INSIST
Press, 2000), hlm. 85-86

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 1

Pembangunan ekonomi yang cenderung mengaharah pada industrialisasi sebagai
makna memasuki era globalisasi dalam menciptakan peluang-peluang investasi memerlukan
lahan (tanah) dalam sekala besar terutama sektor perkebunan. Dengan kekuatan modal
yang besar dan dukungan dari beberapa peraturan perundang-undangan, para pemilik
modal leluasa dalam penguasaan atas lahan-lahan produktif yang luas. Disisi lain petanipetani kecil mulai terpinggirkan. Karena keterbatasan akses terhadap sumber-sumber
produksi ini berimbas pada tumbuhnya kemiskinan terutama para petani di pedesaan.

B. Permasalahan Kemiskinan di Indonesia
Bayangan kemiskinan tetap membayang-bayangi perjalan kehidupan bangsa Indonesia

dari tahun ke tahun. Maka disinilah dituntut peran pemerintah sebagai pengemban amanah
rakyat sesuai dengan konstitusi. “Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam pasal 34
ayat (1) UUD 1945 pada tanggal 11 agustus 2002 secara tegas menyatakan: “fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat
dikatakan

kemiskinan

merupakan

tanggung

jawab

negara,

baik

pemeliharaan,


pemberantasan, maupun penanggulangannya, tidak hanya sebatas memelihara dalam
pengertian dijaga atau dirawat, namun lebih lagi bagaimana negara mengusahakan,
mengolah, mendidik, dan mengembangkan agar kemiskinan/fakir miskin dan orang-orang
terlantar dapat lebih mandiri mengembangkan kehidupan demi kearah yang lebih sejahtera
dan makmur,.....”.3 Maka sepatutnya pemerintah harus membuat kebijakan yang lebih
progresif dalam penanganan masalah kemiskinan ini agar tidak makin meluas.
Keterbatasan akses terhadap faktor-faktor produksi terutama tanah, menimbulkan
kemiskinan struktural. “Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu
golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak dapat ikut menggunakan
sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu
misalnya para petani yang tidak memiliki tanah sendiri atau petani yang tanah miliknya
begitu kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan keluarganya.” 4 Sehingga
untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik banyak dari mereka mengadu nasib ke
3 Yurisal D Aesong, Tanggung Jawab Negara Dalam Memberantas Kemiskinan, Tugas Makalah Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, hlm. 7-8

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 2


kota. Hal ini menjadi persoalan baru, akibat urbanisasi ini timbul pemukiman-pemukiman
kumuh di kota. Tidak hanya itu tenaga-tenaga tidak terlatih ini (unskilled labor) tidak semua
memperoleh pekerjaan karena keterbatasan keahlian. Hal ini berimbas pada peningkatan
jumlah pengangguran dan tingkat kriminal di kota.
“Di indonesia salah satu jalan yang ditempuh untuk mengatasi pengangguran adalah
mengirim tenaga kerja ke luar negri. itu bukanlah penciptaan lapangan kerja melainkan
hakikatnya adalah perdagangan dengan komoditi manusia, dengan segala cerita duka
nestapanya.sebab cirinya memang jelas pihak ketiga, entah negeri entah swasta yang
memperoleh keuntungan dari kegiatan tersebut.” 5 Harapan menciptakan lapangan kerja
sekaligus dapat menambah devisa negara, malah menyebabkan problematika baru bagi
pemerintah. Mereka banyak yang berprofesi sebagai buruh kasar dan pembantu rumah
tangga. Dari sini timbul permasalahan terkait keberadaan serta jaminan sosial dan
keamanan mereka. Tidak sedikit dari tenaga kerja Indonesia mengalami kekerasan dan
terjerat hukum negara yang di datanginya. Hal ini menciptakan masalah bagi hubungan
kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tempat mereka bekerja. Beberapa
negara yang menjadi tujuan antara lain Malaysia, Arab Saudi dan negara-negara lainnya.
Seharusnya dengan wilayah yang luas dan kekayaan alam yang berlimpah kemiskinan
dan segala permasalahannya tidak perlu terjadi, jika sumber daya agraria yang kita miliki
pengaturannya dilaksanakan sesuai amanat UUD 1945 dan UUPA. Menurut Gunawan Wiradi
ada dua indikator kebijakan Orde Baru yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA

penyebab permasalahan agraria saat ini. “Pertama, gagasan para pendiri RI-khususnya Bung
Hatta-dan para perumus UUPA 1960 adalah bahwa jumlah satuan dan luasan tanah-tanah
itu diusahakan untuk menjadi semakin sempit, bahkan di kemudian hari diharapkan dapat
dihapuskan (walaupun ada kekecualian). Mengapa ? Karena, seperti salah satu prinsip yang
dikemukakan Bung Hatta di atas, tanah-tanah HGU prkrbunan besar dahulunya “milik
rakyat”...... Kedua jiwa dan semangat UUPA 1960 juga diwarnai oleh salah satu prinsip lain
yang dikemukakan Bung Hatta, yaitu bahwa bagi bangsa Indonesia tanah jangan dijadikan
barang dagangan, jangan dijadikan obyek spekulasi.”6
4 Muslim Kasim, Karakteristik Kemiskinan Indonesia dan Strategi Penanggulangannya Studi Kasus Padang
Pariaman, Cetakan Pertama, (Jakarta : Indomedia Global, 2006), hlm. 52
5 Op. Cit., Gunawan Wiradi, 2000, hlm. 28
6 Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria, Cetakan Pertama,
(Yogyakarta : STPN Press bekerjasama dengan Sajogyo Institute, 2009), hlm. 67-68

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 3

C. Reforma Agraria di Indonesia
Secara etimologi, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang

tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti : yang ada
hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat
rural. Sedangkan kata reform sudah jelas menunjuk pada perombakan, mengubah dan
menyusun/membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan. 7 Dalam pasal 2 TAP MPR
RI Nomor IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan

berkenaan

dengan

penataan

kembali

penguasaan,

pemilikan,

penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya

kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia". Reforma Agraria/Pembaruan Agraria saling berkaitan Landreform memiliki
tujuan yang sama yaitu penataan kembali. Menurut Joyo Winoto ( Kepala BPN-RI periode
2005 – 2012) Reforma Agraria adalah Landreform di dalam kerangka mandat konstitusi,
politik, dan undang-undang untuk mewujudkan keadilan dalam P4T ditambah dengan access
reform. Atau, secara mudah dirumuskan sebagai berikut: Reforma Agraria = Land Reform +
Access Reform.
Usaha-usaha untuk menata ketimpangan penguasaan atas tanah sudah dimulai sejak
awal kemerdekaan dan mendapat perhatian khusus pada masa Demokrasi Terpimpin. Salah
satunya kebijakan pembatasan penguasaan tanah pertanian tertuang dalam UndangUndang Nomor 56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya disebut
UU Landreform) dengan peraturan pelaksanaannya PP nomor 224 tahun 1961 tentang
Pelaksanan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi atau yang lebih dikenal dengan
Program Redistribusi Tanah. Tetapi seiring waktu berjalan situasi politik Indonesia
mengalami pergolakan dan pergatian rezim kepemimpinan langkah-langkah penataan
ketimpangan ini terbengkalai. Apalagi pada awal kekuasaan Orde Baru praktek-praktek
mengenai Landreform diselewengkan maknanya sebagai praktek ideologi komunis sehingga
tidak ada lagi yang mau meneruskannya bahkan untuk membicarakannya.

7 Ibid, Gunawan Wiradi, 2009, hlm.93-94


Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 4

“Pada masa Orde Baru, UUPA selama kurang lebih 13 tahun di-‘peti-es”-kan. Artinya,
secara resmi belum dicabut, akan tetapi isinya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Sementara itu, pada tahun 1967 lahir tiga undang-undang yang sama sekali tidak merujuk
pada UUPA yaitu UUNo. 1/1967 tentang Penanaman Modal, UU No. 5/1967 tentang PokokPokok

Kehutanan,

dan

UU

No.

11/1967

tentang


ketentuan-Ketentuan

Pokok

Pertambangan.”8 Tidak adanya political will dari pemerintahan pada masa itu untuk
keberlanjutan penataan ketimpangan-ketimpangan penguasaan tanah yang terjadi
menyebabkan tidak adanya koordinasi antar lintas sektor dalam pemanfaatan sumber daya
agraria. Hal ini menyebabkan tumpang tindih kewenangan yang berimbas pada ego sektoral
pada masing-masing pengemban amanat perundang-undangan tersebut
Orientasi kebijakan masa orde baru menekankan pada pembangunan sektor ekonomi
kuat. Akibatnya tanah dipandang hanya sebagai komoditas. Hal ini mengakibatkan
penguasaan tanah dalam skala besar oleh segelintir orang dan negara, disisi lain banyak
petani kecil terutama di pedesaan sedikit menguasai tanah (sering disebut petani gurem)
dan bahkan tidak menguasai tanah (tunakisma=landless). Hal ini tidak sejalan dengan tujuan
UUD 1945 sebagai landasan konstitusi terutama pasal 33 ayat 3 yang mengamanatkan tanah
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Maka timbul permasalahan agraria yang berimbas
pada tingkat kemiskinan. Angka kemiskinan yang semakin meningkat secara signifikan tidak
sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang terjadi. “Perkembangan ekonomi yang
diarahkan pada mekanisme pasar akan berdampak semakin tajamnya persaingan dan konflik

antara berbagai pihak yang akan berpengaruh pada akses terhadap tanah. Campur tangan
pemerintah berupa penyediaan perangkat peraturan yang menjamin akses yang adil
terhadap tanah sangat diperlukan mengingat bahwa tanah tidak boleh semata-mata
diperlakukan sebagai komoditas, terlebih apabila hal tersebut berakibat semakin
memeperkecil peluang bagi pihak lain untuk memperoleh hak atas tanah dan manfaatnya
secara adil.”9

8 Ibid, Gunawan Wiradi, 2009, hlm. 52
Catatan : UU No. 5/1967 telah diamandemen menjadi UU No. 41/1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, UU
No. 11/1966 telah diamandemen menjadi UU No. 22/201 tentang Minyak dan Gas Bumi dan UU No. 4/2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
9Suparjo Sujadi, Pergulatan Pemikiran dan Aneka Gagasan Seputar Hukum Tanah Nasional (Satu Pendekatan
Multidisipliner), Pidato Maria SW. Sumardjono Pada Acara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 14 Februari 1998, Cetakan Pertama, (Depok : Badan Penerbit FHUI,2011),
hlm. 23

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 5


Pada tahun 1978 UUPA kembali dilirik oleh pemerintah Orde Baru, tetapi menjadi
menyimpang dalam implementasinya, ketika permasalahan agraria hanya dipandang sebagai
masalah pangan saja. Sehingga melalui kebijakan yang dikenal dengan “Revolusi Hijau”,
target yang ingin dicapai hanya sebatas pada swasembada pangan. “Kesalahan tafsir inilah
yang menjelaskan mengapa meski soal pangan sudah bisa diatasi melalui swasembada
pangan, namun konflik agraria bukannya mereda, bahkan malah makin marak.” 10 Tidak
hanya itu, rezim Orde Baru juga menyisakan utang luar negeri yang berlimpah. Hal ini
menjadi residu dari proses percepatan pembangunan ekonomi yang menjurus ke
perumusan solusi terhadap kesulitan-kesulitan jangka pendek dengan jalan meminjam
modal asing (melalui IMF) yang malah menimbulkan kesulitan-kesulitan jangkap panjang
dimana Indonesia dihadapkan pada tekanan luar negri akibat utang masa lalu.

D. Reforma Agraria dalam Mengurangi Kemiskinan
Sumber daya agraria sebagai kekayaan nasional memiliki keterterkaitan dan melekat
sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Maka dari itu permasalahan agraria memang harus
dipandang multi-dimensional, tidak hanya sebagai sarana beraktifitas dan komoditas, karena
berkaitan erat dengan sumber penghidupan bagi keberlanjutan hidup umat manusia serta
llingkungan. Reforma Agraria menjadi penting dilakukan dalam rangka mewujudkan suatu
proses perubahan keseluruhan sistem hubungan sosial-ekonomi masyarakat pedesaan, yang
mengacu kepada perubahan dari struktur masyarakat bersifat agraris-tradisional (feodalistik
atau non-kapitalis) menjadi suatu struktur masyarakat dimana pertanian tidak lagi bersifat
eksklusif melainkan terintegrasi kedalam pilar-pilar ekonomi lainnya secara nasional, lebih
produktif, dan kesejahtraan rakyat meningkat (J. Harriss, 1982)11
Memasuki era reformasi dilakukan pembenahan-pembenahan dan pemutahiran semua
perangkat peraturan perundang-undangan termasuk konstitusi kita UUD 1945 yang telah di
amandemen dengan empat tahap. Sektor agraria juga mendapat perhatian dengan
dikeluarkannya TAP MPR nomor IX/MPR/2011 yang arah kebijakan pembaruan agrariasecara
rinci dapat disampaikan sebagai berikut :

10 Loc. cit., Gunawan Wiradi, 2009, hlm. 52
11 Ibid, Gunawan Wiradi, 2009, hlm.96-97

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 6

1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor
demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsipprinsip pembaruan agraria
2. Melaksanakan penataan kembali penguasaa, pemilikan, penggunaan, dan
pemanfaatan tanah (Landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
kepemilikan tanah untuk rakyat
3. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi pemanfaatan tanah
secara komperhensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform
4. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsipprinsip pembaruan agraria
5. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban
pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan
dengan sumber daya agraria yang terjadi12
Badan Pertanahan Nasional (BPN-RI) yang ditugaskan berdasarkan Perpres nomor 10
tahun 2006 dan diganti dengan Perpres nomor 63 tahun 2013 tentan Kelembagan dan
Struktur Badan Pertanahan Nasional mengemban amanah dibidang pertanahan. Dalam
tataran operasional Reforma Agraria di Indonesia dilaksanakan melalui 2 (dua) langkah
yaitu:
1. Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria ( UUPA ).
2. Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi
masyarakat dan Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan
politik yang memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik.
Di dalam penyelenggaraan Land Reform Plus diselenggarakan dua hal penting yaitu
Aset Reform dan Akses Reform.
12 Bambang Suyudi, Inisiasi Koperasi Dalam Peningkatan Aset Dan Akses Redistribusi Tanah Di Kabupaten
Tasikmalaya, (Yogyakarta : Bhumi Jurnal Ilmiah Pertanahan PPPM-STPN, 2011), hlm. 36-37

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 7

Tanah merupakan komponen dasar dalam reforma agraria, maka pada dasarnya tanah
yang ditetapkan sebagai objek reforma agraria adalah tanah-tanah negara dari berbagai
sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat dijadikan sebagai objek
reforma agrarian. Karenanya kegiatan penyediaan tanah merupakan langkah strategis
bagi keberhasilan reforma agraria. Salah satu contoh sumber tanah objek reforma
agrarian adalah tanah terlantar. Menurut Pasal 9 PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, tanah terlantar yang sudah ditetapkan
menjadi tanah negara akan menjadi salah satu objek reforma agraria. Dan yang subyek
Reforma Agraria adalah penduduk miskin di perdesaan baik petani, nelayan maupun
non-petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di
dalam lokasi ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk
melibatkan kaum miskin dari daerah lain (perdesaan dan perkotaan).13
Langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Reforma Agraria antara
lain dengan pelaksanaan program Pembaruan Agraria Nasional ( dikenal dengan PPAN)
yaitu melakukan pendaftaran dari tanah-tanah yang diredistribusi atau legalisasi aset
(Landreform) sekaligus merangkul stake holder seperti bank perkreditan dalam rangka
pendanaan (access reform) untuk membantu para petani dalam pemanfaatan tanah
miliknya. Keberlanjutan pelaksanaan redistribusi tanah juga masih dilaksanakan seperti
tujuan dari para founding fathers dan perumus-perumus kebijakan di bidang agraria di
awal kemerdekaan. Memberikan akses kepada masyarakat terutama petani tuna kisma
untuk dapat memiliki dan menggunakan tanah untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya
Melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah dilaksanakan juga konsolidasi tanah untuk menata ulang kawasankawasan yang terfragmentasi menjadi lebih teratur. Petani yang memiliki lahan
pertanian yang terpencar dan dalam luasan yang kurang dari kebutuhan minimal usaha
pertanian. Kelompok bidang tanah yang tidak teratur merupakan sebagian dari obyek
konsolidasi tanah untuk dilakukan penataan ulang. Dengan penataan diharapkan dapat
diperoleh bidang tanah yang lebih teratur baik bentuk, luas, letak ataupun
aksesibilitasnya.Hal ini juga melibatkan partisipasi aktif masyrakat dan kerjasama
dengan stake holder seperti dinas terkait dalam rangka pembangunan fasilitas umum,
13 Badan Pertanahan Nasional, Sekilas Reforma Agraria, http://www.bpn.go.id/Program-Prioritas/ReformaAgraria, 1 Desember 2013

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 8

sarana dan prasarana penunjang, baik di perkotaan dan di pedesaan. Program
konsolidasi yang berhasil baik antara lain di sebagian pulau Jawa dan seluruh pulau Bali.
Dari segi regulasi telah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umurm, sehingga penetapan dan pengadaan
tanah untuk pembangunan sarana dan prasarana umum pendukung kegiatan
masyarakat lebih memiliki kekuatan hukum tetapi tetap mengikutsertakan partisipasi
aktif masyarakat. Juga telah dibentuk kedeputian yaitu Deputi Bidang Pengadaan Tanah
agar arah kebijakan dapat lebih terfokus pada tujuan tanah yang berdayaguna bagi
masyarakat.
Penanganan sengketa,konflik, dan perkara bidang pertanahan lebih dikedepankan
dalam hal mediasi agar lebih mengampu kepentingan para pihak-pihak yang bertikai
melalui jalur musyawarah mufakat. Penanganan sengketa, konflik dan perkara ini juga
dilakukan melalui penyelidikan riwayat tanah sebagai langkah preventif bagi munculnya
sengketa-sengketa lain.
Dari segi regulasi sedang dilaksanakan pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU)
terkait bidang Pertanahan. Diharapkan dengan nantinya disahkan menjadi UndangUndang menjadi awal penguatan sistem kelembagaan BPN sebagai pengemban tugas
dibidang pertanahan. Sehingga BPN akan lebih terkonsentrasi dan lebih terkoordinasi
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya serta dalam kerjasama antar lintas
sektor
“Pemerintah mengatakan angka kemiskinan pada Maret 2013 tercatat sebesar 11,37
persen atau 28,07 juta orang, demikian disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dalam pidato pengantar keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN
2014 dan Nota Keuangannya.”14 Hal ini mungkin belum merupakan pencapaian yang
memuaskan, tetapi setidaknya keberlanjutan ke arah yang lebih baik sedang berproses
untuk menciptakan tanah dan pertanahan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pencapaian ini mungkin menjadi seberkas cahaya yang menuntun kita ke arah yang
sesuai dengan tujuan perjuangan dan yang lebih penting memerlukan konsistensi dan

14 ANTARA (2013), Angka kemiskinan 2013 tercatat 11s,37 persen,
http://www.antaranews.com/berita/390875/angka-kemiskinan-2013-tercatat-1137-persen, 1 Desember 2013

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 9

keinginan yang kuat dari segenap unsur terutama pemerintah sebagai pemangku
kekuasaan.

E. Penutup
Dari pemaparan di atas kiranya penulis dapat memberikan kesimpulan dan saran,
antaralain:
1. Perlunya penyelesaian atas RUU Pertanahan kiranya dapat cepat selesai dan
disahkan, agar terciptanya penguatan kelembagaan pertanahan dalam hal ini BPN
sehingga memiliki landasan hukum tetap dalam menjalankan tugas, pokok, dan
fungsinya.
2. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan antar lintas sektormelalui pencabutan
atau penggantian pasal-pasal yang saling tumpang tindih, seperti contoh Putusan
Mahkamah Konstitusi atas perkara nomor 35/PUU-X/2012 mencabut pasal-pasal
yang terkait tentang hutan adat termasuk kategori hutan negara.
3. Kiranya saran penulis untuk dapat dibentuk Kementrian Koordinator bidang Agraria
yang mengkoordinir lintas sektor, agar terjalin kerjasama yang baik dan sinergi antar
instansi yang mengatur tentang keagrariaan.

Reforma Agraria dan Kemiskinan

Page 10