Sosial Politik Sosialisasi Politik dan

Sosial Politik
Sosialisasi Politik

Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana
Oleh :
I Gede Agus Dana Iswara (1306205163)
~
~
~

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang
Widi, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan baik dan tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami membahas mengenai
sosialisai politik. Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari
berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan
makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa
masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami.

Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Hormat Kami

Penulis

BAB I
Latar Belakang
Sosialisasi Politik merupakan konsep kunci dalam mempelajari Sosiologi Politik.
Sosialisasi politik jika dikaji lebih dalam akan mencakupi dengan konsep-konsep sosiologi
politik yang lainnya yaitu, partisipasi politik, rekruitemen politik, dan komunikasi politik.
Dahulunya, konsep sosialisasi politik ini banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan dari
cabang sosiologi, psikologi dan antropologi dan kurang begitu mendapat perhatian yang
serius dari para ilmuwan ilmu politik. Namun, kemudian konsep sosialisasi politik mulai
mendapat perhatian oleh ilmuwan politik yang dimulai dari karya Herbert Hyman yang
berjudul The Political Socialization pada tahun 1959.

BAB II
ISI

1.

Definisi Sosialisasi Politik
Rush & Althoff mengemukakan beberapa segi penting sosialisasi.
1. sosialisasi secara fundamental merupakan proses hasil belajar, belajar dari
pengalaman, atau seperti yang dikatakan oleh Aberle sebagai “pola-pola aksi”.
2. Memberikan indikasi umum hasil belajar tingkah laku individu dalam batas-batas
yang luas; dan lebih khusus lagi, berkenaan dengan pengetahuan atau informasi,
motif-motif (atau nilai-nilai) dan sikap-sikap. Lagi pula, ditekankan bahwa kita
tidak hanya berurusan dengan tingkah-laku individu saja, tetapi juga dengan
tingkah-laku kelompok di mana individu tersebut menjadi bagian daripadanya.
3. Sosialisasi itu tidak perlu dibatasi sampai pada usia kanak-kanak dan masa remaja
saja (sekalipun pada usia tersebut merupakan periode-periode yang paling penting
dan berarti), akan tetapi sosialisasi itu tetap berlanjut sepanjang kehidupan.
Akhirnya ditegaskan pula, bahwa sosialisasi merupakan pra-kondisi yang
diperlukan bagi aktivitas sosial, baik secara implisit maupun eksplisit memberikan
penjelasan mengenai tingkah-laku sosial.
Ramlan Surbakti berusaha untuk merumuskan secara komperhensif istilah politik
dari asumsi-asumsi dan konsep-konsep tentang politik. Jadi, “politik ialah interaksi antara
pemerintah dan masyarakat, dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan

yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah
tertentu.”
Jadi, definisi Sosialisasi Politik menurut Freed. I Greenstein, dalam suatu karangan
tentang sosialisasi politik dalamInternational Encylopedia of The Social Sciences telah
berusaha menjelaskan perbedaan antara apa yang disebutnya definisi yang sempit dan definisi
yang luas mengenai sosialisasi politik: “…penanaman informasi politik yang disengaja,
nilai-nilai dan praktek-praktek yang oleh badan-badan instruksional secara formal
ditugaskan untuk tanggung jawab ini.” (dan) “semua usahanya mempelajari politik baik
formal maupun informal, disengaja ataupun tidak terencanakan, pada setiap tahap siklus
kehidupan, dan termasuk di dalamnya tidak hanya secara eksplisit masalah belajar politik
saja akan tetapi juga secara nominal belajar bersikap non-politik mengenai karakteristikkarakteristik kepribadian yang bersangkutan.”

2.

Agen Sosialisasi Politik
Rush & Althoff dalam skemanya mengklasifikasikan agen-agen sosialisasi politik
yaitu: keluarga, pendidikan, kelompok sebaya, kelompok kerja, kelompok agama, kelompokkelompok senggang, dan media massa. Walaupun begitu menurut Yusron Razak (2008) tidak
semua agen-agen tersebut menjadikan sosialisasi sebagai kegiatan utamanya, namun
bagaimanapun juga mereka mensosialisasikan individu-individu dengan memberikan
pengetahuan, perilaku-perilaku tertentu, serta memberikan imbalan dan hukuman.

Fuller & Jacobs (1973: 168-208) –seperti yang dikutip oleh Kamanto Sunarto dalam
bukunya Pengantar Sosiologi– mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama yaitu:
a. Keluarga
b. Peer Group
c. Media Massa
d. Sistem Pendidikan
Meskipun menurut Kamanto klasifikasi ini dibuat untuk Masyarakat Amerika, namun
dapat diterapkan pula pada masyarakat Indonesia.

a.

Keluarga
Dari semua agen-agen sosialisasi, keluarga merupakan agen yang paling penting.
Meskipun format atau bentuk keluarga berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain,
namun keluarga tetap memberikan tanggung jawab mensosialisasikan kepada anak-anak dari
lahir sampai remaja. Gertrude Jaeger (1977) mengemukakan bahwa peran para agen
sosialisasi pada tahap awal ini, terutama orangtua sangat penting. Sang anak sangat
tergantung pada orangtua dan apa yang terjadi pada orangtua dan anak pada tahap ini jarang
diketahui orang luar. Sebenarnya arti penting agen sosialisasi pertama ini terletak pada
pentingnya kemampuan yang diajarkan pada tahap ini. Seperti kemampuan berbahasa

ditanamkan pada tahap ini.

b.

Peer Group
Agen sosialisasi selanjutnya adalah Peer Group. Istilah Peer Group bisa berubah-ubah
tergantung pada umur individu. Biasanya jika pada anak-anak maka Peer Group lebih pantas
jika diartikan sebagai teman sepermainan-teman sebaya, sedangkan jika sudah beranjak
dewasa istilah Peer Group lebih cocok diartikan sebagai rekan kerja, kelompok agama sampai
kelompok-kelompok senggang. Yusron Razak (2008) berpendapat bahwa pengaruh Peer
Group akan semakin meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan akan memuncak
seiring dengan datangnya masa keremajaan.

c.

Sekolah/Sistem Pendidikan
Agen Sosialisasi selanjutnya adalah sistem pendidikan formal. Sejumlah sosiolog
memusatkan perhatian mereka pada perbedaan antara sosialisasi yang berlangsung dalam
keluarga dengan sosialisasi pada sistem pendidikan formal. Robert Dreeben (1968) misalnya,
berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah di samping membaca, menulis dan

berhitung adalah aturan mengenai kemandirian (Independence), prestasi (Achievement),
universalisme, dan Spesifisitas. Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh dikotomi yang
dikembangkan oleh Talcott Parsons –misalnya antara ascripation dan achievement,
particularism dan universalism, diffuseness dan specificity. Selanjutnya Kamanto berusaha
menyimpulkan bahwa dari pandangan Dreeben ini dapat dilihat, sekolah merupakan jenjang
peralihan antara keluarga dan masyarakat.

d.

Media Massa
Istilah media massa menurut Tim Curry yang dikutip Yusron Razak, merujuk kepada
komunikasi yang disebarkan kepada audien secara luas tanpa timbal balik secara langsung
maupun kontak personal antara pengirim komunikasi dengan penerima. Light, Keller dan
Calhoun (1989) mengemukakan bahwa media massa –yang terdiri atas media cetak, maupun
elektronik– merupakan bentuk komunikasi yang menjangkau sejumlah besar orang. Media
massa diidentifikasikan sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap
perilaku khalayaknya. Peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun memberi peluang
bagi media massa untuk berperan sebagai agen sosialisasi yang semakin penting. Lihat saja
sekarang ini media massa menjadi sarana sosialisasi dan komunikasi politik yang sangat
efektif. Sebut saja kemenangan Jokowi-Ahok, ataupun penguasaan media massa oleh para

kader-kader partai politik di Indonesia.

3.

Partai Politik Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Miriam Budiarjo menjelaskan tentang peranan partai politik sebagai sarana sosialisasi
politik. Pelaksanaan fungsi sosialisasi politik dijelaskan di dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu
Politik dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan
kursus kader, penataran dan sebagainya.
Di Indonesia peran partai politik telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 2 tahun
2008 tentang Partai Politik, Partai Politik memiliki peran yang penting dalam melakukan

pendidikan politik, termasuk pada pemilih pemula, berdasarkan UU tersebut fungsi partai
politik adalah sebagai sarana:
a. Pendidikan Politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi Warga
Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Penciptaan iklim yang kondusif dan program yang konkret serta sebagai perekat
persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.
c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara

konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d. Partisipasi politik warga negara; dan e)Rekrutmen politik dalam proses pengisian
jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan
gender.
Namun, menurut Miriam Budiardjo tidak dapat disangkal bahwa adakalanya dan lebih
sering partai mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Karena loyalitas
yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai yang melebihi loyalitas kepada negara.
4.

Perkembangan Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik dimulai sejak anak-anak. Sosialisasi politik di kalangan anak-anak
merupakan upaya untuk membentuk beberapa sikap politik yang penting. Di sini sekolah dan
orangtua mulai mempengaruhi anak-anak akan pentingnya politik. Kemudian sosialisasi
politik berlanjut di masa ketika anak telah bertumbuh menjadi remaja dan pemuda. Di masamasa seperti ini kepercayaan-kepercayaan politik seseorang dipengaruhi oleh teman-teman,
keluarga dan rekan-rekannya. Mereka bisa mempengaruhi dukungan seseorang terhadap
partai politik tertentu. Proses sosialisasi politik pun berlaku bagi orang-orang dewasa, bahkan
proses ini sangat penting bagi mereka.
Sosialisasi pada masa anak-anak dan remaja ini merupakan bentuk sosialisasi primer
sedangkan sosialisasi pada masa dewasa bentuknya lebih sering pada sosialisasi sekunder.
Peralihan sosialisasi primer pada masa anak-anak kepada sosialisasi sekunder yang identik

pada masa dewasa dalam kasus sosialisasi politik selanjutnya akan mengalami negosiasi yang
kemudian bisa menghasilkan pertentangan yang akan mengubah sikap, pandangan dan reaksi
terhadap fenomena politik seseorang, namun juga justru dapat memperkuat pandangan, sikap
dan reaksi terhadap fenomena politik yang disosialisasikan pada masa anak-anak dahulu.

5.

Model Mekanisme Sosialisasi Politik
Rush & Althoff menjelaskan tentang “bagaimana para agen mentransmisikan elemenelemen dari sosialisasi politik sangat bervariasi; dan model tersebut telah mensugestikan tiga
mekanisme: Imitasi, Instruksi, dan Motivasi.”

a.

Imitasi
Imitasi merupakan peniruan (copy) terhadap tingkah laku individu-individu lain, dan
merupakan hal yang sangat penting dalam sosialisasi pada masa anak-anak –seperti apa yang
diasumsikan oleh Robert Le Vine bahwa imitasi dan kedua mekanisme yang lainnya
merupakan mekanisme sosialisasi politik pada masa kanak-kanak– walaupun sebenarnya
tidak dibatasi pada tingkah-laku kanak-kanak saja. Namun demikian imitasi murni lebih
banyak terdapat di kalangan kanak-kanak; pada masa remaja dan pada orang dewasa, imitasi

lebih banyak bercampur dengan kedua mekanisme lainnya, sehingga derajat peniruannya
terdapat pula baik pada instruksi maupun pada motivasi.

b.

Instruksi
Instruksi menurut Rush & Althoff kurang lebih merupakan peristiwa pencerahan diri,
kendatipun harus ditekankan pada proses belajar formal saja. Seseorang dengan sengaja dapat
ditempatkan dalam situasi yang sifatnya instruktif. Menurut Rush & Althoff mekanisme
sosialisasi tipe imitasi dan instruksi ini merupakan tipe-tipe pengalaman yang khusus.

c.

Motivasi
Berbeda dengan dua mekanisme sebelumnya. Menurut Rush & Althoff, mekanisme
ketiga yaitu motivasi, lebih banyak diidentifikasikan dengan pengalaman pada umumnya.
Motivasi seperti yang disebutkan oleh Le Vine adalah bentuk “tingkah laku yang tepat-cocok”
yang dipelajari melalui proses coba-coba dan gagal (trial & error): individu yang
bersangkutan secara langsung belajar dari pengalaman mengenai tindakan-tindakan samacocok dengan sikap-sikap dan pendapat-pendapat sendiri.


6.

Sosialisasi Politik & Perubahan Sosial
Kuroda

dalam

bukunya “Agency

of

Political

Socialization

and

Political

Change” seperti yang dikutip oleh Rush & Althoff menjelaskan tentang kontribusi sosialisasi
berkaitan dengan pemerintahan:
Semakin stabil Pemerintahan, semakin terperinci agensi-agensi utama dari sosialisasi politik.
Kebalikannya, semakin besar derajat perubahan di dalam satu pemerintahan non-totaliter,

maka akan semakin tersebarlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik. Semakin
mendasar derajat revolusi di dalam suatu pemerintahan, maka semakin terperinci agensiagensi sosialisasi politik itu jadinya. (tidak ada revolusi yang sempurna untuk memutuskan
kesinambungan dari nilai-nilai tradisional yang dianggap bisa merusak rezim baru tanpa
menegakkan beberapa agensi khusus dari sosialisasi politik). Semakin totaliter sifat
perubahan politik, maka semakin kecil jumlah agensi-agensi utama dari sosialisasi politik.
Rush & Althoff juga menambahkan bahwa “semakin homogen suatu masyarakat dan
semakin lama ia bertahan menurut waktu, maka semakin memungkinkan proses
sosialisasinya menjadi didefinisikan secara jelas dan relatif dipersatukan; dan tampaknya
berlangsung dampak yang sama dalam masyarakat-masyarakat yang berusaha secara
terang-terangan untuk mengontrol proses sosialisasinya. Kebalikannya, dalam masyarakat
heterogen dan dalam masyarakat yang mengalami perubahan radikal berkali-kali, proses
sosialisasinya menjadi terpotong-potong dan dapat diterapkan pada bermacam-macam
kelompok dalam masyarakat, tidak terhadap masyarakat sebagai keseluruhan.”
Singkatnya, menurut Rush & Althoff sosialisasi politik adalah proses individuindividu dapat memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik
masyarakatnya yang peristiwa ini menurutnya tidak menjamin bahwa masyarakat
mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal itu bisa saja terjadi. Bagi mereka, hal ini bisa
saja menyebabkan terjadinya pengingkarann terhadap legitimasi; akan tetapi apakah hal ini
menuju pada stagnansi atau pada perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan
pengingkaran tersebut. Apabila tidak adanya legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan
yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi; akan tetapi apabila
legitimasi itu dibarengi oleh sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang
dihasilkan stagnansi.

BAB III
PENUTUP
Pada hakikatnya sosialisasi politik merupakan proses individu dapat mengenali sistem
politik yang meliputi sifat, persepsi, dan reaksi individu terhadap fenomena-fenomena politik.
Rush & Althoff (1971) menerangkan bahwa “sosialisasi politik ditentukan oleh lingkungan
sosial, ekonomi dan kebudayaan di mana individu berada; selain itu juga ditentukan oleh
interaksi pengalaman-pengalaman serta kepribadiannya.”

DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. “Dasar-Dasar Ilmu Politik.” Edisi Revisi, Cetakan Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2009.
Faisal Bakti, Andi. dkk., “Literasi Politik dan Konsolidasi Demokrasi.” Jakarta: Churia Press, 2012.
Raga Maran, Rafael.“Pengantar Sosiologi Politik.” Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2001.
Razak, Yusron (ed). “Sosiologi Sebuah Pengantar Tinjauan Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam.” Cetakan
Pertama. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008.
Rush, Michael & Althoff, Philip. “Pengantar Sosiologi Politik.” Penerjemah Dr. Kartini Kartono. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007.
Sunarto, Kamanto. “Pengantar Sosiologi.” Edisi Kedua. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2000.
Surbakti, Ramlan. “Memahami Ilmu Politik.” Cetakan keempat. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana, 1992.
http://belajarnegara.blogspot.com/2013/09/pentingnya-sosialisasi-politik.html
http://bentukdanisi.blogspot.com/2012/12/sosialisasi-politik-sebuah-konsep.html
http://eprints.undip.ac.id/23898/1/SIHABUDIN_ZUHRI.pdf