ASWAJA dan BELA NEGARA Deradikalisasi Ke

ASWAJA dan BELA NEGARA: Deradikalisasi Kelompok Intoleran 1

Oleh: Idris Masudi2
Mukaddimah
“…belakangan ini suara dari kelompok garis keras tampak mendominasi wacana politik, padahal jumlah
pengikutnya tidaklah banyak dibanding pengikut Islam moderat. Oleh karena itu, merupakan tantangan bagi Islam
moderat untuk mengambil kembali insiatif yang selama masa kritis terlepas.” (Abdurrahman Wahid, 2001)
“Islam Indonesia pasca jatuhnya Soeharto mengalami dinamika yang menarik, baik dari aspek pemain (agency)
maupun ideologi. Dari perspektif agency, pergerakan Islam di Indonesia di babakan waktu yang dikenal dengan era
reformasi ini tidak lagi didominasi oleh “pemain besar” yang selama ini mengemuka, seperti NU dan
Muhammadiyyah sebagai dua organisasi massa Islam arus utama (mainstream), akan tetapi juga diramaikan oleh
aktivisme kelompok-kelompok baru.” (Ach. Muzakki, 2007)

Dua kutipan di atas sengaja penulis hadirkan di muka sebelum mengetengahkan makalah
singkat terkait tema dalam diskusi ini. Dua pernyataan di atas menunjukkan adanya gerakan “Islam
baru” di negeri ini, di satu sisi. Dan mengancam wajah ramah Islam -yang berpuluh tahun bahkan
ratusan tahun telah diyakini dan dijalankan oleh masyarakat nusantara- yang selama ini berkembang
di negeri ini.
Di titik lain, globalisasi, meminjam istilah Giddens, diibaratkan sebagai “juggernaut” (truk
besar yang melaju kencang tanpa rem kendali) tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi dan politik.
Kebudayaan bahkan ideologi agama pun terkena imbas arus deras era global ini. Indonesia, yang

dalam lirik lagu Koes Plus, diidentikkan sebagai negeri dengan “tanah surga”, sebuah negeri yang
tanahnya subur dimana tongkat dan batu bisa menjadi tanaman, hemat penulis negeri ini tidak hanya
sebatas tanahnya yang subur, ideologi apapun yang masuk ke negeri ini bisa tumbu-kembang dengan
subur.
Pada titik ini, sebagai generasi bangsa yang dilahirkan dalam tradisi NU, dalam percaturan
global ini, sebagai pemuda-pemuda NU, yang paling utama dalam konteks “perang ideologi” ini
adalah mereaktualisasi gagasan-gagasan pendahulu kita untuk meneguhkan identitas warga
Nahdliyyin. Untuk itu, dalam tulisan pendek ini, penulis akan berusaha memaparkan bagaimana
sikap NU dalam bernegara dan mempertahankan NKRI sebagai bagian dari upaya melawan
radikalisasi kelompok-kelompok intoleran dan radikal.
A. Tiga Fase hubungan NU dan Pancasila

1

Makalah seminar Aswaja dan Bela Negara di Pesantren Cikedung, Cirebon. 01-02-2016
Wakil Sekretaris PP Lakpesdam PBNU (2015-2020), mengabdi di Pascasarjana STAINU Jakarta dan aktif
di Pusat Studi dan Pengembangan Pesantren (PSPP)
2

Salah satu prinsip utama dalam bernegara dalam konteks Indonesia adalah menerima

pancasila sebagai asas utama Negara. Pancasila sebagai ideologi Negara dalam babak sejarah
berdirinya Negara Indonesia ini telah melewati perjuangan yang tidak mudah. Pertarungan ideologi
yang terjadi di awal-awal kemerdekaan cukup keras tidak hanya ditunjukkan oleh kelompok
nasionalis-islamis.3
Dalam tubuh umat Islam sendiri, penerimaan terhadap pancasila sebagai ideologi Negara
mengalami perdebatan yang cukup panjang dan melelahkan. Sejumlah tokoh Islam –bahkan NU
sendiri- pada masa-masa awal mencoba memperjuangkan ideologi Islam sebagai dasar Negara
Indonesia. Setidaknya, ada tiga fase hubungan antara NU dan Pancasila dalam rentang sejarah
bangsa ini.
a. Pra Kemerdekaan
Meskipun Indonesia belum mencapai kemerdekaan, dimana pancasila belum menjadi
ideologi resmi Negara, namun, NU, sejak jauh-jauh hari telah “mempersiapkan” bagaimana sikap
NU terhadap Negara ini. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Abdurrahman Wahid (1996):
“Dalam tahun 1936 muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik,
yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan Indonesia. Terhadap
pertanyaan status tanah Hindia-Belanda, yang sedang diperintah oleh para penguasa non-muslim Belanda,
haruskah ia dipertahankan dan dibela dari serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib
dilakukan menurut hukum agama (fiqh). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre “kitab kuning”
yang berjudul “Bughyatul Mustarsyidin” karya Syaikh Hasan al-Hadrami, dikemukakan alasan
pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian

masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu
atau diusik.”
Keputusan muktamar tahun 1936 ini menunjukkan bagaimana sikap NU dalam konteks
bernegara. Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Abdurrahman Wahid, tidaklah
mengherankan apabila nantinya NU dengan mudah menerima pancasila sebagai ideologi Negara dan
falsafah hidup bangsa setelah Indonesia memperoleh kemerdekaan. (Wahid, 1996)
b. Masa Kemerdekaan
Di masa kemerdekaan ini, NU menerima (meskipun sebelumnya sempat mencoba
memperjuangkan berlakunya syariat Islam dalam UUD 1945 dalam konstituante di tahun 1958-1959)
negara berideologi pancasila. (Wahid, 1996) Dimana pada masa-masa awal pembentukan ideologi
negara, NU turut merumuskan pancasila melalui wakil-wakilnya seperti KH. Wahid Hasyim, KH.
Masykur, dan Zainul Arifin.

Sebagai buktinya, bisa dibaca dalam beberapa buku, misalnya “Di bawah bendera Revolusi”, dimana
Soekarno tidak hanya berusaha menjelaskan tiga ideologi yang berbeda; Nasionalis, Agamis (Islamis) dan Komunis.
3

c. Pasca Kemerdekaan (Muktamar NU ke-27)
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, Jawa Timur, adalah muktamar NU yang
menjadi sejarah penting menandai hubungan antara NU dan Pancasila. Dalam muktamar ini, di

samping memutuskan NU kembali ke Khittah 1926, NU secara tegas menerima pancasila sebagai
satu-satunya asas organisasi. Asep Saeful Muhtadi (2004) menegaskan:
NU merupakan ormas (organisasi massa) Islam yang pertama menerima pancasila sebagai satu-satunya
asas di satu pihak, meskipun di pihak lain, secara formal sesungguhnya belum ada ketentuan yang mengharuskan
ormas apapun untuk menerima pancasila sebagai asas organisasi, karena pada saat itu kewajiban tersebut baru
berlaku bagi organisasi-organisasi politik.
Pertanyaannya kemudian, apakah sikap kebangsaan dan kenegaraan NU sebagaimana
dijelaskan di atas berkaitan dan merupakan impelementasi dari paham dan ajaran Ahlussunnah wal
Jamaah (Aswaja)? Jawaban pertanyaan ini bisa dilihat dari apa yang disampaikan oleh KH. Ahmad
Siddiq (Rais Aam PBNU 1984-…), beliau menjelaskan bagaimana pandangan NU tentang
kehidupan bernegera seperti berikut:
1. Negara nasional (yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat) wajib dipelihara dan
dipertahankan eksistensinya;
2. Penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan terhormat
dan ditaati, selama tidak menyeleweng, memerintah kea rah yang bertentangan dengan
hukum dan ketentuan Allah;
3. Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, cara mengingatkannya lewat cara yang
sebaik-baiknya. (KH. Ahmad Siddiq, 1979: 39)
Pemikiran NU yang melandasi pandangan di atas ini sebenarnya dapat dengan mudah dilacak
pada konsep bernegara dalam madzhab Syafii. Dimana dalam pandangan ini, Negara dipilah ke

dalam tiga jenis: Dar Islam (Negara Islam), Dar Harb (Negara Anti-Islam), dan Dar Sulh (Negara
Damai). (Wahid, 1996: 5, dan Asep Saeful Muhtadi, 2004: 132)
B. Bela Negara sebagai Implementasi Nilai Aswaja dan Upaya Deradikalisasi
Sebagaimana dipaparkan di atas bagaimana sikap NU dalam bernegara, penerimaannya
terhadap pancasila, maka dalam wacana bela negara sekalipun NU tidak sulit untuk menerimanya
sebagai sebuah kewajiban. Fakta sejarah negeri ini membuktikan bahwa NU memiliki peranan
penting –bahkan bisa dikatakan paling penting- dalam perang 10 November 1945 di Surabaya.
Sebagian kalangan –bahkan panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmatyo, dalam pidatonya di acara hari

santri tahun kemarin di tugu proklamasi- menilai bahwa perang 10 November adalah perang para
santri (NU) melawan sekutu. Bukan (hanya) perang antara TNI dan sekutu.4
Kalau ditelusuri lebih tekun, dapatlah dibuat garis linear dari sikap NU terhadap
pemerintahan dan Negara kita. Muktamar NU di Banjarmasin membahas dan menentukan sikap
dalam hungan dengan status Indonesia sebagai tanah dan air, yang wajib dipertahankan dari serangan
luar, tanpa melihat sistem kekuasaan yang memerintahnya. Kemudian, pada tahun 1945 (melalui
kehadiran KH Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam
berbagai kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan, berujung pada resolusi jihad
pada bulan oktober 1945, yang mewajibkan umat Islam untuk memperjuangkan kemerdekaan dan
membela tanah air sebagai perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Sikap itu berarti tahap baru
dalam pandangan NU, yaitu tahap penerimaan terhadap Indonesia tidak hanya sebagai tanah dan air,

tapi juga Negara. (Wahid, 1996: 12-13)
Dan di era sekarang ini, dimana Indonesia menjadi ajang pertempuran ideologi, sikap NU
terhadap bela Negara dari berbagai pihak yang mengancam NKRI tidaklah berubah. NU tetap
menjadi garda terdepan dalam persoalan ini. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ketua Umum
PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj:
“Tunjukkan bahwa santri menyatu dengan TNI. Bersama-sama TNI selalu dalam satu visi dan
misi. Nusantara itu sendiri kepanjangan dari NU, Santri dan Tentara. Bersama-bersama
membendung radikalisme ISIS,” ujarnya, Sabtu 21 November 2015 kemarin.
Menurut Said, saat ini tercatat ada 22.000 pondok pesantren di Indonesia. Bila santri dan TNI
solid maka ancaman apapun dapat diatasi. Apalagi, fenomena jaringan Islam garis keras sudah
ada di mana-mana di Indonesia.
“Membela negara hukumnya fardu ain, wajib bagi setiap individu sama seperti menjalankan
salat. Mempertaha nkan NKRI bukan hanya kewajiban TNI, tapi semua warga bangsa,” ujarnya.
Mati membela Tanah Air, kata Said, adalah mati sahid sama seperti membela agama.
Hal itu sesuai dengan fatwa dan resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asyari. “Barang
siapa yang bekerja sama dengan penjajah maka halal darahnya dan boleh dibunuh,” tegasnya.

4

Perhatikan kutipan teks pidato Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo ini: sejarah mencatat bahwa

peristiwa Resolusi Jihad bersentuhan langsung dengan kedaulatan Republik Indonesia. Terdapat 4 peristiwa
penting yang saling mempengaruhi dan saling mengua tkan, yaitu peristiwa tanggal 17 Agustus sebagai Hari
Kemerdekaan Republik Indonesia, 5 Oktober hari pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) sekarang TNI, 22
Oktober sebagai hari pencetusannya Resolusi Jihad NU, dan 10 November pecahnya perang di Surabaya yang
dikenal sebagai Hari Pahlawan. Lebih lanjut, Panglima TNI mengatakan, hikmah dan pelajaran diperoleh
peristiwa dari Resolusi Jihad antara lain bahwa perjuangan melawan penjajah saat itu terkait Resolusi Jihad yang
dikumandangkan oleh Rais Am NU, KH Hasyim Asy’ari. Bangsa penjajah tidak rela Indonesia merdeka, sehingga
berusaha untuk menguasai kembali tanah air. Mereka membonceng sekutu untuk menguasai kembali Indonesia,
namun hal itu diketahui para pejuang kemerdekaan dan ditindaklanjuti dengan mera patkan barisan untuk menolak
kedatangan kolonialis. Para santri berkumpul di seluruh wilayah Jawa dan Madura, mengatur langkah strategi
perjuangan sebagai kewajiban mempertahankan tanah air dan bangsanya. “Tanpa Resolusi Jihad, maka tidak ada
perlawan yang heroik, jika tidak ada perlawanan heroik berarti tidak ada Hari Pahlawan tanggal 10 November”.
Baca selengkapnya di http://www.lensaindonesia.com/2015/10/23/ini-pandangan-panglima-tni-tentang-resolusijihad.html

Saat ini, Indonesia layaknya gadis cantik yang diperebutkan oleh negara-negara besar. Mereka
berkeinginan menjajah Indonesia baik melalui dimensi ekonomi, politik, budaya, watak
kepribadian bahkan agama.
Karena itu, program Pelayaran Santri Bela Negara sudah sangat tepat dalam menghadapi
tantangan tersebut. “Insya Allah, setiap tahun akan ada pelayaran santri bela negara,” ujarnya.
Said berharap, setelah mengikuti bela negara seluruh santri dan TNI bersatu membela dan

menjaga keutuhan NKRI.5

Para ulama thoriqoh memandang masalah bela negara sekarang sangat penting untuk
diperhatikan, ujar Ketua Jatman Al-Habib Muhammad Luthfi dalam keterangan pers yang
diterima Republika, Jumat (8/1). Habib Luthfi mengajak seluruh kalangan thoriqoh untuk
sungguh-sungguh mengoptimalkan kekuatan spiritualitas jamaah guna menguatkan as pek bela
negara. Pentingnya meningkat kan aspek bela negara, kata dia, juga tidak terlepas dari pengaruh
kon flik di negara-negara Timur Tengah yang secara langsung berdampak pada Indonesia. Beliau
mengatakan:
“Melalui konferensi ini, diharapkan kesadaran bela negara bisa bangkit didasarkan spiritualitas
seperti yang diajarkan dan dicontohkan Nabi Muhammad SAW”
Khatimah
Dari paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa NU sepanjang sejarahnya meletakkan dasar
religiusitasnya secara terbuka, fleksibel, dan adaptif. Sehingga dalam kerangka ini pula, konsep
ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) bagi NU dipahami sebagai suatu pengakuan terhadap tradisi
masyarakat muslim dalam konteks tradisi di Indonesia. Dari sinilah wawasan kebangsaan NU
dibangun secara konsisten, sehingga dapat menyiasati perubahan-perubahan situasi politik nasional.
Namun demikian, NU, menurut Sitompul (1989: 76), ia juga mampu bersikap radikal terutama
apabila dirasakan perkembangan di luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai golongan
tradisional. Hal ini sebagaimana dapat kita baca sejarah Mbah Wahab “melawan” kerajaan Saudi.

Dan yang terbaru adalah bagaimana NU menjadi “benteng pemerintah” garda depan dalam konteks
bela Negara.

5

Lihat selengkapnya di http://arrahmahnews.com/2015/11/22/kyai-said-tni-dan-santri-harus-menyatulawan-radikalisme-dalam-bela-negara/

Sumber Bacaan:
Abdurrahman Wahid, pengantar dalam buku NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1996
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik NU, Jakarta, LP3S, 2004
Abdurrahman Wahid, Tantangan Bagi Islam Moderat untuk Ambil Inisiatif. Jakarta: Kompas, 20
Desember 2001.
Ach. Muzakki, Importisasi dan Lokalisasi Ideologi Islam: Ekspresi Gerakan Islam Pinggiran Pasca-Suharto.
Maarif: vol.2.no.4 Juni 2007
Einar Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1996