Konflik antara Sudan dan negara pecahann

Konflik antara Sudan dan negara pecahannya, Sudan Selatan, menyebabkan ribuan
orang mati di tanah perbatasan Darfur. Perang berdarah juga terjadi di Kordofan dan
Blue Nil. Pada April 2012 lalu, diledakannya sumber nafkah berupa sumur minyak di
Higlig menghangatkan konflik dan kontak senjata antara kedua belah pihak.
Berbagai upaya diplomasi untuk mengatasi perseteruan antara kedua belah pihak telah
banyak dilakukan. Yang mutakhir, adalah jalan tengah honorium pemanfaatan pipa
Sudan untuk minyak dari Selatan. Meski banyak pihak yang menilai, kesepakatan itu
dirasa kurang memuaskan bagi Selatan. Namun Juba lebih mempertimbangkan dua
cabang strategi ekonomi yang akan diambil, yakni memanfaatkan Pipa minyak Sudan
utara, dan mengalternatifkan ekspor minyak mentah ke pasar internasional.
Dengan begitu membuka peluang optimis bagi kedua negara sebagai wujud
implementasi tumbuhnya kesadaran bekerjasama antara keduanya dan jika
dilaksanakan dengan iktikad yang baik. Perjanjian antara Sudan dan Sudan selatan
adalah sebuah perkembangan untuk mengembangkan kepercayaan pasca konflik
berkepanjangan.
Untuk masa sekarang, nampaknya Sudan Selatan lebih memilih terbuka kepada Sudan
Sebagai alternatif temporer disamping juga melakukan pemugaran sistem. Dalam hal
ini Sudan Selatan mampu menunjukkan kepada Sudan Utara bahwa Selatan negara
yang tangguh. Terbukti tidak sampai hancurnya sistem Sudan selatan selama konflik
seperti yang diharapkan Sudan Utara, dan ekonomi yang merosot pun dapat dipulihkan
meskipun Sudan selatan telah kehilangan 98% sumber nafkahnya. Padahal Ahli Siasat

perang Sudan Utara sudah memprediksi Sudan Selatan tidak akan mampu bertahan
lebih dari 6 bulan.
Saat ini, tidak etis jika mempertanyakan seberapa tulus itikad baik antara kedua negara
yang terjalin dalam beberapa kesepakatan kerjasama, karena selain kita sama tahu,
rekonsiliasi keduanya itu terasa pahit. Bagaimanapun juga keadilan dipertanyakan
setelahnya, terutama bagi “serangga” yang diberantas di perbatasan Darfur oleh
Pasukan operasi militer Sudan Utara.
Hubungan cerah antara keduanya, juga dipengaruhi oleh kondisi politik pada masingmasing negara. Di Sudan Selatan, South Sudan’s Ruling Party (SPLM-Party berkuasa
Sudan Selatan) lebih leluasa menggerakkan sayapnya karena belum adanya oposisi
yang terorganisir. Begitu halnya dengan National Congress Party (NCP-Party
penguasan Sudan) milik Omar al-Bashir yang mendapat angin positif meski banyak
yang memprediksi ke depan setelah 2015 (diadakan pemilu) akan ada pertanyaanpertanyaan besar, seperti, Siapa pengganti pemimpin NCP? Karena sejauh ini belum
ada tokoh yang punya kharisma cukup kuat untuk menggantikan Bashir. Justru saat ini

Hassan al –Turaby pembesar party oposisi –yang sangat diharapkan, malah kurang
begitu terangkat di masyarakat. Atau pertanyaan besar apakah kemudian hari, seperti
yang diberitakan beberapa media lokal Sudan, bahwa sebagian orang-orang yang
berafiliansi Islam di NCP dan memiliki peran penting di Militer akan mengkudeta
sesudah 2015? Atau bahkan sebelumnya? Sejarah yang membuktikan.
Jalan damai yang berlangsung dan stabilitasi politik yang terjadi antara kedua negara

ini, bagaimanapun adalah tanggung jawab pembuat kebijakan di Khartoum dan Juba.
Mereka yang menentukan sejauh mana bulevar perdamaian antar keduanya mampu
bertahan. Amir Idris melalui tulisannya yang berjudul “Sudan: The Way Forward”
(Sudan: Jalan ke Depan) membuat manuver terbuka (lebih tepatnya, membuka celah
diskusi) terhadap tulisan Dr. Elwathig Kameir’s, Disintegration of the Sudanese State:
the Most Likely Scenario (Disintegrasi Negara Sudan: Skenario yang Paling Mungkin)
yang diterbitkan Sudan Tribune pada February 10, 2013 lalu. Amir Idris justru memberi
fikrah bahwa mempertanyakan integritas kedua belah pihak bukanlah solusi untuk
menyentuh perdamaian. Yang Sudan sedang butuhkan adalah sebuah reformasi
kebijakan, diantaranya, sangat penting bagi negara untuk merangkul demokrasi
sebagai sistem pemerintahan yang inklusif. Meskipun kelemahan demokrasi adalah
hanya sebagai alat: lewat mana nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
masyarakat dapat diterjemahkan ke dalam realitas. Misalnya, prinsip dan aturan seperti
pemilu, aturan hukum, hak berserikat dan berekspresi.
Partisipasi politik memang bisa menawarkan kebebasan ekspresi bagi warga dalam
bentuk substantif. Namun, untuk menjadi proyek politik yang sukses, reformasi politik
harus menjadi proses yang inklusif di mana semua struktur negara dan lembaga harus
didemokratisasikan. Misalnya, proses reformasi politik ini harus menghilangkan
kesenjangan antara desa-kota, wilayah pusat - dan dikotomi pusat dan lokal. Jika
proses reformasi politik ini berhasil dilakukan harus menumbuhkan budaya baru

kewarganegaraan dari bawah ke atas dan didukung oleh reformasi kelembagaan yang
efektif formal serta perluasan praktik demokrasi dan norma-norma di tingkat masyarakat
dan negara.
Ala kulli hal, jalan tengah yang dibangun antara kedua negara harus disambut baik oleh
semua pihak. karena kejayaan plus kedamaain bagi Sudan hanya bisa dibangun untuk
masa depan, bukan masa lalu –dengan sederet sejarah yang tidak perlu berulang-ulang
diceritakan. Kedua belah pihak saling membuka lembaran baru. Khartoum pada
khususnya telah belajar bahwa Sudan Selatan adalah musuh tangguh. Ini telah
menantang semua harapan bahwa itu akan runtuh setelah menutup produksi
minyaknya.
Sudan Selatan juga telah belajar bahwa masyarakat internasional sangat mendorong

kedua negara untuk saling membangun kesepakatan dan kerjasama. Yang dapat
mengubah hubungan dari antagonisme menjadi perkembangan simbiosis-pragmatis.
Meski harmonisasi antar kedua belah pihak mungkin masih ada beberapa kendala tak
terduga yang bisa menghambat hubungan, tapi kedua negara memiliki segudang
alasan untuk berharap(Hasil Kajian LTN-NU Khartoum Sudan/Red: Anam)

Gambaran Umum Konflik Sudan Selatan - Sudan Utara
Mayoritas perpecahan internal seringkali dapat ditemukan di berbagai negara dalam

Afrika. Bahkan perpecahan internal ini tidak hanya sebatas perpecahana pada
kesatuan rakyat sebuah negara, akan tetapi masuk kepada tingkatan konflik atau
perang sipil/saudara. Perang saudara biasa terjadi akibat perbedaan paham antar
kedua pihak, bahkan sampai konflik antar agama dan etnis yang tidak mampu hidup
harmonis bersama dalam sebuah negara.
Perpecahan internal yang terjadi di Sudan ada beberapa. Pertama di Darfur sejak 2003,
dimana pokok permasalahannya terletak pada meningkatnya gerakan-gerakan yang
menentang

pemerintahan

pusat

Omar

Al-Bashiir.

Pembersihan

etnis


terjadi,

menghasilkan ratusan ribu warga meninggal, serta jutaan mengungsi ke negara
tetangga. Kedua adalah kasus antara Sudan Selatan, serta Sudan Utara. Latar
belakang konflik ini sebab adanya ketidakadilan dalam pemerintahan pusat, terhadap
hak-hak warga di Sudan Selatan. Dari segi politik dan ekonomi, Sudan Selatan sering
tidak dianggap dalam keputusan politik, serta proliferasi ekonomi ke daerah tersebut,
menyebabkan ketidaksetaraan lapangan pekerjaan dan perkembangan daerah. Sering
pula terjadi ekspolitasi di daerah Sudan Selatan oleh pemerintahan pusat yang
berlokasi di Sudan Utara.
Seringkali dikatakan bahwa latar belakang konflik internal antara Sudan Selatan dan
Utara tidak hanya di motivasi oleh sebab-sebab diatas, tetapi juga berhubungan dengan
diskriminasi ras dan agama oleh pemerintahan pusat. Sehingga dikatakan bahwa
konflik internal yang terjadi di Sudan juga merupakan konflik antar agama, sekaligus
ras. Dari segi agama, daerah Sudan Utara memiliki mayoritas penduduk beragama
Islam, dan merupakan ras Arab. Sedangkan di Sudan Selatan, mayoritas penduduk

beragama Kristen, dan ras kulit hitam. Pemerintahan pusat yang berpegang teguh pada
ideologi Islam, kerap menganggap bahwa penduduk Arab Islam lebih superior

dibandingkan mereka yang berkulit hitam dan beragam Kristen. Diskriminasi inilah yang
menjadi salah satu sebab terjadinya konflik yang paling lama, di negara Afrika yang
paling besar saat ini. Namun untuk menganalisa sumber konflik antar Sudan Utara dan
Selatan, perlu dianalisa sejak masa penjajahan Inggris dan Mesir.
Dari Segi historis, pada saat penjajahan Inggris, telah terjadi eksploitasi, serta
ketidaksetaraan perkembangan yang diperkenalkan oleh penjajahan Inggris sebelum
kemerdekaan. Kolonialisasi Inggris gagal untuk membentuk mekanisme yang lebih baik
dalam hal transisi kekuasaan Inggris, ke Sudan itu sendiri, serta gagal untuk
mempersiapkan kebutuhan Sudan Selatan sebelum kemerdekaan. Warga Sudan
selatan seringkali diculik demi kepentingan perdagangan perbudakan. Perkembangan
lebih difokuskan di daerah Sudan Utara. Akibatnya, dari segi ekonomi, kesempatan
politik, serta pendidikan, Warga Sudan Selatan tidak mampu untuk bersaing dengan
Sudan Utara.
Kemerdekaan di tahun 1956 memberikan harapan besar bagi rakyat Sudan Selatan
untuk mendapatkan kesempatan yang sama dari segi pendidikan, politik, ekonomi,
serta perkembangan yang merata. Tidak hanya berfokus di daerah Sudan Utara.
Namun, kemerdekaan menjadi ajang memperlebar jarak perkembangan antar kedua
wilayah tersebut. Sudan Utara meneruskan kebijakan yang sebelumnya diaplikasikan
oleh penjajahan dari Inggris. Pemerintahan pusat terus menerus mengaplikasikan
program perkembangan ekonomi regional tidak merata, dan kebijakan-kebijakan

lainnya yang tidak memberikan kesempatan kepada Sudan Utara untuk berkembang.
Harapan Sudan Selatan untuk mengembangkan wilayah, serta membentuk negara
persatuan yang lebih ternyata telah memperburuk keadaan dan mempebesar
diskriminasi tersebut.
Struktur pemerintahan Sudan pasca kemerdekaan juga mencurigakan. Sebab civil
service atau departemen-departemen pemerintahan di Sudan Selatan, semua

merupakan warga dari Sudan Utara. Sehingga muncul-lah beberapa perspektif dari
masyarakat Sudan Selatan, bagaimana Sudan Utara memiliki insentif untuk menguasai
Sudan secara keseluruhan. Tentunya hal tersebut ditanggapi serius oleh semua rakyat
Sudan Selatan.
Namun yang merefleksikan kebijakan diskriminatif adalah penyebaran Islam, bahkan di
Sudan Selatan itu sendiri. Setelah kemerdekaan, hanya 6 individual dari Sudan Selatan
yang dijabat sebagai posisi administrative Sudan. Sehingga banyak terjadi penyebaran
ideologi Islam pasca kemerdekaan tersebut. Februari 1962, pemerintahan pusat
menutup secara paksa sekolah-sekolah Kristen. Juga muncul beberapa usaha
pemerintah untuk menerapkan hukum Syariah, sebuah hukum yang menggunakan
hukum agama Islam sebagai pedoman. Tentunya ini ditanggapi dengan penuh
kemarahan oleh rakyar Sudan Selatan, dan semua penduduk Sudan yang beragam
Kristen. Bukan hanya itu, penyebaran ini dilakukan dengan niat memaksa semua rakyat

menerima hukum tersebut.
Masyarakat yang merasa tertindas, terutama dalam hal kebebasan agama, serta
kesempatan dalam kontribusi ekonomi negara yang tidak merata telah menyebabkan
perang sipil selama bertahun-tahun di Sudan. Perang Sipil pertama pada tahun 19551972, dilanjut pada perang sipil kedua tahun 1983-2005. Merupakan perang Sipil paling
lama, serta paling banyak menelan korban.
Posted by Hakim Simanjuntak on - Rating: 4.5