PEMERIKSAAN ANGKA KUMAN PADA DAGING AYAM DENGAN PEMBERIAN PARUTAN RIMPANG LENGKUAS PUTIH (ALPINIA GALANGA LINN SWARTZ)

PEMERIKSAAN ANGKA KUMAN PADA DAGING AYAM DENGAN PEMBERIAN PARUTAN RIMPANG LENGKUAS PUTIH (ALPINIA GALANGA LINN SWARTZ)

Siti Fatimah, Fitri Nadifah, Urfiyah Lisa Azizah

OPTIMASI AIR PERASAN BUAH MERAH (PANDANUS SP.) PADA PEMERIKSAAN TELUR CACING

Anita Oktari, Ahmad Mu'tamir

GAMBARAN SEDIMEN URINE PADA MASYARAKAT YANG MENGKONSUMSI AIR PEGUNUNGAN DI KECAMATAN KENDARI BARAT KOTA KENDARI

Ruth Mongan, Supiati, Susi Mangiri

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK METANOL KULIT BUAH MANGGIS (GARCINIA MANGOSTANA L.) TERHADAP STAPHYLLOCOCCUS AUREUS DAN ESCHERECHIA COLI

Sujono, Anik Nuryati

KAJIAN AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK DAUN GUDE (CAJANUS CAJAN) TERHADAP SEL KANKER KOLON SECARA IN VITRO

Muji Rahayu, Roosmarinto

POTENSI ENZIM BROMELIN SARI BUAH NANAS (ANANAS COMOSUS L.) DALAM MENINGKATKAN KADAR PROTEIN PADA TAHU

Indah Purwaningsih

Penerbit : website : http://www.teknolabjournal.com

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

email : teknolabjournal@gmail.com

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM

(www.teknolabjournal.com) ISSN: 2338 - 5634 (cetak); ISSN: 2580 - 0191 (online) Volume 6, Nomor 1, Maret 2017

Penerbit :

Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta

Pengelola

Jurusan Analis Kesehatan

Susunan Dewan Redaksi : Penasehat

Direktur Poltekkes Yogyakarta

Pengarah

Ketua Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Yogyakarta

Editor in Chief

Siti Nuryani (Poltekkes Kemenkes Yogyakarta, Indonesia)

Associate Editors

Elsa Herdiana Murhandarwati (Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) Anis Nurwidayati (Balai Litbang P2B2 Donggala Kemenkes RI) Budi Setiawan (Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta) Maria Tuntun Siregar

(Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang, Bandar Lampung)

I Nyoman Jirna (Jurusan Analis Kesehatan, Poltekkes Kemenkes Denpasar) Titin Aryani (Prodi Jurusan Analis Kesehatan, Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta)

Alamat Redaksi : Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Jl. Ngadinegaran Mj III / 62 Yogyakarta, 55143 Telp./Fax : (0274) 374200 / (0274) 375228 e-mail : teknolabjournal@gmail.com

iii

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM

ISSN: 2338 - 5634 (cetak); ISSN: 2580 - 0191 (online) Volume 6, Nomor 1, Maret 2017

DAFTAR ISI

PEMERIKSAAN ANGKA KUMAN PADA DAGING AYAM DENGAN 1-6 PEMBERIAN PARUTAN RIMPANG LENGKUAS PUTIH (ALPINIA GALANGA LINN SWARTZ)

Siti Fatimah, Fitri Nadifah, Urfiyah Lisa Azizah

OPTIMASI AIR PERASAN BUAH MERAH (PANDANUS SP.) PADA 7 - 15 PEMERIKSAAN TELUR CACING Anita Oktari, Ahmad Mu'tamir

GAMBARAN SEDIMEN URINE PADA MASYARAKAT YANG 16 - 22 MENGKONSUMSI AIR PEGUNUNGAN DI KECAMATAN KENDARI BARAT KOTA KENDARI Ruth Mongan, Supiati, Susi Mangiri

UJI ANTIBAKTERI EKSTRAK METANOL KULIT BUAH MANGGIS 23 - 27 (GARCINIA MANGOSTANA L.) TERHADAP STAPHYLLOCOCCUS AUREUS DAN ESCHERECHIA COLI Sujono, Anik Nuryati

KAJIAN AKTIVITAS ANTIKANKER EKSTRAK DAUN GUDE (CAJANUS 28 - 33 CAJAN) TERHADAP SEL KANKER KOLON SECARA IN VITRO Muji Rahayu, Roosmarinto

POTENSI ENZIM BROMELIN SARI BUAH NANAS (ANANAS COMOSUS 34 - 40 L.) DALAM MENINGKATKAN KADAR PROTEIN PADA TAHU Indah Purwaningsih

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM

(www.teknolabjournal.com) Vol.6, No.1, Maret 2017, pp. 1 ~ 6 ISSN: 2338 – 5634 (print); ISSN: 2580-0191 (online)

Received : 17-02-2017; Revised : 01-03-2017 ; Accepted : 10-03-2017

Pemeriksaan Angka Kuman Pada Daging Ayam Dengan

Pemberian Parutan Rimpang Lengkuas Putih (Alpinia Galanga Linn Swartz)

2 3 Siti Fatimah , Fitri Nadifah , Urfiyah Lisa Azizah

1,2,3 STIKes Guna Bangsa Yogyakarta Jl Ring Road Utara Condong Catur Depok Sleman Yogyakarta,

Telp (0274) 4477701. 4477703. 4477704 Fax (0274) 4477702, * corresponding author e-mail : siti_fatimah@gunabangsa.ac.id

Abstract

Chicken meat is a good source of protein for daily consumption. It is very easy decayed biologically by enzymes or microbial spoilage. White galangal (Alpinia galanga Linn Swartz) is a kind of spice crop that can live in the highlands and lowlands. Generally, people utilize white galangal as a blend of seasoning. Galangal ’s role as a food preservative is inseparable from its anti-microbial activity and secondary metabolite contents, i.e. essential oils. The anti-microbial is

a biological or chemical compounds that could interfere the growth and activity of microbes, particularly microbes as a food spoilage. This research goal is to determine the number of bacteria in chicken meat with the provision granting the white grated galangal rhizome (Alpinia galanga Linn Swartz).

This was a descriptive study with laboratory testing. We use pour plate method for the bacteria number determination. Independent variables is the indwelling time with grated white galangal for 1-5 hours and the dependent variable is the number of bacteria in chicken meat.

The result showed that total number of bacteria after smeared with white grated galangal rhizome for 1 hour 463.500 CFU/gr, 2 hour 130.250 CFU/gr, 3 hour 58.250 CFU/gr, 4 hour 142.500 CFU/gr and 5 hour 302.500 CFU/gr. This study showed that grated white galangal has proven to reduce the number of bacteria in chicken meat.

Keywords: indwelling time, chicken meat, white galanga, number of bacteria. © 2017 Jurnal Teknologi Laboratorium

1. Pendahuluan

Daging ayam merupakan sumber protein hewani yang baik, karena mengandung asam amino esensial yang lengkap dengan perbandingan yang cukup selain itu karena serat-serat dagingnya tergolong ke dalam jenis yang pendek dan lunak sehingga mudah dicerna. Daging ayam sangat mudah mengalami kebusukan biologis oleh enzim ataupun mikroba pembusuk. Hal ini disebabkan karena sifat fisik dan kimia daging ayam. [1]

Pertumbuhan mikroba yang terjadi pada daging ayam merupakan salah satu penyebab berkurangnya mutu daging ayam bahkan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Masa simpan daging ayam di suhu kamar (tempat terbuka) tanpa adanya pemberian bahan-bahan pengawet tahan paling lama 5-6 jam karena jika ada daging Pertumbuhan mikroba yang terjadi pada daging ayam merupakan salah satu penyebab berkurangnya mutu daging ayam bahkan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Masa simpan daging ayam di suhu kamar (tempat terbuka) tanpa adanya pemberian bahan-bahan pengawet tahan paling lama 5-6 jam karena jika ada daging

Alternatif untuk memperpanjang masa simpan daging ayam secara aman dengan menambahkan bahan antimikroba yang diharapkan menjadi solusi agar pengawet kimia yang berbahaya bagi kesehatan tidak digunakan lagi. Peran lengkuas sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan lengkuas yang memiliki aktivitas antimikroba. kandungan zat kimia yang terdapat dalam lengkuas adalah fenol, flavonoida, dan minyak atsiri. [3]

Mekanisme penghambatan mikroba oleh fenol ini adalah dengan jalan merusak dinding sel, merusak membran sitoplasma, mendenaturasi protein sel dan menghambat kerja enzim dalam sel. [4] Mekanisme penghambatan mikroba disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain gangguan pada senyawa penyusun dinding sel, peningkatan permeabilitas membran sel yang dapat menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, menginaktivasi enzim, destruksi atau kerusakan fungsi material genetik.[5]

Lengkuas putih (Alpiniagalanga Linn Swartz) selain sebagai antimikroba juga dapat digunakan untuk bahan pengempuk daging, menghangatkan tubuh, membersihkan darah dan penambah nafsu makan. Daya antimikroba lengkuas putih membuat hidangan daging lebih aman dan kandungan protein yang berikatan dengan zat-zat lengkuas putih membuat hidangan daging ayam lebih mudah dicerna.[6]

Dalam rangka memperpanjang masa simpan daging ayam, penggunaan parutan rimpang lengkuas putih menjadi pilihan yang menarik, mengingat banyaknya keunggulan yang dimiliki oleh parutan rimpang lengkuas putih. Berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk meneliti kemampuan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz) sebagai pengawet alami pada ayam.

2. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan uji laboratorium yaitu dengan melihat ada atau tidaknya penurunan angka kuman pada daging ayam yang diberi parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galangaLinn Swartz. Uji laboratorium dilakukan dengan metode cawan tuang dengan pengulangan dua kali. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta Jurusan Analis Kesehatan dan dilaksanakan pada bulan Mei 2016.

2.1. Alat dan bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu autoklaf, inkubator, oven, neraca teknis, tabung reaksi, cawan petri steril 40 buah, kapas alkohol 70%, labu erlenmeyer 100 ml dan 200 ml, lampu spritus, pipet ukur 5 ml steril, wadah steril dengan tutup, safety pipet, stopwatch, parutan, saringan, pengaduk, blue tip, gunting. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daging ayam segar bagian dada, parutan lengkuas 100%, larutan NaCl 0,85% steril, alkohol 70%, dan media plate count agar steril.

2.2. Prosedur Penelitian

2.2.1. Pemilihan sampel

Pada saat pemilihan sampel yang digunakan adalah daging ayam broiler bagian dada yang masih dalam keadaan segar

2.2.2. Pengambilan sampel

Daging ayam bagian dada dibuang tulangnya kemudian dicuci sampai bersih untuk menghilangkan lendir dan darahnya hingga diperoleh hingga ± 1000 gram.

2.2.3. Pembuatan Media PCA (Plate Count Agar)

Menimbang 18 gram Plate Count Agar serbuk, larutkan dalam 800 ml aquadest. Media dipanaskan hingga mendidih untuk melarutkan sepenuhnya dan mensterilkannya menggunakan autoklaf pada suhu dan waktu yang ditetapkan yaitu

pada suhu 121 0

C selama 15 menit dengan tekanan 1 atm dan untuk

0 mendinginkannya dalam penangas air pada suhu 40 0 C-50

C selama 5-10 menit.

Pemeriksaan Angka Kuman … (Siti Fatimah)

2.2.4. Pembuatan Parutan Lengkuas

Lengkuas putih dicuci bersih, kemudian diparut. Lengkuas putih yang diparut sebanyak 250 gram lengkuas putih untuk 500 gram daging ayam.

2.2.5. Pembuatan Reagensia NaCl 0,85%

Sebanyak 21,25 gram Nacl larutkan dengan menggunakan aquadest dalam tabung erlenmeyer 2500 ml.

2.2.6. Penanganan daging ayam sebelum dilakukan penelitian

Daging ayam dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan bekas darah, lendir, kotoran serta mengurangi bau amis dengan menggunakan aquadest.Daging ayam kemudian dicincang, dipotong-potong menjadi 10 bagian dengan berat masing- masing 50 gram. Lima bagian dengan berat 250 gram sebagai test. Test yaitu daging ayam yang dilumuri dengan parutan lengkuas putih 125 gram kemudian diperiksa angka kuman setelah disimpan dalam berbagai lama waktu yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam,

4 jam dan 5 jam. Dilakukan pengulangan sebanyak 2 kali. Lima bagian lagi sebagai pembanding yaitu daging ayam yang tidak diberi parutan lengkuas putih, dilakukan pemeriksaan sebanyak 2 kali.

2.2.7. Proses Pendiaman

Daging ayam yang telah dan tidak dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih

0 didiamkan selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam pada suhu 20 0 C-25 C.

2.2.8. Pengenceran sampel

Labu erlenmeyer 100 ml steril disiapkan. Daging ayam yang tidak dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih dan telah didiamkan selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam diambil dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak ± 10 gram dan dilakukan pengenceran.Daging ayam yang sudah dilumuri parutan lengkuas selama 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam diambil menggunakan pinset steril dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak ± 10 gram dengan menggunakan pinset steril.Pengenceran dari sampel yang akan diperiksa dibuat, pengenceran mulai dari 10x, 100x, 1000x dan 10000x. Pengenceran 10x dibuat dengan cara memasukkan

10 gr sampel ke dalam labu erlenmeyer pertama dan ditambahkan 90 ml NaCl kemudian kocok sampai homogen, konsentrasi larutan menjadi10x, kemudian mempipet 1 ml larutan dari pengenceran10x, dimasukkan ke dalam tabung steril yang sudah diisi 9 ml NaCl, dicampur homogen, konsentrasi larutan menjadi100x. Selanjutnya diambil 1 ml dari pengenceran100x, dimasukkan ke dalam tabung steril yang sudah diisi 9 ml NaCl dicampur homogen, konsentrasi menjadi 1000x. Kemudian mempipet 1 ml larutan dari pengenceran1000x dimasukkan ke dalam tabung steril yang sudah diisi 9 ml NaCl, dicampur homogen, konsentrasi larutan menjadi 10000x .

2.2.9. Penuangan Media Plate Count Agar

Mulai dari pengenceran 1000x sampai ke 10000x pengenceran sampel diambil 1ml, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri yang sudah diberi kode nomer sampel, pengenceran dan tanggal pelaksanaan. Kemudian masing-masing cawan petri yang telah berisi sampel dan kontrol dituangi plate count agar yang

0 masih hangat(suhu 40 0 C-50

C) sebanyak 15-20 ml dan dihomogenkan dengan cara memutar cawan petri searah jarum jam, biarkan hingga dingin dan mengeras.Kemudian diinkubasi pada suhu 37 0

C selama 48 jam dengan posisi cawan petri dalam keadaan terbalik.

2.2.10. Perhitungan koloni

Koloni dihitung dari pelumuran dengan lama pendiaman yaitu 1 jam, 2 jam, 3 jam, 4 jam dan 5 jam.Idealnya jumlah koloni per plate yang boleh dihitung yaitu antara 30 s/d 300 CFU/ gram (colony forming unit). Koloni besar, koloni kecil, menjalar dianggap berasal dari 1 macam bakteri.Perhitungan dilakukan secara manual dengan memberi tanda titik dengan menggunakan spidol pada cawan petri bagi koloni yang sudah dihitung, untuk menghindari perhitungan ganda. Tiap-tiap plate dari pengenceran berbeda dihitung jumlah koloninya dengan mengalikan pengenceran

Pemeriksaan Angka Kuman … (Siti Fatimah) Pemeriksaan Angka Kuman … (Siti Fatimah)

Cara perhitungan : Jumlah koloni = koloni yang tumbuh x

(Dwidjoseputro, 2005).[7]

3. Hasil Dan Pembahasan

Tabel 1. Data Hasil Perhitungan Angka Kuman pada Berbagai Lama Perendaman

Jumlah angka kuman tanpa Penyimpanan

Jumlah angka kuman dengan

parutan rimpang lengkuas (jam)

parutan rimpang lengkuas putih

(CFU/ gram)

putih (CFU/ gram) 5 1 5 4,64x10 4,74x10

5 2 5 1,30x10 4,82x10 4 3 5 5,83x10 4,92x10 5 4 5 1,43x10 6,26x10 5 5 5 3,03x10 3,47x10

Sumber : Data Primer Terolah

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui jumlah pertumbuhan angka kuman pada pelumuran 1 jam adalah 464.000 CFU/ gram, 2 jam 130.000 CFU/ gram, 3 jam 58.300 CFU/ gram, 4 jam 143.000 CFU/ gram, 5 jam 303.000 CFU/ gram. Penurunan angka kuman pada daging ayam yang dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih terjadi pada jam ke 3 dan mengalami kenaikan angka kuman pada jam ke 4 dan ke 5, sedangkan pada daging ayam yang tidak dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih mengalami kenaikan angka kuman setiap jamnya namun pada jam ke 5 mengalami penurunan angka kuman. Kenaikan angka kuman yang terjadi masih di bawah batas maksimum. Persyaratan menurut SNI 3924-2009 tentang syarat mutu mikrobiologis daging ayam yang menyatakan batas maksimum angka kuman (Total Plate Count) pada daging ayam adalah 10 6 atau 1.000.000 CFU/ gr[8]. Menurut SNI

tersebut maka pada lama pelumuran 5 jam, daging ayam masih aman untuk dikonsumsi.

Adapun grafik perbandingan angka kuman daging ayam sebelum dan setelah pelumuran dalam parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz) ditampilkan pada gambar 1 di bawah ini.

uman

aK gram

ngk /

Tanpa pelumuran 200000

Lama Pelumuran

Gambar 1.Grafik perbandingan angka kuman daging ayam sebelum dan setelah pelumuran dalam parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz)

Sumber : Data primer terolah Pemeriksaan Angka Kuman … (Siti Fatimah)

Penurunan angka kuman yang signifikan berdasarkan gambar di atas tampak pada lama perendaman selama 3 jam yaitu sebesar 58.300 CFU/ gr. Penurunan tersebut berada pada fase pertumbuhan populasi bakteri. Waktu pelumuran selama 1 jam bakteri baru mengadakan persiapan dan penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru yaitu pada parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz). Fase selanjutnya bakteri akan tumbuh dan membelah diri sampai jumlah yang maksimum yaitu terjadi pada lama perendaman 5 jam. Pertumbuhan populasi bakteri dibatasi oleh habisnya bahan pangan seperti karbohidrat, protein, vitamin, dan unsur mineral.

Penurunan angka kuman menunjukkan adanya pengaruh dari parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz). Senyawa fenol pada lengkuas putih berperan pada mekanisme pertahanan mikroorganisme. Pada konsentrasi rendah fenol bekerja dengan merusak membran sel sehingga menyebabkan kebocoran sel. Pada konsentrasi tinggi, fenol dapat berkoagulasi dengan protein seluler dan menyebabkan membran sel menjadi tipis. Aktifitas tersebut sangat efektif ketika bakteri dalam tahap pembelahan, dimana lapisan fosfolipid di sekeliling sel dalam kondisi sangat tipis sehingga fenol dapat dengan mudah berpenetrasi dan merusak isi sel. Adanya fenol mengakibatkan struktur tiga dimensi protein sel bakteri berubah sifat. Deret asam amoino protein tersebut tetap utuh setelah berubah sifat, namun aktifitas biologisnya menjadi rusak sehingga protein tidak dapat melakukan fungsinya.[9]

Pertumbuhan pada bakteri terdapat 4 fase, yaitu fase lag (lambat), fase log, fase stationer (tetap), dan fase decline (menurun). Fase lag adalah fase dimana bakteri beradaptasi dengan lingkungannya dan tidak terjadi pembelahan sel selama beberapa menit sampai beberapa jam tergantung pada spesies, umur dari sel inokulum dan lingkungannya. Fase log adalah fase dimana sel-sel akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial sampai jumlah maksimum yang dibantu oleh kondisi lingkungan. Fase stationer adalah fase dimana jumlah bakteri yang berkembang biak sama dengan jumlah bakteri yang mengalami kematian. Fase decline (menurun) adalah fase dimana terjadi penurunan secara garis lurus yang digambarkan oleh jumlah sel-sel yang hidup terdahap waktu atau jumlah bakteri yang mati semakin banyak melebihi jumlah bakteri yang berkembang biak.[10]

Dari grafik angka kuman daging ayam tanpa pelumuran dan dalam pelumuran parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz) dalam berbagai lama pelumuran, maka angka kuman semakin menurun yaitu pada jam ke 3 sebesar 58.250 CFU/ gram. Lama pelumuran dengan penambahan parutan rimpang lengkuas pada waktu 1 jam mengalami fase lag (lambat) hal ini karena bakteri baru beradaptasi dengan lingkungan baru yaitu lengkuas putih dan fenol yang ada dalam lengkuas belum bekerja. Pelumuran pada jam ke 2 mengalami fase log bakteri sudah mampu beradaptasi dan fenol mulai bekerja dan pada 3 jam angka kuman menurun secara signifikan yang dikarenakan kandungan fenol dalam lengkuas bekerja secara maksimal sehingga mampu menurunkan angka kuman dalam jumlah banyak. Lama perendaman selama 4 jam mengalami kenaikan hal ini karena kandungan fenol dalam lengkuas yang berkurang karena sifat dari fenol yang mudah menguap, dan pada pelumuran jam ke 5 angka kuman mengalami kenaikan yang lebih banyak hal ini disebabkan kandungan fenol yang sudah habis dan karena fenol merupakan komponen yang tidak stabil, mudah menguap dan hilang, selain itu juga terjadi pembelahan bakteri yang membuat bakteri semakin banyak sehingga tidak sebanding dengan kandungan yang ada dalam parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz) yang digunakan sebagai antibakteri.

Grafik pertumbuhan angka kuman pada Gambar 1 terlihat bahwa daging ayam yang tidak dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih dari jam ke 1 masih melakukan adaptasi dengan lingkungan. Jumlah angka kuman cenderung konstan setelah jam ke 2. Fase ini menunjukkan adanya kompetisi sesama mikroba dalam memperebutkan nutrisi dan ruang yang terdapat dalam daging ayam. Angka kuman Grafik pertumbuhan angka kuman pada Gambar 1 terlihat bahwa daging ayam yang tidak dilumuri dengan parutan rimpang lengkuas putih dari jam ke 1 masih melakukan adaptasi dengan lingkungan. Jumlah angka kuman cenderung konstan setelah jam ke 2. Fase ini menunjukkan adanya kompetisi sesama mikroba dalam memperebutkan nutrisi dan ruang yang terdapat dalam daging ayam. Angka kuman

4. Kesimpulan Dan Saran

4.1. Kesimpulan

1. Daging ayam yang diberi parutan rimpang lengkuas putih (Alpiniagalanga Linn Swartz) mengalami penurunan angka kuman, jumlah angka kuman selama pendiaman 1 jam yaitu 463.500 CFU/ gr, 2 jam 260.500 CFU/ gr, 3 jam 58.250 CFU/ gr, 4 jam 142.500 CFU/ gr dan 5 jam 302.500 CFU/ gr.

2. Daging ayam yang diberi parutan rimpang lengkuas putih (Alpiniagalanga Linn Swartz) mengalami kenaikan angka kuman pada pendiaman 5 jam.

3. Waktu pendiaman yang paling efektif menurunkan angka kuman adalah 3 jam.

4.2. Saran

1. Pada penelitian ini hanya dilakukan sampai perendaman selama 5 jam, maka perlu dilakukan penelitian lagi dengan menambah waktu perendaman sampai dengan 24 jam agar dapat diketahui nilai angka kuman yang

melebihi ambang batas menurut persyaratan SNI (maksimal 10 6 CFU/gr).

2. Masyarakat dapat menggunakan parutan rimpang lengkuas putih (Alpinia galanga Linn Swartz) untuk merendam daging ayam sehingga bisa memperpanjang masa simpan daging ayam dan dapat menurunkan angka kuman.

Daftar Pustaka

[1]. Muchtadi TR, Sugiyono, Ayustaningwarno F, 2015. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Cetakan Kelima. Alfabeta, Bandung: hal 1, 2, 8, 33, 57. [2]. Dadang WI, Selamet R, Mardi T, Renda D, Ridwan H.,Peni SP, Ryan M,2010, Daging

http://agrina-

online.com/redesign2.php?rid=7&aid=2324, diakses 1 Juni 2016, Yogyakarta. [3]. Udjiana, S. 2008. Upaya Pengawetan Makanan Menggunakan Ekstrak

Lengkuas. Jurnal Teknologi Separasi. Vol. 1, No. 2, 2008-ISSN 1978-8789. [4]. Prajitno A, 2007, Penyakit Ikan-Udang, UM Press, Malang: hal 155. [5]. Ardiansyah, 2007, Antimikroba dari Tumbuhan, Laboratory of Nutrition Graduate

School of Agricultural Science Tohoku. Universitas Sendai, Jepang. [6]. Gendrowati F., 2015,Tanaman Obat Keluarga, Padi, Jakarta Timur: hal 42 [7]. Dwidjoseputro, D., 2005, Dasar-Dasar Mikrobiologi, Djambatan, Jakarta, hal 75-

76. [8]. Badan Standarisasi Nasional, 2009, SNI 3924: 2009, Mutu Karkas dan Daging Ayam. [9]. Parwata O. A, Dewi F.S. 2008. Isolasi dan Uji Aktifitas Antibakteri Minyak Atsiri dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga). Jurnal Kimia 2 (2):100-104 [10]. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M, 2013, Ilmu Pangan, UI Press, Jakarta: hal 37-41.

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM

(www.teknolabjournal.com) Vol.6, No.1, Maret 2017, pp. 7 ~ 15 ISSN: 2338 – 5634 (print); ISSN: 2580-0191 (online)

Received : 11-03-2017; Revised : 21-03-2017 ; Accepted : 10-04-2017

Optimasi Air Perasan Buah Merah (pandanus sp.) Pada

Pemeriksaan Telur Cacing

1 2 1,2 Anita Oktari *, Ahmad Mu’tamir

Sekolah Tinggi Analis Bakti Asih Bandung Jl. Padasuka Atas No. 233 Pasirlayung Bandung 40192, Telp/Fax: 022-7203733 *Corresponding e-mail: nio80zahra@gmail.com

Abstrak

Infeksi cacing atau biasa disebut dengan penyakit cacingan termasuk ke dalam infeksi yang disebabkan oleh parasit. Soil Transmitted Helminths adalah cacing golongan Nematoda Usus yang dalam siklus hidupnya untuk mencapai stadium infektif memerlukan tanah dengan kondisi tertentu. Eosin 2% merupakan zat warna yang digunakan pada pemeriksaan telur cacing Nematoda Usus. Buah merah (Pandanus sp.) yang merupakan bahan tanaman alami dan bersifat asam mengandung karotenoid yang menghasilkan pigmen berwarna orange- merah. Beta karoten adalah pigmen berwarna dominan merah-jingga yang ditemukan secara alami pada tumbuhan dan buah-buahan. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan konsentrasi dari variasi air perasan buah merah (Pandanus sp.) yang optimal dapat mewarnai telur cacing.

Penelitian dilakukan secara eksperimen dengan variasi konsentrasi perbandingan air perasan buah merah dan aquadest (1, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5). Setelah dilakukan penelitian didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa konsentrasi perbandingan air perasan buah merah (Pandanus sp.) dan aquadest (1:2) dapat dijadikan alternatif pengganti reagen Eosin 2% untuk mewarnai telur cacing. Namun pada lapang pandang yang menggunakan air perasan buah merah (Pandanus sp.) dan aquadest (1:2) masih terlihat banyak kotoran sebagai pengganggu dan tidak memberi latar belakang yang kontras, dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa buah merah (Pandanus sp.) dapat digunakan untuk mewarnai telur cacing Nematoda Usus.

Kata Kunci : Cacingan, Nematoda Usus, Eosin, Buah Merah (Pandanus sp.)

© 2017 Jurnal Teknologi Laboratorium

Abstract

Worm infections or can be called by worming included into an infection caused by a parasite. Soil Transmitted Helminths Intestinal Nematodes are worms groups are in their life cycle to reach the infective stage requires soil with certain conditions. Eosin 2% is the dye that is used in the examination of Intestinal Nematode worm eggs. Red fruit (Pandanus sp.) which is

a natural plant material and acidic contain carotenoids which produces orange-red pigment. Beta carotene is the predominant pigment of red-orange color that is found naturally in plants and fruits. The aim of this research is to determine the best concentration from variation of red fruit (Pandanus sp.) juice that optimally to color the eggs of the worm.

Research conducted experiments with various concentration ratio of red fruit (Pandanus sp.) juice and distilled water (1, 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5). From this research it found that the results indicate the ratio of concentrations of red fruit (Pandanus sp.) juice and distilled water (1:2) can be used as an alternative reagent eosin 2% for their examination of worm eggs.

But in the visual field that uses red fruit (Pandanus sp.) juice and distilled water (1:2) still looks much dirt as a nuisance and does not give a contrasting background. It can conclude that red fruit (Pandanus sp.) juice can use to color the eggs of the worm. Keywords: Worms, Nematodes Guts, Eosin, Red Fruit (Pandanus sp.)

1. PENDAHULUAN

Infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth) merupakan masalah dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Diperkirakan

1 milyar penduduk dunia menderita infeksi parasit cacing. Prevalensi pada anak usia Sekolah Dasar (SD) di Indonesia antara 60-70%, paling sering disebabkan oleh Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan Necator americanus. Penelitian yang dilakukan di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25-35% dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65-75%. Resiko tertinggi terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan dan bermain di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki.[1]

Di Indonesia angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar 78,6%. Data prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia pada tahun 2002 sampai 2006 secara berurutan adalah sebesar 33,3% ; 33,0% ; 46,8% ; 28,4% ; dan 32,6%, sedangkan prevalensi infeksi cacing tambang secara berurutan pada tahun 2002 – 2006 sebesar 2,4% ; 0,6% ; 5,1% ; 1,6% dan 1,0%.[2] Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim tropis dengan kelembaban udara tinggi dan kesuburan tanah merupakan lingkungan yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas baik di pedesaan maupun perkotaan.[1]

Dalam identifikasi infeksi penyakit cacing perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup atau yang telah dipulas. Cacing akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau Protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja.[3] Soil Transmitted Helminths adalah golongan cacing usus (Nematoda Usus) yang dalam perkembangannya membutuhkan tanah untuk menjadi bentuk infektif. Parasit yang termasuk Soil Transmitted Helminths yang habitatnya pada usus manusia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Strongiloides stercoralis dan cacing tambang (Hookworm) yaitu Necator americanus, Ancylostoma duodenale.

Daerah penyebaran Trichuris trichiura sama dengan Ascaris lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Faktor terpenting dalam penyebaran Trichuriasis adalah kontaminasi tanah oleh feses penderita yang akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh.[4]

Penyakit kecacingan cukup membuat penderitanya mengalami kerugian, sebab secara perlahan adanya infestasi cacing di dalam tubuh penderita akan menyebabkan gangguan pada kesehatan mulai yang ringan, sedang sampai berat yang ditunjukkan sebagai manifestasi dan diperlukan pemeriksaan mikroskopis. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan.[5]

Pemeriksaan telur cacing Nematoda Usus yang paling sederhana adalah Metode Natif menggunakan reagen Eosin 2%. Komposisi reagen ini bersifat asam dan berwarna merah jingga. Pada penelitian ini dikembangkan pemanfaatan salah satu flora yang dapat digunakan sebagai bahan pewarna yang memiliki sifat yang sama dengan Eosin.[6]

Penelitian dengan menggunakan bahan alam telah dikembangkan dari ekstrak biji pinang (Areca catechu L) sebagai alternatif pewarnaan awetan telur cacing

Nematoda Usus. Dari hasil penelitian tersebut, ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang dengan menggunakan ekstrak biji pinang (Areca catechu L) 2%. Preparat awetan telur cacing tersebut setelah menggunakan entelan dapat bertahan selama 3 minggu.[7]

Buah merah (Pandanus sp.) adalah sejenis buah tradisional berasal dari daerah Papua. Tanaman ini termasuk dalam keluarga pandan-pandanan, penyebarannya merata dari dataran tinggi pegunungan hingga dataran rendah pesisir pantai. Kualitas buah merah dipengaruhi oleh iklim dan geografi suatu daerah. Buah merah (Pandanus sp.) dapat menjadi alternatif bahan pewarna telur cacing karena mengandung karotenoid yang menghasilkan pigmen berwarna orange-merah. Beta karoten adalah pigmen warna dominan merah-jingga yang ditemukan secara alami pada tumbuhan dan buah-buahan. Beta karoten adalah senyawa yang memberikan warna jingga pada wortel, labu, ubi dan merupakan senyawa karoten yang paling umum pada tumbuhan.[8]

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi air perasan buah merah (Pandanus sp.) yang optimal dapat mewarnai telur cacing. Untuk mengetahui hasil dari pewarnaan telur cacing menggunakan air perasan buah merah (Pandanus sp.) tersebut maka telah dilakukan Uji Pendahuluan dengan konsentrasi perbandingan air perasan buah merah (Pandanus sp.) dan aquadest 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5 sampai mendapatkan hasil yang optimal dari penggunaan air perasan buah merah (Pandanus sp.) ini. Hasil dari uji pendahuluan tersebut setelah diamati dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 100X sampai 400X, didapatkan telur cacing Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura.

2. Metode Penelitian

2.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini termasuk penelitian eksperimen. Dalam penelitian ini variabel yang diamati adalah kejelasan tentang bentuk dan warna telur cacing pada preparat yang menggunakan air perasan buah merah (Pandanus sp.) dengan variasi konsentrasi 1:1,1:2,1:3, 1:4, 1:5 dan Eosin 2 % sebagai kontrol. Desain penelitian ini menggunakan Static Group Comparison, yaitu suatu kelompok dikenakan perlakuan tertentu, kemudian diamati pengaruh hasil dari masing-masing variasi waktu pewarnaan.

Sampel dalam penelitian ini menggunakan feses positif cacingan dengan pengawet formalin 10% yang didapat dari Laboratorium Parasitologi Universitas Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi yang berlokasi di Sekolah Tinggi Analis Bakti Asih Bandung pada bulan Juni-Juli tahun 2016.

Hasil penelitian yang didapatkan adalah kualitas pewarnaan berdasarkan Likert Scale (skoring). Skor 1 diberikan apabila kualitas preparat memberikan lapang pandang tidak kontras, telur cacing tidak menyerap warna dan bagian telur tidak terlihat jelas. Skor 2 diberikan pada kualitas preparat memberikan lapang pandang kurang kontras, telur cacing kurang menyerap warna , bagian telur kurang terlihat jelas. Skor 3 diberikan apabila kualitas preparat memberikan lapang pandang yang kontras, telur cacing menyerap warna dan bagian telur terlihat jelas. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan tiga orang verifikator yang ahli dalam Bidang Parasitologi.

2.2. Instrumen Penelitian

Alat : Mikroskop, Object glass, Deck glass, Lidi, Pipet tetes, Kertas saring, Tissue. Bahan : Aquadest, Larutan Eosin 2 %, Air Perasan Buah Merah Murni (1), Konsentrasi Air Perasan Buah Merah : Aquadest (1:1), Konsentrasi Air Perasan

Buah Merah : Aquadest (1:2), Konsentrasi Air Perasan Buah Merah : Aquadest (1:3), Konsentrasi Air Perasan Buah Merah : Aquadest (1:4), Konsentrasi Air Perasan Buah Merah : Aquadest (1:5), Sampel Feses (+) Telur Cacing Nematoda Usus dalam Formalin 10%.

2.3. Persiapan dan Pembuatan Reagen

2.3.1. Pembuatan Eosin 2%

Eosin 2 gram ditimbang dan dilarutkan dalam 100 mL aquadest.

2.3.2. Pembuatan Air Perasan Buah Merah (Pandanus sp.)

Buah Merah utuh ditimbang, dipisahkan tongkol dan kulitnya, kulit buah merah ditimbang lagi, kemudian kulit buah merah diblender untuk mendapatkan sari buah merah, selanjutnya sari buah merah diperas dengan menggunakan saringan. Hasil air perasan ini yang digunakan untuk penelitian.

Perhitungan Persen (%) air perasan buah merah yang digunakan :

x 100%

x 100% = 0,7 %

Keterangan : Kulit 1 (yang diblender untuk mendapat air perasan buah merah) = 584 g Berat Air Perasan = 4,1045 g

2.3.3. Pembuatan Larutan Stok Air Perasan Buah Merah:Aquadest (1:1)

Dimasukkan 10 tetes Air Perasan Buah Merah ke dalam tabung reaksi dan 10 tetes aquadest. Dicampur hingga homogen. Larutan siap digunakan. Kemudian diencerkan menjadi 1:2, 1:3, 1:4, dan 1:5.

2.4. Cara Kerja Pemeriksaan Telur Cacing pada Kontrol

Adanya telur cacing dalam tinja dapat diketahui dengan pemeriksaan secara mikroskopis dengan pengecatan larutan Eosin 2%, kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 100X sampai 400X.

2.5. Cara Kerja Penelitian

Proses pengolahan buah merah untuk menjadi air perasan buah merah yaitu buah merah utuh ditimbang, dipisahkan tongkol dan kulitnya, kulit buah merah ditimbang lagi, kemudian kulit buah merah diblender untuk mendapatkan sari buah merah, selanjutnya sari buah merah diperas dengan menggunakan saringan. Hasil air perasan ini yang digunakan untuk penelitian.

Adanya telur cacing dalam tinja dapat diketahui dengan pemeriksaan secara mikroskopis dengan pengecatan menggunakan variasi perbandingan konsentrasi air perasan buah merah dengan aquadest 1:1, 1:2, 1:3, 1:4, 1:5, kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop perbesaran 100X sampai 400X.

2.6. Analisa Data

Pengolahan data penelitian ini menggunakan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 16 dengan analisa data menggunakan pengujian hipotesa Kruskal-Wallis dan Mann-U Whitney. Hasil pengujian hipotesa adalah sebagai berikut :

H 0 diterima apabila nilai sig (p-value)>0.05: Kualitas pewarnaan telur cacing tidak berbeda signifikan atau sama.

H 1 diterima apabila nilai sig (p-value)<0.05: Kualitas pewarnaan telur cacing berbeda signifikan atau tidak sama.

3. Hasil Dan Pembahasan

Pada penelitian tentang optimasi air perasan Buah Merah (Pandanus sp.) pada pemeriksaan telur cacing, maka didapatkan hasil prosentase air perasan buah merah adalah 0,7% sebanyak 5 mL untuk satu perempat buah merah atau sebanyak 20 mL untuk satu buah merah utuh dengan berat 4846 gram dan data hasil penelitian pada setiap perlakuan seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Data Hasil Penelitian pada Setiap Perlakuan

Replikasi

Konsentrasi Air Perasan

Kontrol

Buah Merah : Aquadest

Sumber : Data primer

Keterangan : Kriteria penilaian :

1 : Lapang pandang tidak kontras, telur cacing tidak menyerap warna, bagian telur tidak jelas terlihat.

2 : Lapang pandang kurang kontras, telur cacing kurang menyerap warna, bagian telur kurang jelas terlihat.

3 : Lapang pandang kontras, telur cacing menyerap warna, bagian telur jelas terlihat.

Hasil Penelitian yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa perbandingan konsentrasi air perasan buah merah dengan aquadest memberikan kualitas pewarnaan yang berbeda signifikan terhadap kontrol. Namun berdasarkan nilai mean rank, kualitas pewarnaan yang paling mendekati kualitas Eosin 2% (kontrol) adalah konsentrasi air perasan buah merah : aquadest (1:2).

Berdasarkan input data SPSS yang telah dilakukan pengujian hipotesa dengan Kruskal Wallis atau Mann-U Whitney diperoleh nilai mean ranks yang merupakan pencerminan dari kualitas pewarnaan telur cacing oleh konsentrasi air perasan buah merah. Nilai mean ranks yang semakin tinggi menunjukkan kualitas pewarnaan yang semakin baik yaitu mendekati kategori preparat pewarnaan yang baik yaitu kontras dengan lapang pandang, telur cacing terwarnai dan bagian telur terlihat jelas. Nilai mean ranks yang sama antar perlakuan memberikan gambaran bahwa kualitas pewarnaan pada preparat telur cacing adalah sama.

Perlakuan 1:1 dan 1:4 memberikan kualitas pewarnaan yang paling tidak baik (mean rank = 64) diantara perlakuan lainnya. Perlakuan 1:3 dengan nilai mean rank 67 artinya kualitas pewarnaan yang lebih baik dibandingkan perlakuan 1:5 dengan nilai mean rank 64. Perlakuan 1 dengan nilai mean rank 79, maknanya berarti kualitas pewarnaan yang lebih baik dari perlakuan dengan nilai mean rank 67. Perlakuan 1:2 dengan nilai mean rank sebesar 94, maknanya berarti kualitas pewarnaan yang lebih baik dari perlakuan sebelumnya dengan nilai mean rank 79. Eosin 2% sebagai kontrol menghasilkan nilai mean rank 156.5 yang merupakan nilai mean rank tertinggi, berarti kualitas pewarnaan dengan eosin 2% memberikan kualitas yang paling baik.

Bagi nilai mean rank yang berbeda dilakukan pengujian hipotesa apakah perbedaan nilai mean rank antar perlakuan memberikan kualitas pewarnaan yang berbeda signifikan atau tidak dengan uji Kruskal-Wallis. Lima nilai mean rank yang berbeda memberikan hasil yang berbeda signifikan (nilai sig/p-value<0.05). Maknanya berarti terdapat perlakuan yang memberikan hasil secara signifikan dengan perlakuan yang lain. Namun untuk menganalisis secara detail, antar perlakuan diperlukan uji lanjut. Uji lanjut yang dilakukan adalah dengan membandingkan antara satu perlakuan dengan perlakuan lainnya. Pengujian dilakukan dengan analisis uji Mann- U whitney.

Hasil uji statistik menggunakan uji Mann-U Whitney maka dapat disimpulkan bahwa variasi konsentrasi air perasan buah merah memberikan kualitas pewarnaan yang berbeda signifikan terhadap kontrol. Namun berdasarkan nilai mean rank, kualitas pewarnaan yang paling mendekati kualitas Eosin 2% (kontrol) adalah konsentrasi air perasan buah merah : aquadest (1:2).

Buah merah mengandung zat-zat gizi bermanfaat dalam kadar tinggi, diantaranya betakaroten, tokoferol, asam oleat, asam linoleat dan dekanoat yang merupakan senyawa-senyawa obat aktif.[6] Buah merah mengandung zat-zat alami yang dapat meningkatkan system kekebalan tubuh dan proses metabolisme. Komponen senyawa buah merah meliputi karotenoid, betakaroten, tokoferol, alfa tokoferol,dan fatty acid yang berperan sebagai senyawa anti radikal bebas pengendali beragam penyakit seperti kanker, hipertensi, paru –paru dan infeksi.[9]

Buah merah dapat menjadi alternatif lain karena mengandung karotenoid yang menghasilkan pigmen berwarna orange-merah.[8] Beta karoten adalah pigmen berwarna dominan merah-jingga yang ditemukan secara alami pada tumbuhan dan buah-buahan.Kandungan antioksidan di dalam buah merah diantaranya Karoten (12.000 ppm), Betakaroten (700 ppm), Tokoferol (11.000 ppm).

Pada penelitian ini, pewarnaan telur cacing bertujuan untuk memudahkan dan mempelajari bentuk telur cacing Nematoda Usus,memperjelas dan melihat bentuk telur cacing, serta kontras pada preparat telur cacing dengan menggunakan mikroskop. Eosin dan buah merah mengandung zat warna asam, pewarnaan menggunakan Eosin 2% menghasilkan warna merah pada sitoplasma, lapang pandang kontras dan telur cacing menyerap warna. Namun pada air perasan buah merah yang banyak mengandung asam lemak sehingga pada pewarnaan menggunakan perbandingan air perasan buah merah dan air, terlihat lapang pandang kurang kontras dan telur cacing kurang menyerap warna. Perbedaan kualitas pewarnaan ini juga salah satunya dapat disebabkan oleh perbedaan pH antara eosin dengan perbandingan konsentrasi perlakuan pewarnaan dimana pH Eosin 2% adalah 5 dan pH perbandingan konsentrasi air perasan buah merah dengan aquadest adalah 4,5.

Kotoran

Telur Cacing Telur Cacing Ascaris lumbricoides

Trichuris trichiura

Gambar 1. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah : aquadest (perbandingan 1:1)

Kotoran

Telur Cacing Telur Cacing

Trichuris trichiura Ascaris lumbricoides

Gambar 2. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah : aquadest (perbandingan 1:2)

Kotoran

Telur Cacing Ascaris lumbricoides

Gambar 3. A. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah murni (perlakuan 1); B. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah : aquadest (perbandingan 1:3)

Kotoran

Telur Cacing Telur Cacing Ascaris lumbricoides

Trichuris trichiura

Gambar 4. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah : aquadest (perbandingan 1:4)

Kotoran

Telur Cacing Telur Cacing Trichuris trichiura

Ascaris lumbricoides

Gambar 5. Lapang pandang dari pewarnaan air perasan buah merah : aquadest (perbandingan 1:5)

Telur Cacing Ascaris lumbricoides

Kotoran

Gambar 6. A. Lapang pandang dari pewarnaan menggunakan Eosin 2% (kontrol); B. Lapang pandang dari telur cacing tanpa pewarnaan

4. Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan penelitian tentang optimasi air perasan buah merah (Pandanus sp) pada pemeriksaan telur cacing, didapatkan hasil prosentase air perasan buah merah adalah 0,7% sebanyak 5 mL untuk satu perempat buah merah atau sebanyak

20 mL untuk satu buah merah utuh dengan berat 4846 gram. Dari hasil penelitian didapatkan perbandingan konsentrasi yang baik dan optimal adalah perbandingan konsentrasi air perasan buah merah : aquadest (1:2) sebagai alternatif pengganti Eosin 2% pada pemeriksaan telur cacing.

Daftar Pustaka

[1] Rusmanto, Dwi, J Mukono, “Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah Dasar dengan Kejadian Kecacingan ,” The Indonesian Journal of Publick Health, vol. 8, p. 105-111, 2012.

[2] Departemen Kesehatan RI, “Profil Kesehatan Indonesia”, 2006. [3]

Kadarsan S, Binatang Parasit, "Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis dan Klinik," Bogor: Lembaga Biologi Nasional- LIPI, 2005.

[4] Onggowaluyo JS, “Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis dan Klinik ,” ECG, Hal 11-31, 2001.

[5] Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I Herry, “Parasitologi Kedokteran,’” Jakarta : Fakultas Kedokteran UI, 2000.

[6] Harbelubun AE, Kesulija EM, dan Rahawarin YY, “Tumbuhan Pewarna Alami dan Pemanfaatannya Secara Tradisional oleh Suku Marori Men-Gey di Taman Nasional Wasur Kabupaten Merauke ,” Biodiversitas 6(4):281-284, 2005.

[7] Bangusa, Agus, Heriyanto, “Ekstrak Biji Pinang (Areca catechu L) sebagai Alternatif Pewarna Preparat Awetan Telur Cacing Nematoda Usus,” Skripsi, Sekolah Tinggi Analis Bakti Asih, Bandung, 2017.

[8] Budi I. M, “Kajian Kandungan Zat Gizi dan Sifat Fisio Kimia Jenis Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) Hasil Ekstraksi secara Tradisional di Kabupaten Jayawijaya Propinsi Irian Jaya ,” Thesis, Program Pasca Sarjana IPB, Bogor, 2001.

[9] Pohan, G.H., Aprianita, N., Wijaya, H., dan Rohimah , “Kajian Teknis Standar Minyak Buah Merah (Pandanus conoideus Lam) ,” Ringkasan Hasil Penelitian dan Pengembangan BBIA, 2006.

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM

(www.teknolabjournal.com) Vol.6, No.1, Maret 2017, pp. 16 ~ 22 ISSN: 2338 – 5634 (print); ISSN: 2580-0191 (online)

Received : 27-02-2017; Revised : 21-03-2017 ; Accepted : 25-04-2017

Gambaran Sedimen Urine Pada Masyarakat Yang Mengkonsumsi Air Pegunungan Di Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari

2 Ruth Mongan 3 , Supiati , Susi Mangiri

1,2,3 Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes kemenkes Kendari Jl. AH. Nasution. No. G.14, Anduonohu, Kendari, telp (0401) 392492

*Corresponding author email: ruth.mongan0401@gmail.com

ABSTRAK

Air yang bersih dan sehat merupakan kualifikasi yang sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan manusia. Air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia. Air pegunungan yang dikonsumsi masyarakat Kelurahan Sodoha Kota Kendari, pada umumnya memiliki kualitas yang baik, tetapi dapat berubah kualitasnya karena berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sedimen urin pada masyarakat yang mengkonsumsi air pegunungan d i Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari.

Jenis penelitian adalah deskriptif, dengan menentukan prosentase sedimen urin masyarakat yang mengkonsumsi air pegunungan melalui pemeriksaan laboratorium. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 Kepala Keluarga yang tinggal di Kelurahan Sodohoa Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari, dengan teknik pengambilan simple random sampling (sampel acak secara sederhana). Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan prosentase sedimen urin abnormal, yaitu leuokosit dan eritrosit 6,7 %, epitel 23,3 %, silinder, kalsium oksalat, asam urat, dan bakteri masing-masing 3, 3 %. Kesimpulan dari penelitian menunjukkan adanya sedimen organik yang meliputi, leukosit, eritrosit, silinder, epitel dan bakteri pada masyarakat yang mengkonsumsi air pegunungan Kelurahan Sodohoa Kecamatan Kendari Barat Kota Kendari.

Keywords : Air pegunungan, Sedimen, Sodohoa, Urin.

© 2017 Jurnal Teknologi Laboratorium

1. PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan penting bagi makhluk hidup di muka bumi, terutama bagi manusia. Air berperan dalam segala bidang yaitu pertanian, industri, dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, sehingga air yang digunakan harus memenuhi standar ataupun syarat dari segi kualitas maupun kuantitas. Air yang bersih dan sehat merupakan kualifikasi yang sangat diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Air minum harus bersih dan jernih, tidak berwarna dan tidak berbau, dan tidak mengandung bahan tersuspensi atau kekeruhan.[1]

Air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia. Menurut Permenkes Nomor 92/Menkes/Per/IV/2010 tentang Air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi manusia. Menurut Permenkes Nomor 92/Menkes/Per/IV/2010 tentang

Keterbatasan penyediaan air bersih yang memenuhi syarat memerlukan adanya teknologi tepat guna untuk pengolahanya yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan. Untuk memperoleh air bersih minimal diperlukan suatu proses pengolahan standar dengan kapasitas produksi yang sangat besar, agar dapat dinikmati oleh masyarakat.[4] Menurut Sandra [5] air minum merupakan air yang dapat diminum langsung tanpa dimasak terlebih dahulu. Sedangkan air bersih merupakan air yang digunakan keperluan sehari-hari, memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum setelah dimasak terlebih dahulu.