Evolusi teori dan kebudayaan

MAKALAH
TEORI EVOLUSI
MATA KULIAH: TEORI KEBUDAYAAN

OLEH:
NARENDRA PRABU A. P. (121324153001)
ANA AGUSTIN PURWANINGSIH (121414153003)
SITI RACHMA FATHIYA (121414153016)
MEGA HAYUNINGTYAS ERWANTI (121414153031)

FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2014

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam perkembangan manusia tidak terlepas dari adanya proses evolusi, yang
menyebabkan manusia terus mengalami perkembangan secara bertahap khususnya dalam
bertahan hidup ataupun berkaitan dengan sosial dan budayanya. Evolusi dapat
diartikan sebagai perubahan ataupun perkembangan dari yang sederhana menjadi

kompleks, namun perkembangan itu biasanya bersifat yang memperlukan proses yang
lama.

Paradigma

yang

berhubungan dengan konsep evolusi tersebut adalah

evolusionisme, yang merupakan cara pandang yang menekankan pada perubahan lambatlaun sehingga menjadi sesuatu yang lebih baik dan bahkan lebih maju (Saifuddin, 2005:
99).
Evolusi Biologi dan evolusi kebudayaan pada manusia tidak sepenuhnya
merupakan proses yang sepenuhnya terpisah, tergambarkan misalnya, ciri penting dari
ciri bilogi yang paling penting dari manusia adalah berjalan dengan dua kaki dan
memiliki otak yang relatif besar. Dengan otak besar disukai oleh dalam proses seleksi
alam, karena nenek moyang manusia membuat alat yang merupakan ciri dari budaya.
Selian itu, ciri budaya dari pendidikan formal dan informal disukai seleksi alam karena
manusia mengalami masa ketidakmatangan yang lama yang merupakan ciri dari biologi.
Sepanjang perjalanan spesies manusia yang terus berkembang dan menunjukkan jati
dirinya, maka secara tidak langsung akan tidak dapat menghentikan ciri-ciri biologi dan

kebudayaan. Namun, evolusi tergantung pada aneka ragam perubahan yang kerap kali
tidak bisa diprediksi dalam hal yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan juga sosial
(Saifuddin, 2005: 100-101).
Evolusionisme sendiri tidak terlepas dari tokoh yang bernama Charles Darwin,
karena pemikirannya secara tidak langsung memberikan penjelasan yang mengenai
bagaimana evolusi itu terjadi dan juga pengaruh terhadap biologi modern juga berdampak
positif, karena berhasil mengungkapkan mengenai evolusi sebagai akibat seleksi alam.
Seleksi alam ini dapat di contohkan setiap spesies terdiri dari suatu variasi besar individu,
dan sebagian dapat beradaptasi lebuh baik dengan lingkungannya daripada yang lain.

Individu-individu yang telah berhasil melewati proses seleksi alam dengan baik, maka
selanjutnya menghasilkan keturunan yang lebih baik dan memiliki keunggulan sehingga
individu tersebut mampu bertahan hidup (Saifuddin, 2005: 102).
Setelah bertahan beberapa lama akhirnya memunculkan evolusionisme yang
dinamakan evolusionisme universal. Evolusionisme universal ini diartikan berlaku untuk
keseluruhan bagi budaya dan bukan untuk budaya-budaya yang tertentu saja (Kaplan,
2000: 63). Evolusionisme ini dikenalkan oleh Leslie A. White dan Julian Steward dan
juga bersama arkeolog terpandang yang bernama V. Gordon Childe. White dan Steward
mengevaluasi pandangan dari Childe, White dan Steward memahami evolusi kebudayaan
sebagai bentuk simbol atau lambang, yang sebut wujud perilaku dari lambang adalah

bahasa manusia (Kaplan, 2000: 59-60).
Seiring perjalanan waktu evolusi sosial berbeda dengan evolusi biologi karena
sesungguhnya evolusi sosial meliputi upaya disengaja, revolusi, dan tuntutan
kepentingan,
selain itu evolusi sosial terjadi melalui proses belajar yang disadari maupun tidak
disadari, yang meliputi bahasa dan kebudayaan yang dicapai. Untuk evolusi biologi
merupakan yang berkaitan dengan genetik dan tanpa disadari, dari evolusi sosial dan
evolusi biologi yang menunjukkan apa sesungguhnya manusia dan secara sadar atau tidak
sadar hal tersebut dlalui dengan proses yang bersamaan (Saifuddin, 2005: 127).

BAB II
ASUMSI DASAR, KONSEP, DAN METODE EVOLUSI KEBUDAYAAN
2.1 Asumsi Dasar dan Konsep
Pada masa awal antropologi, terdapat sebuah pemikiran atau pandangan bahwa
budaya berkembang secara seragam dan maju. Diperkirakan sebagian besar masyarakat
berkembangan dalam tahapan yang sama. Proses berkembang dari tingkat-tingkat rendah
menuju ke tingkat-tingkat yang lebih tinggi. Proses seperti itu akan terus berlangsung
dalam masyarakat di dunia ini, walaupun dengan kecepatan perkembangan yang berbedabeda satu dengan yang lainnya (Koentjaraningrat, 1987:31).
Dalam masa abad kesembilan belas orientasi evolusioner telah mendominasi
sebagian besar bidang-bidang telaah, dibuktikan dengan banyaknya tokoh yang

mendukung ataupun menerapkan pemikiran atau pandangan evolusioner, terbukti dari
kutipan berikut:
Dalam antropologi, para perintis seperti Edward B. Tylor (Primitive
Culture, 1871); Lewis Henry Morgan (Ancient Society, 1877); dan Sir
Henry (Ancient Law, 1861) merupakan eksponen pandangan
evolusioner. Bahkan dalam sosiologi yang kala itu belum dipisahkan
secara tajam dengan antropologi, tokoh-tokoh menonjol seperti Herbert
Spencer (Principles of Sociology, 1876) dan Emile Durkheim (Division
of Labor in Society, 1893) secara gigih dan hangat menyuarakan
dukungan pada titik tinjau evolusioner (Spencer) atau menerima dan
menerapkan asumsi-asumsi dasarnya (Durkheim) (Kaplan, 2000:49).
Para evolusionis selama ini selalu membedakan adanya masyarakat berteknologi
maju dan masyarakat berteknologi terbelakang atau tertinggal. Ada tiga hal yang dipilih
oleh para antropolog untuk menyebutkan keadaan masyarakat berteknologi pada abad
kesembilan belas, pada umumnya menyebut masyarakat teknologi maju sebagai
masyarakat yang telah berkembang (developed) sedang masyarakat berteknologi
terbelakang disebut belum berkembang (underdeveloped) atau sedang berkembang
(developing) (Kaplan, 2000:51-52).
Montesquieu, seorang filsuf yang menggunakan schemedes evolusi selama abad
ke-18 mengusulkan skema evolusi terdiri dari tiga tahap: berburu atau kebiadaban,

menggiring atau barbarisme, dan peradaban. Divisi ini menjadi sangat populer di

kalangan para ahli teori sosial abad ke-19, Tylor dan Morgan khususnya mengadopsi
skema ini (Seymour-Smith 1986: 105).
Satu dari kritik-kritik yang sering dilemparkan terhadap para evolusionis abad
kesembilan belas ialah bahwa mereka sangat etnosentris, mereka menganggap bahwa itu
merupakan hasil terbaik yang dihasilkan oleh manusia. Tuduhan lain yang disampaikan
untuk pandangan evolusionis abad kesembilan belas adalah mereka telah melakukan
spekulasi dari belakang meja yang ceroboh. Terdapat dua aspek situasi yang sama-sama
penting untuk dijelaskan sebagai jawaban atas tuduhan tersebut. Pertama, bahwa
evolusionis abad kesembilan belas ketika itu sedang sibuk untuk menegakkan sesuatu
yang oleh Tylor disebut sebagai ilmu budaya. Cara mereka harap dapat ditempuh untuk
menegakkan suatu ilmu macam itu adalah menunjukkan dengan sejelas-jelasnya bahwa
budaya telah berkembang sedikit demi sedikit dalam langkah-langkah alamiah. Para
evolusionis abad kesembilan belas juga harus berhadapan dengan kelangkaan materi
empirik. Sebagai jalan keluar dari kelangkaan materi itu, mereka coba menjembatani
kesenjangan bagan evolusi mereka dengan melakukan rekonstruksi logis dan sering kali
rekonstruksi imaginatif pula. Yang disebut belakangan itulah yang sering disebut sebagai
“spekulasi dari belakang meja” (Kaplan, 2000:53-54).
Akhirnya, kritik bahwa evolusionis abad kesembilan belas itu berpandangan

etnosentris-naif mengenai keniscayaan kemajuan manusia pun perlu kami komentari.
Pertama, orang dapat menjadi etnosentris dengan beberapa cara. Misalnya, pada suatu
titik ekstrem seseorang boleh jadi tidak tahu menahu tentang keragaman pengaturan
kultural, dan memandang cara hidupnya sendiri sebagai sesuatu yang bukan hanya benar
dan patut bahkan mengungkapkan sifat hakikat manusia umumnya.
2.2 Metode
Dalam mengkaji evolusi budaya terdapat beberapa metode yang dapat menjadi
acuan yaitu metode komparasi/perbandingan dan metode paralelisme atau kesamaan.
Kedua metode ini terlahir dari para pemikir pada pertengahan abad ke-19 demi mengatasi
pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar masalah evolusi budaya yang mencuat
tentang peradaban manusia dan perkembangannya.

1.

Metode Komparasi

Seperti yang telah di uraikan pada bab sebelumnya, evolusi budaya tidak bisa
lepas dari peranan biologi sebagai stimulus terhadapnya. Biologi dengan zooologi dan
botani nya telah mampu meneliti struktur dan fungsi pada organisme yang ternyata
mempunyai kesamaan dengan fosil-fosil yang telah punah (extinct). Dengan pendekatan

yang telah ditemukan ini maka metode ini juga coba di gunakan oleh John Lubbock
dalam kajian geologi. (Harris, 150-151)
Dasar dari metode ini adalah sebuah keyakinan bahwa system sosiobudaya
yang dikaji di masa sekarang menampakkan cirri-ciri (resemblance) dari budaya
terdahulu/yang sudah punah dengan tingkatan-tingkatannya. Menurut Morgan, adanya
kesamaan pada masa lalu dan masa sekarang adalah sebuah ciri khas atau karakteristik.
Morgan menyebutkan contoh beserta analoginya, bahwa institusi domestic, contoh nya
keluarga kaum barbar pada jamann dahulu bahkan pada institusi domestic nenek moyang
manusia (savage ancestor) masih dapat dilihat karakteristik yang sama pada kelompok
masyarakat sekarang. Karakteristik tersebut dapat terlihat dari organanisasi dalam
masyarakat yang berdasar pada sex, pada silsilah keluarga (kin), bahkan pada pembagiian
wilayah atau teritori. (Chakov,7).
Selanjutnya, Chekov juga menjelaskan bahwa dalam penggunaan metode
komparasi ini, maka peneliti perlu untuk menyusun variasi (keragaman) dari institusiinstitusi budaya yang akan dikaji dalam sebuah urutan yang menampakkan tingkat
perkembangan nya (derajat kekunoan) menggunakan proses deduksi. sedangkan
asusumsi dari pengunaan metode komparasi sendiri akan berujung pada pendapat bahwa
kesederhanaan budaya pada sebuah jaman ditentukan dari usianya, yaitu semakin
sederhana bentuk-bentuk budaya dan praktek berbudaya manusianya semakin kuno usia
budaya tersebut. Penggunaan metodologi komparasi ini dapat dilihat dalam pengkajian
terhadap jaman batu dibantu dengan studi ethnografi.


2.

Metode Paralelisme

Salah satu yang membedakan antara evolusi biolgi dan evolusi budaya adalah
pada tingakt skema evolusi dan proses perkembangannya. Bahwa jika dalam evolusi
biologi semua bentuk dari organisme secara genetic saling berhubungan dan dalam tahap
perkembangan nya menjadi saling berlainan, maka dalam evolusi budaya, pola-pola
budaya pada tempat-tempat berdeba d seluruh dunia adalah tidak terkait secara genetik,
namun tetap terhubung secara parallel karena ditemukan kesamaan-kesamaan dari
budaya-budaya tersebut.
Dalam metode parallel, dasar asumsinya adalah terdapat kesamaan antara budaya
satu dengan budaya yang lain. Memang terdapat sebuah pertanyaan mendasar dalam
metode ini, yaitu dalam segi psikologis dan manifestasi budaya yang tidak sama antara
satu budaya dengan budaya yang lain, namun data-data yang ditemukan memberikan
sebuah penggambaran tentang kesamaan formula antar budaya dari beberapa model
perilaku (Steward, 245-246).
Untuk memahami metode paralelisme ini, terdapat dua asumsi penting untuk
dipahami. Pertama, bahwa kesamaan atau paralelisme dari bentuk-bentuk dan fungsi

dalam sebuah budaya berkembang dalam urutan atau pembabakan sejarah secara
tersendiri atau dalam urutan perkembangan tradisi budaya. Sedang asumsi yang kedua
adalah bahwa paralelisme berdasarkan hubungan sebab akibat (kausalitas) ini terjadi
secara terpisah. Contoh-cohtoh paralelisme dalam evolusi budaya menurut Lowie yang
dijelaskan oleh Steward dapat ditemukan dalam sistem angka, keramik dan candi-candi.

BAB III
TOKOH DAN PEMIKIRAN
1. Herbert Spencer
Ahli filsafat Inggris yang menganut aliran positivisme, yaitu aliran dalam ilmu
filsafat yang bertujuan menerapkan metodologi eksak yang telah dikembangkan dalam
ilmu fisika dan alam, dalam studi manusia. Dalam studi-studinya Spencer
mempergunakan bahan etnografi dan etnografika. Semua karya Spencer berdasarkan
konsepsi bahwa seluruh alam itu, baik yang berwujud nonorganis, organis, maupun
superorganis, berevolusi karena didorong oleh kekuatan mutlak yang disebutnya evolusi
universal. Ia menghasilkan sebuah buku raksasa yang bermaksud melukiskan proses
evolusi universal itu di antara semua bangsa di dunia. Buku yang terdiri dari 15 jilid itu
disebutnya Descriptive Sociology (1873 – 1934). Gambaran menyeluruh tentang evolusi
universal dari umat manusia yang buku terakhir tersebut, menunjukkan bahwa dalam
garis besarnya Spencer melihat perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari tiap

bangsa di dunia itu telah atau akan melalui tingkat-tingkat evolusi yang sama. Namun ia
tak mengabaikan fakta bahwa secara khusus tiap bagian masyarakat atau sub-sub
kebudayaan bisa mengalami proses evolusi yang melalui tingkat-tingkat yang berbedabeda. Pada tingkat evolusi sosial, waktu timbul masyarakat beragama, maka masyarakat
telah menjadi sedemikian besarnya hingga kekuasaan otoriter raja pun tidak lagi cukup.
Pada tingkat evolusi sosial selanjutnya timbul masyarakat industri, di mana manusia
menjadi bersifat lebih individualis, dan di mana kekuasaan raja dan keyakinan terhadap
raja keramat berkurang. Maka timbul lagi suatu sistem hukum yang baru, yang kembali
berdasarkan azas saling butuh-membutuhkan antara warga masyarakat secara timbalbalik. Berdasarkan masalah tersebut, Spencer mengatakan: kebutuhan warga masyarakat
yang paling penting berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu. Pandangan
ini adalah pandangan Spencer mengenai “survival of the fittest”, yaitu daya tahan dari
jenis atau individu yang mempunyai ciri-ciri yang paling cocok dengan lingkungannya
(Koentjaraningrat. 1987:32-37).

2. Johann Jacob Bachofen (1815 – 1887)
Seorang pengacara Swiss dan sarjana sastra yang menggembangkan teori sistem
evolusi kekeluargaan. Dia menyatakan bahwa awalnya pergaulan primitif bercirikan
matriliarkal dan kemudian patrilineal. Tahap berikutnya dari patrilineal dikembangkan
berhubungan dengan teori perkembangan properti pribadi Bachofen dan keinginan lakilaki untuk memberikannya kepada anak-anaknya. Pernyataan Bachofen tentang tahap
patrilineal yang mengikuti tahap matrilineal disetujui oleh Morgan (Seymour-Smith
1986:21 melalui Murphy).

3. Sir James George Frazer (1854 – 1873).
Lulusan Cambridge, dia dipertimbangkan menjadi ahli teori evolusi klasik
terakhir di Inggris. Frazer adalah pengumpul ensiklopedia data (walaupun dia tidak
pernah melakukan kerja lapangan), menerbitkan lusinan jilid termasuk The Golden
Bough yang terkenal. Frazer meringkas penelitian tentang ilmu magis dan kepercayaan
dengan menyatakan “Manusia memecahkan soal-soal hidupnya dengan akal dan sistem
pengetahuannya, tetapi akal dan sistem pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang
kebudayaan manusia, makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak
dapat dipecahkan dengan akal dipecahkannya dengan ilmu gaib (Koentjaraningrat,
1987:54).” Pada awalnya diterbitkan dalam dua jilid dan kemudian diperluas menjadi dua
belas, gagasan Frazer dari The Golden Bough diterima secara luas. Frazer melanjutkan
penelitian kepada nilai-nilai takhayul dalam evolusi budaya mengatakan bahwa evolusi
budaya menguatkan respek pada properti pribadi, menguatkan respek pada pernikahan,
dan menambah ketaatan yang lebih ketat pada peraturan moral seks (Murphy).
4. Sir John Lubbock (Lord Avebury).
Ahli botani dan kolektor barang kuno yang merupakan murid Darwin yang setia.
Dia meneliti bahwa beberapa peralatan batu lebih keras daripada yang lain, dan
nampaknya peralatan batu tersebut ditumpuk dibawah tempat penyimpanan untuk lebih

tua. Dia mempopulerkan jaman paleolitikum dan neolitikum. Pada buku Lubbock yang
berjudul, Prehistoric Times: As Illustrated by Ancient Remains and the Customs of
Modern Savages, menggambarkan analogi teori evolusi sebagai “sejaman dengan zaman
batu.” Buku ini juga melawan kemunduran pandangan yang menyatakan “Itu adalah
opini umum tentang savages, sebagai peraturan umum, hanya sisa-sisa yang
menyedihkan dari sebuah bangsa yang sudah beradab; tetapi walaupun ada beberapa
kasus kebusukan nasional yang tidak dapat dipungkiri, tidak ada bukti secara ilmiah yang
dapat membenarkan kami untuk menegaskan bahwa ini adalah kasus biasanya (Hays
1965:51-52 melalui Murphy).” Lubbock juga menambahkan tahap demi tahap evolusi
kepercayaan, terbagi menjadi lima tahap: atheis, totemisme, animisme, pemujaan berhala,
dan monotheisme. (Murphy)
5. Sir Henry James Sumner Maine (1822 – 1888).
Ahli hukum Inggris dan penganut teori sosial yang berfokus pada perkembangan
sistem-sistem legal sebagai kunci dari evolusi sosial. Dia membuat rencana dengan
mengikuti jejak sosial dari sistem-sistem yang berdasarkan kekeluargaan sampai yang
berdasarkan wilayah, dan dari status ke kontrak, dan dari hukum sipil sampai hukum
kriminal. Maine berargumen bahwa sistem sosial yang paling primitif adalah sistem
patrilarkal. Pandangan ini berlawanan dengan orang-orang yang percaya pada
keunggulan hubungan primitif dan martiarkal. Maine juga berlawanan dengan pemikir
teori evolusi yang lain yaitu dia tidak mendukung adanya evolusi unilinear (SeymourSmith 1986:175-176 melalui Murphy).
6. John F. McLellan (1827 – 1881).
Seorang pengacara Skotlandia yang terinspirasi oleh nilai-nilai etnografi dari adat
menculik calon istri. Dari sini dia membangun teori dari evolusi pernikahan. Seperti yang
lain termasuk Bachofen, McLellan menyatakan pada masa berhubungan yang primitif
awalnya adalah matriarkal. Argumennya dimulai dengan kebiasaan orang-orang primitif
membunuh bayi perempuan karena perempuan tidak berburu untuk membantu

kelompoknya. Kekurangan perempuan kemudian dapat terpecahkan dengan kebiasaan
menculik calon istri dan poliandri sedarah. Kemudian timbullah sistem keturunan
patrilineal. McLellan, dalam Primitive Marriage, merujuk pada istilah eksogami dan
endogami (Seymour-Smith 1986:185-186 melalui Murphy).
7. Lewis Henry Morgan (1818 – 1881).
Salah satu dari ilmuan teori evolusi yang paling berpengaruh pada abad 19 dan
juga dipanggil sebagai bapak antropologi Amerika. Seorang pengacara Amerika yang
tertarik pada perkara suku Indian Iroquois yang membimbingnya untuk meneliti tentang
adat-istiadatnya dan sistem sosial, mengenalkan pertama kalinya studi etnografi modern
tentang kelompok pribumi Amerika, Persatuan Iroquois pada tahun 1851. Dalam
kelompok ini, dia betul-betul mempertimbangkan upacara, kepercayaan, dan aspek
politik dan hal ini juga memprakarsai penelitiannya tentang kekeluargaan dan pernikahan
yang kemudian ia kembangkan menjadi teori perbandingan dalam karyanya pada tahun
1871, System of Consanguinity and Affinity. Karya terakhirnya ini juga sebagai tonggak
sejarah dalam perkembangan antropologi, menetapkan kekeluargaan dan pernikahan
sebagai wilayah utama dari ilmu penelitian antropologi dan awal dari kesenangan abadi
dengan arti terminologi dari kekeluargaan sebagai kunci pada tafsir sistem kekeluargaan.
Karyanya Ancient Society adalah penyataan yang paling berpengaruh pada abad 19
terhadap posisi evolusi budaya, dan dikembangkan oleh banyak peneliti teori evolusi
berikutnya dan digunakan oleh Marx dan Engels pada teori evolusi sosial mereka.
Memanfaatkan kategori teori Montesquieu, savages, barbarisme, dan civilization
(peradaban), Morgan membaginya lagi pada dua kategori pertama menjadi tiga tahap
(rendah, tengah, tinggi) dan memberikan contoh etnografi yang sejaman pada setiap
tahapnya. Setiap tahap ditandai dengan kemajuan teknologi dan berhubungan dengan
kemajuan pada pola kehidupan, keluarga dan pernikahan, dan organisasi politik
(Seymour-Smith 1986:201 melalui Murphy).

8. Sir Edward Burnett Tylor (1832 – 1917).
Meletakkan antropologi sains sebagai dasar yang kuat dan menghancurkan teori
kemunduran. Tylor merumuskan definisi kebudayaan sebagai : “Kebudayaan atau
peradaban adalah sesuatu yang kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat, dan kecakapan yang lain dan kebiasaan yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat,” dan juga mengembangkan ide tentang
kelangsungan hidup. Kontribusi yang paling besar adalah dalam bidang kepercayaan dan
mitologi, dan dia menyebutkan sihir, astrologi, dan ilmu gaib sebagai petunjuk kepada
kepercayaan primitif. Pada karya terbaik Tylor, Primitive Culture, dia mencoba
menggambarkan aspek rumit dari kepercayaan dan fenomena sihir. Itu adalah analisis
psikologi primitif yang mengesankan dan masuk akal dan jauh lebih umum dari
penerapan yang lain yang lebih awal disarankan. Tylor menghubungkan tiga tingkatan
dari evolusi sosial kepada tipe-tipe kepercayaan: orang kuno menjalankan animesme,
barbarisme

menjalankan

politheisme,

dan

masyarakat

peradaban

menjalankan

monotheisme. Yang paling penting dari hubungan Tylor dan hasilnya pada jamannya
adalah ia menggunakan statistik pada penelitiannya (Murphy).

BAB IV
KOMENTAR, KRITIK, DAN KESIMPULAN
4.1 Komentar dan Kritik
Kritik-kritik yang perlu dipahami lebih lanjut adalah yang pertama adalah bahwa
pada abad ke 19 yang pada saat itu berupaya untuk mematahkan pemikiran dari Drawin
dengan memunculkan teori etnosentris, yang dapat diartikan bahwa budaya yang dimiliki
adalah budaya yang paling tinggi kedudukannya (Kaplan, 2000: 53), sedangkan untuk
kemunculan evolusionisme mutakir (khusunya White), juga memiliki kekurangan karena
tidak banyak membantu untuk menangkap runtutan atau sekuen perkembangan secara
jelas dan cukup rinci (Kaplan, 2000: 63) .

4.2 Kesimpulan
Evolusi adalah sebuah teori besar yang merupakan pintu gerbang dari ilmu
antropologi yang pada akhirnya menumbuhkan kajian-kajian dan teori budaya yang lain.
Dapat diketahui bahwa evolusi biologi merupakan awal dari evolusi budaya. Dari hal
tersebut dapat dikatakan bahwa evolusi budaya merupakan perkembangan dari evolusi
biologi.
Perkembangan budaya seperti yang telah dikatakan oleh E.B Taylor bahwa
budaya berkembang dari yang sederhana hingga kompleks dan semua masyarakat
melewati tiga dasar tahap pembangunan seperti yang telah digagas oleh Montesquieu dari
savage, barbarisme, dan masyarakat (civilization).
Dalam mengkaji budaya menggunakan teori evolusi ini, kita dapat memakai dua
metode yaitu metode.komparatif dan metode paralelisme. Walaupun kedua metode
tersebut masih memiliki kekurangan namun kedua metode tersebut dapat menjelaskan
adanya perkembangan budaya dari yang sederhana menuju sebuah masyarakat maju
(developed).

DAFTAR PUSTAKA

Harris, Marvin. 1968. The Rise of Anthropological Theory: A History of Theories of
Culture. New York: Thomas Y. Crowell.
Kaplan, David dan Albert A, Manners. 2000. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press.
Manners, Roberts A, and David Kaplan. 1968. Theory in Anthropology: A Source Book.
Chicago: Aldine Publishing Company.
Murphy, Michael D. Anthropological Theories: A Guide Prepared by Students for
Students. Department of Anthropology College and Arts and Sciences The
University of Alabama.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer. Jakarta: Prenada Media.
Winthrop, Roberth H. 1991. Dictionary of Concepts in Cultural Anthropology. New
York: Greenwood Press.