Sosiologi dan Media pembelajaran sosiologi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Sosiologi merupakan suatu ilmu yang masih muda, walau telah mengalami
perkembangan yang cukup lama. Sejak manusia mengenal kebudayaan dan
peradaban, masyarakat manusia sebagai proses pergaulan permasalahan
kemasyarakatan dan gejala-gejala masyarakat memasuki tahap akhir yaitu tahap
ilmiah. Oleh sebab itu, dia menyarankan semua penelitian terhadap masyarakat
ditingkatkan menjadi suatu ilmu tentang masyarakat yang berdiri sendiri.
Globalisasi didunia telah menimbulkan pergeseran dalam peran media, baik
cetak maupun elektronik: apa yang harus diberitakan dan bagaimana sikap dan
perilaku wartawan dalam pencarian dan penyebaran berita. Pergeseran peran
media beserta awaknya ini di Indonesia, terutama sejak awal Era Reformasi, juga
berimplikasi terhadap nilai-nilai yang dianut perempuan dalam media. Maka dari
itulah dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Sosiologi dan Media.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa konsep Sosiologi?
2. Jelaskan Perspektif Konflik, fungsionalisme, dan Feminisme?
3. Bagaimana media dapat memberikan hegemoni kepada masyarakat?
4. Bagaimana konstruk-konstruk sosiologi perempuan dalam pembicaraan
publik?


1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep sosiologi
2. mengetahui mengenai Sosiologi dan Media
3. Mengetahui konstruk sosiologi perempuan dalam pembicaraan publik.

1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sosiologi
Kata sosiologi berasal dari kata sofie, yang berarti bercocok tanam atau
bertaman, kemudian berkembang menjadi socius, dalam bahasa latin yang berarti

2

teman, kawan. Berkembang lagi menjadi kata sosial, artinya berteman, bersama,
berserikat.
Secara khusus kata sosial maksudnya adalah hal-hal mengenai berbagai
kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan

pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan
bersama (Shadily, 1993:1-2).
Dengan kata lain menurut Hassan Shadily, sosiologi adalah ilmu masyarakat
atau ilmu kemasyarakatan yang mempelajari manusia sebagai anggota golongan
atau masyarakatnya (tidak sebagai individu yang terlepas dari golongan atau
masyarakatnya), dengan ikatan-ikatan adat, kebiasaan, kepercayaan atau
agamanya, tingkah laku serta keseniannya atau yang disebut kebudayaan meliputi
segala segi kehidupannya (1993:2).
Pitirin Sorokin (Soekanto, 2003:19), mengemukakan sosiologi adalah suatu
ilmu yang mempelajari :
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala
sosial (misalnya : antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masyarakat dengan politik, dan
lain sebagainya).
b. Hubungan dengan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala nonsosial (misalnya: gejala geografis, biologis, dan sebagainya).
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.

Roucek dan Warren (Soekanto, 2003;19) mengemukakan bahwa sosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok.


3

William F. Ogburn dan Meyer F. Nimkoff (Soekanto, 2003:19) berpendapat
bahwa sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan
hasilnya yaitu organisasi sosial.
Selo soemardjan dan Soelaeman Soemardi (Soekanto, 2003:20) mengatakan
bahwa sosiologi adalah ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelaari struktur
sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur
sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu
kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosia, kelompokkelompok serta lapisan-lapisan sosia. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik
antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik
antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan
agama dengan segi kehidupan ekonomi, dan lain sebagainya. Salah satu proses
sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadi perubahan-perubahan dalam
struktur sosial.
Pembentukan struktur sosial dan terjadinya proses sosial dan kemudian
adanya perubahan-perubahan sosial tidak lepas dari adanya aktivitas interaksi
sosial yang menjadi salah satu ruang lingkup sosiologi.
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan dimana terjadi proses saling

pengaruh mempengaruhi antara para individu, antara individu dengan kelompok
maupun antara kelompok (Soekanto, 2003-423

2.2 Media

4

Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harfiah berarti
“tengah, perantara, atau pengantar”. Menurut McLuhan media adalah semua
saluran pesan yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dari seseorang
kepada orang lain yang tidak ada dihadapannya.
Menurut

McLuhan

Media

pada

hakikatnya


telah

benar-benar

mempengaruhi cara berpikir, merasakan, dan bertingkah laku manusia itu sendiri.
Kita saat ini berada pada era revolusi, yaitu revolusi masyarakat menjadi massa,
oleh karena kehadiran media massa tadi. Perjalanan sebuah teknologi yang
mengisi hari-hari atau hidup manusia sudah sebegitu hebatnya merasuki
kehidupan paling pribadi dari manusia itu sendiri sampai media atau teknologi
bisa dikatakan sebagai perpanjangan dari diri kita atau ekstensi. Hal ini
memperlihatkan “kebodohan” manusia di hadapan teknologi dimana hanya bisa
diam termangu dan cenderung pasrah akan segala serangan yang diberikan. Dalam
hal inilah sebuah teknologi dapat dikatakan sebagai suatu hal yang buruk (padahal
sebelumnya, teknologi adalah wujud benda yang netral), dan justru mengamputasi beberapa skill atau kemampuan kita (deskilling).

Hal yang menjadi dasar pemikiran McLuhan
McLuhan pertama kali pada tahun 1962 dalam tulisannya “The Guttenberg
Galaxy: The Making of Typographic Man.” Ide dasar teori ini adalah bahwa
perubahan yang terjadi pada berbagai macam cara berkomunikasi akan

membentuk pula keberadaan manusia itu sendiri. Teknologi membentuk individu

5

bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat dan teknologi tersebut
akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad
teknologi yang lain. Misalnya dari masyarakat suku yang belum mengenal huruf
menuju masyarakat yang memakai peralatan komunikasi cetak, ke masyarakat
yang memakai peralatan komunikasi elektronik.
McLuhan berpikir bahwa budaya kita dibentuk oleh bagaimana cara kita
berkomunikasi. Paling tidak, ada beberapa tahapan yang layak disimak. Pertama,
penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua,
perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya membentuk kehidupan
manusia. Ketiga, sebagaimana yang dikatakan McLuhan bahwa kita membentuk
peralatan untuk berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang
kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri.
Manusia belajar, merasa dan berpikir terhadap apa yang akan kita lakukan karena
pesan yang diterima teknologi komunikasi menyediakan untuk itu. Artinya,
teknologi komunikasi menyediakan pesan dan membentuk perilaku kita sendiri.


Pengaruh dalam perkembangan teknologi dan media saat ini
Pemikiran McLuhan sangat berkembang dalam perjalanan media dan
teknologi yang berkembang pada zaman sekarang. Dari hal ini dapat dipastikan
bagaimana perkembangan media yang sebegitu besarnya, justru dihadapkan
dengan ketidak siapan dari penerimanya, yaitu manusia. Peningkatan teknologi

6

menyebabkan dominasi sosial yang justru berasal dari kaum elite, ilmuwan,
insinyur, dan manager yang tidak lagi mengedepankan moral. Salah satu contoh
yang dapat dilihat adalah keberadaan televisi yang menyiarkan tayangan berbau
kekerasan atau SARA. Lantaran terlalu lancang dan berani menyiarkan hal
tersebut, dihadapkan dengan ketidaksiapan akan penerimanya (yang waktu itu
juga mungkin masih berada dalam suatu khalayak pasif), menyebabkan tayangan
tersebut menjadi hal yang dianggap benar dan boleh terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Hal inilah yang membuat banyak orang yang melakukan kekerasan
dalam kehidupan nyata. “Kebodohan” dan penurutan kita pada teknologi tersebut
juga diiringi dengan ketidaksiapan akan regulasi atau peraturan yang dimiliki oleh
pemerintah.
Perjalanan manusia dan teknologi dalam sebuah determinasi teknologi

merupakan perjalanan dua arah. Dalam perjalanan pertama, adanya masyarakat
yang mulai berubah baik dari segi peradaban, pengetahuan dan kebudayaan
menjadi lebih maju dan modern, maka membutuhkan dan melahirkan suatu model
komunikasi dan didukung oleh teknologi yang berbeda. Apa yang ia pikirkan dan
lakukan merupakan perbuatan aktif yang dijalani secara sadar demi memenuhi
kebutuhan hidupnya baik oleh kebutuhan primer, sekunder ataupun informasi. Hal
ini yang menjadikan manusia tetap adalah dewa dalam hidupnya dimana apapun
yang dilakukan merupakan penyesuaian dengan lingkungan yang senantiasa
berubah dan dinamis dari waktu ke waktu. Proses perjalanan seperti ini kiranya
tidak terlalu mengharukan atau masih bisa diterima oleh akal sehat lantaran

7

mengutamakan manusia sebagai makhluk hidup paling sempurna dan mulia
ketimbang makhluk lainnya.
Tetapi fase selanjutnya yang merupakan arah kebalikannya, menjabarkan
bahwa teknologi layaknya “Tuhan” dari perjalanan hidup yang dilakukan oleh
manusia dari hari ke hari. Manusia dianggap sebagai orang yang pasif dan hanya
menerima apa saja yang disodorkan oleh teknologi. Walaupun teknologi itu adalah
buatan manusia, tetapi manusia berbalik menjadi penyembah teknologi, Apapun

yang dilakukan tidak jauh dan tidak boleh terlepas dari apa yang disampaikan oleh
teknologi. Apa yang boleh dan tidak boleh, layak dan tidak layak untuk diperbuat
mengacu pada apa yang disampaikan oleh teknologi. Pemanfaatan ini seperti
memberikan pentunjuk bahwa manusia sendiri juga dimanfaatkan oleh teknologi,
dimana teknologi juga bukan merupakan perpanjangan tangan yang netral
melainkan mengandung beragam kepentingan di dalamnya. Secara perlahan
namun pasti, teknologi yang di-dewa-kan tersebut mengantarkan pada perubahan
masyarakat dan untuk kemudian, berbalik pada siklus yaitu mempengaruhi
perkembangan teknologi.

2.3 Fungsi Media
Harold Lasswell dan Charles Wright merupakan bagian dari pakar yang
benar-benar serius mempertimbangkan fungsi media.
2.3.1 Pengawasan (Surveillance)
Pengawasan, fungsi pertaa memberi informasi, menyeiakan berita. Dalam
membentuk fungsi ini, meia sering kali memperingatkan kita akan bahaya yang

8

mungkin terjadi seperti kondisi cuaca yang ekstrem atau berbahaya atau ancaman

militer. Fungsi pengawasan juga termasuk berita yang tersedia di media yang
penting dalam ekonomi publik dan masyarakat, seperti laporan bursa pasar, lalu
lintas, cuaca an sebagainya.
2.3.2 Korelasi (Correlation)
Korelasi adalah seleksi dan interpretasi informasi tentang lingkungan.
Media sering kali memasukkan kritik dan cara bagaimana seseorang harus
bereaksi terhadap kejadian tertentu. Karena itu korelasi merupakan bagian media
yang berisi editorial dan propaganda. Fungsi korelasi bertujuan untuk
menjalankan norma sosial dan menjaga konsensus dengan mengekspos
penyimpangan, memberikan status dengan cara menyorotiiniviu terpilih, dan
dapat berfungsi untuk mengawasi pemerintah
2.3.3 Penyampaian warisan sosial
Penyampaian warisan sosial merupakan suatu fungsi dimana media
menyampaikan informasi, nilai, dan norma dari norma satu generasi ke generasi
berikutnya atau dari anggota masyarakat ke kaum pendatang. Dengan cara ini
mereka bertujuan untuk meningkatkan kesatuan masyarakat dengan cara
memperluas dasar pengalaman umum mereka.
2.3.4 Hiburan (Entertainment)
Sebagian besar isi media mungkin dimaksudkan sebagai hiburan , bahkan
disurat kabar sekalipun, mengingat banyaknya kolom, fitur dan bagian selingan.

Media hiburan dimaksudkan untuk memberi waktu istirahat dari masalah setiap
hari dan mengisi waktu luang. Media mengekspos budaya massa berupa seni dan
musik pada berjuta-juta orang dan sebagian orang merasa senang karena bisa
meningkatkan rasa dan pilihan publik dalam seni.
2.4 Konsep Sosiologi

9

Ilmu sosial lahir pada tahun 1842 yang dirintis oleh "Auguste Comte" dari
Perancis melalui bukunya"Positive Philosophy".Fokus kajiannya adalah segala
bentuk kehidupan masyarakat.
Berikut adalah pengertian sosiologi dari beberapa ahli :
1. G.A. Lunberg:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku sosial
orang-seorang dan kelompok.
2. Pitirim A.Sorokin:Sosialogi adalah ilmu yang me,pelajari hubungan dan
pengaruh timbalbalik antara aneka macam gejala sosial,hubungan dan
pengaruh gejala sosial dengan non sosial,dan ciri-ciri umum dari semua
jenis gejala sosial.
3. Prof. Selo Soemardjan:Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur
sosial,proses sosial,dan perubahan-perubahan sosial.Struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok,yaitu kaidahkaidah sosial,lembaga-lembaga sosial,kelompok-kelompok sosial,dan
lapisan soial.Proses sosial adalah pengaruh timbal-balik dari berbagaisegi
kehidupan sosial (ekonomi dan politik,hukum,dan agama).

Ciri-ciri pokok sosiologi sebagai berikut :
1. Sosiologi bersifat empiris,artinya didasarkan pada observasiobservasi segala kenyataan dimasyarakat.
2. Sosiologi bersifat teoritis,artinya merupakan abstraksi dari hasilhasil observasi yangmenjelaskan hubungan kausalitas.
3. Sosiologi bersifat kumulatif,artinya teori sosiologi dibentuk atas
dasar teori-teori lama yangkemudian disempurnakan.

10

4. Sosiologi bersifat nonetis,artinya yang dipersoalkan bukan baik
buruknyafakta,tetapibertujuan untuk menjelaskan fakta-fakta
secara analisis.
Adapun sifat-hakikat sosiologi sebagai berikut.
1. Sosiologi termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial yang objek studinya
adalah masyarakat.
2. Sosiologi bukan disiplin ilmu yang normatif,tetapi kategoris.Artinya
sosiologi hanyamembatasi diri pada apa yang trjadi dewasa ini dan
bukan yang seharusnya terjadi.
3. Sosiologi merupakan ilmu murni dan bukan ilmu terapan,artinya
sosiologi bertujuan untukmengembangkan ilmu secara teoritis.
4. Sosiologi bersifat abstrak,artinya yang diperhatikan adalah bentuk dan
pola-pola peristiwadalam masyarakat.
5. Sosiologi bertujuan untuk menghasilkan pengertian-pengertian dan
pola-pola umum sehingga berupa ilmu umum.

2.5 Perspektif Media
Untuk menelaah sesuatu, kita harus memulai dengan membuat beberapa
asumsi tentang sifat-sifat yang akan kita pelajari. Misalnya, menurut orang-orang
yunani kuno alam semesta beroprasi/berjalan sesuai dengan perilaku para dewa.
Sebaliknya para ilmuan berasumsi bahwa alam semesta itu bersifat tertib dan
berjalan menurut cara-cara yang teratur, yang mungkin bisa kita ungkapkan. Oleh
karna itu Newton mengembangkan hukum gaya berat setelah mengamati bahwa
apel selalu jatuh kebawah, tidak pernah keatas. Seperangkat asumsi kerja disebut
suatu “prespektif”, suatu “pendekatan” atau kadang-kadang disebut juga

11

“paradigma”. Berikut adalah beberapa prespektif-prespektif yang di gunakan
dalam sosiologi.
2.5.1

Perspektif Fungsionalis
Dalam perspektif ini, suatu masyarakat dilihat dalam suatu jaringan

kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara
yang agak teratur menurut suatu perangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem
yang

stabil dengan

suatu kecenderungan kearah keseimbangan,

untuk

mempertahankan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang.
Dalam prespektif fungsionalis, dengan Talcot Parson (1937), Kigsley
davis

(1937) dan Robert Merton (1957)m sebagai para juru bicara yang

terkemuka, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus
menerus, karena hal itu fungsional. Jadi sekolah mendidik anak- anak,
mempersiapkan para pegawai, mengambil tanggung jawab orang tua murid dalam
sebagian waktu pada siang hari dan sebagainya.
Corak perilaku timbul karena secara fungsional bermanfaat. Didaerah
perbatasan Amerika dimana terdapat beberapa pengnapan dan hanya sedikit orang
yang mampu menyewanya, tumbuhlah suatu pola sikat yaang keramah-tamahan.
Keluarga-keluarga yang tengah bepergian pada waktu malam, merupakan tamutamu yang disambut hangat oleh setiap penduduk. Dengan bertambah mantapnya
daerah perbatasan, pola keramah- tamahan ini tak lagi penting dan menurun. Jadi
pola-pola prilaku timbul untuk memenuhi kebutuhan dan hilang bila kebutuhan itu
berubah.
Perubahan sosial mengganggu keseimbangan masyarakat yang stabil,
namun tidak lama kemudian terjadi keseimbangan baru. Sebagai contoh, dalam

12

sebagian besar sejarah, keluarga-keluarga besar sangat didambakan. Tingkat
kematian tinggi dan keluarga besar membantu untuk meyakinkan adanya beberapa
yang selamat. Khususnya di Amerika, suatu benua yang sangat luas, yang belum
memiliki tenaga kerja untuk melaksanakan pekerjaan , secara fungsional keluarga
besar bermanfaat. Keluarga-keluarga ini menyediakan tenaga kerja, persaudaraan
dan jamina masa tua dan merupakan hal yang baik, baik bagi perorangan maupun
masyarakat. Kini dengan padatnya penduduk dunia, dengan tingkatkematian yang
rendah, keluarga bukanlah rakhmat. Dengan kata lain, keluarga besar menjadi
gangguan

fungsional

dan

mengancam

kesejahteraan

masyarakat

maka

keseimbangan baru seddang dalam proses dimana ganti tingkat kematian dan
tingkat kelahiran yang tinggi, (mudah-mudahan) kita akan mengalami tinggak
kematian dan kelahiran yang rendah. Jadi suatu nilai atau kejadian pada suatu
waktu atau tempat menjadi fungsional pada saat dan tempat yang berbeda.
Bila suatu perubahan sosial tertentu mempromosikan suatu keseimbangan
yang serasi, hal tersebut dianggan fungsional. Bila perubahan sosial tersebut
mengganggu keseimbangan, hal tersebut merupakan gagguan fungsional. Bila
perubahan sosial tidak membawa pengaruh, maka hal tersebut tidak fungsional.
Dalam suatu negara demokratis, partai partai politik adalah fungsional sedangkan
pemboman, pembunuhan, dan terorisme politik adalah gangguan fungsional, dan
perubahan perubahan dalma kamus politik atau perubahan dalam lambang partai,
adalaha tidak fungsional.
Fungsionalis dalam media
Media dalam kacamata fungsionalisme merupakan pemegang posisi penting
dan memberikan pengaruh pada suatu sistem sosial yang besar. Fungsionalisme

13

memiliki asumsi bahwa apapun yang ada dalam sistem merupakan sesuatu yang
“bebas-nilai”, sehingga secara langsung fungsionalisme menawarkan suatu cara
pandang perihal keseimbangan peran media dalam masyarakat. Fungsionalis
berargumentasi bahwa ilmu sosial tidak memiliki basis dan kebutuhan untuk
membuat penilaian atas media, karena dalam praksisnya Merton menganggap
media memiliki dua fungsi yaitu manifest function (diproyeksikan dan dapat
diamati) dan latent function (tidak dapat diproyeksi dan kurang mudah diamati).
Adapun beberapa kekuatan fungsional adalah : Posisi media dan
pengaruhnya di dalam sebuah system social yang lebih luas, Menawarkan
pandangan yang seimbang tentang peran media dalam masyarakat dan didasarkan
pada penelitian empiris dan panduan. Meski begitu, teori ini memiliki
kekurangan, yaitu : Terlalu menerima status quo, Menegaskan bahwa disfungsi
adalah "seimbang" dengan adany fungsi, Menegaskan bahwa fungsi negative yang
laten adalah "Seimbang" dengan fungsi yang positif dan Jarang memungkinkan
kesimpulan pasti tentang Peran media dalam masyarakat. Hal yang menjadi ciri
khas fungsionalisme adalah menganggap disfungsi sebagai konsekuensi logis
sebagai keseimbangan dari fungsi yang diberikan.
Fungsionalisme juga menganggap fungsi negatif yang laten merupakan
keseimbangan dari fungsi positif yang muncul. Yang menarik lainnya adalah
berdasarkan penelitian Harold Mendelsohn (1966). Dia memberi perhatian bahwa
orang-orang

banyak

disalahpahami

tentang

pengaruh

televise.

Menurut

Mendelsohn, kritik masyarakat massa paternalistik dan elitis. Mereka salah
menduga karena hiburan televisi dianggap menarik dan menyebabkan orng

14

menjauh daro bentuk pendidikan politik atau agama yang membosankan dimana
mereka sendiri ingin mempromosikannya. Mendelsohn berpendapat bahwa orang
membutuhkan pelarian relaksasi dan tidak berbahaya seperti yang tawarkan
televisi. Selanjutnya, Mendelson membuat teori hiburan massa yang dikutip dari
penelitian psikologi. Teori ini berdasarkan pada adanya sejumlah kecil orang yang
mungkin kecanduan televise.
Adapun kekuatan teori hiburan massa adalah : Menekankan pada pengaruh
prososial media dan Memberikan penjelasan meyakinkan mengapa orang mencari
hiburan di media. Sementara kekurangan teori ini adalah Terlalu menerima status
quo dan Memberi gambaran negatif ke rata-rata orang dari penggunaan media
mereka. Pada gilirannya, teori fungsional dianggap semakin tidak relevan, dan
lahirlah teori system (system theories) sebagai pengganti teori fungsional tersebut.
Sebuah system terdiri dari kumpulan bagian yang saling berhubungan, dan jika
salah satu bagian berubah makan akan menyebabkan bagian lainnya juga berubah.
Teori sistem memiliki kelebihan yaitu dapat terkonseptualisasi dari teori pada
level makro maupun mikro, selalu menampilan komunikasi sebagai suatu proses.
Sedangkan kekurangan dari teori ini adalah mengalami kesulitan menilai
relasi kausalitas. Sering terlalu sederhana untuk mewakili pola komunikasi yang
kompleks, dianggap oleh beberapa orang sebagai terlalu mekanistik dan tidak
manusiawi

dan memfokuskan

perhatian

pada

struktur diamati

dengan

mengabaikan substansi komunikasi. Pembahasan tentang pengaruh media juga
datang dari orang-orang yang tertarik pada pengaruh kekerasan yang termediasi
terhadap penonton dan prilakunya. Televisi dan anak-anak adalah fokus

15

penyelidikan ini. Kognisi sosial dalam penggunaan media beroperasi pada tiga
jalan yaitu : (Bandura, 1971, 1994) 1. Pembelajaran observatif 2. Efek larangan
(inhibitory) 3. Efek ajakan (disinhibitory) Teori kognisi sosial terbukti merupakan
pisau analisis yang tajam untuk memahami bagaimana orang belajar perilaku dari
televisi.
Dengan membedakan antara imitasi dan identifikasi dan mengidentifikasi
model prilaku yang berbeda dari penonton, seperti pembelajaran observatif, efek
larangan, efek ajakan, dan vicarious reinforcement (penguatan yang lebih kuat
akibat dari melihat dibanding melakukannya langsung)., itu membantu
menjelaskan bagaimana individu belajar dari media. Bahkan sebagai ide-ide ini
telah diterapkan untuk new media seperti video game. Adapun yang menjadi
kekuatan dari teori social kognitif adalah Menunjukkan hubungan kausal antara
media dan perilaku, Berlaku untuk seluruh penonton dan di seluruh situasi,
Memiliki kekuatan penjelas yang kuat (misalnya, menolak katarsis, menekankan
pentingnya lingkungan dan konten isyarat).
Sedangkan kelemahan dari teori ini adalah penelitian di Laboratorium
menimbulkan pertanyaan tentang generalisasi, penelitian eksperimental mungkin
melebih-lebihkan kekuatan media, memiliki kesulitan menjelaskan efek jangka
panjang dari konsumsi media, meremehkan orang-orang yang aktif menggunakan
media pesan dan terlalu fokus terlalu sempit pada individu dari pada tentang efek
budaya. Penelitian mengenai isyarat prilaku dan efek mencoba untuk
menambahkan beberapa kekhususan teori kognisi sosial, seperti halnya perspektif
perkembangan. Kemajuan lain adalah pertimbangan variabel kontekstual yang

16

berbeda, aspek penyajian kekerasan dalam isi media itu sendiri, dalam
menentukan jumlah pembelajaran yang didapat dari mekanisme tontonan.

Simpulan lainnya adalah rekonsepsi dari teori perihal penonton-muda yang
aktif menonton televisi meskipun tidak mengabaikan efek media, tidak
menunjukkan bahwa penonton muda mendapatkan pengaruh lebih besar dari
penonton yang lebih tua. Demonstrasi efek media yang signifikan pada individu
secara alami meningkatkan atas studi kritis, efek media pada tingkat makro
terutama di bidang komunikasi massa dan sosialisasi anak. Gagasan awal media
sebagai jendela awal dunia baru-baru ini telah diperbarui dan diperluas, atau
bahkan akan mendapatkan suatu redifinisi, atau juga melenyapkan batas
lingkungan kanak-kanak itu sendiri.
2.5.2

Perspektif Konflik
Prespektif konflik secara luas terutama didasarkan pada karya Karl Marx

( 1818-1883), yang melihat pertentangan dan eksloploitasi kelas sebagai
penggerak utama kekuatan-kekuatan dalam sejarah. Setelah untuk waktu yang
lama prespektif konflik di abaikan oleh para sosiolog, baru-baru ini prespektif
tersebut telah di bangkitkan kembali oleh C. Wright Mills ( 1956-1959), dan
beberapa sosiolog lain. Para fungsionalis meliahat keadaan normal masyarakat
sebagai suatu keseimbangan yang mantap, namun para teoritis konflik melihat
masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok
dan kelas. Sekalipun Marx memusatkan perhatiannya antar kelas untuk pemilikan
antar kekayaan yang produktif, para teoritis konflik modern berpandangan sedikit

17

lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan dan penghasilan
sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat sebagai terikat bersama
karena kekuatan kelompok atau kelas yang dominan. Mereka mengklaim bahwa “
nilai-nilai bersama fungsionalis sebagai suatu ikatan pemersatu tidaklah benarbenar kosensus yang benar, sebaliknya konsensus tersebut adalah ciptaan
kelompok atau kelas yang dominan untuk memaksakan nilai-nilai serta peraturan
mereka terhadap semua orang.
2.5.3

Perspektif Feminisme
Teori feminisme merupakan label generik untuk perspektif atau kelompok

teori yang mengeksplorasi makna konsep-konsep gender. Teori feminis
mengamati bahwa banyak aspek kehidupan terlepas dari sex biologis dipahami
dalam pengertian kualitas gender , termasuk bahasa, kerja, peran keluarga,
pendidikan, sosialisasi dan sebagainya. Kritik feminis bertujuan untuk
membongkar kekuasaan dan batas-batas pembagian kekuasaan itu. Kebanyakan
teori feminis menekankan sifat opresif dari relasi gender.
Teori feminisme beranjak dari asumsi bahwa gender adalah sebuah kategori
yang dapat ditembus untuk memahami pengalaman manusia. Gender merupakan
konstruksi yang , meskipun bermanfaat didominasi oleh pria dan cenderung
mendiskriminasi terhadap wanita. Teori feminis berupaya menantang asumsiasumsi gender yang hidup dalam masyarakat dan mencapai cara yang lebih
membebaskan wanita dan pria untuk hidup di dunia. Dengan cara ini, teori
feminis menukik ke akar pengalaman manusia menuntut perubahan struktur
sosial-budaya dan linguistik yang menetukan relasi antara wanita dan pria.

18

a.

Feminisme Liberal
Berpandangan bahwa perempuan dapat menikkan posisi mereka dalam

keluarga dan masyarakat melalui kombinasi inisiatif dan prestasi individual
(misalnya pendidikan tinggi), diskusi rasional dengan kaum laki-laki, khususnya
suami, yang dapat dikonsepsikan sebagai upaya memperbaiki peran jender
mereka, cara pengambilan keputusan sehubungan dengan pengasuhan anak, yang
akan memberikan kemungkinan bagi perempuan untuk mengejar karir, dan
memperthankan hukum yang memberikan hak kepada aborsi legal dan
melindungi perempuan dari diskriminasi seks (misalnya pasal- VII Civil Rights
Act).
b.

Feminisme Radikal
Feminisme radikal atau cultural mengacu kepada verasi yang sedikit

berbeda dalam teori feminis, yang berakar pada akhir era 1960-an dan awal 1970an (misalnya Firestone, 1979; Atkinson, 1979). Pendekatan ini (lihat Dworkin,
1979) berpandangan bahwa penindasan atas perempuan terutama terjadi karena
patriarki , yang beroprasi baik pada level keluarga dan pada level budaya, di mana
citra seksis perempuan diobjektifkan sehingga menindas mereka. Feminisme
radikal mirip dengan feminism lesbian atau separatism lebian dalam kritiknya
atas keluarga heteroeksis sebagai sumber utama penindasan atas perempuan. Ini
sekaligus mengantisipasi berbagai tema dalam teori homoseksual, yang
didiskusikan kemudin, misalnya hegemoni heteroeksisme, yang memproduksi
pandangan terbelah tentang maskulinitas dan feminitas.

19

Feminime berpandangan bahwa feminis perlu meruntuhkan atau secara
radikal memperbaiki keluarga dan menciptakan budaya non-misoginis di mana
perempuan tidak dijadikan objek. Feminisme radikal memasukkan tapi tidak
terbatas pada kritik tajam atas heteroeksisme, yang tidak hanya berpandangan
bahwa semua orang pada dasarnya heteroseksual tapi juga menambahkan bahwa
perempuan mendapatkan identitaa mereka karena berpaangan (khususnya,
menikah) dengan laki-laki dan mempunyai anak. Feminisme lesbian merupakan
feminis radikal adalah separatis lesbiankarena merek menasihati perempuan untuk
berpasangan hanya dengan perempuan. Feminisme radikal tidak membutuhkan
penyangkalan personal atas heteroseksualitas. Dia tidak memrlukan pemikiran
ulung radikal tentang kelarga, termasuk psndangan ulsng radikal tentang
heteroseksualitas wajib Juga diperlukan komimen untuk menciptakan satu budaya
di mana perempuan tidak mengidentifikasikan diri dan nilai mereka dalam
hubungan hal mereka dengan laki-laki.

c. .

Feminisme Sosialis
Feminisme spesialis sperti Zillah Einstein dan Heidi Hartmann

berpendapat bahwa perempuan tidak dapat meraih keadilan sosial tanpa
memubarkan patriarki dan kapitalisme. Meskipun terdapat debat anar feminis
sosialis (misalnya lihat Walby, 1990; Delphy, 1984) tentang cara terbaik untuk
menkonseptualisasikan hubungan kapitalisme dan patriarki dan “beban” apa yang
memberikan kepada patriarki dn kapitalisme sumber penindasan atas perempuan,
pada umumnya mereka setuju bahwa Marxisme dan feminism harus bersatu agar

20

dapat memperjuangkan kondisi perempuan saat ini sebaik-baiknya. Feminis
sosialis menekankan aspek jender dan ekonomis dalam penindasan atas kaum
perempuan. Mereka berpedapat bahwa perempuan dapat dilihat sebagai penghuni
kelas ekonomi dalam pandangan Marx dan “kelas seks”, sebagaimana disebut
oleh Shulamith Firestone Artinya, perempuan menampilkan pelayanan berharga
bagi kapitalisme baik sebagai pekerja maupun istri yang tidak menerima upah atas
kerja domestic mereka.
d.

Feminisme Posmodern
Teori feminis postmodern (lihat, misalnya Flax, 1990; Hekman, 1990;

Lather, 1991; Brodribb, 1992) telah mendapatkan bbanyak perhatian dan perlu
mendapatkan bagian khusus di sini. Dalam banyak hal, feminis postmodern
menerjemahkan kerangka kerja mereka dari teori postmodern yang didiskusikan
pada bab 2 dan 3. Mereka menerapkan teori perbedaan dan kritik teoritisi Perancis
atas modernitas pada masalah perempuan. Teori feminis postmodern mula-mula
mendapatkan suara dari feminis Perancis seperti Irigay, Kristeva dan Cixous, yang
mengambil karya mereka dari tafsir psikonalisis postmodern Lacan. Para feminis
Perancis ini belum memproduksi banyak teori sosial yang sisematis. Namun
mereka menulis esai dalam tafsir sastra, filsafat, budaya dan psikoanilisis yang
menentang banyak konveksi stalistik atas teori sosial kritis karena mereka
mencoba menunjukan apa yang mereka sebut dengan L’ecriture feminine, atau
tulisan perempuan (lihat Meese, 1992).
Tema kunci pertama feminisme postmodern adalah pertanyaan bahwa
pembebesan diraih melalui narativitas, pengkisahan, yang membentuk identitas

21

feminis dan menciptakan budaya feminis. Ini adalah alas an mengapa feminis
Perancis mengahbiskan banyak waktu untuk menteorikan tulisan sebagai satu
aktivitas yang terjenderkan. Mereka melihat perempuan dan laki-laki yang
“menceritakan” (berbicara dan menulis) dunia dengan cara yang berbeda
mencerminkan sifat yang berbeda, hubungan dengan kenirsadaran, dan posisi
subjek mereka.Selama posmodernis menyatakan bahwa manusia sebagian besar
diposisikan oleh bahasa dan wacana mereka, mudah kiranya untuk melihat
mengapa feminis Perancis menempatkan begitu banyak penekanan pada
narativitas feminis sebagai sarana pembebasan, identitas dan penciptaan budaya.

2.6 Konstruk-konstruk Sosiologi perempuan dalam pembicaraan publik
Persoalan yang kerap sekali dikemukakan dalam perbincangan mengenai
peranan wanita didalam masyarakat adalah wanita tidak berperan dominan
didalam bidang media. Didalam wacana media, wanita diposisikan bukan sebagai
subyek pengguna bahasa, tetapi sebagai “obyek tanda” yang dimasukkan kedalam
sistem tanda didalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Bibir, mata, pipi,
rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, semuanya menjadi fragmenfragmen tanda didalam media patriarki, yang digunakan untuk menyampaikan
mana tertentu. Semua fragmen-fragmmen tanda ini menjadi obyek fetish yang
bersifat metonimis. Artinya semua fragmen tanda tersebut seakan-akan mewakili
totalitas tubuh dan jiwa wanita itu sendiri.
Peran dominan tubuh wanita sebagai tanda citra media khususnya iklan dan
televisi sebetulnya mengandung didalamnya satu kontradiksi. Tubuh wanita

22

digunakan didalam media sebagai cara menjual komoditi, sementara wanita itu
sendiri mempunyai peran dominan didalam konsumsi (melihat ikla, menonton tv,
berbelanja). Artinya , wanita lebih banyak mengonsumsi citra dirinya sendiri
dibandingkan pria.
Bagi Laura Mulvey, perjuangan gender adalah perjuangan untuk mengubah
relasi

memandang/dipandang.

Didalam

dunia

yang

diatur

berdasarkan

kesenjangan seksual, kesenangan memandang dibedakan antara aktif/pria dan
pasif/wanita, khususnya yang terdapat di dalam wacana film. Untuk mengatasi
kesenjangan makna didalam media tersebut diatas. Bagi Jackie Stacey yang harus
dilakukan khususnya didalam film adalah dengan mengubah struktur yang
memandang bahwa pria lebih aktif sedangkan wanita pasif.
Kini lebih dari tiga dasawarsa setelah terbitnya buku Feminine Mystique
karya Betty Friedan pada tahun 1963 yang sudah menjadi klasik dan dianggap
sebagai tonggak gerakan feminis kontemporer itu, kita melihat pergolakan luar
biasa dari diskursus feminisme, bai dibidang kajian ilmiah-akademis maupun
yang setidaknya menunjukkan nuansa jatuh-bangunnya gerakan kaum wanita
diberbagai penjuru dunia. Perlu diingat bahwa kaum feminisme ini memang
banyak variannya. Ada perbedaan fundamental diantara sekian banyak kategori
tentang teori feminis. Namun secara esensial sebagai garis besar kita bisa
menyederhanakan dari sekian banyak kategori itu menjadi dua kelompok, yakni
reformasi dan transformasi. Klompok “reformer” mencari perubahan terhadap
struktur yang ada dengan cara berjuang untuk mencapai hak-hak yang sama
dengan pria. Sedangkan kelompok “transformer” mencari suatu tatanan gender

23

yang baru, yang akan membebaskan semua wanita melalui perubahan yang
radikal dalam sistem yang sudah ada. Bagaimanapun, baik aliran transformis
maupun reformis adalah sisi lain dari mata uang yang sama, digerakkan oleh suatu
kesadaran politik yang sama, digerakkan oleh suatu kesadaran politik yang
umum:”sistem telah dikendalikan”.
Karenannya meskipun kaum feminis memiliki perspektif politik yang
berbeda, namun secara umum mereka menaruh perhatian terhadap kedudukan
wanita dalam masyarakatnya dalam ruang publik. Gerakan kaum feminis bertolak
dari upaya untuk memahami bagaimana cara supaya fungsi-fungsi sistem sosial,
politik dan ekonomi yang ada, bisa diubah hingga sekurang-kurangnya menjadi
lebih egaliter, kooperatif, dan tidak bersikap eksploitatif terhadap kaum wanita.
Ontologi feminis membuktikan bahwa proses penggenderan sesungguhnya
berakar dalam gagasan di zaman pencerahan, yaitu suatu gerakan filsafat Eropa
yang muncul dari tahun 1700-an yang secara historis berbarengan dengan
keyakinan ilmu kedokteran bahwa kaum pria dari spesies manusia membawa
miniatur bayi dalam spermanya. Pemikiran ini terorganisasikan didalam “diktator
dualisme”. Kediktatoran dualisme ini terus bertahan dan menjadi sangat sukses
dalam mendoktrin kita supaya percaya bahwa wanita bertentang dengan pria.
Kaum feminis berargumen bahwa media massa ikut memelihara dan
mengkukuhkan pertentangan ini. Dalam kisah-kisah berita misalnya, pengalaman
wanita, kultur wanita, kehidupan wanita, olahraga wanita digeneralisasikan dan
didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara
lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan

24

norma

yang

dikonstruksi

secara

lahraga

wanita

digeneralisasikan

dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara
lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan
norma

yang

dikonstruksi

secara

lahraga

wanita

digeneralisasikan

dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara
lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan
norma

yang

dikonstruksi

secara

lahraga

wanita

digeneralisasikan

dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara
lahraga wanita digeneralisasikan dan didefinisasikan dalam perbandingan dengan
norma

yang

dikonstruksi

secara

lahraga

wanita

digeneralisasikan

dan

didefinisasikan dalam perbandingan dengan norma yang dikonstruksi secara
sosial, wanita tentu saja dihadapkan dengan laki-laki. Dalam kaitan ini media
telah ikut mempertahankan status qou “kediktatoran dualisme” yang membelah
dunia sehingga seluruh diskursusnya menunjukkan kecenderungan dualisme cara
berpikir seperti yang diwariskan pemikiran zaman Pencerahan tersebut.
Sementara kaum feminis juga telah lama meneriakkan bahwa media massa
mainstream ternyata mengabaikan perempuan secara umum, khususnya gerakangerakan perempuan atau feminisme. Dan tindakan ini dilakukan dengan cara yang
rapi dan menyeluruh. Dengan begitu ia menanggung konsekuensi-konsekuensi
yang mengganggu proses demokrasi. Bahkan menurut Naomi Wolf dalam
karyanya Fire With Fire (1993) misalnya, untuk menyumbat kemajuan perempuan
bisa digunakan untuk melestarikan dan memupuk apa yang disebut Wolf sebagai
“apartheid gender”. “Apartheid gender” dalam media massa yang dijalankan lewat

25

kontrol terhadap proses pemilihan, pemaknaan dan penyajian informasi yang
sangat ampuh untuk menjinakkan perempuan.
Lebih lanjut mengenai pandangan Wolf (1993), apartheid gender dalam
media massa ternyata telah menimbulkan akibat-akibat yang harus ditanggung
oleh perempuan. Akibat-akibat itu antara lain :
1. Mematikan perdebatan, sehingga membuat saluran politik perempuan
terhambat.
2. Disebabkan para redaktur media massa merasa tidak perlu meliput isuisu yang akan mempengaruhi lebih dari separuh pembaca, pendengar
atau pemirsa merekapun gagal memberikan informasi yang diperlukan
oleh lebih dari separuh penduduk negerinya tentang cara menentukan
pilihan terbaik sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing adalah
bagian dari keniscayaan konsep demokrasi, para redaktur itu justru gagal
memenuhi tanggung jawab mereka.
3. Bias ini biasanya melecehkan gerakan perempuan, dan akibatnya
mengasingkan perempuan pada umumnya dari wakil-wakil mereka di
institusi-institusi demokrasi dalam masyarakat modern.
4. Lantaran isu-isu yang berpengaruh terhadap perempuan hampir tidak
pernah menembus ruang oublik untuk diangkat dalam dialog yang
bebas, maka jadinya komentar-komentar umum yang bisa lolos ke
gelanggang politik dihargai terlalu tinggi, meski komentar-komentar
itutidak berbudi bahasa, miskin nuansa, tidak melalui tanya jawab
silang. Karenannya komentar-komentar itu lebih sering menanggung
bebang berat berupa posisi kaku defensif , bukannya massa yang luwes

26

dengan gagasan-gagasan bebas yang bisa berubah dan karena itu
argumen mereka gampang dipatahkan (Cf.Wolf,1993).
Dalam rentang sejarah yang panjang itu, kritik dan penelitian media tentang
bagimana representasi perempuan dalam media telah menjadi debat tersendiri
diatara lingkaran feminis yang “memusuhi” media. Penelitian tentang bagaimana
wanita ditampilan dalam muatan atau isi media memang sudah banyak dilakukan
oleh kaum feminis. Mungkin saja mereka memiliki pandangan politik dan
metodologi yang berbeda dari para peneliti ilmu sosial tradisional yang barangkali
juga masih didominasi oleh pendekatan kuantitatif dan paradigma empirismepositivistik atau cara berpikir dulistik.
Bagaimanapun, hingga tahun 1980-an, para peneliti media dilingkaran
feminis telah mewariskan kepada kita mengenai berbagai gambaran yang saling
melengkapi dan tampak suram tentang potret wanita dimedia massa. Karenannya,
menurut catatan salah seorang ilmuwan komunikasi feminis terkemuka, gambaran
suram mengenai wanita dalam media yang sebenarnya dihasilkan dari penelitian
ilmu sosial tradisional tersebut, tetap perlu dosertakan mengingat dua
kecenderungan yang terjadi belakangan. Pertama, kecenderungan penelitian yang
mempermasalahkan cara berpikir kita terhadap isi media dan gambaran wanita.
Kedua, adalah perubahan isi media itu sendiri yang seakan-akan telah
menyelesaikan masalah kaum feminis mengenai gambaran kaum wanita.
Debat yang muncul didalam lingkaran feminis sendiri dalam perjumpaannya
dengan pertanyaan yang telah bertahun-tahun diburu dalam teori media kritis.
Studi feminis dianggap punya dampak inovatif dalam memahami problema baru
ini. Karena itu, studi feminis mengenai media setidaknya bisa membantu
merefleksikan ambiguitas diseputar pertanyaan-pertanyan konseptual tentang

27

kekuasaan media, ambiguitas yang secara kuat bertalian di dalam konteks pasca
strukturalisme, pasca feminisme, dan pasca modernisme dengan krisis utopia
sosial dan gagasan tentang emansipasi, dan akhirnya dengan krisis cara-cara
pengetahuan dan tindakan legitimasi.
Perempuan memang patut bersyukur karena citra dalam berbagai media
massa perlahan berubah. Kini daftar perempuan yang mengisi sejarah bangsa dan
peradaban meningkat luar biasa. Perempuan kini tidak lagi selalu diliput karena
“first Lady of President”, tapi karena mereka adalah “First President Lady” di
berbagai negara.
Perempuan juga perlu senang bahwa kini, ia tak lagi menunggu dilihat
sebagai objek keindahan badaniah untuk dipandang dan dinikmati, tapi mereka
diliat sebagai manusia multidimensional. Tidak hanya memilik badan yang
gemulai, wajah yang mempesona, mata yang indah, rambut terurai, tapi kii
perempuan dilihat sebagai mahluk utuh terdiri atas badan, jiwa, dan mahluk yang
mempunyai kemampuan berpikir, berkarya, berbuat, mengambil keputusan,
memimpin, dan sebagainya.
Sungguhpun hal menggembirakan diatas terjadi, tidak berarti bahwa media
massa sudah memberikan gambaran ideal terhadap perempuan, tengoklah
bagaimana perempuan dikoleksikan dalam media: iklan, halaman depan tabloid,
dan majalah hiburan masih banyak yang memakai wajah dan bentuk badan
perempuan sebagai daya tariknya.
Perempuan juga perlu mengawasi serta berani mengoreksi dan menggugat
pesan-pesan media massa. Di Amerika, kelompok perempuan dapat mengajukan
kritik pada iklan program televisi. Hal ini dilakukan dengan cara mengirim surat
protes kepada perusahaan yang memproduksi barang yang diiklankan atau televisi

28

yang menyiarkan program yang dinilai kurang baik. Kita kini memang sedang
berada di dalam era informasi. Perempuan memanfaatkan teknologi informasi ini
untuk meningkatkan kemampuannya, kesempatan dan citra dirinya.

Contoh Kasus
Nia Dinata dikenal sebagai seorang sutradara dan produser film muda nan
kreatif. Awal karirnya sebagai sutradara berangkat dari pembuat video klip dan
film iklan.
Pada awal 2000, Nia kemudian mendirikan perusahaan film independen
Kalyana Shira Film. Nia kemudian menjadi sutradara untuk film CA BAU KAN
(2002) yang diangkat dari novel dengan judul sama karya novelis Remy Sylado.
Film yang bersetting sejarah 1930-an, menceritakan kisah tokoh pejuang
berkebangsaan Tionghoa dengan dibintangi oleh Ferry Salim dan Lola Amria.
Berikutnya pada 2004, dia menyutradarai film ARISAN!dengan Surya Saputra,
Cut Mini dan Tora Sudiro. Film ini mendapat banyak penghargaan, termasuk dari
Festival Film Indonesia dan MTV Movie Awards.
Sejumlah film yang disutradarai dan diproduseri Nia, di antaranya MERAIH
MIMPI (2009), BERBAGI SUAMI (2006), JANJI JONI (2005) (PRODUSER),
AJANG AJENG (2004), ARISAN! (2003), JONI BE BRAVE (2003), BIOLA
TAK BERDAWAI (2003) dan CA BAU KAN (2002).
Setelah sempat tak terdengar namanya, pada tahun 2011 Nia Dinata muncul
lagi ke permukaan lewat judul ARISAN! 2. Dan kini Nia sedang disibukkan
dengan film terbarunya yang berjudul BATIK OUR LOVE STORY. Ini

29

merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan sejarah panjang kain
batik.
Dari Nia Dinata kita dapat belajar bahwa perempuan tidak hanya menjadi
objek dari media itu sendiri, tetapi perempuan bisa menjadi seorang sutradara
sebuah film yang bekerja dibalik layar, bukan didepan layar.

BAB III KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Kata sosiologi berasal dari kata sofie, yang berarti bercocok tanam atau
bertaman, kemudian berkembang menjadi socius, dalam bahasa latin yang berarti
teman, kawan. Berkembang lagi menjadi kata sosial, artinya berteman, bersama,
berserikat.
Secara khusus kata sosial maksudnya adalah hal-hal mengenai berbagai
kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan
pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan
bersama (Shadily, 1993:1-2).

30

Kata media berasal dari bahasa latin Medius yang secara harfiah berarti
“tengah, perantara, atau pengantar”. Menurut McLuhan media adalah semua
saluran pesan yang dapat digunakan sebagai sarana komunikasi dari seseorang
kepada orang lain yang tidak ada dihadapannya.
Fungsi Media :
1.
2.
3.
4.

Pengawasan (Surveillance)
korelasi (Correlation)
Penyampaian warisan sosial
Hiburan (Entertainment)

sifat-hakikat sosiologi sebagai berikut.
6. Sosiologi termasuk kelompok ilmu-ilmu sosial yang objek studinya
adalah masyarakat.
7. Sosiologi bukan disiplin ilmu yang normatif,tetapi kategoris.Artinya
sosiologi hanyamembatasi diri pada apa yang trjadi dewasa ini dan
bukan yang seharusnya terjadi.
8. Sosiologi merupakan ilmu murni dan bukan ilmu terapan,artinya
sosiologi bertujuan untukmengembangkan ilmu secara teoritis.
Perspektif Sosiologi Media
a. Perspektif Fungsionalisme
b. Perspektif Konflik
c. Perspektif Feminisme

31