Antara Sentris dan Eksklusif Menjelaskan

Antara Sentris dan Eksklusif: Menjelaskan Kemenangan Bharatiya
Janata Party dalam Pemilu India 2014
Disusun sebagai tugas mata kuliah Partai Politik
Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Ichlasul Amal, Ph.D
Ayu Diasti Rahmawati, MA

Disusun oleh:
Naomi Resti Anditya

14/364286/SP/26076

Fuchia Mutiaramoty

14/364349/SP/26090

Michael Raffy Sujono

15/384146/SP/26858


M. Farhan Isnaen

15/384148/SP/26860

Departemen Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
2017

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 1998, Bharatiya Janata Party (BJP), yaitu partai bernafaskan nasionalisme
Hindu, menjadi partai bersayap kanan berdasar etnis (ethnic party) yang kuat dan cukup
sentral dalam politik electoral India, setelah Partai Kongres lama menguasai pemerintahan.
BJP dengan koalisinya, yaitu National Democratic Alliance (NDA) memenangkan kursi di
parlemen di bawah Atal Bivari Vajpayee. Pada tahun 2004, BJP mengalami kekalahan yang
tidak terduga. Kemudian pada pemilu tahun 2014, di bawah kepemimpinan Narendra Modi
dengan visi yang lebih jelas dan terkonsolidasi, BJP memenangkan kursi secara absolut di
federal. Berbagai pemberitaan dan kajian melihat bahwa kemenangan BJP meresahkan bagi

keberagaman India, karena sudah tiga kali dalam dua dekade BJP dengan semangat
nasionalisme Hindu berkuasa. Hal ini banyak dibaca bahwa mayoritas Hindu memiliki
semangat untuk membuat India sebagai negara yang berbasis Hinduisme dan anti-kuota atau
anti-minoritas. Di lain sisi, banyak pula kajian yang melihat berkuasanya BJP tidak jauh dari
moderasi dan sentrisme. Hal ini didasarkan pada pengamatan bahwa meskipun India
memiliki konteks sosioreligius yang kompleks dalam membentuk identitas politik yang
beragam dan plural, namun masyarakat India tidak pernah benar-benar ter-polarisasi. Akan
tetapi tidak dapat disangkal bahwa kekuatan sayap kanan dalam kursi pemerintahan saat ini
benar-benar ada, namun outlook BJP masih cenderung sentris, paling tidak di bawah
Narendra Modi.
Melalui perdebatan sentris dan eksklusivis, makalah ini pertama-tama ingin menjawab
bagaimana BJP dapat meraih suara mayoritas dalam pemilu 2014 di bawah kepemimpinan
Narendra Modi, dengan kaitannya terhadap politik identitas dan cara BJP bermanuver antara
menjadi partai dengan ideologi yang spesifik dan di sisi lain, mendulang suara dengan
strategi yang lebih inklusif.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana menjelaskan kemenangan BJP yang ketiga kalinya dalam pemilu India tahun
2014 dalam kaitannya dengan politik ethnic party India?

1.3 Landasan Konseptual

Inclusion-Moderation Theory (Robert Michaels)
Melalui penelitian klasik oleh Robert Michaels di Jerman tentang partai komunis dan
partai Kristen yang kian lama menjadi lebih moderat seiring dengan tumbangnya
komunisme, teori ini dapat menjelaskan mengapa suatu partai politik yang berbasis identitas
yang ekstrim dapat menjadi moderat. Tesis mereka mengatakan bahwa rezim yang inklusif di
suatu negara yang mengakomodasi partai dengan ideologi yang ekstrim atau ethnic party
dalam pertandingan elektoral biasanya mengubah partai-partai ini menjadi partai yang
moderat. Proses moderasi ini dapat terjadi karena empat (4) faktor. Pertama, dalam
kontestasi pemilu dalam kerangka demokratis atau semi-demokratis, partai ekstrim menerima
institusi yang berdasar pada prinsip liberal, misalnya partai sebelum berpartisipasi terikat
untuk berkomitmen dalam keragaman politis. Kedua, ketika partai tersebut masuk ke arena
elektoral, ia terikat untuk menenggelamkan ideologinya untuk menarik pemilih dari luar
konstituen utamanya. Ketiga, ketika partai radikal didorong untuk menguasai pemerintah,
mereka yang gagal mencapai absolute majority lebih mungkin untuk bergantung pada aliansi
dengan partai-partai yang tidak memiliki ekstremisme yang sama. Keempat, sementara
partai ekstrim muncul dari gerakan yang sangat menekankan kemurnian doktrin, mereka
lama-kelamaan membebaskan dirinya dalam proses transformasi dari niche ke partai massa
[ CITATION Chr13 \l 1033 ].
Meskipun teori ini dapat sedikit menjelaskan mengapa BJP memiliki tendensi sentris,
terutama dalam strateginya setelah tahun 1990an, akan tetapi teori tersebut tidak cukup

menjelaskan sejarah partai politik ekstrim di India yang tidak linear, namun berosilasi terus
menerus. Luca Ozzano dengan melihat partai nasionalis Hindu di India menambahkan teori
moderasi, dengan mengatakan bahwa partai dengan orientasi yang nasionalis masih
terhubung dengan badan yang membentuknya atau gerakan sosial yang membentuknya,
karena ialah model pertama dan ada orang-orang di dalam partai tersebut yang pada mulanya
adalah kader dari gerakan tersebut. Sehingga agenda moderasi tersebut dapat terhambat oleh
hubungan ini dan menjadikan strategi partai tersebut lebih banyak berubah-ubah daripada
linear [ CITATION Luc13 \l 1033 ]. Hal ini tercermin dari sejarah hubungan Jana Sangh dan
BJP dengan badan yang membentuknya, yaitu kelompok ekstrim Hindu, yaitu Rashtriya

Swayamsevak Sangh (RSS). Dalam konteks BJP di era Modi, hubungannya dengan RSS
cukup kompleks dan Modi kerap kali menjauhkan diri dari ideologi RSS.
1.4 Argumentasi Utama
Kemenangan BJP dipengaruhi oleh strateginya dalam menggabungkan politik identitas,
agenda pembangunan yang lebih inklusif, dan koalisi yang tidak selalu berbagai ideologi
ekstrim, melainkan moderat, untuk memenangkan kursi pemerintah. Tidak cukup pasti
apakah outlook moderasi tersebut benar-benar terinternalisasikan di dalam badan partai,
tetapi sejauh ini ia masih menggunakannya dalam strategi untuk mempertahankan posisinya
yang sentral di India.


BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
2.1 Kemenangan dan Arah Politik BJP
Pada tahun 2014, India mengadakan pemilihan umum (Pemilu) yang akan
menentukan 543 anggota parlemen di tingkat majelis rendah. Pemilihan tersebut merupakan
pemilihan yang ke-16 kalinya dan di India sendiri menyebutnya sebagai The 16 th Lok Sabha.
Pemilu tersebut diikuti oleh banyak partai yang terdiri dari dua aliansi besar dan mereka yang
tidak tergabung dalam kedua aliansi. Dua aliansi tersebut adalah United Progressive Alliance
(UPA) yang dipimpin partai Indian National Congress (INC) dan National Democratic
Alliance (NDA) yang dipimpin partai Bharatiya Janata Party (BJP). Hasil Pemilihan Umum
tahun 2014 menunjukkan bahwa aliansi UPA mewakili 13 partai di parlemen, sedangkan
NDA mewakili 14 partai [ CITATION Ind14 \l 1057 ]. Pada hasil pemilu 2014 tersebut, BJP
menjadi partai dengan perolehan suara terbanyak dengan meraih 31 persen dan aliansi NDA
menguasai parlemen yang pada akhirnya menunjuk Narendra Modi sebagai perdana menteri
[ CITATION Hea15 \l 1057 ].
Koalisi partai NDA terdiri dari 46 partai, namun hanya bisa menempatkan 14 partai di
parlemen. Koalisi tersebut pun terdiri dari berbagai macam ideologi, yang mana BJP sebagai
pemimpin koalisi menganut nasionalisme koservatif Hindu atau publik India lebih
mengenalnya dengan Hindutva. Hindutva yang juga disebut nasionalisme Hindu, memiliki
silsilah panjang dalam konteks India yang berasal dari awal abad ke-20. Homogenisasi

religiocultural dan pencarian hegemoni budaya Hindu adalah ciri utama dari politik
Hindutva. Proyek politik ini mengklaim bahwa kebangsaan India didasarkan pada tradisi
keagamaan budaya Hindu, bahwa budaya India terutama adalah budaya Hindu, bahwa agama
dan budaya Hindu lebih unggul [CITATION Placeholder1 \l 1057 ]. Dalam koalisi tersebut,
tidak semua partai menganut ideologi yang sama dengan partai BJP. Dari 14 partai yang
mendapatkan kursi di parlemen, hanya partai Shiv Sunna yang memiliki ideologi yang sama
dengan partai BJP. Partai-partai dalam koalisi ini lebih banyak bersayap tengah-kanan dan
kanan, sehingga tidak jarang publik memandang koalisi partai ini sebagai sayap kanan
[ CITATION Smi13 \l 1057 ]. Namun koalisi tersebut dianggap menimbulkan problematis
dalam memandang arah politik BJP di pemerintahan, apakah akan tetap menerapkan

pandangan Hindutva atau berkompromi dengan partai koalisinya, yang pada titik ini akan
lebih sentris.
Pada bulan Februari 2013, Modi berpidato di sebuah perguruan tinggi di Delhi
yang berfokus pada ekonomi, pemerintahan, catatan perkembangan India, harapan pemuda
yang tinggi untuk masa depan mereka, dan isu serupa. Modi juga berusaha
mencampuradukkan isu-isu pembangunan, nasionalisme dan identitas Hindu. Dia
berpendapat bahwa nasionalisme adalah pembangunan dan menjadi nasionalis adalah nilai
inti Hindutva. 'Hindutva' -nya dikaitkan lebih banyak dengan 'pembangunan nasional',
sehingga melewati isu-isu hubungan antar masyarakat dan hak-hak minoritas [CITATION

Placeholder1 \l 1057 ]. BJP yang mencoba mengesampingkan pandangan Hidutvanya dalam
pemilihan umum sebenarnya bukanlah hal yang baru. Setelah 1996, partai tersebut membuat
perubahan yang bernuansa dalam strategi pemilihannya, yang mana hal tersebut adalah hasil
dari dorongan koalisi dan BJP harus masuk ke dalam koalisi dengan banyak partai negara
bagian yang tidak setuju dengan politik Hindutva BJP, sehingga melunakkan retorika
Hindutva-nya [CITATION Placeholder1 \l 1057 ].
Menurut Basu, sebagian besar periode pasca 2002 juga dapat dicirikan sebagai fase
sentris karena pemerintah yang dijalankan oleh BJP di Madhya Pradesh (MP), Chhattisgarh
dan Rajasthan telah berfungsi secara luas dalam kerangka sentris. Namun, isu-isu mobilisasi
Hindu dan hubungan partai dengan alam ideologis Hindutva yang lebih besar tetap ada,
sehingga BJP tetap memiliki proyek Hindutva mungkin Dilihat sebagai telah melalui tiga
fase. Fase pertama ditandai oleh hubungan dingin antara dua bagian, yang masing-masing
dipimpin oleh Vinayak Damodar Savarkar dan RSS, yang sebelumnya kurang tertarik pada
aspek ritual dan religius identitas Hindu, yang terakhir berusaha menggabungkan nasionalis
modern. Tahap kedua adalah fase ekspansi dan aktivitas politik yang menggabungkan dua
untaian itu, yang mana kurang menyukai religiositas ortodoks dan menekankan aspek politik
Hindutva. Kemudian fase ketiga ditandai dengan dua perkembangan yaitu keunggulan yang
diberikan untuk mendapatkan kekuasaan formal dan penyesuaian pemilihan petugas serta
perampasan kekuatan numerik dan politis yang baru dimobilisasi [CITATION Placeholder1 \l
1057 ].


Dalam pemilihan umum India 2014, kepemimpinan tampaknya telah membuat perbedaan
bagi sebuah partai. Karena partai-partai tingkat nasional sulit dibedakan berdasarkan program
di India, para pemimpin itu sendiri harus membuat penggerak, bukan partai. Para pemimpin
menarik dukungan dengan meyakinkan penggerak bahwa mereka mampu menang dan
memerintah. Hal ini juga menunjukkan bahwa kepemimpinan lebih penting bila sebuah
partai memiliki basis sosial yang kuat dan lebih banyak lagi ketika pemilih sebagian besar
tidak terafiliasi dengan sebuah partai. Sehingga, memang sosok Modi tidak bisa dilepaskan
dari kemenangan Partai BJP di parlemen [ CITATION Chh14 \l 1057 ]. Hal ini akan
dijelaskan lebih lanjut pada bagian selanjutnya.
Dari pembukaan ini, dapat dilihat bahwa India sebenarnya sudah lama menerapkan
prinsip-prinsip yang demokratis, meskipun tidak sempurna, dan polarisasi yang ada dalam
masyarakat tidak cukup kuat untuk membelah masyarakat. Partai ekstrim seperti BJP pun
dalam pergerakannya tidak pernah lepas dari cara-cara yang demokratis, padahal ia sangat
bernafaskan Hindu yang hierarkis dan mendukung kasta. Dengan cara yang demokratis, BJP
pun mencoba untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara yang cenderung demokratis
dan liberal, dengan mencari massa dan kampanye yang baik, meskipun tetap ada kampanye
hitam. Dari sini dapat dilihat bahwa BJP dalam prosesnya menjadi partai yang penting sudah
cenderung sentris.
2.2 Elemen Kelas-Kasta dan Identitas Hindu dalam Kemenangan BJP

Memahami social cleavage yang rumit di India berarti juga harus memahami adanya
cross-cutting cleavage dari bahasa, etnis, agama, dan kasta di India [ CITATION Sri01 \l
1033 ]. Bagian ini akan mendiskusikan elemen kelas dan kasta sebagai penanda identitas
yang penting untuk menjelaskan kemenangan BJP pada pemilu tahun 2014. Pentingnya
elemen kelas-kasta ditunjukkan oleh bagaimana cara BJP dan pemimpinnya, Modi,
menganggap kekuatan kategori baru, yaitu neo-middle class, sebagai bagian yang penting
dalam proyek pembangunannya. Tetapi di saat yang sama, meningkatkan kelas menengah
pun mencerminkan meningkatnya semangat nasionalistik Hindutva. Sebelumnya, harus
dijelaskan terlebih dahulu mengapa basis kasta-kelas penting dalam politik India dan tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Hubungan kasta-kelas secara tradisional maupun secara

Marxist masih terlihat sampai sekarang dan digunakan sebagai alat mobilisasi dalam
pemilihan electoral di India.
Secara tradisional, masyarakat Hindu mengenal sistem kasta sebagai tatanan sosial yang
tidak selalu ditentukan oleh keadaan ekonomi. Dalam kategori pertama yaitu kasta Brahmana
(akademisi, pendeta, rohaniwan), ksatria (bangsawan, prajurit), dan waisya (pedagang).
Kategori kedua adalah kasta sudra yang terdiri atas petani, pemberi jasa, dan pekerja.
Kategori ketiga disebut ‘untouchables’ karena mereka berada di luar kasta. Semakin rendah
posisi seseorang dalam hierarki kasta, semakin sedikit hak yang mereka miliki. Setelah
kemerdekaan India, kasta ini tidak menghilang, tetapi berganti nama menjadi lebih modern

dan ekonomistis secara de facto. Kategori pertama disebut upper caste, kategori kedua
disebut other backward caste (OBC), dan kategori ketiga disebut scheduled caste. Meskipun
kasta masih berlaku secara tradisional, akan tetapi ia tidak lagi diperhitungkan sekuat dahulu.
Negara berusaha meminimalkan hierarki vertikal melalui pemberian kuota dan aksi afirmatif
bagi orang-orang dalam kasta SC. OBC sendiri tidak menerima aksi afirmatif ini, dan negara
mendorong mereka untuk bergerak dengan menggunakan basis jumlah yang besar, karena
OBC menempati 40% masyarakat India, sedang SC sekitar 23%, dan sisanya adalah kategori
pertama [ CITATION Sri01 \l 1033 ]. Karena kedua kategori ini tidak lagi berada di bawah
kekuasaan upper caste dan jumlahnya besar, maka SC dan OBC menjadi target dari
konstituen politik yang baru dari partai politik, termasuk yang paling terlihat adalah BJP.
Kekuatan dan kemenangan BJP selama dekade terakhir ini biasanya dijelaskan sebagai
kesadaran dari partai politik untuk menggunakan OBC sebagai basis sosialnya, juga basis di
wilayah Barat dan Timur.

Sebelumnya, BJP merupakan partai politik yang basisnya adalah masyarakat kelas
menengah dan dari upper caste. Menurut sosiologis Yogendra Singh, hal ini disebabkan

karena ideologi BJP yang menekankan pada nasionalisme Hindutva dan kapitalisme, bahkan
pan-India dan para-India (lebih dari India). Ia juga mendorong harapan dan aspirasi. Ia
memberikan penjelasan bahwa perubahan kondisi sosio-ekonomi berperan untuk

menjelaskan mengapa BJP saat ini lebih diminati daripada partai Kongres. Perubahan kondisi
sosio-ekonomi tersebut merupakan mobilitas sosial di India. Banyak penduduk miskin dari
kasta rendah yang saat ini mendapatkan pekerjaan lebih baik dengan pindah ke kota dan
mendukung industrialisasi. Terjadi transformasi kelas karena orang-orang yang dahulu
miskin sekarang menjadi kelas menengah. Visi Partai Kongres yang hendak mengangkat
kemiskinan pun tidak lagi menjadi relevan meskipun tuntutan tersebut tetap tidak
menghilang. Lagi, Singh melihat bahwa fitur dari meningkatnya jumlah kelas menengah
adalah selebrasi terhadap nasionalisme—kelas menengah penting untuk membentuk ide

mengenai ‘bangsa’—seperti apa yang terjadi di Prancis. Kelas menengah di desa dan kota
kecil pun mendapatkan ideologi dan visi BJP yang nasionalistik. Sebenarnya, keterlibatan
dan assertiveness dari OBC dalam ranah publik dan politik menandakan sebuah ekspansi dari
demokrasi yang disambut baik, karena mereka lepas dari dominasi upper caste. Akan tetapi,
di saat yang sama, justru dalam OBC inilah kemenangan di titik-titik politik Hindutva
bekerja. Sehingga semangat demokrasi mereka sangat rawan di-apropriasi oleh BJP.
Beberapa kajian juga melihat bahwa kemenangan BJP dan kadernya, Narendra Modi,
dapat dijelaskan karena BJP menggunakan penanda baru bagi basis OBC dan SC sebagai
‘neo-middle class’, yaitu kategori baru yang lahir dari pertumbuhan ekonomi pada dekade
sebelumnya. Modi menyebut mereka sebagai aktor penting yang dapat menguatkan
pertumbuhan ekonomi India. Sebaliknya, pendukung Modi juga melihat figur Modi sebagai
seseorang yang ramah pasar dan pro-pembangunan. Menurut Sriradhan, kelas menengah dan
kelas menengah baru ini lebih suka melihat pemerintah membangun infrastruktur dan
mengundang investasi daripada memberikan subsidi bagi rakyat miskin. Apa yang dikatakan
oleh mereka sebenarnya secara implisit merujuk pada kampanye Kongres dan BJP.

Kepemimpinan Modi di Gujarat—sebagai wilayah yang berkontribusi besar bagi
pertumbuhan India (62%)—juga berpengaruh terhadap pandangan pemilih terhadap Modi
sebagai ‘wiraswasta’ atau CEO sebuah ‘perusahaan’ [ CITATION Cri15 \l 1033 ].
Apa yang menjadi unik adalah bahwa kelas menengah ini biasanya bias secara sosial.
Mereka menggunakan kekuatan finansialnya untuk menolak kuota (pro-minoritas) dalam
berbagai aspek dan menutup diri dari identitas yang berbeda. Hal ini dibuktikan dalam survei
yang dilakukan oleh Sircar dan Reed yang menunjukkan bahwa 34% dari mereka yang
mengklaim diri sebagai kelas menengah menolak memiliki komunitas religius atau kasta
yang berbeda sebagai tetangga mereka. Sedangkan secara kontras, di antara mereka yang
tidak mengklaim diri sebagai kelas menengah, hanya 17% yang tidak mau memiliki tetangga
dari komunitas berbeda. Modi sebagai orang yang besar di Gujarat (salah satu wilayah yang
juga paling anti-kuota) dan berasal dari OBC juga mempromosikan visi ini. Pendukung BJP
pada pemilu 2014 pun terlihat dominan di sabuk Hindu di India (Bihar dan Uttar Pradesh)
[ CITATION Cri15 \l 1033 ].
Meskipun ideologi BJP tetap ekstrim, namun dalam perjalanan kampanye dan selama
menjabat, Modi sangat berhati-hati dan sangat halus menggunakan propaganda yang
menakuti minoritas, meskipun bukan tidak ada gestur yang mendiskriminasi. Modi sangat
menekankan pada pembangunan dan ekonomi, bidang yang tidak sensitif terhadap identitas
religius atau etnis. Di sisi lain, ia tidak terlalu banyak mengintervensi di bidang budaya dan
pendidikan, bidang-bidang yang paling strategis untuk memasukkan diskriminasi oleh
Hindutva. Agenda pembangunan yang semakin terkonsolidasi dalam BJP itulah salah satu
elemen yang kurang lebih mengaburkan ekstrimitas Hindutva yang dibawa oleh BJP
[ CITATION Suh15 \l 1033 ]. Jawaban terhadap pertanyaan apakah BJP lebih sentris atau
eksklusivis tidak dapat deterministik sebenarnya, akan tetapi sangat menentukan strategi BJP
dalam mendulang suara. Secara ideologi, BJP belum moderat, akan tetapi ia harus berusaha
agar outlook-nya tetap moderat dengan membuat penanda identitas tersebut lebih subtil
dalam kampanyenya, maka ia membungkusnya melalui agenda-agenda yang lebih inklusif,
yaitu melalui ekonomi, bidang di mana semua orang dapat merasa terhubung, tetapi bidang
yang unik di mana kekuatan nasionalis Hindu juga meningkat. Strategi BJP yang lain dalam
maneuver politiknya juga dapat dilihat dari cara ia berkoalisi, yang akan dijelaskan pada
bagian selanjutnya.

Melalui pembahasan ini, apabila dikaji melalui teori moderasi Michaels, maka terlihat
bahwa BJP di bawah Modi mencari lebih sentris tetapi di sisi lain tetap eksklusif. Sentris-nya
karena ia mulai menenggelamkan ideologinya untuk mempromosikan tujuan yang lebih
inklusif, yaitu pembangunan. Ia juga menargetkan basis yang lebih luas, yaitu OBC sebagai
kelas menengah baru. Angka menjadi hal yang penting dalam politik elektoral, sehingga BJP
mau tidak mau harus membuat agendanya lebih terhubung dengan banyak orang, meskipun
berbeda dalam kelompok sosial. Tetapi di saat yang sama, ideologinya tidak berubah. BJP di
bawah Modi pun tetap sayap kanan dan hal ini juga menguatkan basis pendukungnya yang
semakin bergerak ke kanan pula. Ketakutan terhadap ekstrim Hindu tetap ada, meskipun
pada akhirnya adalah mobilisasi tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan power dan
ekonomi.
2.3 Politik Identitas dalam Kemenangan BJP
Kompleksitas struktur masyarakat India yang mencampurkan kelas dengan identitas tentu
juga mengantarkan kita pada penjelasan akan identitas dalam memahami kemenangan yang
diperoleh BJP. Identitas tersebut berupa agama, bahasa, kasta, dan suku. Dimana di India
sendiri terdapat agama Hindu, Islam, Buddha, Kristen, Sikh, Jain, dan Zoroastrian. Terdapat
16 bahasa yang tergantung pada negara bagiannya. Terdapat kasta Brahmana, Ksatria,
Waisha, dan Sudra, serta berbagai pemisahan ras dan suku[CITATION Sri \l 1057 ]. Keadaan
masyarakat yang seperti ini tentu memengaruhi suatu partai dalam strategi politiknya.
BJP sendiri dapat dikatakan merupakan partai beraliran kanan yang sejalan dengan posisi
aliran komunal. Ideologi yang lahir sejak awal abad 20 ini bertujuan untuk
menghomogenisasikan agama-budaya di India dan agendanya adalah menjadikan budaya
Hindu menjadi hegemon. Proyek politik Hindutva ini yakin bahwa bangsa India pada
dasarnya beragama dan berkebudayaan Hindu sehingga budaya serta agama Hindu pantas
menjadi superior dalam kehidupan bermasyarakat di India. Oleh karena itu, partai ini pun
lekat kaitannya dengan organisasi Hindutva lain, seperti Rashtriya Swayamsevak Sangh
(RSS) [ CITATION Pal16 \l 1057 ].
Pada 2014 lalu jumlah dukungan yang diraih oleh BJP mendapat nilai terbesar sepanjang
sejarah BJP yaitu 31%. Nilai yang dapat dikatan sebagai lompatan jauh BJP yang pada 1998
lalu hanya mendapat dukungan sebesar 25,6% [CITATION Pal16 \p 724 \l 1057 ] ini menarik

perhatian. Pasalnya, dengan logika ideologis yang sangat konservatif tersebut dapat
memenangkan pemilu yang masyarakat di dalamnya sangat multikultur.
Sejak kepemimpinannya di tahun 1998, BJP memang terkesan lebih sentris daripada
eksklusivis, dengan mencoba memberi jarak antara dirinya dengan RSS. Ketika ia menjadi
oposisi pada tahun 2004 pun, BJP mencoba untuk memperoleh lebih banyak otonomi dari
RSS dan pemimpinnya, K. Sudarshan. Moderasinya adalah untuk membentuk koalisi yang
lebih moderat bersama NDA. Dalam sejarah BJP, pergerakannya sangat dipengaruhi oleh
bagaimana hubungannya dengan RSS dan NDA. Apabila hubungannya dengan RSS
menguat, maka ada anggota dalam NDA yang pergi dan sebaliknya [ CITATION Chr13 \l
1033 ]. Hal ini merupakan cerminan dari analisis Luca Ozzano bahwa strategi BJP yang
berubah-ubah sesuai dengan hubungannya dengan modelnya, yaitu RSS. RSS selalu
menekankan ideologinya, tetapi BJP lebih progresif meskipun masih tergantung kepada RSS.
Kampanye yang dilakukan BJP pun menjadi multilayer tergantung pada kondisi negara
bagian yang didatangi. Misalnya, pada negara bagian Uttar Pradesh (UP) yang disana
terdapat kompetisi antara 4 kubu, BJP mengampanyekan mengenai polarisasi komunal dan
menjadikan para pemilih beragama Hindu untuk menjadi basis pemilihnya [ CITATION
Pai14 \l 1057 ]. Sedangkan di negara bagian lain seperti negara bagian Northeast yang
kebanyakan berasal dari agama Kristen dan etnis yang beragam, BJP lebih berhati-hati dalam
mengungkapkan ajaran Hindutva serta keinginan untuk melakukan polarisasi [CITATION
Pal16 \p 726 \l 1057 ]. Begitu juga terjadi Assam, dimana terdapat permasalahan imigran dan
demografi yang seimbang antar agama. Selain itu juga pada Mei tahun 2014 terjadi masalah
Bodo dimana adanya konflik antara Hindu dan Muslim [CITATION Bar \l 1057 ]. Sehingga
BJP pun sangat menakar kampanye mengenai Hindutva di negara bagian ini.
Identitas Modi sebagai Pemicu Kemenangan BJP
Berbicara tentang kemenangan BJP pada 2014 lalu tidak lepas dari pembicaraan
mengenai Narendra Modi yang diusung sebagai perdana menterinya. Identitas Modi dapat
dikatakan agak berseberangan dengan basis pendukung BJP. Dimana BJP selama ini
memiliki basis pendukung dari kasta atas, sementara Modi berasal dari kalangan Other
Backwards Castes (OBCs).
Pada Februari 2013 lalu, Modi berpidato di Universitas Delhi. Pidato ini dapat dikatakan
sebagai kampanye atas dirinya dan BJP yang begitu awal. Tapi yang menarik adalah isi dari
pidato tersebut sangat berseberangan dengan aliran Nasionalis Hindu yang dipegang oleh

BJP. Pidato Modi berfokus pada isu ekonomi, pemerintahan, agenda pembangunan India,
harapan tinggi pemuda akan masa depannya, dan sebagainya. Dia mengatakan bahwa
nasionalisme adalah pembangunan dan menjadi nasionalis adalah inti dari nilai Hindutva
[ CITATION Nar13 \l 1057 ].
Sedangkan, Rajnath Singh selaku Preseiden dari BJP mengatakan secara terang-terangan
dalam pidatonya di negara bagian Uttar Pradesh (UP) bahwa saatnya untuk meningkatkan
eksistensi identitas Hindutva [ CITATION Men13 \l 1057 ]. Jika kita kaitkan tentu menjadi
kesan yang berbeda mengenai konseptualisasi Hindutva itu sendiri antara Modi dan Singh.
Dimana Modi menekankan bahwa adanya relasi antara Hindutva dengan pembangunan,
sementara Singh melihat bahwa Hindutva sebagai identitas yang secara moral harus
diterapkan di India. Dari sini terlihat bahwa identitas Hindutva menjadi alat politik yang
penggunaannya dilakukan secara berbeda untuk mendorong simpati dari pemilih.
Identitas Masyarakat yang Merasa Terwakili
Agenda Hindutva yang dibumbui dengan pembangunan ternayata cukup ampuh menjadi
senjata kampanye BJP dan Modi. Sebagai bukti adalah hasil survei yang dilakukan oleh
National Election Studies dalam menakar alasan pemilih dalam memilih partai pada pemilu
2014 lalu.
Tabel Hasil Survey Mengenai Alasan Pemilih Lok Sbha dalam Memilih

2.4

2.5

Sumber : National Election Study 2014 – Pre-Poll Survey Findings
Dari tabel hasil survei diatas terlihat bahwa harapan sebagian besar masyarakat memang
lebih kepada isu ekonomi dan pembangunan. Hal ini terlihat dari sebesar 18,3% masyarakat
melihat bahwa isu harga dan minyak adalah hal terpenting dibandingkan dengan isu identitas
seperti isu kasta bahkan poin isu Hindutva pun sangat sedikit presentasenya yaitu hanya
0,1%. Dari sini dapat dikatakan bahwa harapan masyarakat pada umumnya dapat
diakomodasikan oleh BJP melalui kampanyenya yang juga sejalan yaitu lebih kepada isu
pembangunan ekonomi debanding mempromosikan Hindutva sendiri.

2.6 Manuver Politik BJP yang Moderat dalam Koalisi
BJP sebagai sebuah partai yang mengusung nasionalisme hindu dalam beberapa kali
pemililhan melakukan koalisi dengan partai yang dianggap moderat. Misalnya dalam
National Democractic Alliance (NDA) yang dibangun semenjak 1998, partai ini cenderung
ada dalam posisi kanan-tengah. BJP sebagai pimpinan koalisi menggandeng partai regional,
selain itu hanya ada beberapa partai lain yang sama-sama mengusung ide Hindutva seperti
halnya BJP [ CITATION Ash01 \l 1033 ]. Sikap pragmatis ini memang diambil untuk

mengambil banyak suara, selain itu perlu diperhatikan bagaimana BJP ini juga akhirnya
mampu naik ke beberapa kekuasaan. Taktik yang digunakan BJP ini memang sengaja
digunakan agar dapat kontekstual dengan sistem dan kondisi yang berlaku. Oleh karena
demikian, penting untuk pertama-tama melihat beberapa aspek penting mengenai
keberlangsungan sistem pemilihan yang berjalan di India.
Sebagai sebuah negara yang menganut sistem demokrasi parlementer, keberadaan partai
menjadi sangat berpengaruh. Selain terdapat partai nasional, juga terdapat partai yang
berfokus pada penggalangan dukungan hanya dalam wilayah negara bagian. Dalam hal ini,
Rudolph telah memberikan sebuah kerangka analisa terhadap alasan manuver politik yang
diambil oleh BJP. Walaupun BJP termasuk partai yang memiliki elemen nasionalisme hindu
yang kuat, koalisi yang dibangun dengan beberapa partai moderat dianggap sebagai jalan
untuk mencari suara yang lebih banyak. Rudolph menyebut ini sebagai “persistent
centrism”. Hal ini diakibatkan beragamnya formasi wilayah dan politik yang ada di India,
selain itu banyaknya social-cleavages yang diakibatkan keberagaman identitas akan agama,
kasta, serta kelas di dalam masyarakat. Pada akhirnya ini memunculkan beberapa strategi
yang umum terjadi, beruapa penyeimbangan dan pengurangan kemungkinan konflik yang
diakibatkan formasi dalam masyarakat, melalui posisi politik centrist yang dimanifestasikan
dalam sekularisme, sosialisme, dan demokrasi.[ CITATION Sin16 \l 1033 ] Terdapat
beberapa hal yang lain yang perlu diperhatikan, misalnya Rudolph berpendapat bahwa proses
pembentukan bangsa India berpengaruh besar terhadap adanya kemunculan partai-partai
yang ada di India. Adanya ruang demokrasi yang memungkinkan kontestasi di dalamnya,
memunculkan solusi konflik dalam kerangka demokrasi kontitusional. Rudolph melihatnya,
bahwa kondisi itu tidak berada dalam ruang pertarungan antar kelas dan otonomi negara,
namun lebih kepada adanya kelompok-kelompok penekan serta fungsi negara yang lebih
condong dalam posisi command. Seiring berjalannya waktu, proses dari pertarungan antara
demand politics dan command politics amat berpengaruh terhadap melemah atua menguatnya
demokrasi. Namun pada akhirnya Rudolph menekankan bagaimana negara ini memitigasi
konflik antarkelas dengan pedoman all stand to benefit. Lebih lanjut, Rudolph mulai
memerhatikan berkurangnya peran negara sebagai intervensionist dan masuk ke dalam ranah
regulator. Pada dekade 1990-an isu mengenai peran negara berada dalam posisi úntuk
memengaruhi kompetesi pasar melalui skema yang dikeluarkan oleh pemerintah, akhirnya

hal ini dianggap sebagai conduct of politics. Hal tersebut juga amat berpangaruh terhadap
proses politik berjalan, sehingga proses kontestasi politik ini lebih cenderung
terdesentralisasi dan heteregon, dimana hal tersebut pula berimplikasi pada distribusi
kekuatan politik. Pada 2001, Rudolph berargumen bahwa melemahnya sebuah sistem partai
dominan oleh munculnya sistem multipartai dan partai berbasis wilayah, akan banyak
berputas terhadap peran negara sebagai regulator tadi. Pada akhirnya negara berjalan sebagai
sebuah institusi yang mempertahankan stabilitas melalui sistem renegoisasi akan balance of
power. [ CITATION Sin16 \l 1033 ]
Melalui kerangka analisa yang ditunjukan oleh Rudolph tadi, selanjutnya kita mampu
melihat bagaimana akhrinya manuver politik yang dilakukan oleh BJP ini sebagai sebuah
langkah yang amat pragmatis. [ CITATION Esw03 \l 1033 ] menjelaskan adanya tiga tahap
dari cara BJP mulai memperluas basis massanya. Ketiga tahap ini sangat berkaitan dengan
kondisi pada 1990an yang ditandai makin melemahnya partai dominan yaitu Indian National
Congress dan munculnya yang dalam bahasa Sridharan sebagai multiple bipolaraties, untuk
menerangkna bagaimana proses kontestasi partai politik yang berjalan dalam tatanan state.
Tahap pertama 1989-1991, strategi pertama yang digunakan BJP dalam tahap ini adalah
membentuk aliansi luas dengan front nasional sehingga dapat memerintah di wilayah India
utara dan Gujarat. BJP juga melakukan seat adjustment dengan Janata Dal sebagai pimpina
Front Nasional. Hal ini yang akhirnya mulai menarik BJP dari sebuah partai “margina” dan
masuk ke posisi yang lebih diperhitungkan. Selanjutnya pada pemili 1991 BJP keluar sebagai
partai kedua terbesar di Lok Sabha. Akhirnya pada fase ini dikarenakan adanya sentiment
anti partai inkumben dan berdasarkan basis ideologi serta kursi yang diraih BPJ telah
munculs sebagai sebuah kekuatan politik yang berarti. Tahap kedua pertengahan 1990-an,
perluasan basis massa ini dimulai dengan menguasai wilayah Gujarat dan Maharashta, dan
akhirnya peristiwa pemilu tahun 1996. Di Maharashta, BJP memiliki peran sebagai partner
junior dalam membentuk pemerintah setempat. Di pemili 1996, BJP menjadi partai tersendiri
dan berhasil menemukan aliansi baru yaitu dengan Shiromani Akali Dal atau SAD, walaupun
keluar sebagai partai terbesar yang menang di parlemen, BJP gagal memenangkan
kepercayaan parlemen karena harus berhadapan dengan koalisi United Front. Dalam posisi
ini akhirnya BJP perlu memoderasi pandangan nasionalisme hindu yang dimiliknya dan
memperluas koalisi yang dibentuknya untuk mempeluas basis dukungannya tersebut serta

BJP perlu mulai memperluas wilayahnya ke daerah timur dan selatan untuk memenangkan
kursi lainnya. Tahap ketiga, dalam tahap ini BPJ mulai merangkul banyak partai wilayah
untuk semakin banyak mencari dukungan. Hingga tahun 2003, partai ini telah berkuasa
selama lima tahun. Langkah taktis ini memang dilakukan pertama untuk misalnya membetuk
pemerintah sebagai posisi partner junior dengan partai wilayah lainnya. Di Karnataka
misalnya BJP berkoalisi dengan partai lokal Janata Dal, dan pada pemilu tahun 1998
memenangkan lebih banyak kursi, menjadikan Karnataka basis wilayah dari BJP pada waktu
waktu berikutnya. Secara garis besar, [ CITATION Esw03 \l 1033 ]menjelaskan BJP akhirnya
dapat menjadi sebuah kekuatan dominan. Pembentukan koalisi memiliki dua tujuan utama,
pertama untuk memenangkan kekuasaan di setiap negara bagian masing-masing. Hal yang
paling krusial sebenarnya terletah dalam membuat pilihan untuk beraliansi dengan partai
lainnya, yang bertujuan misalnya untuk mengambil posisi partner junior di dalam pemerintah
atau untuk membentuk sebuah pemerintah mayoritas.
Dalam bagian ini, sangat terlihat bahwa teori inklusi-moderasi pun sesuai dengan keadan
BJP. Meskipun ia tetap eksklusif dari segi ideologi, namun maneuver politiknya tidak
memperlihatkan demikian. Ideologi kerap kali ditenggelamkan demi berkoalisi dengan
partai-partai kecil lain untuk menguasai pemerintah. Hal ini dilakukan untuk mencari massa.
Yang penting untuk digarisbawahi, ciri-ciri demikian memperlihatkan bagaimana arah sentris
BJP secara strategis, tetapi belum tentu ter-internalisasikan.

BAB III
KESIMPULAN
Melalui berbagai pembahasan di atas, makalah ini telah menjawab bagaimana BJP
sebagai partai dengan aliran bersayap kanan memenangkan pemilu electoral 2014 di India karena
ia mencoba bermanuver antara menjadi eksklusif dan sentris. Eksklusif, karena ia tetap
mempertahankan ideologinya yang nasionalis Hindu, dan hal ini tetap penting untuk
memobilisasi massa yang simpatik terhadap ideologi ini, tetapi di saat yang sama juga BJP
mencoba mempromosikan agenda-agenda yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi,
yang merupakan agenda-agenda yang lebih inklusif.
Narendra Modi merupakan figur penting dalam hal ini. Ia sebagai bagian dari OBC
menuai simpati dari pendukungnya karena ia sangat menekankan peran OBC sebagai neo-middle
class yang berperan penting dalam pembangunan. Sifatnya yang baik dalam memimpin juga
digemari oleh pendukungnya. Dengan strategi kampanye yang mulai sedikit menenggelamkan
ideologinya untuk bermanuver mencari massa memperlihatkan bagaimana teori inklusi-moderasi
benar. Untuk menduduki kursi pemerintahan, ia harus menjaring massa yang lebih dari sekadar
Hindu. Ia menggunakan aktor dari kategori yang lebih besar dan berusaha berkoalisi dengan
partai politik yang belum tentu sejalan dengan ideologinya untuk mendapat kursi lebih besar.
Manuver politik ini menunjukkan bahwa BJP mungkin masih eksklusif dalam ideologi, tetapi
cukup sentris dari strateginya.

DAFTAR PUSTAKA
Baruah, Sanjeeb. "The Politics of Electoral Violence." Outlook. May 9, 2014.
http://www.outlookindia.com/article/The-Politics-Of-Electoral-Violence/290704 (accessed April
25, 2017).
Chhibber, Pradeep K., and Susan L. Ostermann. "The BJP’s Fragile Mandate: Modi and Vote Mobilizers
in the 2014 General Elections." Studies in Indian Politics, 2, 2, 2014: 137-151.
Engineer, Ashgar Ali. "NDA: Electoral Performance and Future Strategies." Economic and Political
Weekly, 2001: 2614-2615.
Heath, Oliver. "The BJP's return to power: mobilisation, conversion and vote swing in the 2014 Indian
elections." Contemporary South Asia, Vol. 23, No. 2, 2015: 123-135.
Jaffrelot, Christophe. "Refining the moderation thesis. Two Religious parties and Indian democracy: The
Jana Sangh and the BJP between Hindutva radicalism and coalition politics." Democratization,
2013: 876-894.
Jaffrelot, Cristophe. "The Class Element in the 2014 Indian Election and the BJP’s Success with Special
Reference to the Hindi Belt." Studies in Indian Politics, 2015: 19–38.
Maps of India. India General (Lok Sabha) Elections 2014. Mei 21, 2014.
http://www.mapsofindia.com/parliamentaryconstituencies/ (accessed April 24, 2017).
Menon , Aditya. "Mail Today." Modi Charms Students of DU College with Gujarat Story…. February 7,
2013. [http://indiatoday.intoday.in/story/gujarat-chief-minister-narendra-modi-srcc-college-delhiuniversity/1/249136.html (accessed April 25, 2016).
Mody, Anjali. "Inflammatory Speeches by BJP Men Show that Hindutva, Not Development, is Still Core
of the Party." Scroll.in. April 23, 2014. [http://scroll.in/article/662616/Inflammatory-speeches-byBJP-men-show-that-Hindutva,-not-development,-is-still-core-of-party%27s-ideology (accessed
April 25, 2017).
Mrug, Jai. "Changing Patterns of Support." Economic and Political Weekly, 2004: 16-19.
"Narendra Modi Addresses Students at Delhi University's SRCC." The Times of India. February 6, 2013.
[http://timesofindia.indiatimes.com/india/Narendra-Modi-addresses-students-at-DelhiUniversitys-SRCC/articleshow/18367028.cms (accessed April 25, 2017).
Ozzano, Luca. "The Many Faces of the Political God: A Typology of Religiously Oriented Parties."
Democratization, 2013: 807–830.
Pai, Sudha. "Uttar Pradesh: Competitive Communalism Once Again." Economic & Political Weekly
XLIX (2014): 9-16.

Palshikar, Suhas. " The BJP and Hindu Nationalism: Centrist Politics and Majoritarian Impulses." Journal
of South Asian Studies, 2015: 719-735.
Palshikar, Suhas. "The BJP and Hindu Nationalism: Centrist Politics and Majoritarian Impulses." South
Asia: Journal of South Asian Studies, 2016: 720.
Palshikar, Suhas. "The BJP and Hindu Nationalism: Centrist Politics and Majoritarian Impulses." South
Asia: Journal of South Asian Studies, Vol. 38, No. 4, 2015: 719-735.
Prakash, Smita. NDA Implodes. Juni 17, 2013. http://archive.mid-day.com/columnists/2013/jun/170613nda-implodes.htm (accessed April 24, 2017).
Singh, Ujjwal Kumar, and Anupama Roy. Persistent Centrism and Its Explanations. Symposium, Sage,
2016.
Sridharan, E., and Ashutosh Varshney. "Toward Moderate Pluralism: Political Parties in India." In
Political Parties and Democracy, by Larry Diamond and Richard Gunther, 206. Maryland: John
Hopkins University Press, 2001.
Sridharan, E., and Ashutosh Varshney. "Toward Moderate Pluralism: Political Parties in India." In
Political Parties and Democracy, by Larry Diamond and Richard Gunther, 208-209. London: The
Johns Hopkins University, 2001.
Sridharan, Eswaran. "Coalitions and Party Strategies in India's Parliamentery Federation." Publius, 2003:
135-152.