Intisari dan Review rasisme dan

Jebakan World Economic Forum

Diajukan sebagai syarat untuk mendapatkan nilai tugas
Opinion to case from News Paper related to a certain issues for accounting theory.
Matakuliah: Teori Akuntansi

Dosen: Bapak Prof. Dr. Sofyan Syafri Harahap, MSAc., SE., BSc., Akuntan.

Disusun Oleh:
Ahmad Anshari, SST.Kom (123100002)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2011

Koran KONTAN, hari Rabu, 26 Januari 2011, halaman 23, kolom Surat & Opini.

Halaman 1 dari 4 halaman.

Intisari oleh Ahmad Anshari (12310002)

Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Akuntansi Trisakti.
Diambil dari Koran KONTAN, oleh Ismatillah A. Nu’ad, Mahasiswa S2
Westminster University London, yang diterbitkan hari Rabu, 26 Januari 2011 pada
halaman 23, Kolom Surat & Opini.
Pada tema koran ini, Ismatillah A. Nu’ad menyampaikan bahwa krisis ekonomi
yang melanda dunia terjadi akibat ideologi kapitalisme.
Davos, khususnya pada acara World Economic Forum, sudah menjadi Mekah-nya
para pendukung globalisasi maupun yang anti globalisasi. Tidak heran, pada WEF 2000,
Davos pernah diserbu para demonstran anti globalisasi.
Lantaran penjagaan yang sangat ketat, para demonstran tidak bisa mendekati
kawasan Kongres Zentrum, tempat berlangsungnya acara. Kekesalan mereka akhirnya
ditumpahkan ke restoran cepat saji McDonald’s yang dihancurkan total. Sejak saat itu
sampai hari ini, di Davos tidak ada lagi restoran cepat saji merek apa pun dari Amerika
Serikat atau negara lain.
Acara WEF digagas Prof. Klaus Schwab dari University of Geneva. Dia mula-mula
mengundang 400 pebisnis Eropa dalam forum bincang-bincang bisnis yang dirancang
dalam suasana yang informal dan rileks.
Karena itulah, dipilih Kota Davos yang memang terkenal sejak dulu sebagai kota
peristirahatan. WEF makin terkenal ketika awal 1980-an berhasil mempertemukan
Nelson Mandela dan FW De Klerk yang sukses menyudahi konflik di Afrika Selatan

serta menghindarkan pertumpahan darah yang tidak perlu.
WEF akhirnya menjadi pertemuan yang sangat bergengsi. Bisa dikatakan, tokoh
pemerintahan atau swasta yang diundang ke WEF diakui sebagai tokoh penting kelas
dunia. Bagi kalangan swasta, ketentuan menjadi anggota WEF sangat berat. Dari
Indonesia, ada beberapa perusahaan yang sudah menjadi member. Misalnya, Lippo
Group. Untuk itu, perusahaan harus membayar biaya tahunan CHF42.500 atau lebih
dari Rp. 400 juta dan biaya annual meeting CHF18.000 atau lebih dari Rp. 170 juta.
Bahkan, sejumlah perusahaan yang berminat menjadi sponsor acara atau strategic
partner harus menyumbang minimal sekitar Rp. 2,36 miliar (CHF250.000) sampai
CHF500.000. Diperkirakan, pada waktu puncak, lebih dari 10 ribu orang menjejali
Halaman 2 dari 4 halaman.

tempat acara yang luasnya hanya setara Hotel Hilton Jakarta (kini The Sultan) itu.
Sumber: http://www.fajar.co.id/read-20110125005742-restoran-cepat-saji-tak-ada-miinstan-pun-jadi-andalanIndonesia yang menjadi salah satu anggota G-20 dan ketua ASEAN dianggap
sebagai negara yang cukup penting, apalagi pertumbuhan ekonominya terbaik di
kawasan itu. Tidak heran, cukup banyak tokoh dunia yang antre meminta bertemu
Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Di antaranya, Sekjen PBB Ban Ki-moon, Presiden
Prancis Nicholas Sarkozy, serta PM Inggris David Cameron.
Kehadiran Presiden Indonesia setelah hampir 10 tahun lalu (Almarhum Presiden
Gus Dur pernah hadir pada tahun 2000, tapi saat itu situasi ekonomi di tanah air belum

membaik) saat ini membawa optimisme begitu besar. Para peserta WEF mengharapkan
Indonesia memerankan posisi yang lebih penting dalam ekonomi dunia.
Namun dalam opini kritis yang diberikan oleh Ismatillah A. Nu’ad, adalah sebuah
sentilan dan salah satu ketidakpercayaan terhadap konsep ekonomi yang berdampak
pada krisis multinasional dan internasional. Penulis setuju sekali, dan memang betul
seharusnya kebijakan pemerintah –Presiden SBY– beralih kepada pemikiran ekonomi
nasional, bukan ekonomi liberal. Bukan menelan dan mengkonvergensi “saran” dari
moneter internasional –IMF maupun World Bank-, melainkan harus memberdayakan
ekonomi kerakyatan.
Artinya memberdayakan petani, nelayan, dan usahawan yang berkarya dan
berdayaguna, dimaksimalkan dan dalam manajemen bangsa yang bersifat membangun
bangsa, mulai dari pembenahan jalan/transportasi darat, pengelolaan migas, dan
pembenahan sumber daya lainnya di Indonesia -negara yang terkenal amat kaya- dan
banyak pembenahan-pembenahan di sektor-sektor lainnya dan di berbagai lini.
Kemudian atas pengumpulan pemberdayaan SDM dan SDA tersebut, lalu
pemerintah mengkolaborasikan pengetahuan negarawan yang merupakan para ahli
ekonomi nasional untuk menciptakan rancangan sistem berskema nasional untuk
mempersatukan petani-nelayan-usahawan tersebut dalam sistem yang telah tercipta.
Sehingga strategi dan tujuan pembangunan nasional Indonesia makmur insyaAlloh
tercapai. Dan mosi kepercayaan terhadap ekonom, akuntan, -dan termasuk kepada

Presiden SBY atas kasus-kasus yang belum terselesaikan- akan kembali pulih dan
membanggakan bangsa dimata bangsa lain.

Halaman 3 dari 4 halaman.

Jika dikaitkan dengan salah satu disiplin ilmu akuntansi, yaitu matakuliah Teori
Akuntansi, konsep kapitalisme akan semakin runtuh. Dan trend akuntansi sekarang
memperhatikan 3P, People, Planet/Place, dan Profit. Konsep kapitalisme yang hanya
berorientasi pada profit, malah berdampak merusak planet dan tidak menghargai
people. People disini bukan berarti menguras SDM, tapi memperhatikan keselamatan
kenyamanan dan menghargai manusia sebagai sumber daya, yang menjalankan sistem
akuntansi.
Terkait dengan hal tersebut, kemudian, penulis menemukan hasil searching tulisan
Prof.

Sofyan

Syafri

Harahap,


dalam

blog

beliau

http://sofyan.syafri.com/

2010/12/16/ekonomi-syariah-dibalik-perang-dollar-dan-yuan/ (yang telah dimuat di
harian Republika tanggal 8 Nopember 2010) yang pada akhir tulisan tersebut juga
bermakna pendayagunaan, kolaborasi, synergi, dan berkompetisi yang bukan saling
menjatuhkan atau bahkan saling mematikan.
Berkaitan dengan prinsip Islam sebagai dasar Akuntansi Syari’ah, dan jika
dikaitkan bahwa, ekonomi syariah amat berperan baik dalam membangun akuntabilitas
dan kredibilitas. Penulis mencoba berkesimpulan bahwa memang bagus “Gerakan
Disiplin Nasional,” namun polemik carut-marut yang makin menambah problematika
bangsa, akan terpecahkan dengan adanya “Gerakan Jujur Nasional.”
Dengan gerakan ini, mulai dari diri sendiri, pengakuan atas korupsi-korupsi yang
telah dilakukan “sekecil apapun” akan terbongkar dan pelaku harus didenda dan

mengembalikan kepada yang berhak, sehingga hutang IMF terlunasi, rakyat tak merasa
dibebani hutang negara, dan pembangunan nasional lebih ke arah jangka panjang.
Implikasinya amat berpengaruh pada citra bangsa yang hingga kini menjadi salah satu
negara korup. Negara yang telah dicoreng oleh kroni semacam Gayus dan tokoh-tokoh
lain yang sebelumnya, yang telah menjajah dan menggerogoti bangsa dari dalam, atas
perbuatan korup. Namun, apakah kita mau? Serta, mendukung? Tanyakan hati nurani!

Halaman 4 dari 4 halaman.