Makalah Masyarakat madani dan kesejahter

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang
Adanya beberapa kasus penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa merupakan
realitas yang sering kita lihat dan dengar dalam pemberitaan pers, baik melalui media cetak
maupun elektronik yang menimbulkan dampak yang besar bagi masyarakat. Bagaimana
masyarakat dapat menanggapi masyarakat tersebut adalah hal yang perlu dikaji bersama.
Untuk meninjau hal tersebut Islam memiliki ajaran yang konkrit untuk menciptakan kondisi
masyarakat yang islami, karena islam bukan hanya sekedar agama yang memiliki konsep
ajaran spiritualitas atau ubudiyah semata.
Kemungkinan akan adanya kekuatan masyrakat sebagai bagian dari komunitas sebuah
negara akan mengantarkan pada sebuah konsep masyarakat madani. Masyarakat madani
merupakan konsep yang mengalami proses yang sangat panjang. Masyarakat madani
muncul bersamaan dengan adanya proses modernisasi, terutama pada saat transformasi
dari masyarakat feudal dan menuju masyarakat modern. Dalam mendefinisikan masyarakat
madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa. Dalam islam
masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang taat pada aturan Allah SWT, hidup dengan
damai dan tentram, dan yang tercukupi kebutuhan hidupnya.

1.2 Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu :

1. Apakah pengertian konsep masyarakat madani?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan masyarakat madani?
3. Bagaimana karakteristik masyarakat madani?
4. Bagaimana peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani?
5. Bagaimana sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat?
6. Bagaimana etos kerja islam?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1.Untuk memahami pengertian konsep masyarakat madani.
2.Untuk memahami sejarah dan perkembangan masyarakat madani.
3.Untuk memahami karakteristik masyarakat madani.
4. Untuk memahami peran umat islam dalam mewujudkan masyarakat madani.
5. Untuk memahami sistem ekonomi islam dan kesejahteraan umat.
6.Untuk memahami etos kerja islam.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Masyarakat Madani
MADANI satu kata yang indah. Punya arti yang dalam. Kadang kala banyak juga yang

menyalah artikannya. Apa itu sebenarnya madani. Bila diambil dari sisi pendekatan letterlijk
maka madani berasal dari kata m u d u n arti sederhananya m a j u atau dipakai juga
dengan kata m o d e r n. Tetapi figurlijknya madani mengandung kata maddana al-madaina
(‫ن‬
‫ ) ب نننا ن‬yakni membangun atau hadhdhara (‫ضر‬
‫مد د ن‬
‫ح د‬
‫) ن‬yaitu
‫ن ال ن‬
‫ ) ن‬artinya, banaa-ha ( ‫ها‬
‫مد ناائ ن‬
memperadabkan dan tamaddana ( ‫ن‬
‫مد د ن‬
‫ ) ت ن ن‬maknanya menjadi beradab yang nampak dalam
kehidupan masyarakatnya berilmu (periksa, rasio), memiliki rasa (emosi) secara individu
maupun secara kelompok serta memiliki kemandirian (kedaulatan) dalam tata ruang dan
peraturan-peraturan yang saling berkaitan, kemudian taat asas pada kesepakatan (hukum)
yang telah ditetapkan dan diterima untuk kemashalahatan bersama.
Masyarakat madani ( ‫ضرايي‬
‫ح ض‬

‫ = ال ن‬al hadhariyyu) adalah masyarakat berbudaya danalmadaniyyah (tamaddun) yang maju, modern, berakhlak dan memiliki peradaban,
melaksanakan nilai - nilai agama (etika religi) atau mengamalkan ajaran Islam (syarak)
dengan benar. Nilai - nilai agama Islam boleh saja tampak pada umat yang tidak atau belum
menyatakan dirinya Islam, akan tetapi telah mengamalkan nilai Islam itu. Sesunguhnya
Agama (Islam) tidak dibatasi ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majlis ta’lim semata.

Pengamalan nilai - nilai agama sebenarnya menata gerak kehidupan riil. Memberi
acuan pelaksana tatanan politik pemerintahan, sosial ekonomi, seni budaya, hak asasi
manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi. Penerapan nilai etika religi mewujudkan
masyarakat yang hidup senang dan makmur (‫م‬
‫نقان نوض ن‬
‫ = ت نن نعد ن‬tana’ama) dengan aturan (‫ي‬
‫ن ن‬
‫مد نن ا ي‬
= qanun madaniy) yang didalamnya terlindungi hak-hak privacy, perdata, ulayat dan hak-hak
masyarakat lainnya.
Masyarakat madani adalah masyarakat kuat mengamalkan nilai agama (etika reliji).
Seperti dalam tatanan masyarakat Madinah al Munawwarah dimasa hayat Nabi Muhammad
SAW. Sejahtera dalam keberagaman pluralistis ditengah bermacam anutan paham kebiasaan.
Tetapi satu dalam pimpinan. Kekuatannya ada pada nilai dinul Islam. Mampu melahirkan

masyarakat proaktif menghadapi perubahan. Bersatu di dalam kesaudaraan karena terdidik
rohaninya. Pendidikan rohani merangkum aspek pembangunan sumber daya manusia
dengan pengukuhan nilai ibadah dan akhlak dalam diri umat melalui solat, zikir. Pada
akhirnya pendidikan watak atau domain ruhani ini mencakup aspek treatment. Rawatan dan
pengawalan melalui taubat, tazkirah, tarbiyah, tau’iyah. Ditopang dua manazil atau sifat
penting, yaituRabbaniah dan Siddiqiah.
Sifat Rabbaniah ditegakkan dengan benar diatas landasan pengenalan (makrifat) dan
pengabdian (`ubudiah) kepada Allah melalui ilmu pengetahuan, pengajaran, nasihat,
menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Siddiqiah mencakup enam jenis
kejujuran (al-sidq):
1. kejujuran lidah,
2. kejujuran niat dan kemauan (sifat ikhlas),
3. kejujuran azam,
4. kejujuran al-wafa’ (jujur dengan apa yang diucapkan dan dijanjikan),
5. kejujuran bekerja (prestasi karya), dan
6. kejujuran mengamalkan ajaran agama (maqamat al-din).
Kehidupan Madani terlihat pada kehidupan maju yang luas pemahaman (tashawwur)
sehingga menjadi sumber pendorong kegiatan di bidang ekonomi yang lebih banyak
bertumpu kepada keperluan jasmani (material needs). Spiritnya melahirkan pemikiran
konstruktif (amar makruf) dan meninggalkan pemikiran destruktif (nahyun ‘anil munkar)

melalui pembentukan tata cara hidup yang diajarkan agama Islam. Mengembangkan
masyarakat Madani dimulai dari membangun domain kemanusiaan atau domain

ruhiah melalui pendidikan rohani yang merangkum aspek preventif. Menjaga umat dari
ketersesatan aqidah. Memelihara rakyat dari ketidakseimbangan emosional dan mental.
Agar umat terhindar dari melakukan perbuatan haram, durjana dan kezaliman. Peningkatan
mutu masyarakat dengan basis ilmu pengetahuan, basis budaya dan agama.
Moralitas Masyarakat Madani, Sikap hati-hati sangat dituntut untuk meraih
keberhasilan. Action planning di setiap lini adalah keterpaduan, kebersamaan, kesepakatan,
dan keteguhan. Langkah awalnya menghidupkan musyawarah. Allah menghendaki
kelestarian Agama secara mudah, luwes, elastis, tidak beku dan tidak bersitegang. Memupuk
sikaptaawun saling membantu dengan keyakinan bahwa Allah Yang Maha Rahman selalu
membukakan pintu berkah dari langit dan bumi.
Keterpaduan masyarakat dan pemerintah menjadi kekuatan ampuh membangun
kepercayaan rakyat banyak. Inilah inti reformasi yang dituju di abad baru ini. Tingkat
persaingan akan mampu dimenangkan “kepercayaan” . Pengikat spiritnya adalah sikap Cinta
kepada Bangsa dan Negara yang direkat oleh pengalaman sejarah. Salah menerjemahkan
suatu informasi, berpengaruh bagi pengambilan keputusan. Sikap tergesa-gesa akan
berakibat jauh bagi keselamatan orang banyak. Masyarakat majemuk dapat dibina dengan
kekuatan etika reliji.

Peran serta masyarakat digerakkan melalui musyawarah dan mufakat. Kekuatan
moral yang dimiliki, ialah menanamkan “nawaitu” dalam diri masing-masing mengamalkan
ajaran agama dengan benar. Sebab, manusia tanpa agama hakikinya bukan manusia
sempurna. Tuntunan agama tampak pada adanya akhlak dan ibadah. Akhlak melingkupi
semua perilaku pada seluruh tingkat kehidupan. Nyata dalam contoh yang ditinggalkan
Rasulullah.
Ketika kehidupan manusia kian bertambah modern dan peralatan teknologi semakin
canggih, makin bertambah banyak masalah hati dan kejiwaan manusia yang tampil
kepermukaan. Tidak segera mudah dapat diselesaikan. Solsusinya hanya mendekatkan diri
kepada Allah SWT semata. Maka tuntutan kedepan harus diawasi agar umat lahir dengan
iman dalam ikatan budaya (tamaddun). Rahasia keberhasilan adalah “tidak terburu-buru”
dalam bertindak. Selalu ada husnu-dzan (sangka baik) antara rakyat dan pemimpinnya.
Kekuasaan akan berhasil jika menyentuh hati nurani rakyat banyak, sebelum kekuasaan itu
menjejak bumi. Ukurannya adalah adil dan takarannya adalah kemashlahatan umat banyak.
Kemasannya adalah jujur secara transparan.

Umat

perlu


dihidupkan

jiwanya.

Menjadi

satu

umat

yang

mempunyai falsafah dantujuan hidup (wijhah) yang nyata. Memiliki identitas (shibgah)
dengan corak keperibadian terang (transparan). Rela berpartisipasi aktif dalam proses
pembangunan. Masyarakat Madani yang dituntut oleh “syari’at” Islam menjadi satu aspek
dari Sosial Reform yang memerlukan pengorganisasian (nidzam). Masyarakat Madani mesti
mampu menangkap tanda-tanda zaman perubahan sosial, politik dan ekonomi – pada
setiap saat dan tempat dengan optimisme besar. Sikap apatis adalah selemah-lemah iman
(adh’aful iman). Sikap diam (apatis) dalam kehidupan hanya dapat dihilangkan dengan
bekerja sama melalui tiga cara hidup , yakni bantu dirimu sendiri (self help), bantu orang lain

(self less help), dan saling membantu dalam kehidupan ini (mutual help).
Ketiga konsep hidup ini mengajarkan untuk menjauhi ketergantungan kepada pihak
lain, artinya mandiri. Konsep madaniyah tampak utama didalam pembentukan watak
(character building) anak bangsa. Tentu saja melalui jalur pendidikan. Maka reformasi
terhadap pengelolaan keperluan masyarakat atau birokrasi mesti meniru kehidupan lebah,
yang kuat persaudaraannya, kokoh organisasinya, berinduk dengan baik, terbang bersama
membina sarang, dan baik hasil usahanya serta dapat dinikmati oleh lingkungannya.[1]

2.2. Sejarah dan Perkembangan Masyarakat Madani
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah Islam yang terdokumentasi sebagai
masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman. Keadaan masyarakat saba’
mendiami negri yang baik, subur, dan nyaman. Di tempat itu terdapat kebun dengan
tanamannya yang subur, yang menyediakan rizki, memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Negeri yang indah itu merupakan wujud dai kasih sayang Allah yang disediakan bagi
masyarakat tersebut. Allah juga maha pengampun apabila terjadi kealpaan pada masyarakat
tersebut. Karena itu, Allah memerintahkan masyarakat Saba’ untuk bersyukur kepada Allah
yang telah menyediakan kebutuhan hidup mereka. Kisah keadaan masyarakat Saba’ ini
sangat populer dengan ungkapan Al-Qur’an Baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafuur[2]
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW

beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur

masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial,
menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin
dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan
bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang
dianutnya[3].
Untuk lebih memahami pengertian masyarakat madani kita akan membahas tentang
sejarah dan perkembangan masyarakat madani dalam sejarah masyarakat Eropa Barat,
wacana masyarakat madani merupakan konsep yang bersumber dari pergolakan politik dan
sejarah masyarakat Eropa Barat yang mengalami perubahan pola kehidupan Feodal menuju
kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembangan wacana masyarakat madani dapat
diurutkan dari Cirero sampai pada Antonio Gramsci dan de’Tocquiville. Bahkan menurut
Manfred Ridel, Cohen, dan Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani
sudah ada pada masa Aristoteles.
Pada masa Aristoteles (384-522 SM) masyarakat madani dipahami sebagai sistem
kenegaraan yang disebut koinonia pilitik, yakni sebuah komunitas politik tempat masyarakat
dapat terlibat langsung dalam percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
Sebuah sistem negara yang digunakan menggambarkan masyarakat politis dan etis, dimana

warganya berkedudukan sama di hadapan hukum. Hukum sendiri di anggap etos, yaitu
seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik tetapi juga
sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi di antara warga negara.
Marcus tullius Cicero (106-43 SM) juga mengikuti konsepsi tentang masyarakat
madani yang di kemukakan oleh Aristoteles dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah
kelompok yang mendominasi kelompok lain. Cirero lebih menekankan pada konsep Negara
kota. Untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan korperasi lainnya.
Thomas Hobes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704) mengembangkan konsep
masyarakat madani yang menitik beratkan pada sistem kenegaraan ini. Menurut Hobes,
masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu mengontrol dan
mengawasi sepenuhnya pola-pola perilaku politik setiap warga negara. Sementara menurut
Jhon Locke, kehadiran masyarakat madani untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap
warga negara. Konsekuensinya adalah msyarakat madani tidak boleh absolute dan harus
membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan
secara adil dan proposional.

Adam Ferguson tahun 1767 wacana masyarakat madani di kembangkan dengan
mengambil konteks sosio-kultural (sosial dan budaya masyarakat) dan politik Skotlandia.
Freguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan
bermasyarakat. Dengan konsep ini, Ferguson bertujuan agar publik memiliki semangat untuk

menghalangi munculnya despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas
social muncul dan di iringi oleh sentiment moral dan sikap saling menyayangi serta saling
mempercayai antar warganegara secara ilmiah.
Thomas Paine (1792) memiliki wacana yang berbeda dengan sebelumnya. Ia
menggunakan istilah masyarakat madani sebagai sekelompok masyarakat yang memilik
diametral dengan negara, bahkan di anggapnya sebagai anti tesis dari negara. Masyarakat
madani menurut Paine adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan
kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa
paksaan. Oleh karenanya, maka masyrakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol
Negara demi kebutuhannya.
G. W. F Hegel (1770-1831 M), Karl Mark 1818-1883) dan Antonio Gramsci (1891-1837
M). wacana masyarakat madani yang dikembangkan oleh ketiga tokoh ini menekankan pada
masyarakat madani sebagai elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini merupakan
reaksi dari pemahaman Paine (masyarakat madani adalah bagian terpisah dari negara)
menurut Hegel masyarakat madani merupakan bagian yang merubah dari negara. Hegel
mengatakan bahwa struktur sosial terbagi atas 3 wujud, yaitu keluarga, masyarakat madani,
dan negara. Keluarga adalah ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang
bercirikan keharmonisan.
Masyarakat madani siasat politik berbagai kepentingan pribadi dan golongan
terutama kepentingan ekonomi. Sedangkan negara adalah perwakilan ide universal yang
bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi
terhadap masyarakat madani. Selain itu masyarakat madani pada kenyataannya tidak
mampu

mengatasi

kelemahannya

sendiri

serta

tidak

mampu

mempertahankan

keberadaannya bila tanpa keteraturan politik dan ketertundukan pada institusi yang lebih
tinggi, yaitu negara. Oleh karena itu, negara dan masyarakat madani sesuatu yang saling
memperkuat satu sama lain.
Sedangkan Karl Marx memahami masyarakat madani sebagai masyarakat borjuis
dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi

pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, masyarakat madani harus dilenyapkan
untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas. Bila Marx menempatkan masyarakat madani
pada basis matrial, maka Gramsci meletakannya pada superstruktur, berdampingan dengan
negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat
perebutan posisi kekuasaan di luar kekuatan negara. Di dalamnya aparat kekuasaan
mengembangkan kekuasaan untuk kesepakatan dalam masyarakat. Para cendikiawan yang
merupakan aktor utama, dengan demikian ada sifat kemandirian dan politis, sekalipun
instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh basis material ( Ekonomi).
Alexis de’Tocqueville (1805-1859 M) mengembangkan masyarakat madani dengan
berdasarkan pengalaman demokrasi Amerika, mengembangkan sebagai wujud penyeimbang
kekuatan negara. Dengan terwujudnya pluralitas, kekuatan politik, kemandirian dan
kapasitas politik di dalam masyarakat madani, warga negara mampu mengimbangi dan
mengontrol masyarakat madani.
Dari berbagai model pengembangan masyarakat madani model Gamsci dan
Tocqueville-lah yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Tengah
pada akhir darsawarsa 80-an. Gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi
semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkraman negara yang secara
sistematis melemahkan daya kreasi dan kemandirian masyarakat.
Konsepsi ini di tambahkan oleh opini Hannah Arrendt dan Juergen Habermas yang
menekankan pada ruang publik yang bebas (the free public sphere). Karena adanya ruang
publik yang bebas ini individu (warga negara) dapat dan berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul serta mempublikasikan
penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum.[4]

2.3. Karakteristik Masyarakat Madani
Masyarakat madani mempunyai karakteristik,yaitu :
1. Free public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat,
berkumpul, serta mempublikasikan informasikan kepada publik. Sebagai sebuah prasayarat,
maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatan
masyarakat, maka free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus dipenuhi, karena

akan memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga Negara dalam
menyalurkan aspirasinya.
2. Demokratisasi, yaitu proses dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya.
Demokrasi merupakan prasyarat yang banyak dikemukakan oleh para pakar. Dan demokrasi
merupakan salah satu syarat mutlak bagi penegakan masyarakat madani. Penekanan
demokratis disini dapat mencakup bentuk aspek kehidupan, seperti social, budaya, politik,
ekonomi, dan sebagainya.
3. Toleransi, yaitu sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang
dilakukan oleh orang atau kelompok lain. Toleransi memungkinkan adanya kesadaran untuk
menghargai serta menghormati pendapat yang dikemukakan oleh kelompok lainnya yang
berbeda. Azyumardi juga menyebutkan bahwa masyarakat madani bukan hanya sekedar
gerakan-gerakan pro demokrasi. Masyarakat ini mengacu juga pada yang berkualitas dan
civility, civilitas yakni kesediaan induvidu – individu untuk menerima pandangan –
pandangan politik dan sikap social yang berbeda – beda.
4. Pluralisme, yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk
disertai dengan sikap tulus. Menurut Nurcholis Madjid, konsep ini merupakan prasyarat bagi
tegaknya masyarakat madani. Menurutnya pluralism yaitu pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan – ikatan keadaban(genuine engagement ofdiversities within the bonds of
civility). Bahkan juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui
mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5.

Keadilan sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian antara hak dan
kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya. Keadilan dimaksud untuk
menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban
setiap warga Negara. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang sama dalm memperoleh
kebijakan – kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa (pemerintah).

6. Partisipasi sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa atau pihak lain.
7. Supremasi hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan.
8. Sebagai pengembangan masyarakat melalui upaya peningkatan pendapatan dan
pendidikan.

9. Sebagai advokasi bagi masyarakt yang teraniaya dan tidak berdaya membela hak-hak dan
kepentingan.
10. Menjadi kelompok kepentingan atau kelompok penekan.[5]
11. Pilar Penegak Masyarakat Madani
Yang dimaksud dengan pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang
menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisikebijakan-kebijakan penguasa
yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam
penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi
terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai politik.[6]

2.4. Peran Umat Islam Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Mewujudkan masyarakat madani merupakan cita-cita yang amat mulia untuk
dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Model masyarakat madani pernah dicontohkan
pada masa Rasullullah SAW di Madinah. Pada masa itu kota Madinah dipimpin oleh
Rosullullah SAW setelah terjadi perjanjian yang disebut Piagam Madinah. Piagam Madinah
adalah kesepakatan antara Rosullullah SAW dan umat muslim lainnya beserta penduduk
Yahudi. Di dalam perjanjian tersebut berisi untuk setiap masyarakat untuk saling tolongmenolong dan menciptakan kedamaian dalam kehidupan social, menjadikan Al-Quran
sebagai landasan konstitusi, mengangkat Rosullullah menjadi peminpin, dan juga dalam
piagam tersebut memberikan kebebasan untuk memeluk agama dan beribadah dengan
kepercayaan mereka masing-masing. Dalam kepemimpinan Rosullullah SAW, masyarakat
madinah yang sebelumnya sering terjadi konflik berubah menjadi masyarakat yang damai
dan saling tolong-menolong satu sama lain.[7]
Umat Islam di Indonesia merupakan komponen mayoritas bangsa Indonesia. Sebagai
komponen terbesar penyusun bangsa ini, umat Islam dituntut untuk berpartisipasi secara
aktif dalam kehidupan bernegara ini.Umat islam di Indonesia yang sebagai mayoritas
bertanggung jawab atau berperan sangat besar dalam mewujudkan masyarakat madani. Di
negeri ini akan tergantung oleh bagaimana cara umat Islam dalam menjalani kehidupannya.
Maka dari itu umat islam memiliki tiga peran yang nyata yaitu ;
-

Sebagai Warga Negara

sebagai warga Negara hendaknya umat Islam memenuhi kewajibannya sesuai pada
peraturan-peraturan nagara yang telah dibuat.
-

Sebagai Pengembang Kehidupan Bangsa
Dalam hal ini,umat Islam diharapkan dapat menawarkan dirinya sebagai sumber
pengembangan dalam segala aspek kehidupan seperti, ekonomi, sosial, pendidikan, politik
dan budaya.Dalam melaksanakan perannya, segala tindakan harus didasari pada nilai-nilai
yang Islami.

-

Sebagai Penata Kehidupan Bangsa dan Negara
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk karena Negara ini memiliki
berbagai macam ras, suku, agama, etnik dan lain-lain. Maka umat Islah harus bener-benar
pandai menerapkan gagasan islami yang ke-Indonesia-an. Hal ini karena untuk terciptannya
kedamaian dan ketentraman, seperti yang diajarkan oleh Rasullullah SAW bahwa umat
muslim adalah umat yang penuh kasih sayang, keadilan, dan kearifan yang sesuai dengan
perintah Allah SWT. Dasar-dasar inilah yang dijadikan oleh umat Islam dalam kehidupan
bermasyarakat. Jika setiap orang memiliki rasa toleransi dan menghormati, maka kehidupan
masyarakat madani akan tercapai.
Dalam melakukan perannya hendaknya umat Islam didasari pada pengetahuan dan
wawasan yang meliputi:

a) Wawasan Keislaman
b) Wawasan atau pemahaan secara utuh tentang ajaran-ajaran Islam
c) Wawasan Kebangsaan
d) Merupakan peningkatan rasa nasionalisme.
e) Wawasan Kecendikian
f) Peningkatan dalam kualitas kecendikian.
g) Wawasasan Kepemimpinan
Meliputi usaha dalam peningkatan dan pengembangan jati diri dan kepemimpinan umat
serta wawasan kesejahteraan guna meningkatkan kegiatan ekonomi kerakyatan.
Banyak yang sudah dilakukan umat Islam dalam menunjukan perannya dalam
membangun masyarakat madani. Tapi akhir-akhir ini pandangan Islam buruk karena banyak
umat Islam di Indonesia yang bersikap dan bertindak tanpa wawasan keislaman yang benar.

Mereka bertindak atas nama umat Islam, oleh karena ini yang memperburuk pandangan
masyarakan tentang Islam.[8]

2.5. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat
2.5.1 Definisi Ekonomi Islam
Sementara ahli memberi definisi Ekonomi Islam adalah merupakan madzhab ekonomi
Islam, yang terjelma di dalamnya bagaimana cara Islam mengatur kehidupan perekonomian,
dengan apa yang dimiliki dan ditujukan oleh madzhab ini tentang ketelitian cara berfikir yang
terdiri dari nilai-nilai moral Islam dan nilai-nilai ilmu ekonomi, atau nilai-nilai sejarah yang
ada hubungannya dengan masalah-masalah siasat perekonomian maupun yang ada
hubungannya dengan uraian sejarah masyarakat manusia.
Sebagian lagi lainnya berpendapat bahwa ekonomi Islam merupakan sekumpulan
dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah, dan
merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut
sesuai dengan tiap lingkungan dan masa.
Sementara lainnya mendefinisikan sebagai ilmu yang mengarahkan kegiatan ekonomi
dan mengaturnya, sesuai dengan dasar-dasar dan siasat ekonomi Islam. Ekonomi Islam
terdiri dari dua bagian: salah satu diantaranya tetap, sedang yang lain dapat berubah-ubah.
Yang pertama adalah yang diistilahkan dengan “sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi
yang disimpulkan dari Al-Quran dan As-Sunnah”, yang ada hubungannya dengan urusanurusan ekonomi. Yang kedua “bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan
dasar-dasar tersebut sesuai dengan tiap lingkungan dan masa”.[9]

2.5.2 Tujuan Ekonomi Islam
Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah
swt dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan,
serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya.
Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai
kemenangan di dunia dan di akhirat.

Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga
sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh
umat manusia, yaitu:
a) Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.
b) Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan
di bidang hukum dan muamalah.[10]
c) Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa masalah
yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima jaminan dasar:
d) keselamatan keyakinan agama ( al din)
e) kesalamatan jiwa (al nafs)
f) keselamatan akal (al aql)
g) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
h) keselamatan harta benda (al mal)

2.5.3 Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
a) Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia.
b) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
c) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
d) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang
saja.
e) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk
kepentingan banyak orang.
f) Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
g) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
h) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Banyak pihak beranggapan mewujudkan cita-cita kesejahteraan masyarakat
sebagai manusia yang saling bersaudara dan sama-sama diciptakan oleh satu Tuhan, saat ini,
hanyalah sebuah impian. Hal itu terjadi karena adanya penolakan menggunakan mekanisme
filter yang disediakan oleh penilaian berbasis moral, di samping makin melemahnya

perasaan sosial yang diserukan agama. Peningkatan moral dan solidaritas sosial tidak
mungkin dapat dilakukan tanpa adanya kesakralan moral yang diberikan oleh agama. Para
ahli mengakui, bahwa agama-agama cenderung memperkuat rasa kewajiban sosial dalam
diri pemeluknya daripada menghancurkan. Sepanjang sejarah umat manusia tidak
ditemukan contoh signifikan yang menunjukkan, bahwa suatu masyarakat yang berhasil
memelihara kehidupan moral tanpa bantuanagama.
Ajaran ekonomi yang dilandaskan nilai-nilai agama akan menjadikan tujuan
kesejahteraan kehidupan yang meningkatkan jiwa dan rohani manusia menuju kepada
Tuhannya.[11]
Menurut Yusuf Qardhawi (1994), sesungguhnya manusia jika kebutuhan hidup pribadi
dan keluarganya telah terpenuhi serta merta merasa aman terhadap diri dan rezekinya,
maka mereka akan hidup dengan penuh ketenangan, beribadah dengan khusyu’ kepada
Tuhannya yang telah memberi mereka makan, sehingga terbebas dari kelaparan dan
memberi keamanan kepada mereka dari rasa takut. Dibutuhkan sebuah kesadaran, bahwa
manusia diciptakan bukan untuk keperluan ekonomi, tetapi sebaliknya masalah ekonomi
yang diciptakan untuk kepentingan manusia. Islam, sebagai ajaran universal, sesungguhnya
ingin mendirikan suatu pasar yang manusiawi, di mana orang yang besar mengasihi orang
kecil, orang yang kuat membimbing yang lemah, orang yang bodoh belajar dari yang pintar,
dan orang-orang bebas menegur orang yang nakal dan zalim sebagaimana nilai-nilai utama
yang diberikan Allah kepada umat manusia berdasarkan Al Qur’an Surah al-Anbiyaa ayat
107.
Berbeda dengan pasar yang Islami, menurut Qardhawi (1994), pasar yang berada di
bawah naungan peradaban materialisme mencerminkan sebuah miniatur hutan rimba, di
mana orang yang kuat memangsa yang lemah, orang yang besar menginjak-injak yang kecil.
Orang yang bisa bertahan dan menang hanyalah orang yang paling kuat dan kejam, bukan
orang yang paling baik dan ideal. Dengan demikian sulit membayangkan bahwa
kesejahteraan akan dapat diperoleh dari sistem pasar dalam peradaban materialisme.
Untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi yang berkeadilan harus ada suatu sistem
pasar yang sehat. Pasar itu sebenarnya adalah sebuah mekanisme yang canggih, namun
gampang dirusak, untuk menata kehidupan ekonomi, sehingga setiap pribadi memberikan
sumbangannya bagi keseluruhan dan juga memenuhi kebutuhannnya sendiri dengan

kebebasan penuh untuk melakukan pilihan pribadinya. Pasar yang sehat menggalakkan
keragaman, prakarsa dan kreativitas pribadi, dan upaya-upaya yang produktif (Korten, 2002).
Pasar yang sehat sangat tergantung pada kesadaran para pesertanya, sehingga harus
ada persyaratan agar masyarakat umum menjatuhkan sanksi terhadap orang yang tidak
menghormati hak dan kebutuhan orang lain, serta mengekang secara sukarela dorongan
pribadi mereka untuk melampaui batas. Apabila tidak ada suatu budaya etika dan aturanaturan publik yang memadai, maka pasar gampang sekali dirusak. Pasar yang sehat, tidak
berfungsi dengan paham individualisme ekstrem dan kerakusan kapitalisme yang semenamena, dan juga tidak berfungsi lewat penindasan oleh hierarki dan yang tidak
mementingkan diri sama sekali, seperti dalam komunisme. Kedua faham tersebut
merupakan penyakit yang amat parah.
Kesejahteraan dalam pembangunan sosial ekonomi, tidak dapat didefinisikan hanya
berdasarkan konsep materialis dan hedonis, tetapi juga memasukkan tujuan-tujuan
kemanusiaan dan keruhanian. Tujuan-tujuan tersebut tidak hanya mencakup masalah
kesejahteraan ekonomi, melainkan juga mencakup permasalahan persaudaraan manusia
dan keadilan sosial-ekonomi, kesucian kehidupan, kehormatan individu, kehormatan harta,
kedamaian jiwa dan kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat.
Ajaran Islam, sama sekali, tidak pernah melupakan unsur materi dalam kehidupan
dunia. Materi penting bagi kemakmuran, kemajuan umat manusia, realisasi kehidupan yang
baik bagi setiap manuisa, dan membantu manusia melaksanakan kewajibannya kepada
Tuhan. Namun demikian, walaupun kehidupan ekonomi yang baik merupakan tujuan Islam
yang dicita-citakan, bukan merupakan tujuan akhir. Kehidupan ekonomi yang baik, pada
hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih jauh. Hal ini
merupakan perbedaan yang sangat esensial antara ajaran Islam dengan faham materialisme
yang dianut oleh kaum Komunis ataupun para Sekuleristik.
Menurut Qardhawi, ideologi-ideologi materialisme bertumbuh kepada pemenuhan
nafsu yang tidak terlepas dari ruang lingkup kepentingan ekonomi yang rendah. Kesenangan
materi menjadi tujuan akhir dan merupakan surga yang dicita-citakan. Berbeda dengan
ekonomi yang dilandasi moral agama, kesejahteraan kehidupan menjadikan tujuan untuk
meningkatkan jiwa dan ruhani manusia menuju Tuhannya. Materi digunakan untuk
mempersiapkan diri untuk menghadapi kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal.

Ajaran Islam mengakui kebebasan pemilikan. Hak milik pribadi menjadi landasan
pembangunan ekonomi, namun harus diperoleh dengan jalan yang telah ditentukan oleh
Allah. Pemilikan harus melalui jalan halal yang telah disyariahkan. Demikian pula
mengembangkan kepemilikan harus dengan cara-cara yang dihalalkan dan tidak dilarang
oleh syariah. Islam melarang pemilik harta menggunakan kepemilikannya untuk membuat
kerusakan di muka bumi atau melakukan sesuatu yang membahayakan manusia. Di samping
itu dilarang pula mengembangkan kepemilikan dengan cara merusak nilai dan moral
(akhlak), misalnya dengan menjual-belikan benda-benda yang diharamkan dan segala yang
merusak kesehatan manusia baik akal, agama maupun akhlaknya. Dengan demikian, sebuah
pasar yang sehat berlandaskan nilai-nilai moralitas keagamaan sangat diperlukan dalam
sebuah sistem distribusi kepemilikan.[12]

2.6. Etos Kerja Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter
serta keyakinan atas sesuatu. Sedangkan kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk
usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual atau
fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus
besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah
perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah. Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas dinamis dan mempunyai tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan rohani) dan di dalam mencapai tujuannya
tersebut dia berupaya dengan penuh kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal
sebagai bukti pengabdian dirinya kepada Allah SWT.[13]
Etos kerja dalam arti luas menyangkut akan akhlak dalam pekerjaan. Untuk bisa menimbang
bagaimana akhlak seseorang dalam bekerja sangat tergantung dari cara melihat arti kerja dalam
kehidupan, cara bekerja dan hakikat bekerja. Dalam Islam, iman banyak dikaitkan dengan amal.
Dengan kata lain, kerja yang merupakan bagian dari amal tak lepas dari kaitan iman seseorang. [14]

Menurut Geertz Etos adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang
dipancarkan hidup. Etos adalaha aspek evaluatif yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini
bisa dinyatakan apakah kerja, dalam hal yang lebih khusus, usaha komersial, dianggap

sebagai suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu imperatif dari diri, ataukah sesuatu yang
terikat pada identitas diri yang telah bersifat syakral? Identitas diri dalam hal ini adalah suatu
yang telah diberikan oleh agama.[15]
Sehingga dapat dikatakan bahwa ethos kerja seorang muslim ialah semangat
menapaki jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT. berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai tuntunan dan pegangan bagi mereka karena Al-Qur’an dan Al-Hadits mempunyai
fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam
memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.[16]

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni'matan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash:77).
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa apa yang pada diri mereka.” (QS:Ar-Ra’d : 11)
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya,
dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok.”[17]
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah
a) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah sehingga menuntut individu untuk bersikap
cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan
Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya.
b) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan.
c) Tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar.
d) Tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman
keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
e) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.[18]

Berikut ini merupakan penjelasan tentang ciri-ciri etos kerja muslim tersebut adalah
kutipan dari buku Memperdayakan Etos Kerja Islam yang ditulis oleh K.H.Toto Tasmara. 25
ciri etos kerja islam itu adalah sebagai berikut:
1. Mereka kecanduan terhadap waktu
2. Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
3. Mereka kecanduan kejujuran
4. Mereka memiliki komitmen
5. Istiqomah Kuat Pendirian
6. Mereka kecanduan disiplin
7. Konsekuan dan berani menghadapi tantangan
8. Mereka memiliki sikap percaya diri
9. Mereka orang yang kreatif
10. Mereka tipe orang yang bertanggung jawab
11. Mereka bahagia karena melayani
12. Mereka memiliki harga diri
13. Memiliki jiwa kepemimpinan
14. Mereka berorientasi ke masa depan
15. Hidup berhemat dan efisien
16. Memiliki jiwa wiraswasta
17. Memiliki insting bertanding
18. Keinginan untuk mandiri
19. Mereka kecanduan belajar dan haus ilmu
20. Memiliki semangat perantauan
21. Mempertahankan kesehatan dan gizi
22. Tangguh dan pantang menyerah
23. Berorientasi pada produktivitas
24. Memperkaya jaringan silaturahmi
25. Mereka memiliki semangat perubahan[19]

2.7 Filantropi: Zakat dan Wakaf
2.7.1. Pengertian Zakat Dasar Hukumnya
Dalam hubungan dengan kepemilikan harta benda dalam ajaran islam dikenal
dengan kewajiban membayar zakat. Zakat sebagai lembaga sosial keagamaan, telah tua
umurnya dan telah dikenal dalam agama wahyu yang dibawa oleh para Rasul Allah
terdahulu. Menurut asal katanya zakat berarti tambah, bersih atau suci, sedangkan menurut
terminologi zakat adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan
kepada yang berhak.
Zakat pada dasarnya merupakan implementasi dari pandangan dasar islam tentang
alam, yaitu alam adalah milik Allah sebagaimana firmannya dalam surah Al-Baqarah ayat
284. Demikian pula harta yang diperoleh seseorang adalah mutlak milik Allah, manusia
hanyalah memiliki amanat dan hak guna pakai yang bersifat sementara. Oleh karena itu pada
setiap harta yang diperoleh terdapat hak Allah yang harus ditunaikan berdasarkan aturan
yang telah ditetapkan-Nya, yaitu zakat.
Peraturan adanya zakat dalam ajaran islam sesuai dengan hakikat kepemilikan harta
itu sendiri. Apabila seseorang memiliki sesuatu pada dasarnya tidak seluruh miliknya itu
layak digunakan oleh dirinya. Ada hak-hak milik orang lain yang harus ditunaikannya.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi
tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim
yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah
seperti shalat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah.
Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yangdapat berkembang
sesuai dengan perkembangan umat manusia dimana pun.[20]

2.7.2. Sejarah Pelaksanaan Zakat di Indonesia
Sejak Islam datang di Indonesia, zakat, infak, sedekah, merupakan sumber danna
untuk membiayai pengembangan ajaran Islam dan perjuangan bangsa Indonesia menentang
penjajahan Belanda. Di Sumatera misalnya, Belanda terlibat dalam perang berkepanjangan
melawan masyarakat Aceh yang fanatik. Juga ditempat-tempat lain yang penduduknya
beagama islam, umumnya mereka kuat dalam melawan Belanda, antara lain mereka
memiliki sumber dana berupa hasil zakat, infak, dan sedekah.

Pemerintah Hindia Belanda khawatir dana tersebut akan dipergunakan untuk
membiayai perlawanan terhadap mereka, kalau masalah zakat dan fitrah tidak diatur. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat itu, pemerintah melarang semua
pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu pelaksanaan zakat. Larangan tersebut
mempunyai dampak yang sangat negatif terhadap pelaksanaan zakat pada kalangan umat
islam, karena dengan sendirinya penerimaan zakat menurun. Keadaan inilah yang diinginkan
oleh kolonial agar mereka tetap bertahan tanpa pemberontakan.
Sejak Indonesia merdeka, memang ada usaha-usaha untuk tetap meningkatkan dan
mengembangkan pelaksanaan zakat, bahkan pejabat pemerintahpun ada yang ikut
membantu, walaupun belum ada badan resmi yang khusus menangani zakat yang dibentuk
oleh pemerintah kecuali di Aceh (1959). Perhatian pemerintah terhadap zakat baru terjadi
pada masa orde baru. Pada peringatan Isra’ Mi’raj di Istana Negara tanggal 26 Oktober
1968 , Presiden mengumumkan secara pribadi Beliau berseda menjadi amil zakat. Anjuran
Presiden inilah yang mendorong terbentuknya badan amil zakat diberbagai provinsi yang
dipelopori oleh Pemda DKI Jakarta.
Pada tahun 1968 Pemerintah mengeluarka Peraturan Menteri Agama Nomor 4/1968
tangal 15 Juli 1968 tentang pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama
Nomor 5/1968 tanggal 22 Oktober 1968 tentang pembentukan Baitul Mal di tingkat pusat,
provinsi, dan kabupaten/kotamadya. Di bawah kepemimpinan Ali Sadikin sebagai Gubernur
DKI Jakarta, Pemda DKI Jakarta mendirikan Badan Amil Zakat (BAZ) pada tanggal 5 Desember
1968 yang merupakan dalam wilayah khusus Ibukota Jakarta. Pembentukan BAZ olek Pemda
DKI Jakarta ini kemudian dikuti oleh provinsi-provinsi lain.
Dalam rangka memberdayakan lembaga zakat di Indonesia, pada tahun 1991 keluar
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 29 dan 47 ,
yang mengatur pembinaan BAZ, yang kemudian diikuti dengan Intruksi Menteri Agama
Nomor 5 tahun 1991 tentang pembinaan teknis BAZ.
Benda yang Wajib Dizakat
1. Binatang ternak
Jenis binatang yang wajib dkeluarkan zakatnya hanya unta, sapi, kerbau, dan kambing.
2. Emas dan perak
Barang tambang selain emas dan perak tidak wajib dizakati.
3. Biji makanan yang mengenyangkan

Jenis-jenis biji makanan yang wajib dizakati adalah beras, jagung, gandum, dsb. Adapun biji
makanan yang tidak mengenyankan seperti kacang tanh, kacang panjang, buncis, tanaman
muda, dsb tidak wajib dizakati.
4. Buah-buahan
Yang dimaksud dengan buah-buahan yang wajib dizakati hanya kurma dan anggur saja,
sedangkan buah-buahan yang lainnya tidak.
5. Harta perniagaan
Harta perniagaan wajib dizakati, dengan syarat-syarat seperti yang telah disebutkan pada
zakat emas dan perak.
6. Harta “rikas” dan “ma’adin”
7. Hasil laut
8. Harta profesi

Jenis Zakat
-

Zakat terbagi atas dua jenis yakni:

-

Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat
ini setara dengan 3,5 liter (2,7 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.

-

Zakat maal (harta)
Zakat yang dikeluarkan seorang muslim yang mencakup hasil perniagaan, pertanian,
pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis
memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.[21]
Hak Zakat
Meskipun zakat dijelaskan di dalam Al-Qur’an seara singkat, tetapi khusus mengenai
orang yang berhak menerima zakat, disebutkan secara jelas dalam Surah at-Taubah ayat 60
orang-orang yang berhak menerima (mustahik) zakat yakni:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin,

pengurus-pengurus

zakat,

para

muallaf

yang

dibujuk

hatinya,

untuk

(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan oran-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Dari ayat diatas, jelas bahwa Allah dengan tegas menunjukkan kepada umat islam
kemana zakat itu harus disalurkan. Hal ini mengingatkan agar mereka memberikan harta
zakat itu kepada orang-orang yang berhak menerimanya, karena mereka adalah kelompok
orang yang sangat membutuhkan bantuan-bantuan pihak lain. Hal ini menunjukkan bahwa
sasaran utama lembaga zakat adalah untuk menghapuskan kemiskinan dan kemelaratan
umat Islam. Hal tersebut menunjukkan begitu pentingnya kedermawaan dan kepedulian
umat Islam terhadap sesama umat manusia.
Hikmah Zakat
Adapun hikmah yang dapat diambil dari menunaikan ibadah zakat yaitu:
1.

Apabila dilihat dari segi orang yang memberi zakat yakni:
Zakat dapat mendidik orang untuk membersihkan jiwanya dari sifat kikir, tamak, sombong
dan angkuh karena kekayaannya. Ibadah zakat juga dapat menumbuhkan sifat perhatian dan
peduli terhadap orang lemah dan miskin.

2.

Apabila dilihat dari segi orang yang memerima zakat yakni:
Zakat memberikan harapan dan optimisme. Mereka memiliki harapan untuk dapat
menyambung hidupnya dan mengubah nasibnya, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki
dan kecemburuan terhadap orang-orang kaya sehingga kesenjangan antara kaya dan miskin
dapat diperkecil bahkan mungkin dapat dihilangkan.
Syariat islam tentang zakat mendorong adanya pemerataan pendapatan dan
kepemilikan harta dikalangan masyarakat muslim, menghilangkan monopoli dan
penumpukan harta pada sebagian masyarakat. Selanjutnya mendorong sistem ekonomi yang
berdasarkan kerja sama dan tolong menolong.

2.7.3. Manajemen Pengelolaan Zakat Produktif
Sehubungan dengan pengelolaan zakat yang kurang optimal, ada sebagian anggota
masyarakat yang tergerak hatinya untuk memikirkan pengelolaan zakat itu secara produktif,
sehinga mampu membangkitkan kesejahteraan umat islam khususnya, dan masyarakat pada
umumnya. Asosiasi ini sangat diperlukan saat ini karena merupakan lembaga konsultatif,
koordinatif, dan informatif tentang zakat. Untuk itu didalam pengelolaan zakat dibutuhkan
beberapa prinsip, di antaranya adalah:
·

Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasullah SAW

·

Keterbukaan

·

Memergunakan manajemen dan administrasi modern

·

Pengelolaan zakat dilakukan secara propesional
Amil zakat harus berpegang teguh pada tujuan pengelolaan zakat, yang antara lain adalah
sebagai berikut:

a) Mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya dari kesulitan dan
penderitaan.
b) Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para mustahik.
c) Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin daklam suatu masyarakat.
d) Meningkatkan syi’ar Islam.
e) Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan negara.
f) Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial dalam masyarakat.
Apabila prinsip-prinsip pengelolaan dan tujuan pengelolaan zakat dipegang oleh amil
zakat, baik itu lembaga maupun badan, serta zakat, infak, dan sedekah dikelola dengan
manajemen modern dan tetap menerapkan empat fungsi standart manajemen, insyaallah
zakat, infak, dan sedekah akan tercapai.
Objek Wakaf
Objek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak
bergerak yang dimiliki secara tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik
atas rumah, atau hak milik atas rumah susun. Sementara untuk objek wakaf benda bergerak
dapat dengan bentuk uang.
Terminologi wakaf berasal daripada perkataan Arab “waqafa” yang bermaksud
berhenti, menegah dan menahan. Dari segi istilah, wakaf telah diberikan takrif seperti:Syed
Sabiq (Fiqh al-Sunnah) – Wakaf ialah menahan harta dan memberikan manfaatnya pada
jalan Allah.
Istilah wakaf adalah berkait dengan infaq, zakat dan sedeqah. Ia adalah termasuk
dalam mafhum infaq yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam al-Quran. Ketiga-tiga
perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian daripada segolongan umat Islam kepada
mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang diwajibkan ke atas
umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedeqah yang menjadi sunat yang
umum ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua
perkara tersebut. Disamping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal
dimana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus, sedangkan harta wakaf

adalah berbentuk produktif itu kekal dan boleh dilaburkan dalam pelbagai bentuk untuk
faedah masa hadapan.[22]
Syarat Wakaf
Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah
seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan hukum,
dan pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.
Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan
pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari wakif untuk
menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh nadzir (orang yang
mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat.
·

Rukun Wakaf

a) Ada yang berwakaf, syarat:
b) Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan islam.
c) Kehendak sendiri, tidak sah karena dipaksa.
d) Ada barang yang diwakafkan, syaratnya:
e) Kekal zatnya. Berarti bila manfaatnya diambil, zat baang itu tidak rusak.
f) Kepunyaan yang mewakafkan, walaupun musya’ (bercampur dan tidak dapat dipisahkan dari
yag lain).
g) Ada tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf tersebut)
h) Lafaz, seperti: “saya wakafkan ini kepada ora