Gerakan mahasiswa antara idealitas dan r

Date: 10/09/2005

Gerakan Mahasiswa
Antara Idealitas dan Realitas

Disusun oleh :
Evyta A.R
HTU

UTH

KAMMI ADALAH WADAH PERJUANGAN
PERMANEN YANG AKAN MELAHIRKAN
PEMIMPIN MASA DEPAN YANG TANGGUH DALAM
UPAYA MEWUJUDKAN MASYARAKAT ISLAMI DI
INDONESIA

Sekapur Sirih
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam
barisan yang teratur, mereka seakan-akan seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh” (QS. As-Saff : 4)

“Katakanlah : ‘Hai kaumku, berbuatlah sepenuh kemampuanmu, sesungguhnya
aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui, siapakah (di antara kita)
yang akan memperoleh hasil yang baik dari dunia ini. Sesungguhnya orangorang yang zalim itu tidak akan mendapat keberuntungan.”
(Al-An’am : 135)
Ba’da tahmid dan shalawat. Sebuah tulisan yang sederhana dari penulis
dengan berbagai sumber yang ada telah mampu dirampungkan. Dilatarbelakangi
oleh tergeraknya sebuah kesadaran akan pentingnya peranan suatu kelompok yang
bernama “pemuda” , maka penulis berusaha memaparkan beberapa aspek yang
ada dalam sebuah gerakan mahasiswa. Negeri manapun tak terlepas dari
pemudanya. Sebuah proses kebangkitan dari keterpurukan selalu mengedepankan
pemuda dalam setiap sejarahnya.
Antara idealitas dan realitas yang terjadi dalam setiap gerakan mahasiswa
di negeri Indonesia ini menjadikan kita sebagai agen peubah dan kontrol sosial
perlu untuk mengkaji ulang dan mengevaluasi berbagai agenda dan sejarah yang
telah diukir oleh gerakan mahasiswa. Realitas yang terjadi di lapangan terkadang
cukup jauh keluar dari idealisme sebagai suatu gerakan mahasiswa. Sebuah
perenungan untuk gerakan mahasiswa yang ada agar menjadi sebuah pemikiran
baru untuk selalu komitmen pada korelasi antara idealitas dan relitasnya.
Akhir kata, semoga tulisan sederhana ini menjadi bermanfaat di tangantangan para pemuda. Menyadarkan kembali sesuatu yang “telah hilang” dari
pergerakan tersebut. Tak ada gading yang tak retak. Berbagai kekurangan dan

ketidaksempurnaan agar kiranya menjadi sebuah bahan pemikiran untuk
disempurnakan.

Medan, 10 September 2005
Evyta A. R

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

1

Mukaddimah
Pembicaraan tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi
pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir semua kalangan
masyarakat. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah
menghasilkan pula berbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang
diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam
pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks
kepeduliannya dalam merespon masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan
berkembang di tengah masyarakat. Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan
mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi

yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek
ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas
hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa sebagai
perpanjangan aspirasi rakyat dalam situasi yang demikian itu memang sangat
dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi
atas konflik-konflik yang terjadi pada penguasa. Secara umum, advokasi yang
dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun
tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam
memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak
mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya yang mendalam terhadap
lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas
hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau
kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami
distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan
bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu
penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena begitu berartinya,
sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah mencatat
bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu

dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

2

Alasan utama mengapa penulis menempatkan gerakan mahasiswa dalam
tulisan ini adalah tidak lain karena peran gerakan mahasiswa tersebut sebagai
pelopor dan penggerak dalam membela rakyat dari berbagai tirani dan segala
bentuk ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Mahasiswa dan gerakannya yang
senantiasa mengusung panji-panji keadilan, kejujuran,
ketegasan dan keberanian.

selalu hadir dengan

Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor

pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik
mahasiswa yang telah memberikan kontribusinya yang tak kalah besar dari
kekuatan politik lainnya. Mahasiswa yang merupakan sosok pertengahan dalam

masyarakat yang masih idealis namun pada realitasnya terkadang harus keluar
dari idealitasnya. Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa
memang tak bisa dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat
intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan
merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Sebuah konsep yang
cukup ideal bagi sebuah pergerakan mahasiswa walau tak jarang pemihakanpemihakan tersebut tidak pada tempatnya.
Pada

mahasiswa

kita

mendapatkan

potensi-potensi

yang

dapat


dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan
mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label
penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam
gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam
kegiatan pengabdiannya terutama

didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan

semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi
berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu,
sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator
dengan cara-caranya yang khas.
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang
telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali
masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam
memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari
alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang,
kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas


3

ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan
kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan
keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata
hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat jiwa patriotik yang dapat
membius semangat juang lebih radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam
melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Berbagai senjata ada di
tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan
kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat
diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti petisi, unjuk rasa, boikot atau
pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjatasenjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa jika dibandingkan
dengan intelektual profesional, lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap
tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni prorakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain mengiringinya. Adanya
kedekatan dengan rakyat dan juga kekuatan massif mereka menyebabkan gerakan
mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka
yang aktif layaknya bola salju, semakin lama semakin besar. Oleh karena itu,

sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan
mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara.
Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa
penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez
Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan
di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di
Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan
Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa
penggulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai
akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksiaksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang
sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani
untuk mengubah kondisi menjadi lebih baik.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

4

Bab I
Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia dari Masa ke Masa
Sejarah Indonesia modern sering dipahami sebagai sebuah proses

perjuangan panjang dari sebuah keluarga. Sebagai sebuah proses perjuangan
panjang, sejarah modern Indonesia biasanya dianalogikan sebagai sebuah garis
atau jalan, yang sudah barang tentu tidak harus dibayangkan lurus, dan
pembentukannya dimungkinkan oleh keberadaan sejumlah titik atau tonggak.
Titik-titik atau tonggak-tonggak yang merupakan penanda penting dari garis atau
jalan adalah “angkatan-angkatan”. Dari awal sejarah modern Indonesia yang
berlangsung sejak tahun-tahun pertama abad 20 hingga tahun kini dikenal atau
dipahami terdapat empat angkatan. Masing-masing dengan karakteristiknya dan
masing-masing mempunyai peran pentingnya sendiri dalam proses perjuangan :
angkatan 1908, angkatan 1928, angkatan 45, dan angkatan 66.
Antara tahun 50 dan 60 perguruan tinggi di Indonesia mengalami
peledakan jumlah mahasiswa. Bila tahun 1946-1947 terdaftar 387 mahasiswa
maka di tahun 1965 ada sekitar 280 ribu mahasiswa. Sebuah keterangan yang
pada gilirannya akan memudahkan seseorang untuk memahami bahwa antara
akhir tahun 1940-an hingga tahun 1950-an muncul berbagai organisasi massa
(ormas) mahasiswa. Diawali dengan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI) (5 Februari 1947), Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) (25
Mei 1947), yang lain misalnya Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
(23 Maret 1954), Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) (1956).
Meskipun terdapat sebuah catatan penting di sini, kemunculan ormas-ormas

tersebut tidaklah terjadi begitu saja atau semata-mata karena jumlah. Suatu
hubungan tertentu dengan partai politik tertentu, baik karena seideologi maupun
bersifat onderbouw, misalnya HMI dengan Masyumi, PMKI dengan Parkindo,
GMNI dengan PNI, CGMI dengan PKI, dapat diidentifikasi.
Melihat perjuangan anak-anak muda dalam konteks angkatan, dan
bukanlah dalan konteks mahasiswa, jelas bukan tanpa problematik. Angkatan
adalah sebuah istilah yang lebih dekat dengan pemuda, sementara pemuda,
sebagai sebuah kategori, merupakan turunan konsepsi generasi, suatu konsep yang

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

5

menurut seorang penulis selalu dihubungkan dengan usia muda antara 15 sampai
dengan 30 tahun. Dalam konsepsi pemuda seperti ini mahasiswa jelas hanya salah
satu bagian atau unsur pembentuk. Akan tetapi, sementara pemuda dalam konteks
“angkatan” adalah sebuah kekuatan sosial yang sangat penting, tidak demikian
realitas mereka yang dikategorikan sebagai pemuda oleh rezim orde baru. Di
bawah rezim orde baru, pemuda tidak lagi berada baik dalam batas-batas
pengertian obyektifnya, misalnya mengacu pada batas usia tertentu maupun

signifikansi sosiologi dan histrotisnya. Suatu arti baru dari pemuda sebaliknya
mulai muncul. Di bawah orde baru, pemuda bukan hanya mempunyai konotasi
dengan pembangunan, sebuah slogan orde baru . Lewat Komite Nasional Pemuda
Indonesia (KNPI), yang didirikan Juli 1973, merupakan kategori sosial yang
sepenuhnya dapat kontrol. Lebih jauh, adalah lewat mesin politik KNPI inilah
tampak bahwa proses mahasiswa di-pemuda-kan.
Jauh sebelum gerakan reformasi dimulai, kesangsian terhadap sejarah orde
baru yang dibangun tahun 1966 itu mulai timbul, sehingga banyak disoroti, timbul
banyak kecurigaan, karena banyak sisi-sisi gelap dan berbagai peristiwa janggal
yang mengganggu ketenangan akal sehat masyarakat. Tetapi munculnya
interpretasi lain sejarah politik tahun 1960-an khususnya gerakan 30 September
1965, di luar sejarah resmi versi rezim orde baru yang sedang berkuasa saat itu
cenderung dilarang, karena dianggap memutarbalikkan fakta, menyesatkan dan
memojokkan pemerintah. Eksistensi orde baru memang dibangun di atas puing
sejarah 1965, mengungkit sejarah dasawarsa itu berarti mengungkit keberadaan
orde baru, sehingga selalu dianggap subversi. Di sini tidak hanya pemerintah dan
militer yang punya klaim tetapi gerakan mahasiswa angkatan 1966 juga punya
klaim besar atas sejarah ini, dengan dalih telah menyelamatkan republik dari
cengkeraman PKI.

Gerakan Mahasiswa Angkatan ‘66
Sistem politik nasional yang melatar belakangi gerakan mahasiswa
Indonesia tahun 1966 perlu dibeberkan kembali agar bisa menempatkan gerakan
mahasiswa era tersebut secara proporsional. Dengan pemaparan semacam itu akan
kelihatan di mana gerakan mahasiswa itu bersifat otentik sebagai cetusan dari

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

6

tanggung jawab moral mereka terhadap keadaan, yang kemudian membentuk
moral force untuk mengontrol kekuasaan. Dan di mana gerakan mahasiswa
terjebak secara sadar atau tidak ke dalam permainan politik pihak lain, apakah itu
militer, Soekarno, partai-partai politik dan terutama PKI. Hal itu saat ini menjadi
persoalan krusial yang menyelubungi gerakan mahasiswa tahun 1966.
Politik Indonesia pasca kemerdekaan diwarnai oleh sengitnya persaingan
antara Soekarno dengan militer. Sebagai presiden dan proklamator Soekarno
memang memiliki kekuasaan secara de facto maupun de jure.Begitu pula militer,
sebagai angkatan perang mengklaim punya hak atas kekuasaan mengingat jasa
mereka terhadap terbentuknya republik ini. Karena itu militer menuntut hak-hak
istimewa dalam politik sehingga memiliki burgain politik yang kuat baik di
hadapan Soekarno maupun di hadapan partai politik. Ketidakstabilan kekuasaan
politik yang dipegang partai-partai politik membuat tentara sangat risau, apalagi
saat itu negara diguncang oleh berbagai pemberontakan daerah. Maka atas
desakan militer pada tahun 1957 Soekarno mengumumkan diberlakukannya
Undang-Undang darurat. Hal itu memungkinkan militer bisa berbuat banyak hal
tanpa dibatasi kewenangannya.
Sejak dikeluarkannya dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan oleh
Soekarno, Indonesia yang seharusnya sebagai negara demokrasi pembagian
kekuasaannya terdiri atas tiga lembaga, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi
dalam demokrasi terpimpin ini pembagian kekuasaan hanya ada antara Presiden
Soekarno dan militer. Lalu terbentuklah partai-partai besar seperti PMI, NU, dan
PKI. Kemudian situasi politik internasional semakin memanas dan mempengaruhi
situasi politik nasional sehingga Soekarno semakin menggandeng PKI yang
menjadi kekuatan politik yang sangat efektif.
Kondisi Indonesia yang semakin parah akibat adanya program pemerintah
yang menyita perhatian seluruh masyarakat dan biaya yang sangat besar di
antaranya adalah pembebasan Irian Barat 1962 dari kolonial Belanda, konfrontasi
dengan Malaysia, dan perekonomian yang merosot dengan kebijakan yang
semakin memberatkan rakyat sehingga menyebabkan inflasi dan ketegangan
politik yang semakin jauh. Akhirnya meletuslah Gerakan 30 September 1965.
Mengambil momentum ini mahasiswa kembali bergerak memanfaatkan situasi

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

7

untuk mengkritik keadaan. Kemudian terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) pada tanggal 25 Oktober 1965 yang akhirnya tersebar ke
mana-mana untuk melakukan koreksi terhadap rezim yang ada.
Mahasiswa menyampaikan tuntutan-tuntutan secara spontan, lalu
dirumuskan dalam sebuah konsep sederhana yaitu Tritura yang isinya menuntut
pembubaran PKI, Retool kabinet Dwikora, dan turunkan harga barang.
Dideklarasikan pada 10 Juni 1966 tepat hari kebangkitan mahasiswa Indonesia.
Berbagai aksi dilakukan dalam rangka merubah keadaan tersebut. Mahasiswa
mendapat dukungan dari militer yang dipimpin oleh Soeharto yang tentu saja
bukanlah sebuah keikhlasan militer itu sendiri tetapi sebagai bagian dari struggle
power (pertarungan kekuasaan) yang tidak disadari mahasiswa sendiri.
Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno melakukan reshufle kabinet
dwikora dengan orang-orang yang punya cacat dan tidak kompeten dalam
menjalankan tugas. Lalu terjadilah aksi oleh KAMI beserta Kesatuan Pemuda dan
Pelajar Indonesia (KAPPI) dengan tuntutan segera melaksanakan Tritura.
Bentrokan terjadi dan mengakibatkan gugurnya Arief Rahman Hakim yang
semakin membuat gerakan mereka solid. Ketika KAMI dilarang 4 April 1966
mahasiswa membentuk Laskar Arief Rahman Hakim yang terdiri dari 42
universitas dan perguruan tinggi di Jakarta. Militer pun semakin memberikan
dukungannya dan akhirnya terjadilah aksi besar-besaran oleh mahasiswa.
Kondisi keamanan yang semakin buruk dan atas skenario yang diciptakan
militer, serta mahasiswa yang semakin menekan pemerintah untuk segera
melakukan perubahan, akhirnya Soekarno mengadakan sidang kabinet. Setelah
mengalami desakan dan tekanan dari berbagai pihak akhirnya Soekarno
melimpahkan kekuasaan keamanan negara kepada militer yang saat itu dipimpin
oleh Pangkostrad Soeharto. Militer mengambil alih pemerintahan dari Soekarno
melalui Supersemar .PKI pun dibubarkan dan mahasiswa merasa telah berhasil
dalam berbagai perjuangannya.
Dengan demikian, sejak saat itu gerakan mahasiswa telah nyaris berhenti.
Semuanya telah jatuh dan diserahkan kepada penguasa militer. Dengan penuh
kenangan dan heroisme perjuangan kembali ke kampus membawa mitos
kemenangan dan mengabadikan perjuangan mereka dalam sebuah monumen,

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

8

angkatan 66 dan sebagainya. Angkatan 66 dimunculkan sebagai mitos dan
dijadikan rujukan sejarah bagi gerakan mahasiswa yang berhasil memperjuangkan
idealismenya. Selama Orde Baru berkuasa yang dipimpin oleh Soeharto, angkatan
66 mendapatkan fasilitas dan peran yang cukup memadai. Ketika dikukuhkannya
Dwifungsi ABRI sebagai kekuatan militer dan sekaligus sosial politik, gerakan
mahasiswa sepenuhnya terserap dalam kekuasaan militer dengan Golongan Karya
(Golkar) sebagai mesin untuk mobilisasi massa.
Gerakan mahasiswa angkatan 66 memang monumental dalam mobilisasi
mahasiswa, tetapi kemurnian gerakan mereka telah masuk ke dalam setting politik
yang dibangun militer sehingga ketika berbagai penyelewengan yang dilakukan
pemerintah orde baru tidak membuat mahasiswa bangkit untuk merubahnya
melainkan semakin mengikuti kehendak penguasa pada saat itu.

Gerakan Mahasiswa 1970-1993
Peristiwa Malari tahun 1974 merupakan puncak perpecahan antara
mahasiswa dengan penguasa Orba. Kritik dan protes terhadap hasil pembangunan
semakin gencar dilakukan mahasiswa. Berbagai konsep dan intrik dilakukan
penguasa Orba kepada rakyat umumnya baik dalam hal pembangunan maupun
Pemilu yang menyebabkan penderitaan bagi rakyat dan ketidakbebasan demokrasi
Indonesia. Diprakarsai oleh mahasiswa ITB dan dilatarbelakangi oleh Pemilu
yang hanya digunakan untuk membodohi rakyat, akhirnya mahasiswa membentuk
Gerakan Anti Kebodohan (GAK). Berbagai universitas di Jawa seperti ITB,
UGM, UI, dan lain-lain memanfaatkan momentum peringatan Tritura dengan
melakukan aksi mengusung wacana “Matinya Demokrasi” atas pemerintah Orba
yang pada saat itu tokoh mahasiswa selaku ketua Dewan Mahasiswa (DM) adalah
Hery Akhmadi dan Lukman Hakim.
Penguasa Orba mengatakan bahwa secara sistematis melalui DM,
mahasiswa telah melawan hukum dan konstitusi, menggunakan diskusi untuk
membangun opini untuk mengganti kepemimpinan nasional. Kedatangan DM seIndonesia ke MPR menyatakan ketidakpercayaan kepada lembaga tersebut pada
tanggal 7 Januari 1978 dianggap merendahkan pemerintah. ABRI turun tangan,
hampir sebagian surat kabar yang secara tidak seimbang menyiarkan kegiatan

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

9

mahasiswa itu dilarang terbit. Sejumlah kampus diduduki militer dan
membekukan DM semua universitas pada tanggal 21 Januari 1978.
Pada tanggal 19 April 1978, menteri P dan K mengeluarkan SK tentang
Netralisasi Kehidupan Kampus (NKK) dengan dibentuknya Badan Koordinasi
Kemahasiswaan yang segenap kegiatan kampus dipimpin oleh pimpinan
perguruan tinggi. Pemberlakuan Sistem Kredit Semester (SKS) secara intensif
mengakibatkan ketatnya kewajiban mahasiswa menyelesaikan beban studinya
dan ketatnya pembinaan non akademik menyebabkan keterbatasan untuk
melakukan aktivitas politik moral.
NKK/BKK

terbukti

ampuh

menghancurkan

infrastruktur

fungsi

mahasiswa. Berubahnya orientasi mahasiswa terhadap pekerjaan menyebabkan
pasifnya gerakan mahasiswa terhadap sosial politik bangsa. NKK/BKK juga
menimbulkan fenomena militerisasi kampus yang memungkinkannya pengawasan
ABRI dan badan-badan intelijen di dalam universitas dan kehidupan mahasiswa.
Pada akhir 80-an mahasiswa yang berkiprah di luar kampus mulai
mengangkat tema-tema kerakyatan. Sebagai konsekuensi dari pilihan “bersama
rakyat” maka sebagian mahasiswa aktivis 80-an harus berhadapan dengan OB
dalam bentuk penangkapan, pengadilan, tuduhan subvertif, dan lain-lain.
Walaupun demikian, organisasi mahasiswa semakin banyak terbentuk meskipn
masih taraf manajemen yang belum memadai. Kecenderungan melakukan aliansi
atau koalisi sangat tinggi tahun 1989-1990, hal ini dikarenakan gerakan
mahasiswa kurang solid dan lebih condong kepada ideologi masing-masing.
Serangkaian aksi periode 1989-1993 tidak hanya sebatas test case, tetapi sekaligus
untuk mencari wacana baru mengenai gerakan itu sendiri. Gerakan mahasiswa
mulai membangun jaringan dan membentuk konsep yang lebih baik seperti
dengan kaum buruh, tani, kaum miskin dan lain sebagainya yang akhirnya mampu
menciptakan sebuah kekuatan yang meliputi semua lapisan masyarakat yang harus
diorganisir sebagai kekuatan peubah.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

10

Gerakan Mahasiswa ’98 dan Perjuangan Reformasi
Rezim orde baru yang berkuasa hampir selama 32 tahun dengan segala
program hanya bisa menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat dan mandulnya
demokrasi hingga timbul krisis ekonomi yang besar-besaran serta pemilu 1997
yang tidak lagi bersifat luber semakin memperburuk kondisi bangsa sehingga
semakin memperbesar semangat mahasiswa untuk melakukan perubahan terhadap
rezim Soeharto.
Era tahun 90-an dapat dikatakan sebagai renaisans bagi gerakan
mahasiswa.

Menurut

Eep

Saefullah

Fatah,

ada

beberapa

hal

yang

melatarbelakangi bergairahnya kembali gerakan mahasiswa yang sebelumnya
lama dalam keadaan tiarap akibat represi rezim. Hal tersebut dikarenakan :
1. Ekses dari karakter pendidikan yang tertutup dan kurang dialogis.
2. Ekses dari politik pembangunan Orde Baru
3. Kegelisahan mahasiswa melihat kehendak stabilisasi politik dan ekonomi
Orba yang begitu kuat dan menuntut biaya sosial yang besar
Ketiga faktor di atas mendorong munculnya berbagai kelompok studi,
kelompok aksi, dan berbagai LSM yang digerakkan oleh pemuda pro demokrasi.
Hal lain yang menjadi karakteristik gerakan mahasiswa ’98 adalah sifatnya yang
berawal dari aksi. Berbeda dengan fase-fase sebelumnya, di mana gerakan
mahasiswa Indonesia diwarnai oleh berbagai ormas kemahasiswaan, gerakan
mahasiswa 98 ini diwarnai dengan munculnya kelompok-kelompok aksi yang
memiliki beragam basis ideologi dan pengorganisasian gerakan.
Dalam sejarah politik Indonesia, gerakan mahasiswa tahun 1997/1998
adalah yang paling menonjol dalam menentang kekuasaan presiden Soeharto.
Bermula menuntut demokratisasi, penegakan HAM, pelaksanaan reformasi total,
hingga meningkat pada pengunduran diri Soeharto dari jabatan Presiden. Dari
penghujung 1997 sampai Mei 1998, hampir setiap pekan terjadi gelombang
demonstrasi dari berbagai elemen atau kelompok mahasiswa di berbagai kota
besar. Bentuk dan pola aksinya pun beragam, seperti demonstrasi, mimbar bebas,
dialog, audiensi, petisi, seminar, pawai, dan sebagainya. Salah satu unsur gerakan
mahasiswa yang muncul di tahun 1998 dan dikategorikan sebagai kelompok aksi
yang menggunakan terminologi Haynes adalah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

11

Indonesia (KAMMI) yang lahir pada tanggal 29 Maret 1998. KAMMI melakukan
gebrakan aksi perdananya yaitu “Rapat Umum Mahasiswa dan Rakyat Indonesia”
yang mampu memobilisasi massa sebanyak 20 ribu orang, dilaksanakan di luar
kampus, berlangsung secara tertib dan aman, isu utamanya adalah reformasi total.
Aksi-aksi

berikutnya

digulir

oleh

KAMMI

dan

berbagai

organisasi

kemahasiswaan lainnya.
Akhirnya, setelah berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan gerakangerakan mahasiswa hingga menimbulkan korban jiwa yang cukup besar, serta
kondisi keamanan dan kehidupan negara yang sudah carut-marut, pada tanggal 21
Mei 1998 dalam pidatonya di Istana Negara, presiden Soeharto menyatakan
berhenti dari jabatan presiden Republik Indonesia. Masa transisi demokrasi
Indonesia pun baru dimulai untuk menata kembali kehidupan bangsa. Era
reformasi yang didengungkan mahasiswa akan segera dimulai.
Semangat untuk terus memperjuangkan reformasi total tetap dimiliki oleh
gerakan mahasiswa umumnya dan KAMMI khususnya. Semangat dan idealisme
semacam inilah yang membuat KAMMI terus bergerak mendobrak rezim
Habibie, lalu rezim Gus Dur, bahkan rezim Megawati dengan tuntutan yang tetap
sama, reformasi.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

12

Bab II
Idealisme Sebuah Gerakan Mahasiswa
Secara umum gerakan mahasiswa sampai saat ini tetap berada di garis
depan dalam setiap gerakan pembebasan tanah air di seluruh dunia menentang
kezaliman, dan juga merupakan markas utama yang melahirkan tokoh-tokoh
pemikiran dan revolusi di banyak negara. Demikian pula, gerakan mahasiswa
adalah target sasaran musuh-musuhnya, karena ia adalah kumpulan para
cendikiawan ummat, para aktivis, orang-orang yang berpikir terbuka, paling siap
berkorban dan terakhir paling siap melakukan perubahan-perubahan yang jika
belum terjadi di usia mereka pasti akan terjadi di masa depan.
Berangkat dari sejarah yang terjadi pada gerakan mahasiswa sejak dulu
hingga sekarang, sebuah idealitas memiliki pengaruh yang sangat besar untuk
mewujudkan suatu perubahan. Mahasiswa sebagai komponen menengah dalam
masyarakat memiliki sebuah idealitas yang cukup untuk mengakomodir terjadinya
sebuah perubahan. Gerakan mahasiswa adalah sebagai sebuah gerakan moral
demi menegakkan keadilan dan kebenaran bagi seluruh rakyat. Gerakan
mahasiswa muncul sebagai curahan perasaan rakyat yang mendambakan
perubahan untuk kemajuan. Generasi muda harus memupuk kekuatan diri sebagai
suatu gerakan moral dan senantiasa tampil sebagai alat koreksi dan sosial kontrol
terhadap penyelewengan, ketidakadilan, korupsi dan penindasan. Karena itu
mereka berusaha tetap bersih, bebas dari ekses-ekses, dan mampu menggalang
persatuan dan kesatuan pendapat serta mental di antara sesamanya dan mampu
melahirkan kesatuan dalam tindakan.

Idealisme Sebuah Gerakan Mahasiswa Islam
Tak dapat dipungkiri, Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah
muslim sudah sewajarnya memiliki distribusi pemuda dan mahasiswa muslim
yang besar pula. Sejarah mengatakan kepada masyarakat, bahwa hampir sebagian
besar perjuangan di kancah politik dan sosial sejak awal kemerdekaan dan hingga
saat ini tidak terlepas dari peran mahasiswa islam yang tergabung dalam berbagai
gerakan mahasiswa dengan landasan ideologi yang beragam pula. Maka sebuah

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

13

gerakan mahasiswa islam tentu tidak terlepas dari idealitas religius. Selain dari
peranan politik mereka sebagai pelopor dari komunitas orang yang dirampas
haknya, gerakan mahasiswa islam juga mempunyai kepentingan moral dan sosial
masyarakat dan bangsa.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, di antara pola aktivitas baru
mahasiswa pasca NKK/BKK adalah merebaknya aktivitas keislaman berbasis
masjid kampus. Aktivitas keislaman berbasis masjid kampus ini dalam perjalanan
dan perkembangannya berhasil mengimbangi dan menggeser peran yang selama
ini didominasi oleh ormas islam kemahasiswaan yang terlibat dan kemudian
beralih aktivitasnya ke bentuk baru ini. Ada dua faktor yang mempengaruhi pola
baru aktivitas keislaman mahasiswa, yaitu pertama adalah munculnya kelompok
anak muda yang memiliki semangat tinggi dalam mempelajari dan mengamalkan
islam, sebagai respon dari tekanan politik pemerintahan orba terhadap umat islam.
Dan kedua adalah adanya sebuah ruang publik yang relatif lapang, yang bernama
masjid atau mushalla kampus, tempat di mana idealisme kaum muda islam itu
mengalami persemaian ideal dan pengecambahan secara cepat.
Secara normatif falam ajaran islam, pemuda dianggap memiliki peran
sangat penting untuk memobilisasi kesadaran masyarakatnya. Dalam catatan
sejarah, bagian terbesar dari kelompok pertama yang menerima ajaran islam
terdiri dari para pemuda. Dari sudut ini dapat dilihat betapa kehadiran pemuda
sebagai penggerak perubahan di dalam masyarakat merupakan hal yang sangat
mendasar dalam islam. Hal ini tidak hanya sekedar sebuah tuntutan yang sematamata bersifat sosiologis, melainkan lebih dari itu memiliki landasan ideologis
yang sangat kuat.
Sesungguhnya sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala
kuat rasa keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalannya, semakin
bersemangat dalam merealisasikannya, dan kesiapan untuk beramal dan berkorban
dalam mewujudkannya. Keempat rukun ini, iman, ikhlas, semangat, dan amal
merupakan karakter yang melekat kuat pada diri pemuda, karena sesungguhnya
dasar keimanan itu adalah nurani yang menyala, dasar keikhlasan itu adalah hati
yang bertaqwa, dasar semangat itu adalah perasaan yang menggelora, dan dasar
amal adalah kemauan yang kuat. Itu semua tidak terdapat kecuali pada diri para

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

14

pemuda. Oleh karena itu, sejak dulu hingga sekarang pemuda merupakan pilar
kebangkitan. Menurut Hasan Al-Bana, dalam setiap kebangkitan, pemuda
merupakan rahasia kekuatannya. Di dalam setiap fikrah, pemuda adalah pengibar
panji-panjinya.
“...Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada
Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk”(QS. Al-Kahfi : 13)
Berbicara tentang gerakan mahasiswa islam tidak terlepas dari sebuah
Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Mata rantai perjalanan sejarah yang panjang
dan dinamis, serta saling keterkaitan antara satu fase dengan lainnya menjadikan
LDK sebagai unsur kekuatan besar dakwah islam di Indonesia. Dakwah berupaya
merubah pikiran, perasaan, dan tingkah laku manusia dari jahiliyah kepada islam,
atau dari yang kurang islami menjadi lebih islami, sehingga terbentuk tatanan
masyarakat islami.
Berkenaan dengan mahasiswa dan kampus, secara struktural sosial
masyarakat, keduanya dipandang sebagai satu kesatuan sistem yang mempunyai
peran penting dalam perubahan sosial dan kepemimpinan masyarakat. LDK
berperan sebagai gerakan mahasiswa islam yang berfungsi sebagai wahana untuk
mencetak mahasiswa muslim sebagai kader islam yang tangguh dan agen
perubahan sosial.

KAMMI Sebagai Gerakan Mahasiswa Islam
KAMMI sebagai sebuah gerakan mahasiswa yang cukup memberikan
kontribusi besar dalam era reformasi, memiliki berbagai idealisme yang berpusat
pada satu kesatuan pemahaman islam sebagai landasan pergerakannya. Dalam
perspektif KAMMI, akar persoalan bangsa Indonesia adalah hancurnya moralitas
(agama) yang menjadi dasar bagi semua sikap perilaku anggota masyarakat dan
pada pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Berdasarkan atas hal ini,
KAMMI memiliki dua konsep yaitu perubahan sosok-sosok pemimpin baru yang
handal dan bermoral, dan perubahan moralitas dan budaya masyarakat yang
sejalan dengan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran universal. Sebagai gerakan
modern, KAMMI meletakkan konsep tersebut dalam tingkatan mikro. KAMMI
mendisain sistem organisasinya dengan sebuah idealisme prinsip organisasi

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

15

modern yang rasional dan profesional. Pada saat yang bersamaan, KAMMI juga
menempatkan dasar-dasar moralitas dalam perilaku dan budaya organisasinya
melalui sistem alur kaderisasi yang komprehensif dan kontiniu. Proses kaderisasi
KAMMI yang tercermin dalam konsep Tauhid dan konsep Al-Haq wal-Bathil
yaitu dengan menanamkan keyakinan dan keberpihakan yang teguh terhadap
kebenaran dan pengingkaran dan permusuhan yang konsisten terhadap kebathilan.
Nilai ini menumbuhkan satu sikap kepribadian dasar pada aktivis KAMMI untuk
senantiasa mengkritisi kondisi kebenaran dan kebathilan dari perspektif keTuhanan (Ilahiyah) dan bukan aspek-aspek yang sifatnya simbolik belaka. Dalam
menjalankan agenda-agenda perubahannya, KAMMI juga mengedepankan prinsip
perbaikan, yaitu “kritis dalam sikap, moderat dalam cara”.
Berangkat dari berbagai landasan dan idealisme di atas, maka seluruh
agenda-agenda dan program-program KAMMI tidak terlepas dari langkah untuk
mencapai perubahan yang lebih baik.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

16

Bab III
Realitas yang Terjadi Dalam Gerakan Mahasiswa
Pada paparan sebelumnya telah dibahas tentang berbagai idealisme dalam
sebuah gerakan mahasiswa beserta komponen mahasiswa di dalamnya. Dengan
rujukan idealisme tersebut, sebuah gerakan mahasiswa dapat diketahui realitasnya
apakah sebuah gerakan itu sesuai dengan apa yang menjadi landasan ideologinya
atau hanya menjadi sebuah alat dari pihak-pihak tertentu dalam memenuhi
kepentingan individu dan golongan.
Terkadang sebuah idealitas harus teracuhkan dalam kerja-kerja nyata di
lapangan. Dalam aplikasi dan solusi yang ditawarkan secara tak sadar telah keluar
dari konsep dasar sebuah pergerakan mahasiswa. Hal ini bukanlah sesuatu yang
baru, bahkan pada angkatan 66 sudah terbukti bahwa gerakan mahasiswa akhirnya
menjadi sebuah mitos sejarah belaka yang diakibatkan karena berbagai
kepentingan dan keinginan yang melenakan dari pihak-pihak yang turut andil
dalam pergerakannya.
Zaman yang berubah cepat, kaum muda Islam di Indonesia sebagai yang
terbesar, diminta untuk mengambil tindakan-tindakan yang bertendensi ke masa
yang akan datang. Setiap kita terutama pemuda an mahasiswa diminta untuk
melibatkan diri dalam suatu kelompok entitas, apakah kita sebagai entitas bangsa
atau sebagai entitas kesadaran. Kesemuanya itu menandakan adanya suatu
persimpangan yang rumit dan juga suatu pertaruhan yang melibatkan tidak hanya
satu generasi saja dari bangsa ini, akan tetapi juga melibatkan mereka yang belum
lahir dalam kehidupan bangsa ini.
Dalam posisi ini, ketika gerakan mahasiswa memposisikan diri sebagai
pelaku dan bukan penonton, persoalannya bukanlah semata-mata optimisme atau
pesimisme. Lebih dari itu, mahasiswa harus mampu berfikir apa yang harus
dilakukan dan seberapa besar energi dan amunisi yang harus disiapkan. Sudah
saatnya pula gerakan mahasiswa menegaskan kembali untuk tidak terlarut dalam
romantisme sejarah, meskipun dengan tetap mengakui bahwa mereka adalah
“anak-anak yang tumbuh di bawah asuhan sejarah”. Disini, tugas gerakan
mahasiswa bukan sekedar menuju pada suatu benua makna, akan tetapi menerka-

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

17

nerka maknanya, menaksir terkaan-terkaan itu dan menarik kesimpulan dan
terkaan terbaik.
Sebagai suatu gerakan mahasiswa, realitas yang terjadi saat ini biasanya
adalah sebuah pergeseran nilai-nilai idealisme yang sejak awal diusung oleh
mereka—mereka yang menyebut dirinya sebagi agen peubah. Bahkan lebih buruk
lagi, sebuah analisis yang dilakukan, reformasi jangan sampai mati, untuk itu
perlu peran gerakan mahasiswa yang ada sebagai bentuk kontrol sosial menjadi
wadah bagi terciptanya reformasi tersebut dalam tatanan mikro. Maka, dalam hal
aplikatif tidak hanya sekedar pemikiran sebelah pihak saja, tetapi perlu proses
aplikatif dalam tatanan yang lebih real dan sesuai dengan tuntutan zaman. Kalau
beberapa tokoh mengatakan “No action, talk only”, mungkin ada benarnya pada
sebagian gerakan mahasiswa. Berbagai diskusi yang dilakukan dalam setiap
elemen mahasiswa belum mampu merumuskan suatu konsep bersama yang solid
untuk melakukan sebuah perubahan yang lebih berarti. Aksi-aksi yang dilakukan
tidak hanya sekedar perhelatan tradisi pengulangan sejarah atas wacana yang ada
di dalam masyarakat, tetapi juga mampu menimbulkan efek yang cukup kuat bagi
terciptanya suatu solusi dalam rangka perbaikan.
Mulai saat ini mahasiswa harus menyadari bahwa perlawanan lewat aksiaksi demonstrasi jalanan saja tidaklah cukup, karena ia “hanya” berfungsi untuk
mereduksi kedzaliman, dan belum cukup tepat untuk disebut solusi. Lebih dari itu,
pemuda harus menyadari bahwa mereka, minimal, memiliki empat agenda.
Pertama mempersiapkan para tekno-birokrat, kedua mempersiapkan para
‘intelektual organik’. Ketiga mempersiapkan kader-kader ‘pemimpin politik’ dan
keempat mempersiapkan para pengusaha. Agenda ini harus dijalankan secara
serius untuk mengobati “cacat bawaan” kepemimpinan dan personal yang ada
pada bangsa ini. bijaksana.
Permasalahan yang menyibukkan masyarakat di Indonesia, juga
internasional, sesungguhnya terjadi di wilayah internal. Berbagai konflik antar
gerakan dan kelompok tertentu sudah bermetamorfosa kepada konflik antar
gerakan lain khususnya mahasiswa. Dalam gelombang perubahan ini, saatnya
sekarang para pemuda dalam arti mahasiswa secara khusus diberi ruang untuk
memainkan peranan yang menentukan. Kaum muda adalah mereka yang dipihaki

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

18

oleh waktu, dan karena itu melawan kebangkitan pemuda berarti mengkhianati
proses hidup yag telah ditetapkan Allah Swt. Tentunya dalam konteks ini kita
teringat sebuah tulisan yang dibuat oleh Jane Foster, Kumi Naidoo, dan Marcus
Akhuta-Brown, judulnya “Youth Empowerment and Civil Society”. Tulisan yang
termuat dalam buku Civil Society at the Millenium (1999) ini menggariskan
pentingnya pemuda dalam proses perubahan politik melalui civil society dimanamana. society”.
Negara ini terus-menerus melakukan keterpurukan terhadap masa depan
generasi berikutnya. Kegagalan ini membuat sindrom pemalasan sosial (social
loafing) yang terjadi terus menerus tanpa henti. Semua orang berbicara atas nama
rakyat tetapi hakekatnya mereka lebih senang bekerja sendiri untuk memenuhi
ambisi politik mereka daripada bekerjasama dengan elemen bangsa yang lain
untuk kebutuhan bangsa yang lebih besar.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah mengenai kondisi pada saat ini
bukan dalam kondisi yang ideal. Masalah yang timbul bukan masalah hitam dan
putih untuk bisa dibedakan secara jelas. Tetapi masalah yang timbul adalah di
antara abu-abu dan sedikit abu-abu. Kecerdasan dan kejernihan pikiran
dibutuhkan dalam mengambil keputusan karena Islam mempunyai manhaj berfikir
sendiri. Maka gerakan mahasiswa harus mampu mewujudkan sebuah solusi yang
bijak sesuai dengan idelisme yang diusung dari beragam masa perjuangan
Indonesia.
Proses perbaikan umat (ishlahul ummah) diperlukan dalam kehidupan
berdemokrasi di Indonesia karena hanya melalui perbaikan itulah konflik dan
persaingan bisa menjadi rahmat bagi umat. Perbaikan ini memerlukan perjalanan
yang panjang dan melelahkan. Sehingga diperlukan keberanian dan sikap tegas
dalam mengambil keputusan untuk memulai memasuki babak baru perbaikan.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

19

Khatimah
Pemuda merupakan tonggak sejarah masa lalu dan masa depan sebuah
peradaban. Jika pemuda sebuah peradaban baik, maka baiklah peradaban itu, dan
sebaliknya. Yang paling bijak bagi gerakan kaum muda dengan kondisi
ketidakmenentuan seperti saat ini adalah mencegah agar gerakan pemuda tidak
terjebak dan larut hanya dengan problem kekinian yang kompleks, bahkan nyaris
tak terpecahkan. Gerakan kaum muda haruslah bernafas panjang, berfikir jauh ke
depan, dan justru tidak meninggalkan fokus utamanya yakni meyiapkan generasi
pengganti yang akan memimpin perubahan.
Pola kaderisasi yang matang akan menjamin kesetaraan kualitas personal
yang dihasilkan. Keyakinan ideologis, ruh perjuangan, dan jati diri hendaknya
selalu menjadi ciri khas dari pemuda. Kematangan ini meliputi pemahaman
politik, life skill, manajerial, leadership, dan wawasan. Selain tentu saja aqidah,
ibadah, akhlak, fikrah, dan manhaj. Terutama bagi sebuah gerakan mahasiswa
islam yang mengusung panji-panji islam. Lalu pemikiran yang menampilkan
secara tegas pokok-pokok pikiran yang menjadi ideologi gerakan. Dari sinilah ideide fundamentalis dapat digariskan secara tegas.
Akhirul kalam, kita adalah pemuda, maka berdirilah tegak sebagai pemuda
layaknya, kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban kita sebagai khalifah di
muka bumi ini. Wallahu’alam.

Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya Kami akan
tunjukan kepada mereka jalan Kami dan sesungguhnya Allah SWT beserta orangorang yang berbuat kebaikan. (Al-Ankabut : 69)

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

20

Daftar Pustaka
Al-Banna, Hasan. 1998. “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin”. Era
Intermedia. Solo.
Anonim. 2000. “Gerakan Mahasiswa Sebagai Gerakan Pemberdayaan Dan
T

T

Identitas”.http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi20/20berita_4.ht
HTU

ml. Jakarta.
UTH

Bontas P, Bramastyo. 2005. “Transformasi Kaum Muda Indonesia”.
http://kammi.or.id/lihat.php?d=materi&do=view&id=929. Jakarta.
UTH

THU

Departemen Agama RI. 2004. “Al-Qur’an dan Terjemahannya”. PT Syamil Cipta
Media. Jakarta.
Sidiq, Mahfudz. 2003. “KAMMI dan Pergulatan Reformasi”. Era Intermedia.
Solo.
Thahan, Musthafa Muhammad. 2002. “Risalah Pergerakan Pemuda Islam”. Visi
Publishing. Jakarta.
T

T

Widjojo, Muridan S..1999. “Penakluk Rezim Orde Baru Gerakan Mahasiswa
1998”. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas

21