Perkembangan Kecerdasan Emosional and Mo

PERKEMBANGAN
KECERDASAN EMOSIONAL DAN MORAL
PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Psikologi Pendidikan
Yang dibina oleh Bapak Dr. Dedi Kuswandi, M.Pd

Disusun Oleh:
Yudi Rohmad
(160121801065)
Yatmini
(160121800446)
Dwi Soca Baskara (160121800879)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA
PRODI S-2 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
Oktober 2016


0

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tak jarang kita bertemu atau sekedar membaca berita, bahwa orang-orang
tertentu yang memiliki pendidikan tinggi—yang diasumsikan taraf IQ-nya juga
tinggi—tetapi kurang sukses dalam menjalani hidup. Bahkan meskipun ketika kita
ukur kesuksesan sebagai perolehan materi, tak jarang orang yang berpendidikan
rendah mampu meraih pendapatan materi yang jauh lebih tinggi daripada orang
yang berpendidikan rendah.
Belum lagi jika kesuksesan harus kita maknai lebih tajam sebagai kebahagian
hidup, tidak sedikit orang yang berpendidikan rendah mampu menjalani hidupnya
dengan penuh kebahagiaan. Sedangkan orang-orang dengan pendidikan tinggi
kadang bahkan tidak mampu menempatkan diri dengan seharusnya sebagai bagian
dari anggota masyarakat. Kondisi ini mengisyaratkan adanya ketidakberesan dalam
memandang skor IQ dan tingkat pendidikan. Dimana sampai saat ini masih banyak
sekolah yang menerapkan tes IQ sebagai dasar penerimaan siswa baru, yang lalu
memunculkan kebanggaan-kebanggan tersendiri bagi pihak sekolah, orang tua, dan
anak-anak dengan sebutan sekolah unggul, sekolah favorit. Tetapi saat si anak

menyelesaikan semua jenjang pendidikannya dan terjun ke masyarakat, ternyata
banyak sarjana yang hanya menjadi karyawan sebuah perusahaan yang dimiliki
oleh orang yang pendidikannya biasa-biasa saja.

Hal senada diungkapkan oleh Goleman (2015:55) bahwa konsep lama tentang
IQ hanya berkisar di kecakapan linguistik dan matematika yang sempit, dan bahwa
keberhasilan meraih angka tinggi pada tes IQ paling-paling hanya menjadi ramalan
sukses di kelas atau sebagai profesor, tetapi semakin lama semakin melenceng
seiring jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademis.
Kondisi ini juga masih mendominasi proses pendidikan di Indonesia. Seperti
yang dijelaskan oleh Toenlioe (2013:70) bahwa Ujian Nasional (UN) adalah contoh
paling kongkrit dan aktual dari puncak gunung es penerapan berlebihan salah satu
kutub teori atau pandangan dalam mengelola pendidikan, yakni teori empirisme
yang sejalan dengan behaviorisme.

B. RUMUSAN MASALAH

Dengan uraian di atas, kita patut bertanya bagaimana sebenarnya sejarah
munculnya tes-tes dan teori-teori kecerdasan itu. Mengapa teori-teori kecerdasan
1


terus mengalami perkembangan, dan mengapa kemudian muncul teori kecerdasan
emosional yang notabene lebih memengaruhi kesuksesan hidup manusia. Lalu
bagaimana mengaplikasikan teori kecerdasan emosional dan moral di lingkungan
pendidikan formal?

C. BATASAN MASALAH

Dalam makalah ini penulis membatasi masalah pada tiga pembahasan, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan teori-teori kecerdasan?
2. Bagaimana perkembangan kecerdasan emosional dan moral?
3. Bagaimana peran kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan?

D. TUJUAN PEMBAHASAN

Secara umum, penulisan makalah ini bertujuan agar penulis dan pembaca
mengetahui pentingnya kecerdasan emosional dan moral dalam dunia pendidikan
dengan mengetahui asal-usul perkembangan teori-teori kecerdasan yang mengawali kemunculan teori kecerdasan emosional.
Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui perkembangan teori-teori kecerdasan.
2. Untuk mengetahui perkembangan kecerdasan emosional dan moral.
3. Untuk mengetahui peran kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan.

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN TEORI KECERDASAN
Pembahasan tentang inteligensi sudah terjadi sejak zaman Plato. Kebanyakan
teori awal tentang sifat inteligensi melibatkan satu di antara tiga pemahaman ini:
1) kapasitas untuk belajar; 2) pengetahuan total yang telah didapatkan seseorang;
3) kemampuan untuk beradaptasi dengan sukses dalam situasi-situasi baru dan
dalam lingkungan secara umum (Wolfolk, 2009:168).

Para pakar psikologi dan pendidikan tidak ada yang sama dalam mendefinisikan makna kecerdasan. Sejak lama sudah diadakan beberapa pertemua para
psikolog untuk mendiskusikan tentang kecerdasan, seperti pada tahun 1941
sebanyak 13 psikolog, tahun 1984 sebanyak 24 psikolog. Meskipun ada kemiripan

dalam hal definisi, namun masing-masing psikolog berbeda dalam hal struktur
kecerdasan.

1. Sekilas Sejarah Lahirnya Tes Kecerdasan

Pada tahun 1904, Departemen Pendidikan Perancis menunjuk sebuah komisi
untuk meminta seorang psikolog bernama Alfred Binet agar merancang metode
yang dapat mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar di sekolah. Pihak
sekolah ingin mengurangi kepadatan kelas dengan menempatkan anak-anak tersebut di sekolah khusus. Bersama siswanya, Theophile Simon, Binet mendesain
sebuah tes yang diselesaikannya pada tahun 1905. Dalam waktu singkat, penemuannya terkenal dengan sebutan “Tes Kecerdasan”, ukurannya “IQ” (Gardner, 2003:19;
Santrock, 2014:126; Gregory, 2013:55-56; King, 2016:341; Gross, 2013:397).

Satu hal yang sangat jarang dipertanyakan oleh para akademisi pendidikan,
sebenarnya dalam rangka apa para politisi Perancis sampai mengajukan permintaan
yang oleh Gardner (2003:19) disebut sebagai “permintaan tidak biasa” itu, dan
mengapa yang ditunjuk adalah Alfred Binet?

Hanya sedikit informasi yang berani menjelaskan, bahwa peristiwa lahirnya
Tes IQ ini terkait dengan politik dan ekonomi. Tetapi satu petunjuk telah diberikan
oleh Woolfolk (2009:177) bahwa Binet adalah termasuk seorang aktivis politik.

Binet percaya bahwa dengan adanya ukuran kemampuan belajar yang obyektif
akan dapat melindungi anak-anak dari keluarga miskin yang mungkin akan dipaksa
meninggalkan sekolah karena korban diskriminasi dan dianggap sebagai slow
3

learner. Sepintas—menurut penulis—niat Binet begitu mulia karena berusaha
melindungi anak-anak dari keluarga miskin agar tetap bisa sekolah. Tetapi yang
terjadi adalah agar anak-anak keluarga miskin tersebut tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik di tempat yang sama dengan anak-anak borjuis perancis.

Tahun 1800–1900 dunia industri di Eropa dan Amerika menganut pola yang
dikenal dengan “Strategi Pola Pemetaan Eugenic dan Ras” yang dimotori oleh kaum
borjuis demi melanggengkan kekuasaan dan kepentingannya dalam usaha. Oleh
karena itu harus dilakukan perencanaan tracking (pemisahan antara rakyat yang
boleh sekolah dan yang tidak boleh sekolah), kaum buruh harus tetap disebut
‘bodoh’. Kenikmatan hidup sebagai kaum borjuis telah membuat bangsawanbangsawan Perancis khawatir posisi budak yang meningkat sebagai buruh dan
mulai meningkat pengaruhnya di parlemen, maka dicarilah segala daya-upaya agar
posisi kaum borjuis tetap “di atas”, harus tetap ada istilah ‘budak-bodoh’, inilah
dasar lahirnya Tes Binet. Sebagai jawaban atas permintaan para borjuis itu Binet
dan Simon menulis dua artikel yang terbit tahun 1905 berjudul “New Methods For
Diagnosing The Idiot, The Imbecile, and The Moron” dan “New Methods For the

Diagnosis of the Intellectual Level of Subnormals”.1

Karena itulah tidak mengherankan jika sejak munculnya tes Binet-Simon ini
banyak psikolog dan praktisi pendidikan yang mengkritik, terutama terkait dengan
materi dan tugas-tugas dalam tes yang bias terhadap budaya yang dilandasi oleh
tindakan diskriminatif berdasarkan ras, status sosial dan ekonomi. Dari penelitian
Provenzo, Scarr, Cathers-Shiffman, & Thompson (dalam King, 2016:342) dapat kita
bagi dalam dua kritik utama bahwa tes-tes kecerdasan itu:

a) Lebih memihak pada orang-orang yang berasal dari daerah perkotaan daripada
lingkungan pedesaan. Misalnya pertanyaan yang didasarkan pada kisah: ketika
seseorang menemukan anak usia 3 tahun di jalanan, apa yang harus dilakukan?
Jawaban yang dimaksudkan benar adalah “menelpon polisi”. Tetapi bagi anak
pedesaan mungkin tidak akan menjawab itu, karena tidak ada polisi di dekat
tempat tinggal mereka.

b) Lebih memihak golongan sosial ekonomi menengah daripada mereka yang berasal dari sosial ekonomi rendah dan lebih memihak kaum kulit putih daripada
warga kulit hitam. Misalnya anak yang berasal dari kelompok minoritas mungkin
tidak berbicara bahasa Inggris atau berbicara bahasa Inggris yang tidak standar.
Akibatnya, mereka mungkin tidak beruntung ketika berusaha memahami pertanyaan verbal yang ditulis dalam bahasa Inggris standar.

1. Disarikan dari Wikipedia: History of the race and intelligence controversy; Race and intelligence;
Scientific racism; Théodore Simon

4

Pada tahun 1916, Lewis Terman, psikolog di Stanford University Amerika
menerjemahkan dan merevisi tes Binet-Simon dan menamainya Stanford-Binet
Intelligence Scale. Seperti halnya di Perancis, tes Stanford-Binet cepat mendapat
respon eugenik yang kemudian digunakan sebagai pembenaran ilmiah untuk
menolak para imigran berkulit hitam.

Antropolog seperti Franz Boas, Ruth Benedict dan Gene Weltfish, telah banyak
mendemonstrasikan status tidak ilmiah dari banyak klaim tentang hierarki rasial
kecerdasan. Tetapi gagasan eugenik tetap kuat karena didanai besar-besaran oleh
raja-tekstil Wickliffe Draper, agar terus mempublikasikan riset-riset yang menggunakan studi kecerdasan sebagai argumen untuk mendukung eugenika, diskriminasi dan undang-undang anti-imigrasi.

Parkay dan Stanford (2008:388) mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi
pada tahun 1971 ketika anak-anak Afro-Amerika—berdasar hasil tes kecerdasan—
ditempatkan di kelas-kelas istimewa untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Orang
tua mereka membawa keluhannya ke pengadilan dan mempertahankannya dengan

berbagai cara hingga ke pengadilan federal. Keputusan pengadilan baru dibuat pada
tahun 1984 yang menetapkan bahwa Tes IQ mendiskriminasi dan bias budaya.
Tahun
1904
1905
1908
1912
1916
1936
1937
1939
1949
1967
1955
1971
1983
1985
1987
1995
1997

2000

Tabel 1. Perkembangan Teori dan Tes Kecerdasan
Teori Kecerdasan

Tokoh

General Intelligence
Binet-Simon Intelligence Scale
Binet-Simon Intelligence Test (New Versions)
(Istilah IQ pertama kali muncul di Jerman)
Stanford–Binet Intelligence Scale
Raven's Progressive Matrices (CPM, SPM, APM)
Stanford–Binet Intelligence Scale (2nd Edition)
Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)
Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC)
Wechsler Preschool and Primary Scale
of Intelligence (WPPSI)
180 Structure of Intellect (SI)
Fluid & Crystalized Intelligence

The Culture Fair Intelligence Test (CFIT)
Multiple Intelligence (MI)
Triarchic Intelligence (Analitis, Kreatif, Praktis)
(Istilah Emotional Quotient pertama muncul)
Emotional Intelligence (EI)
Adversity Intelligence (AI)
Spiritual Quotient (SQ)

Charles Edward Spearman (1863-1945)
Alfred Binet (1857-1911)
Théodore Simon (1872-1961)
William Stern (1871-1938)
Lewis Madison Terman (1877-1956)
John Carlyle Raven (1902-1970)
Lewis Madison Terman (1877-1956)
David “Wex” Wechsler (1896-1981)

Joy Paul Guilford (1897-1987)
Raymond Bernard Cattel (1905-1998)
John Leonard Horn (1928-2006)
Howard Earl Gardner (Born: 1943)
Robert Jeffrey Stenberg (Born: 1949)
Keith Beasley
Daniel Goleman (Born: 1946)
Paul G. Stoltz ()
Danah Zohar (Born: 1945) & Ian Marshall

5

2. Teori Multiple Intelligences
Teori-teori kecerdasan terus berkembang, terutama untuk mendefinisikan
ulang tentang kecerdasan yang sejak lahirnya Tes Binet-Simon telah diterapkan
secara berlebihan dalam dunia pendidikan, dimana ‘nasib manusia’ ditentukan
oleh angka-angka statis yang disebut Skor IQ.

Salah satu usaha yang paling berpengaruh untuk mengembalikan makna
kecerdasan yang memanusiakan manusia dalam proses pendidikan adalah konsep
Multiple Intelligences yang dicetuskan oleh Howard Gardner pertama kali pada
tahun 1983 dalam bukunya Frame of Mind: The Theory of Multiple Intelligences.
Atas karyanya ini pada tahun 1985 Gardner mendapat penghargaan The National
Psychology Awards for Excellence in the Media. Lalu pada tahun 1987 mendapat
penghargaan William James Award dari American Psychological Association (APA).

Gardner (dalam Sousa, 2012:128; Woolfolk, 2009:172; Feldman, 2012:346;
King, 2016:350) mendefiniskan kecerdasan sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk dengan cara yang dapat dihargai oleh
masyarakat dimana individu tersebut berada. Setiap individu—paling tidak—
memiliki delapan jenis inteligensi dengan tingkat yang berbeda-beda. Bisa jadi
seseorang menonjol dalam satu kecerdasan, namun kurang menonjol dalam
kecerdasan lainnya. Sangat jarang yang menonjol dalam semua jenis kecerdasan.
Setiap inteligensi yang terpisah-pisah ini tidak bekerja sendiri-sendiri. Normalnya,
aktivitas apapun meliputi beberapa jenis inteligensi yang saling bekerja sama.
Berikut ini penulis rangkum dari beberapa sumber terkait delapan jenis
kecerdasan yang dimaksudkan dalam Multiple Intelligences (Gardner, 2003:36-47;
Santrock, 2014:130-131; Slavin, 2008:165; Parkay & Stanford, 2008:389; Woolfolk,
2009:171; Sousa, 2012:128; Campbell, Campbell & Dickinson, 2004; Feldman,
2012:346-347; King, 2016:349-350; Chatib & Said, 2014:80-101):
NO KECERDASAN
1. Linguistik

Tabel 2. Delapan Jenis Multiple Intelligences
KOMPONEN INTI

KOMPETENSI

Kepekaan pada bunyi, struktur, makna, Membaca, menulis, berdiskusi, berfungsi kata dan bahasa.
debat, berargumentasi.

2. Logikal-Matematik Kepekaan memahami pola-pola logis
atau numeris, dan mengolah alur
pemikiran yang panjang.

Berhitung, menalar dan berfikir logis
sistematis, memahami alur problem
solving.

3. Spasial-Visual

Kepekaan merasakan, membayangkan Menggambar, membuat patung,
dunia gambar dan ruang secara akurat. memotret, mendesain.

4. Musikal-Ritmik

Kepekaan menciptakan dan apresiasi Menciptakan lagu, membentuk irama,
irama, pola titi nada, warna nada dan mendengar nada dari sumber bunyi
bentuk-bentuk ekspresi emosi musikal. atau alat-alat musik.

6

NO KECERDASAN

KOMPONEN INTI

KOMPETENSI

5. Kinestetik

Kepekaan kontrol gerak motorik dan
keseimbangan.

Mengontrol gerak tubuh, kemahiran
mengolah objek, respon, dan reflek.

6. Interpersonal

Kepekaan mencerna dan merespon
suasana hati, emosi, motivasi, dan
keinginan orang lain.

Bergaul, memimpin, kepekaan sosial
yang tinggi, negosiasi, kerja sama, dan
mempunyai empati yang tinggi.

7. Intrapersonal

Kepekaan memahami dan membedakan emosi/perasaan sendiri.

Mengenali diri secara mendalam, intuitif,
mampu memotivasi diri.

8. Naturalistik

Kepekaan meneliti, mengklasifikasi,
identifikasi gejala alam.

Membedakan jenis spesies, mengenali
eksistensi spesies lain, memetakan
hubungan antara beberapa spesies.

Gardner (dalam Woolfolk, 2009:171) menekankan bahwa mungkin ada lebih
banyak lagi jenis kecerdasan, delapan bukanlah jumlah akhir. Ia berspekulasi bahwa
mungkin ada inteligensi spiritual dan eksistensial, yaitu kemampuan untuk mengkontemplasikan pertanyaan-pertanyaan besar tentang makna hidup.

Ditegaskan oleh Gardner (dalam Feldman, 2012:346), daripada bertanya
“Seberapa pintarkah Anda?” lebih baik dan seharusnya bertanya “Bagaimana agar
Anda pintar?”. Slavin (2008:165) juga menegaskan bahwa jumlah kecerdasan yang
tepat tidak penting bagi pendidik. Guru harus menghindari berpikir tentang anakanak sebagai orang yang “cerdas atau tidak cerdas”, karena ada banyak cara untuk
menjadi cerdas.

B. KECERDASAN EMOSIONAL
1. Pengertian Emosi

Kata “emosi” berasal dari bahasa Inggris “emotion”, yang diadopsi dari bahasa
Latin “ēmōtus”, bentuk past participle dari kata ēmoveō (“to move out, move away,
remove, stir up”), yang berarti “bergerak, berpindah, menghapus, mem-bangkitkan,
Beberapa pengertian dan ihwal terkait emosi, diantaranya:

a) Emosi atau afeksi adalah kecenderungan yang dirasakan mengarah pada sebuah
objek yang dinilai cocok atau menjauh dari sebuah objek yang dinilai tidak cocok,
yang diperkuat oleh perubahan-perubahan fisik tertentu (Arnold & Gasson
dalam Gross, 2012:188).
b) Emosi adalah perasaan intens yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu
(Frieda, 1993:381).

c) Ekman dan Friesen (dalam Gross, 2012:188) mengidentifikasi enam emosi primer,
yaitu: kaget, takut, muak, marah, bahagia, dan sedih.
7

2. Munculnya Paradigma Kecerdasan Emosional
Goleman (2015:54-55) menjelaskan bahwa meskipun Throndike adalah
psikolog yang sangat berpengaruh dalam memopulerkan IQ pada tahun 1920-an
dan 1930-an, namun Throndike menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan
emosional, yaitu kecerdasan “sosial” merupakan aspek IQ seseorang.

Istilah “emotional intelligence” pertama kali muncul dalam sebuah makalah
tahun 1964 oleh Michael Beldoch, dan di tahun 1966 dalam karya B. Leuner berjudul
Emotional intelligence and emancipation yang muncul di jurnal psikoterapi. Pada
tahun 1983, Gardner dalam “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences”
memperkenalkan gagasan tentang kecerdasan majemuk yang di dalamnya juga
termasuk kecerdasan interpersonal dan intrapersonal yang konsepnya nyaris sama
dengan Emotional Intelligence.
Istilah emotional intelligence (EI) kemudian muncul dalam tesis doktoralnya
Wayne Payne pada tahun 1985 dalam studi tentang emosi berjudul “Developing
Emotional Intelligence”. Sedangkan istilah “EQ” (Emotional Quotient) pertama kali
digunakan pada tahun 1987 oleh Keith Beasley dalam sebuah artikel di majalah
Inggris Mensa. Lalu pada tahun 1989 Stanley Greenspan mengajukan model untuk
mendeskripsikan EI, diikuti oleh Peter Salovey dan John Mayer diterbitkan pada
tahun yang sama.

Atas pengaruh ide Gardner dengan Multiple Intelligence, Salovey dan Meyer
dengan Emotional Intelligence, pada tahun 1995 Goleman menerbitkan bukunya
“Emotional Intelligence: Why it can matter more than IQ” yang sangat fenomenal
dan termasuk dalam daftar buku best seller menurut koran The New York Times
selama satu setengah tahun, juga best seller di beberapa negara dan telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa. Berkat karya Goleman inilah istilah “Emotional Intelligence”
(EI) semakin dikenal di seluruh dunia bersamaan dengan meningkatnya pembelajaran berbasis multiple intelligences.

3. Model-Model Kecerdasan Emosional

Menurut Mayer, Salovey & Caruso (dalam Feldman, 2012:351), kecerdasan
emosional (emotional intelligence) adalah serangkaian kemampuan yang mendasari
pengukuran, evaluasi, ekspresi, dan regulasi emosi yang akurat.

Untuk memahami kecerdasan emosional dapat kita lihat dari dua pendekatan,
yaitu Ability Model (kecerdasan emosional dilihat dari kemampuan untuk memroses
informasi yang bersifat emosional dan kemampuan untuk menghubungkan pengolahan emosional dengan kognisi yang lebih luas) dan Mixed Model (kecerdasan
emosional dilihat dari ragam kompetensi dan keterampilan yang mendorong
kinerja kepemimpinan).
8

Ability Model diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer. Kecerdasan emosional
terbagi dalam empat kompetensi:
1) Merasakan emosi (perceiving emotion), yaitu kemampuan untuk mendeteksi
dan menguraikan emosi di wajah, gambar, suara, dan artefak budaya, termasuk
kemampuan untuk mengidentifikasi emosi sendiri. Merasakan emosi merupakan
aspek dasar dari kecerdasan emosional, karena membuat semua pengolahan
informasi emosional lain mungkin terjadi.

2) Memahami emosi (understanding emotion), yaitu kemampuan untuk memahami
bahasa emosi dan untuk menghargai hubungan yang rumit antara emosi. Misal,
memahami emosi meliputi kepekaan terhadap variasi di antara emosi, dan
kemampuan untuk mengenali dan menggambarkan bagaimana emosi berkembang dari waktu ke waktu.
3) Menggunakan emosi (using emotion), yaitu kemampuan untuk memanfaatkan
emosi untuk memfasilitasi berbagai kegiatan kognitif, seperti berpikir dan
pemecahan masalah. Orang yang cerdas emosi dapat memanfaatkan perubahan
suasana hatinya agar sesuai dengan tugas yang dijalankan.
4) Mengelola emosi (managing emotion), yaitu kemampuan untuk mengatur
emosi pada diri kita sendiri dan orang lain. Oleh karena itu, orang yang cerdas
secara emosional dapat memanfaatkan emosi, bahkan yang negatif, dan mengelolanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Mixed Model yang diperkenalkan oleh Goleman menguraikan empat kompetensi kecerdasan emosional, yaitu:

1. Kesadaran diri (self-awareness), kemampuan membaca emosi diri sendiri dan
mengenali dampaknya saat menggunakan insting mengambil keputusan. Elemen
dari kesadaran diri adalah konsep diri, proses menghargai diri sendiri (self
esteem), dan identitas diri kita yang berbeda beda (multiple selves).
2. Pengelolaan diri (self-management), melibatkan pengendalian emosi dan impuls
seseorang dan menyesuaikan dengan perubahan kondisi.

3. Kesadaran sosial (social awareness), kemampuan merasakan, memahami, dan
bereaksi terhadap emosi orang lain di samping memahami hubungan sosial.
4. Pengelolaan hubungan (relationship management), yaitu kemampuan untuk
menginspirasi, memengaruhi, dan mengembangkan orang lain melalui manajemen konflik.

Dalam hal kecerdasan emosional, Goleman (2015:144-145) juga terdorong
membahas dua karakter berikut:

9

a) Empati, kemampuan untuk memproyeksikan diri pada kondisi dan perasaan
orang lain, penderitaan orang lain adalah penderitaan diri sendiri. Martin
Hoffman, seorang peneliti empati, melihat adanya proses alamiah empati sejak
bayi dan masa-masa selanjutnya, yang menjadi akar dan mendasari penalaran
dan tindakan moral.
b) Altruisme, yaitu memperhatikan kesejahteraan orang lain di atas kesejahteraan
pribadi. Empati dan etika adalah akar dari altruisme. Memberikan sedekah
kepada fakir-miskin sering dianggap sebagai tindakan altruistik dalam banyak
budaya dan agama. Empati yang tinggi akan cenderung membuat seseorang
memberikan bantuan—pada tingkat ekstrim—tanpa mempedulikan dirinya
sendiri.

4. Pengukuran Kecerdasan Emosional

Ketika menerbitkan bukunya Emotional Intelligence: Why It Can Matter More
Than IQ pada tahun 1995, Goleman mengatakan bahwa belum ada tes tunggal yang
menghasilkan “nilai kecerdasan emosional” dan barangkali tidak pernah ada tes
semacam itu (2015:58). Namun sekarang banyak berkembang alat untuk mengukur
Kecerdasan Emosional yang salah satunya bahkan dibuat oleh Goleman, yaitu:

a) The Emotional Competency Inventory (ECI), yang dibuat pada tahun 1999, dan
The Emotional and Social Competency Inventory (ESCI), edisi baru ECI telah
dibuat pada tahun 2007. The Emotional and Social Competency – University
Edition (ESCI-U) juga tersedia. Alat-alat tes ini didesain oleh Goleman dan
Boyatzis untuk menyajikan pengukuran kompetensi emosional dan sosial.
b) Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) yang berdasarkan
item-item pemecahan masalah berbasis emosional. Alat tes ini didesain pada
tahun 2003 oleh John D. Mayer, Peter Salovey, dan David R. Caruso di Yale
University dan University of New Hampshire bekerja sama dengan Multi-Health
Systems Inc.
c) Diagnostic Analysis of Non-verbal Accuracy, mencakup 24 foto dengan jumlah
yang sama dari ekspresi wajah senang, sedih, marah, dan takut intensitas tinggi
dan rendah yang seimbang dengan gender.
d) Japanese and Caucasian Brief Affect Recognition Test, untuk mengungkapkan
tujuh emosi: kebahagiaan, penghinaan, jijik, sedih, marah, terkejut, dan takut.

e) Levels of Emotional Awareness Scale, peserta membaca 26 adegan sosial dan
menjawab perasaan mereka dalam mengantisipasi.

f) Selain itu juga ada The Emotional Intelligence Appraisal (EIA), Swinburne University Emotional Intelligence Test (SUEIT), dan Trait Emotional Intelligence
Questionnaire (TEIQue).
10

C. PERKEMBANGAN MORAL
1. Perkembangan Moral Piaget
Teori perkembangan moral berawal dari Jean Piaget (1896-1980), psikolog
klinis dan perkembangan berkebangsaan Swiss yang terkenal karena hasil risetnya
tentang anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya. Untuk memahami perkembangan moral anak-anak, Piaget menghabiskan banyak waktu untuk mengamati
anak-anak bermain gundu (kelereng) dan bertanya kepada mereka tentang aturan
mainnya.
Tabel 3. Moralitas Heteronom dan Otonom

Moralitas HETERONOM (Lebih Muda)

Moralitas OTONOM (Lebih Tua)

Didasarkan pada hubungan paksaan; misalnya pe- Didasarkan pada hubungan kerja sama dan pengnerimaan penuh oleh anak terhadap aturan-aturan akuan bersama terhadap kesetaraan di antara
orang dewasa.
individu-individu yang otonom, seperti hubungan
orang yang sejajar.
Tercermin dalam sikap realisme moral; aturan dipandang sebagai ketentuan yang tidak fleksibel, asal
dan wewenangnya dari luar, tidak ada negosiasi;
dan benar hanya berarti ketaatan harfiah terhadap
orang dewasa dan aturan.

Tercermin dalam sikap moral irasional; aturan dilihat
sebagai produk kesepakatan bersama, terbuka
pada negosiasi ulang, diterima secara pribadi dan
bersama-sama; dan benar berarti bertindak sesuai
ketentuan kerjasama dan saling menghormati.

Kejahatan dinilai dari sudut bentuk dan konsekuensi
tindakan yang objektif; keadilan disamakan dengan
isi keputusan orang dewasa; hukuman sewenangwenang dan kejam dilihat sebagai sesuatu yang adil.

Kejahatan dipandang sebagai sesuatu yang terkait
dengan maksud perilakunya; keadilan adalah perlakuan yang sama atau kesediaan mempertimbangkan kebutuhan pribadi; hukuman sesuai pelanggarannya.

Hukuman dilihat sebagai konsekuensi otomatis Hukuman dilihat sebagai sesuatu yang dipengaruhi
pelanggaran, dan keadilan dilihat sebagai sesuatu maksud manusia.
yang melekat.

Menurut Piaget (dalam Slavin, 2008:70-71), anak-anak mengalami kemajuan
dari tahap moralitas heteronom ke tahap moralitas otonom dengan perkembangan
struktur kognitifnya dan interaksi dengan teman-teman yang mempunyai status
yang sama. Menyelesaikan konflik dengan teman-teman memperlemah sikap anakanak mengandalkan otoritas orang dewasa dan meningkatkan kesadaran mereka
bahwa aturan dapat diubah dan keberadaan aturan seharusnya sebagai hasil persetujuan bersama.

Bagi Piaget (dalam Slavin, 2008:69), perkembangan moral anak didahului
oleh perkembangan kognitifnya. Karena kemampuan kognitif menentukan kemampuan anak-anak bernalar tentang situasi sosial. Perkembangan moral berlangsung
dalam tahap-tahap yang dapat diprediksi, dari tipe penalaran moral yang sangat
egosentris ke tipe penalaran moral yang didasarkan pada sistem keadilan berdasarkan kerja sama dan hubungan timbal-balik.
11

Oleh karena itu, perkembangan tahap moralitas anak dapat dilihat dari tahap
perkembangan kognitifnya, yang oleh Piaget dibagi dalam empat tahap (Santrock,
2014:45-51; Slavin, 2008:45-55; Schunk, 2012:332-334; Hill, 2014: 164-165; Gross,
2013:244-249; Woolfolk, 2009:52-66; Solso, Maclin & Maclin, 2008:369), yaitu:
Tahap

Tabel 4. Tahap Perkembangan Kognitif Piaget

Usia

Sensorimotor

0–2 tahun

Pra-operasional

2–7 tahun

Karakteristik

 Dunia terbatas pada saat sekarang dan di sini.
 Mulai mempergunakan imitasi (peniruan), ingatan dan pikiran.
 Mulai menengarai bahwa objek-objek tidak hilang ketika
disembunyikan.
 Membangun pemahaman dengan mengkoordinasikan pengalaman sensoris dengan tindakan fisik.

 Pikiran bersifat egosentris dan didominasi oleh persepsi.
 Secara gradual mengembangkan penggunaan bahasa dan
kemampuan berpikir dalam bentuk simbolik.
 Mampu melakukan operasi-operasi melalui logika satu arah.
 Mengalami kesulitan dalam melihat dari sudut pandang orang lain.

Operasional-konkret 7–11 tahun 



Operasional-formal

< 11 tahun 




Pemikiran egosentrisme mulai berkurang.
Mampu mengatasi masalah-masalah kongkret secara logis.
Memahami hukum-hukum percakapan.
Mampu mengklasifikasi (dari yang besar ke kecil).
Pikiran bersifat umum dan menyeluruh.
Mampu mengatasi masalah-masalah abstrak secara logis.
Menjadi lebih berpikir ilmiah dan berpikir proposisional.
Mengembangkan kepedulian tentang isu-isu sosial dan identitas.

Menurut penelitian Piaget (dalam Schunk, 2012:332), perkembangan anakanak berjalan melalui sebuah rangkaian tetap. Setiap tahapan ditentukan oleh
bagaimana anak-anak melihat dunia mereka. Teori tahapan dari Piaget dan dari
yang lainnya mengetengahkan asumsi-asumsi tertentu:
 Masing-masing tahapan itu khas, berbeda secara kualitatif, dan terpisah.

 Perpindahan dari satu tahapan ke tahapan selanjutnya bukan merupakan percampuran yang berangsur-angsur atau penggabungan yang berkelanjutan.

 Meskipun urutan dari perkemabangan struktur tidak pernah berubah, usia di
mana seseorang mungkin berada pada tahapan tertentu akan berbeda-beda.
Usia yang tercantum tidak bersifat mutlak.

2. Penalaran Moral Kohlberg

Teori Penalaran Moral (moral reasoning) dikembangkan oleh Lawrence
Kohlberg (1927-1987) sebagai penjabaran dan perbaikan terhadap teori Piaget. Ia
12

adalah seorang profesor di bidang psikologi di University of Chicago dan Harvard
University. Sama dengan Piaget, Kohlberg mempelajari bagaimana anak-anak (dan
orang dewasa) bernalar tentang aturan yang mengatur perilaku mereka dalam
situasi tertentu. Kohlberg menyelidiki tanggapan mereka terhadap beberapa situasi
yang terstruktur dan dilema moral.

Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2012:73; Woolfolk, 2009:146; Cruickshank,
Jenkins & Metcalf, 2014:81-82; Santrock, 2014:109-110; Parkay & Stanford, 2008:
375), setiap individu melewati rangkaian 6 tahap penilaian atau penalaran moral.
Namun setiap individu mengalami tahap-tahap tersebut pada usia yang berbedabeda dan rentang waktu yang berbeda pula. Bahkan orang yang sama mungkin
saja lebih cepat pada tahap tertentu, tetapi lambat melewati tahap lainnya.
Tabel 5. Enam Tahap Penalaran Moral Kohlberg

Level I
PRAKO NVENSIONAL
(0–8 Tahun)

Level II
KONVENSIO NAL
(9–20 Tahun)

Level III
PASCAKO NVENSIONAL
(21 Tahun Ke Atas)

Benar dan salah ditentukan
oleh imbalan dan hukuman.
Kebenaran ditentukan orang
dewasa yang mengatur.

Mematuhi aturan dan kadangkadang menomorduakan
kepentingan pribadi setelah
kepentingan kelompok.

Mendefinisikan nilai-nilainya
sendiri dari sudut prinsip-prinsip
etika yang telah mereka pilih
untuk diikuti.

TAHAP 1
Hukuman dan Ketaatan

TAHAP 3
“Anak-Anak Baik”

TAHAP 5
Kontrak Sosial

Anak-anak mematuhi sosok
yang berwenang hanya untuk
menghindari hukuman.

Menyenangkan atau membantu
orang lain dan berusaha meraih
persetujuan mereka.

Kebenaran disepakati oleh
seluruh masyarakat; dan aturan
dapat diubah demi kebaikan.

TAHAP 2
Imbalan Pribadi

TAHAP 4
Hukum dan Keteraturan

TAHAP 6
Prinsip Etika Universal

Memuaskan kepentingan pribadi Melakukan kewajiban pribadi,
Apa yang benar ditentukan oleh
dan kadang-kadang kepentingan mempertahankan tatanan sosial suara hati menurut prinsip-prinsip
tertentu pada dirinya.
etika yang dipilih sendiri.
orang-orang lain.

Menjelang akhir hidupnya, Kohlberg berpendapat bahwa Tahap 6 dan Tahap
5 sesungguhnya tidak terpisah dan ia menyarankan agar kedua tahap ini digabungkan (Slavin, 2012:74).

3. Kritik Terhadap Teori Penalaran Moral

Inti kritik terhadap teori Kohlberg terutama pada gagasan bahwa penalaran
moral tidak selalu memprediksi perilaku moral. Teori Kohlberg terlalu banyak
penekanan pada pemikiran moral dan tidak pada perilaku moral. Penalaran moral
kadang-kadang menjadi tempat penampungan bagi perilaku tak bermoral (Santrock,
2014:110).

13

Kritik terhadap teori Kohlberg juga terkait dengan gender. Studi-studi mutakhir
menemukan sedikit perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan
dalam tingkat penalaran moral yang diukur berdasarkan prosedur-prosedur moral
Kohlberg (Woolfolk, 2009:147). Meskipun tidak selalu, faktor kultur dan di usia
tertentu penalaran moral wanita lebih tinggi dari pria.

4. Pendidikan Moral di Sekolah

Dalam proses pembelajaran, aspek emosional sangat penting untuk dilibatkan.
Menurut Smith dan Kosslyn (2014:295), dalam satu dan lain hal—dan tidak selalu
berdasarkan fakta—seseorang, tempat, dan benda-benda tidak netral sama sekali,
tetapi seringkali memiliki semacam nilai, baik atau buruk, menyenangkan atau
menakutkan. Nilai-nilai ini menentukan reaksi emosional kita terhadapnya dan
dapat digunakan sebagai media pendidikan moral di sekolah.

Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2008:74), dilema moral dapat digunakan
untuk memajukan tingkat penalaran moral anak, tetapi hanya setahap demi setahap.
Anak-anak melangkah dari satu tahap ke tahap berikutnya melalui interaksi dengan
orang lain yang penalarannya berada satu atau paling tinggi dua tahap di atas
mereka. Guru dapat membantu siswa melangkah ke penalaran moral berikutnya
dengan memasukkan pembahasan keadilan dan masalah-masalah moral ke dalam
pelajaran mereka, khususnya untuk menanggapi peristiwa-peristiwa yang terjadi
di ruang kelas atau dalam masyarakat yang lebih luas.
Contoh setting cerita yang akan menimbulkan dilema moral untuk melatih
penalaran moral anak-anak, misalnya:

“Ada seorang wanita yang mendekati ajal karena kanker. Mereka tidak mampu membeli obat yang sangat mahal. Setelah sang suami meminjam dari teman-teman yang
dikenalnya, ia hanya mampu mengumpulkan separuhnya. Suami tersebut lalu mendobrak toko obat dan mencuri obat tersebut untuk isterinya. Apakah suami itu harus
melakukan hal tersebut? Mengapa?”

Santrock (2014:112-114) menjelaskan beberapa analisis awal tentang pendidikan moral sampai ke pandangan kontemporer untuk mendidik siswa hingga
mereka akan mengembangkan nilai-nilai moral yang lebih baik:
1) Kurikulum Tersembunyi

Meskipun ketika sekolah tidak memiliki program-program khusus dalam
pendidikan moral, mereka memberikan pendidikan moral melalui “kurikulum
tersembunyi” yang disampaikan melalui suasana moral yang menjadi bagian
dari setiap sekolah—dibuat oleh peraturan sekolah dan kelas, guru dan pengurus
sekolah yang berperan sebagai model perilaku etis dan tidak etis.
14

2) Pendidikan Karakter

Dengan pendekatan langsung yang melibatkan pengajaran bagi siswa
untuk mengerti moral dasar untuk mencegah mereka terlibat dalam perilaku
amoral yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Penekanan pentingnya
dengan mendorong siswa untuk terlibat dalam perilaku pro-sosial, seperti
mempertimbangkan perasaan dan kepekaan membantu orang lain.

3) Klarifikasi Nilai

Membantu siswa untuk menjelaskan apa makna hidup mereka dan apa
yang layak untuk diperjuangkan. Siswa didorong untuk mendefinisikan nilainilai mereka sendiri dan memahami nilai-nilai orang lain. Sehingga dalam latihan
klarifikasi nilai tidak ada jawaban benar atau salah.

4) Pendidikan Moral Kognitif

Pendekatan berdasarkan pada keyakinan bahwa siswa harus belajar
menghargai cita-cita. Harapannya, siswa akan mengembangkan konsep yang
lebih maju dari berbagai konsep, seperti kerja sama, kepercayaan, tanggung
jawab, dan bermasyarakat.

5) Pembelajaran Layanan

Mempromosikan tanggung jawab sosial dan pelayanan kepada masyarakat, seperti membantu orang yang lebih tua, bekerja di rumah sakit, pusat
perawatan anak, atau membersihkan tanah kosong untuk membuat area
bermain. Tujuannya untuk mengurangi sikap egois dan termotivasi untuk
membantu orang lain.

Untuk pendidikan nilai dan karakter yang komprehensif kepada peserta didik,
Parkay dan Stanford (2008:376-377) mengharapkan para guru melaksanakan
tugas-tugas berikut:

1) Sebagai pemberi perhatian, model, dan mentor, guru memperlakukan murid
dengan kasih sayang dan rasa hormat, membuat sebuah teladan yang baik, mendukung perilaku sosial yang positif, serta memperbaiki tindakan yang melukai
melalui petunjuk “one-on-one” dan diskusi seluruh kelas.
2) Membentuk komunitas moral, membantu murid-murid mengenal satu sama lain
sebagai manusia, menghormati dan peduli satu sama lain, serta merasa menjadi
anggota kehormatan dan bertanggung jawab kepada kelompok.

3) Mempraktikkan disiplin moral, menggunakan hasil ciptaan dan alat-alat aturan
sebagai kesempatan untuk menyampaikan penalaran moral, bersama-sama
dengan aturan-aturannya, serta rasa hormat kepada sesama.

15

4) Menciptakan lingkungan kelas yang demokratis, mengikutsertakan murid-murid
dalam pembuatan keputusan dan tanggung jawab dalam upaya menciptakan
kelas sebagai tempat belajar yang baik.

5) Mengajarkan nilai-nilai melalui kurikulum, menggunakan konten yang kaya
etika dari mapel-mapel akademis (seperti literatur, sejarah, dan sains) sebagai
kendaraan untuk mengajarkan nilai dan pertanyaan yang menguji moral.

6) Menggunakan pembelajaran yang kooperatif untuk pengembangan apresiasi
murid terhadap sesama, pengambilan perspektif, dan kemampuan untuk bekerja
dengan orang lain menuju ke tujuan bersama.

7) Mengembangkan kesadaran akan keterampilan dengan jalan menumbuhkan
apresiasi murid terhadap pembelajaran, kapasitas untuk bekerja keras, komitmen mencapai kesuksesan, serta rasa dari bekerja sebagai sesuatu yang berdampak bagi kehidupan orang lain.
8) Memotivasi refleksi moral melalui kegiatan membaca, penelitian, penulisan esai,
pengumpulan jurnal, diskusi, serta debat.
9) Mengajarkan resolusi konflik agar para siswa menerima kemampuan moral
utama dan penyelesaian konflik secara adil dan tanpa paksaan.

10) Menanamkan kepedulian di luar kelas, menggunakan tokoh-tokoh panutan yang
positif untuk menginspirasi perilaku altruistik dan menyediakan kesempatan
di setiap tingkatan kelas untuk menyelenggarakan sekolah dan pelayanan
komunitas.
11) Menciptakan budaya moral positif di sekolah, mengembangkan sebuah etos
keseluruhan sekolah yang mendukung dan menyebarkan nilai-nilai yang
diajarkan di kelas.

12) Merekrut wali murid dan komunitas sebagai rekanan dalam pendidikan karakter,
agar wali murid tahu bahwa sekolah sangat menghargai anak-anak mereka dan
yang terpenting menunjukkan moralitas seorang guru.

Nucci (dalam Woolfolk, 2009:149) menawarkan beberapa usulan untuk
menciptakan sebuah atmosfir moral di kelas:

1. Mempromosikan dan memperkuat komunitas yang saling menghormati dan
hangat dengan peraturan yang adil dan konsisten. Tanpa komunitas semacam
itu, seluruh usaha untuk menciptakan iklim moral akan runtuh.
2. Respon guru terhadap siswa seharusnya sesuai dengan ranah perilakunya—
moral atau konvensional. Seperti contoh isu moral berikut:

a) Bila sebuah tindakan pada dasarnya menyakiti atau tidak adil, tekankan pada
kesakitan yang dirasakan orang lain, “John, itu benar-benar menyakiti Jamal”.
16

b) Dorong dengan pengambilan perspektif, “Tom, bagaimana perasaanmu jika
seseorang mencuri sesuatu darimu?”.
Contoh respon terhadap isu konvensional:

a) Dengan menyebutkan kembali aturannya, “Dafid, kau tidak boleh meninggalkan tempat dudukmu selama pengumuman dibacakan.”
b) Dengan memberi komentar, “Angga, berhenti menyumpah.”

17

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Setelah melakukan penelusuran referensi sejauh yang dapat kami lakukan,
kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah sebagai berikut:

1) Kecerdasan seseorang tidak lagi bermanfaat jika hanya dilihat dari angka IQ
yang dihasilkan oleh tes-tes inteligensi tradisional, dimana hanya mengakui
kecerdasan verbal-linguistik, logikal-matematik, dan spasial visual. Setiap
manusia memiliki kecerdasan di bidangnya masing-masing. Sehingga tidak ada
lagi labelisasi anak bodoh dan anak pandai.

2) Kecerdasan emosional dan moral mutlak dibutuhkan di lingkungan sekolah
karena setiap siswa harus mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosinya selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial di lingkungan
sekolah bersama teman-teman, guru, dan pengurus sekolah lainnya.

3) Proses pendidikan harus melibatkan kecerdasan emosional dan moral siswa
misalnya dengan membentuk komunitas yang saling menghormati dan hangat
dengan peraturan yang adil dan konsisten, mengasah penalaran moral siswa
dengan kisah-kisah yang menimbulkan dilema moral.
4) Kecerdasan emosional dan moral yang terdidik sejak bangku sekolah akan
sangat bermanfaat bagi siswa dalam menjalani kehidupan sesungguhnya di luar
sekolah dengan kesuksesan dan kebahagiaan.

B. SARAN

Setelah memproses penulisan dan pembahasan makalah ini, kami menyadari
pentingnya kecerdasan emosional dan moral dilaksanakan dalam proses pendidikan. Tetapi, karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk penulisan makalah
sehingga hanya sejauh ini yang dapat kami ulas. Sedangkan masih cukup banyak
contoh-contoh aplikasi kecerdasan emosional dan moral dalam pendidikan yang
belum kami berikan. Oleh karena itu, alangkah bermanfaat andai ada pembaca
atau pemakalah lain dapat melengkapinya.

18

DAFTAR RUJUKAN

Campbell, L., Campbell, B. & Dickinson, D. 2004. Teaching and Learning Through
Multiple Intelligences. Boston: Pearson Education, Inc

Chatib, M. & Said, A. 2014. Sekolah Anak-Anak Juara Berbasis Kecerdasan Jamak dan
Pendidikan Berkeadilan. Bandung: Kaifa Learning
Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B. & Metcalf, K.K. 2014. Perilaku Mengajar (Edisi 6
Buku 1). Terjemah: Gisella Tani Pratiwi. Jakarta: Salemba Humanika

Feldman, R.S. 2012. Pengantar Psikologi (Edisi 10 Buku 1). Terjemah: Petty Gina
Gayatri & Putri Nurdina Sofyan. Jakarta: Salemba Humanika

Frieda, N.H. 1993. Moods, Emotion Episodes and Emotions. New York: Guilford Press

Gardner, H. 2006. Five Minds For The Future. Boston: Harvard Business School Press

Gardner, H. 2003. Kecerdasan Majemuk: Teori Dalam Praktek (Lyndon Saputra, Ed).
Terjemah: Alexander Sindoro. Jakarta: Interaksara
Goleman, D. 2015. Kecerdasan Emosional: Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.
Terjemah: T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Gregory, R.J. 2013. Tes Psikologi: Sejarah, Prinsip, dan Aplikasinya (Edisi 6 Jilid 1).
Terjemah: Aditya Kumara & Mikael Seno. Jakarta: Erlangga

Gross, R. 2013. Psikologi Ilmu Jiwa dan Perilaku (Buku 2). Terjemah: Helly Prajitno
Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Hill, W.F. 2014. Teori-Teori Pembelajaran: Konsepsi, Komparasi, dan Signifikansi.
Terjemah: M. Khozim. Bandung: Nusa Media
King, L.A. 2016. Psikologi Umum: Sebuah Pandangan Apresiatif (Edisi 3 Buku 1).
Terjemah: Petty Gina Gayatri. Jakarta: Salemba Humanika

Mayer, J.D. & Salovey, P. 1997. Emotional development and emotional intelligence:
Implications for educators. New York: Basic Books (p. 3-31)

Parkay, F.W. & Stanford, B.H. 2008. Menjadi Seorang Guru (Edisi Ketujuh). Terjemah:
Dani Dharyani. Jakarta: Indeks
Piaget, J. & Inhelder, B. 2010. Psikologi Anak. Terjemah: Miftahul Jannah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Santrock, J.W. 2014. Psikologi Pendidikan (Edisi 5). Terjemah: Harya Bhimasena.
Jakarta: Salemba Humanika
Slavin, R.E. 2008. Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik (Buku 1). Terjemah:
Marianto Samosir. Jakarta: PT Indeks

19

Smith, E.E. & Kosslyn, S.M. 2014. Psikologi Kognitif: Pikiran dan Otak. Terjemah: Helly
Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Stoskepf, A. 1999. The Forgotten History of Eugenics. (Online),
(http://www.rethinkingschools.org/cmshandler.asp?archive/13_03/eugeni
c.shtml), diakses 10 Oktober 2016

Solso, R.L., Maclin, O.H. & Maclin, M.K. 2008. Psikologi Kognitif (Edisi Kedelapan).
Terjemah: Mikael Rahardanto & Kristianto Batuadji. Jakarta: Erlangga

Sousa, D.A. 2012. Bagaimana Otak Belajar (Edisi Keempat). Terjemah: Siti Mahyuni.
Jakarta: PT Indeks

Toenlioe, A.J.E. 2013. Sosiologi-Antropologi Pendidikan. Malang: Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Malang
Wikipedia. History of the race and intelligence controversy. (Online),
http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_the_race_and_intelligence_controv
ersy), diakses 10 Oktober 2016

Wikipedia. Race and intelligence. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Race_
and_intelligence), diakses 10 Oktober 2016

Wikipedia. Scientific racism. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Scientific_
racism), diakses 10 Oktober 2016
Wikipedia. Théodore Simon. (Online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Théodore_
Simon), diakses 10 Oktober 2016

Woolfolk, A. 2009. Educational Psychology: Active Learning Edition (10th Edition).
Terjemah: Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar

20

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Improving the VIII-B Students' listening comprehension ability through note taking and partial dictation techniques at SMPN 3 Jember in the 2006/2007 Academic Year -

0 63 87

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

Improping student's reading comprehension of descriptive text through textual teaching and learning (CTL)

8 140 133

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Kecerdasan Emosional dan Spiritual Pengaruhnya Terhadap Kinerja Karyawan Pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Pembantu Surapati Bandung

11 109 178

Transmission of Greek and Arabic Veteri

0 1 22