Kehendak Untuk Berkuasa dan Konsespi Ten (1)

Kehendak Untuk Berkuasa dan Konsespi Tentang Manusia Unggul
(Nietzsche)

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.

Dita Arifah Imani
Paulia Jauza Rizki
Khofifah Kurniati
Phooja Maidi Hendra
Aulia Mahardika K

(111711133009)
(111711133008)
(111711133027)
(111711133028)
(111711133041)


Tim Pengajar:
Achmad Chusairi, S.Psi, M.A. (PJMA)
Dr. Listiyono Santoso, S.S, M.HUM (TIM)
Dra. Veronika Suprapti, M.S.ED (TIM)
Dr. Cholichul Hadi , M.Si, Psikolog (TIM)

FILSAFAT MANUSIA
KELAS B-1
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

2018

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia adalah salah satu makhluk hidup dalam bumi yang diciptakan oleh Tuhan

yang Maha Esa. Manusia menjadi pembahasan yang menarik karena dilihat sebagai makhluk
yang unik. Yang memiliki akal dan dapat hidup berkembang hingga berperilaku baik maupun
buruk terhadap sesamanya, menjadikan manusia suatu makhluk hidup yang membedakan
mereka dengan makhluk hidup lainnya. Hal ini bisa terjadi karena manusia terdiri dari mind
dan body.
Filsafat manusia sendiri adalah cabang filsafat yang menjelaskan hakikat atau esensi
manusia. Hakikat manusia dalam menemukan tujuan hidup mereka yang juga menjawab atas
dasar apakah mereka diciptakan. Dan Tuhan yang manakah yang harusnya ditemukan oleh
manusia.
Pada abad 18, banyaknya kemunduran moral atau akhlak manusia hingga banyak
pertanyaan yang muncul “Dimanakah Tuhan?” .“Apakah Tuhan telah mati?”. Yang membuat
para filsuf mencoba menemukan jawaban dalam hal ini. Kemunduran akhlak manusia di abad
tersebut terjadi karena manusia yang memiliki shadow dalam dirinya untuk menjadi manusia
unggul dan keinginan untuk berkuasa atas manusia lainnya. Yang akhirnya memunculkan
jawaban adanya Dekadensi, Aristokrasi dan munculnya aliran Zarathustra.
Tim Penyusun membuat makalah ini untuk menjelaskan apa yang kami ketahui
tentang Dekadensi, Aristokrasi dan Zarathustra pada abad yang lalu agar tidak terjadi lagi
kemunduran akhlak pada abad maupun generasi selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah Dekadensi itu?
2. Apakah Aristokrasi itu?
3. Apakah Zarathustra itu?

1

4. Apa saja kritik atas Nietzsche?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui ajaran Zarathustra
2. Untuk mengetahui arti Dekandensi
3. Untuk mengetahui arti Aristokrasi
4. Untuk mengetahui kritik atas Nietzsche

2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Zarathustra
Zarathustra adalah nabi dari Persia (Iran). Pencetus Zoroastrianisme atau

Zoroaster. Dasar ajaran dari Zarathustra adalah monotheisme. Menyembah satu
Tuhan, Ahura Mazda. Ahura

Mazda (Berbentuk farohar : pria bersayap yang

berjenggot, memakai jubah dan memegang cincin di tangan kirinya juga memiliki
ekor). Setelah Zarathustra meninggal, kepercayaan kepada makhluk suci yang
diajarkan pada agama ini berubah menjadi konsep kedewataan yang dihubungkan
dengan penciptaan alam. Yang terdiri dari enam tingkat penciptaan benda-benda
alam, yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Asha Vahista ( Dewa yang menguasai api)
Vohu Manah (Dewa hati nurani)
Keshatra Vairya (Dewa penguasa logam)

Spenta Armaity (Dewa penguasa tanah)
Haurvatat (Penguasa air dan tumbuhan)
Amertat (Dewa penguasa air dan tumbuhan)

Kitab : Gathas dan Avesta



Thus Spoke Zarathustra (1883)

Di dalam buku ini, Nietzsche menuliskan bahwa Zarathustra berkata pada
dirinya sendiri kalau Tuhan-Tuhan yang tua itu sudah mati dan mereka mati secara
serentak.
Yang dimaksud Nietzsche dalam kitabnya ini adalah manusia di dunia ini bila
tidak menentukan pilihan hidup maka mereka tidak akan menjadi manusia unggul.
Yang dimaksudkan dengan Tuhan telah mati adalah dulu Tuhan itu ada karena
manusia yang menyembah mereka. Tapi sekarang tidak lagi.Menurut Nietzsche,

3


agama menghambat transformasi manusia menjadi manusia unggul. Karena mereka
akan pasrah dengan kematian, bahkan senang jika mereka mati.
Dengan tidak adanya Tuhan yang telah mati ini, maka terbentuklah Nihilisme.
Nihilisme pasif yang memiliki hidup tanpa tujuan dan bersikap pesimis. Sedngkan
Nihilisme aktif, akan bersuka cita karena hidup tanpa tujuan dan menciptakan nilainilai baru tanpa adanya Tuhan ataupun terikat oleh agama.

2.2

Dekadensi
Menurut kamus besar bahasa indonesia merupakan suatu kemrosotan tentang
akhlak atau kemunduran tentang seni. Menghancurkan semua ketidak adilan, dalam
masa ini demokrasi hanya diperuntukan untuk kalangan terdepan sehingga yang
lemah terpaksa harus tunduk dan mengikuti. Termasuk didalamnya Kristianitas.
Setelah eropa ditaklukan oleh kristianitas munculah semua hal yang meresahkan
sama halnya dengan kenakalan anak-anak sekolah. Namun wadah untuk menyimpan
para pemimpin besar tersebut telah dirusak oleh sanjungan katholik, kedua adalah
cita-cita puritan dan masyarakat kebanyakan tentang reformasi dan pernikahan
campuran anatara kaum atas dan bawah.
Setelah ajaran katholik menjinakkan kebudayaan renaissance yang aristokrasi
dan tidak mementingan moral dengan menghidupkan kekacauan dan kehitmatan

Yahudi. Hal ini mengakibatkan tumpulnya kecerikan bangsa jerman. Menurut
Gibbon waktu dibutuhkan agar dunia bisa musnah dan kita memerlukan semua
waktu untuk membenarkan semua gagasan yang salah dijerman.
Akan tetapi ‘’ wadah ‘’ yang menyediakan dan menyimpan para pemimpin
besar telah dirusak. Setelah ajaran khatolik menjinakan kebudayaan renaissance
yang Aristokrasik dan tidak mementingkan moral tersebut mengakibatkan dekadensi
terjadi dimana-mana. Seperti yang dikatakan Gibbon, tidak ada apapun selain waktu
yang dibutuhkan untuk menunggu dunia bisa musnah, dan hanya waktu yang bisa
membantu kita untuk membenarkan gagasan yang keliru.

2.3 Aristokrasi
Aristokrasi adalah pemerintahan yang ideal. Menurut Nietzsche, kehormatan
moralitas tuhan ditunjukkan melalui konsep aristokrasi, yaitu sebuah susunan
masyarakat yang ideal dimana bentuk kedaulatan hanya berada pada segelintir
orang. Sebuah masyarakat aristokrasi memiliki kesamaan keinginan dari
4

sekelompok orang bahwa untuk berbakti pada negaranya merupakan sesuatu
kebajikan (Nurtjahjo, 2006: 54).
Ciri-ciri aristokrasi yang baik dan sehat adalah bukan karena fungsinya

(apakah itu kerjaan atau persemakmuran) tapi karena pengertiannya untuk
mengorbankan orang-orang yang tak dikenal, yakni mengurangi perlindungan
orang-orang tak sempurna, budak-budak dan orang-orang yang dijadikan alat.
Prinsipnya adalah masyarakat tidak berfungsi demi kemaslahatan masyarakat itu
sendiri tapi hanya dasar bagi orang untukdapat memajukan dirinya kepada hal-hal
dan status yang lebih tinggi.
Konsep aristokrasi berpendapat bahwa rakyat biasa tidak memenuh isyarat
untuk memerintah diri mereka sendiri. Hal-hal mengenai kekuasaan bukanlah
ditangan rakyat kebanyakan melainkan oleh segelintir orang yang memilki
kecakapan moral.
Demokrasi pada masa itu adalah penyimpangan. Demokrasi berarti pemujaan
pada “orang kebanyakan” dan kebencian pada “orang-orang unggul”. Demokrasi,
dengan demikian, berarti ketidak mungkinan lahirnya ManusiaUnggul dan bangsabangsa besar.
Begitupun Feminisme adalah akibat langsung dari demokrasi dan Kristianitas.
Bersama feminism datanglah sosialisme dan anarkisme. Semua itu tidak lain adalah
sampah demokrasi. Persoalan politik yang sebenarnya adalah bagaimana
menghindari pengusaha menjadi pemimpin, Menjadi orang yang mengatur.
Pengusaha mempunyai pandangan yang pendek dan pikiran yang sempit. Ia tidak
seperti para aristocrat yang dilatih untuk menjadi negarawan, yang berwawasan luas
dan pemikiran yang dalam. Merekalah yang sebetulnya mempunyai hak untuk

mengatur, untuk menjadi penguasa.
Aristokrasi yang turun-temurun tidak menyukai unifikasi dunia. Mereka
cenderung pada nasionalisasi yang sempit, meskipun perilaku mereka mungkin
bersifat cosmopolitan. Jika mereka meninggalkan nasionalisme, mereka akan
kehilangan sumber utama kekuatannya-manipulasi hubungan” luarnegeri.

2.4 Kritik Atas Nietzsche
5

Salah satu pemikiran Nietzsche yang terkenal adalah ketika dia mengatakan
bahwa “Tuhan sudah lama mati”. Tentu, pemikiran ini bukan tanpa asumsi mendasar
yang cukup kuat, walaupun memang bukan berarti pemikiran ini bisa lepas dari kritik.
Keberadaan tentang ‘Tuhan’ memang tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang
ilmiah, sehingga tidak harus dirasionalkan. Bukti bahwa ‘Tuhan’ ada atau tidak, samasama tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.


Makna Hidup
Salah satu dari sekian banyak pemikiran Nietzsche adalah tentang pemaknaan diri

atas hidup dan dunia. Termasuk juga tentang ‘Tuhan’. Nietzsche sangat menekankan

pada keberanian dan totalitas dalam menjalani hidup. Salah satu cara yang ia tawarkan
untuk menjalani kehidupan yang berani mengambil risiko ini adalah dengan alpa
terhadap agama. Entah itu kemudian dimaknai sebagai hidup tanpa ‘Tuhan’.
Terus, pertanyaan yang kemudian muncul di dalam benak adalah terkait dengan
nilai baik dan buruk. Darimana standar atau tolak ukur moral yang kita miliki selama
ini? Apakah dari agama?
Salah satu poin lemah Nietzsche, yaitu ketika dia beranggapan bahwa kehidupan
total harus dijalankan tanpa menganut keyakinan pada agama tertentu. Kalau memang
harus demikian, berarti kita atau siapapun yang menjalani nilai baik maupun standar
moral tertentu tidak bisa mengadopsi nilai yang dimiliki oleh agama tertentu.
Misalnya individu mengaku tidak beragama, tapi kemudian individu tersebut
sangat menjunjung tinggi kasih dengan segala unsur di dalam kasih itu sendiri.
Bukankah nilai-nilai kasih kemudian menjadi tolak utama kekristenan? Adakah
individu tersebut mengadopsi nilai kekristenan? Atau sebenarnya nilai dan standar
moral baik itu sudah ada jauh sebelum masa kekristenan. Kalau memang demikian, dari
siapa dan siapa yang menanamkan nilai itu untuk pertama kali? Yesus kah?
Keberanian yang didengungkan oleh seniman ini menjadi begitu ambigu dan
tidak otentik lagi. Apakah kita bisa lepas dari nilai-nilai yang sudah ‘telanjur’ kita
jalani? Memang Nietzsche menyarankan untuk merevisi lagi nilai-nilai yang sudah kita
yakini, tapi adakah nilai alternatif lain? Jangan-jangan semuanya sudah dikuasai oleh

agama. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, kita tetap akan berada dalam ranah
keagamaan maupun ketuhanan. Berarti ‘tuhan’ belum atau tidak benar-benar mati.
6

Karena ternyata kita sendiri tidak bisa lepas dari cengkeraman ‘tuhan’ yang mewujud
dalam berbagai hal, termasuk dalam standar moral maupun kebaikan yang dibawa oleh
agama.
Akan tetapi, lepas dari semua pertanyaan yang belum ada jawabannya ini, kami
begitu menghargai nilai keberanian yang diyakini oleh filsuf yang pro-Semit ini. Tetap
saja, di tengah kematian ‘Tuhan’ yang begitu ia yakini, nilai-nilai kemanusiaan sangat
melekat erat di dalam batin dan pikirannya. Terbukti ketika dia sangat anti terhadap
nazi yang berniat memusnahkan kaum Yahudi dari peradaban dunia.
Kemudian teringat Marx yang menekankan adanya sebuah perubahan. Bagi kami
setidaknya Nietzsche sudah memikirkannya. Setidaknya dia menjadi inspirasi bagi
filsuf-filsuf setelahnya. Bagaimanapun namanya layak dicatat dan diingat dalam sejarah
pemikiran manusia. Bagaimanapun, siapa saja bisa melanjutkan pemikirannya. Atau
jangan-jangan sudah ada yang bisa menjawab pertanyaan yang sangat sulit di atas.
Setidaknya kami sudah merenugkannya. Setidaknya Nietzsche sudah memberikan
pemantik bagi kita untuk kembali merenungkan eksistensi kita sebagai manusia dan
individu. Yang kemudian ternyata pemikiran Nietzsche juga masih berkembang sampai
detik ini.

BAB III
7

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hidup adalah medan laga tempat seluruh makhluk bertarung agar bisa terus
melangsungkan hidupnya. Dan dalam pertarungan yang kita namakan kehidupan itu, kita
tidak memerlukan kebaikan melainkan kekuatan, yang yang dibutuhkan dalam hidup
bukanlah kerendahan hati melainkan kebanggan diri. bukan altruisme, melainkan kecerdasan
yang sangat tajam. Manusia Unggul,sebagaimana moralitas tidak terletak pada kebaikan,
demikian juga tujuan dari kerja keras manusia bukanlah demi peningkatan kualitas hidup
manusia, malainkan demi perkembangan individu-individu unggul yang lebih baik dan lebih
kuat. Di dalam alam terdapat penyimpangan yang terus menerus pada “jenis-jenis” manusia.
Manusia Unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia (human selection),
melalui perbaikan kecerdasan (eugenic foresight) dan pendidikan yang meningkatkan derajat
dan keagungan individu-individu.
Calon manusia Unggul yang baru lahir membutuhkan peningkatan kecerdasan.
Setelah itu, diperlukan pendidikan yang keras, di mana kesempurnaan merupakan materi
utamanya, dan “tubuh dilatih untuk menderita dalam keheningan yang diam, sedangkan
kehendak dilatih untuk memerintah dan mematuhi perintah”. Energi, Intelek, dan kehormatan
atau kebanggan diri membuat Manusia Unggul. Namun kesemuanya itu harus selaras, gairahgairah akan menjadi kekuatan, hanya jika mereka dipilih dan dipadukan oleh suatu tujuan
besar, yang mampu membentuk berbagai keinginan yang masih kabur ke dalam kekuatan satu
kepribadian. Hal yang terbaik adalah mendisiplinkan diri, berbuat keras terhadap diri sendiri.
“manusia yang tidak ingin jadi komponen massa, berhentilah memanjakan diri sendiri.”kita
harus keras pada orang lain, tetapi terutama pada diri kita sendiri, kita harus mempunyai
tujuan dalam menghendaki apa saja, kecuali berkhianat pada teman sendiri, itulah tanda
kemuliaan, rumus akhir Manusia unggul.

Selanjutnya agama akan menjadi sasaran empuk bagi kaum anti-agama. Di wilayah
yang pengaruh agamanya masih kuat seperti di Indonesia ini, kita masih bisa nyaman dengan
kehidupan beragama kita. Tetapi tidak demikian jika kita berada di Eropa. Kita harus
senantiasa memperbarui kualitas iman kita terutama karena kita adalah calon imam. Selain itu
kita juga harus tetap terbuka terhadap kritik demi membangun iman yang lebih mendalam.
Pemahaman yang salah akan iman kristiani menjadi sasaran kritik Nietzsche. Bukan tidak
8

mungkin, jika orang Kristen terus ditidurkan oleh setiap aturan, dogma maupun doktrin
Gereja tanpa sikap kritis, akan ada Nietzsche lain yang lebih mengerikan yang akan mengritik
umat kristiani. Kita harus menjadi orang beragama yang kritis yang tidak mudah digoyahkan
oleh tantangan dari luar. Ubermensch yang dikatakan Nietzsche adalah manusia atas yang
senantiasa berjuang demi suatu nilai yang terintegrasi di dalam dirinya. Pengertian ini bukan
berarti kita harus menentang setiap aturan yang ada, tetapi bagaimana kita bisa menghidupi
nilai-nilai yang ada di Seminari ini.
Hal itu tidaklah mudah, jangan sampai kita justru terjebak pada sikap
munafik. Ubermensch selalu berusaha habis-habisan untuk mengembangkan dirinya bukan
hanya demi memuaskan formator tetapi demi tujuan yang lebih besar yang kita
perjuangkan. Sebagai seorang calon masa depan yang sedang di dalam proses formatio, kita
harus menimba ilmu dan mengolah diri secara serius. Hal ini bukan saja untuk diri kita
sendiri melainkan juga untuk umat. Jika tidak demikian, kita hanya akan menjadi batu
sandungan bagi umat nantinya. Kritik Nietzsche bisa menjadi masukan bagi kita. makalah ini
akan ditutup dengan sebuah ungkapan dari Nietzsche. “membuat orang gelisah, itulah tugas
saya.”

3.2

Saran
Kami menyadari penulisan makalah ini masih banyak memiliki kekurangan untuk
itu kami meminta kritik dan sarannya yang bisa membantu agar penulisan makalah
kami lebih baik.

9

Daftar Pustaka

Prayoga, Adhi. 2009. Aristokrasi übermensch: suatu kritik terhadap realitas kehidupan
demokrasi di indonesia. Universitas Indonesia.
Abidin, Zainal. 2009. Filsafat Manusia : memahami manusia melalui filsafat. Bandung.
Persada rosdakarya.
Syafilani, Zihan. 2009. Kehendak Untuk Berkuasa Dan Manusia Unggul ( Fredrich Nietzsche
1844-1900).

Cholichul Hadi, I. W. (2017). INTERDEPENDENCE AND PEACE: PSYCHOLOGICAL
EXPERIMENTAL APPROACH IN MULTICULTURE. INA-Rxiv .
Chusairi, A. (2012). Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif. Jurnal Insan
Media Psikologi 12 (1) .
Santoso, L. (2017). Etnografi Warung Kopi: Politik Identitas Cangkrukan di Kota Surabaya dan
Sidoarjo. Mozaik Humaniora 17 (1) , 113.
TA Gradianti, V. S. (2014). Gaya penyelesaian konflik perkawinan pada pasangan dual-earner.
Journal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan 3 (3) , 199-206.

10