Aku Pribadi dan Budaya sosial

Syifa Fauziah
1306372246
Sastra Cina
Kebudayaan Indonesia
“Aku dan Budaya”
Saya merupakan seorang wanita beragama Islam yang dilahirkan oleh sepasang
Muslim dan Muslimah. Mempunyai ibu yang berasal dari Suku Betawi dan ayah berasal dari
Suku Sunda. Ibu merupakan keturunan Bangsa Arab dan ayah merupakan keturunan Bangsa
Cina. Ayah saya keturunan Bangsa Cina generasi keempat. Saya memiliki dua kasus dalam
pembahasan kali ini, yang pertama mengenai “identitas” saya dan yang kedua adalah
mengenai modernisasi dan westernisasi di jaman sekarang yang berlebihan.
Kasus yang pertama adalah mengenai “identitas” saya. Ya, saya memang dilahirkan
dan dibesarkan di Kota Jakarta. Banyak teman-teman yang bertanya kepada saya, sebenarnya
saya berasal dari mana? Orang tua saya berasal dari suku apa? Dapat dilihat di paragraf
pertama bahwa ibu saya berasal dari Suku Betawi dan ayah saya berasal dari Suku Suna,.
Lalu, saya berasal dari suku apa? Dari saya belajar di bangku sekolah dasar hingga saat ini
masih belum bisa menentukan saya berasal dari mana. Ada teman yang berkata bahwa saya
blasteran Betawi dan Sunda, ada yang berkata bahwa saya harus mengikuti garis keturunan
ayah, yaitu orang Sunda, dan ada yang berkata bahwa karena saya dilahirkan dan dibesarkan
di Jakarta maka saya adalah orang Jakarta atau Suku Betawi.
Karena banyak teman saya yang berkata demikian, maka saya pun bersikap cuek-cuek

saja. Saya ingin sekali bisa berbicara menggunakan bahasa daerah seperti teman-teman saya
yang misalnya berasal dari Padang, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Makassar, bahkan
Papua. Tetapi ayah saya yang asli orang Sunda tidak pernah mengajari saya bahasa
daerahnya, yaitu Bahasa Sunda, tidak pernah mengajari saya bagaimana cara memainkan
angklung dan alat musik daerah Sunda yang lainnya. Saya berencana semester depan ingin

Syifa Fauziah
1306372246
Sastra Cina
mengambil mata kuliah belanja Bahasa Sunda Dasar agar saya dapat berkomunikasi
menggunakan Bahasa Sunda dengan ayah saya dan orang sunda lainnya.
Kasus yang kedua mengenai modernisasi dan westernisasi yang berlebihan. Di
Indonesia, istilah “cabe-cabean” ramai diberitakan belakangan ini. Bagi orang awam, istilah
“cabe-cabean” menggambarkan gadis di bawah umur yang mulai merintis bisnis prostitusi.
Ada beberapa cirri-ciri dari “cabe-cabean”, antara lain:
1. Gigi ‘dipagar’
Kebanyakan dari mereka ‘memagar’ giginya bukan untuk kesehatan,
melainkan hanya untuk gaya-gayaan, dan memasangya bukan di dokter gigi,
hanya di ahli gigi.
2. Memakai Make Up di malam Minggu

Mereka berdandan super menor tatkala hang out di malam minggu.
3. Bonceng bertiga atau berempat
Saya sering sekali melihat mereka mengendarai motor dengan berbonceng
dua hingga tiga orang. Padahal menurut peraturan lalu lintas hanya boleh
maksimal dua orang, terkecuali empat orang yaitu membawa bayi atau anak
kecil.
4. Naik motor dengan menggunakan celana pendek dan baju ketat
Inilah cirri mutlak dari “cabe-cabean”. Selain berbonceng tiga hingga empat
orang, “cabe-cabean” ketika mengendarai motor, mereka main HP atau
cekikikan ketawa ketiwi, menggunakan celana pendek dan baju yang sangat
ketat.
5. Gemar kebut-kebutan
Selain ketawa ketiwi dan main HP saat mengendarai motor, si “cabe-cabean”
juga serng kebut-kebutan tidak karuan arahnya.
6. Menggunakan high heels di pasar malam
“Cabe-cabean” sering menggunakan dress trendi dan high heels. Tetapi
mereka bukannya nongkrong di club tetapi malahan menghabiskan malam
minggunya di pasar malam.
Saat ini ada tiga jenis “cabe”, yaitu “cabe ijo”, “cabe merah”, dan “cabe oranye”.


Syifa Fauziah
1306372246
Sastra Cina
1. “Cabe ijo”
Mereka memiliki kelas tertinggi, merupakan gadis di bawah umur yang berusia
sekitar 14 hingga 17 tahun. Masih banyak dari mereka yang merupakan siswa
sekolah menengah atas maupun pertama. Mereka memiliki gaya busana yang
modis dan trendi tetapi tidak menonjol. Mereka banyak ditemui di pusat
perbelanjaan kelas atas ataupun lokasi-lokasi gaul di bilangan Jakarta.
2. “Cabe merah”
Mereka berusia antara 16 hingga 19 tahun. Mereka sedikit lebih menonjol
dalam hal berpakaian mini dan menonjolkan lekuk tubuh. Mereka sering
menghabiskan waktu di minimarket ataupun klub-klub malam di Jakarta.
3. “Cabe oranye”
Mereka biasanya berkumpul di taman, arena parkir liar, ataupun pinggir jalan.
Mereka menggunakan berbagai modus untuk menjaring pelanggan, mulai dari
mengamen ataupun ikut para pebalap liar.
Melihat pembahasan diatas, dapat ditarik benang merahnya bahwa banyak gadis
remaja Indonesia yang sudah terjebak dengan gemerlapnya dunia. Mereka juga sudah salah
dalam mengartikan modernisasi dan westernisasi di negaranya sendiri. Lalu sebenarnya apa

yang di maksud dengan meodernisasi dan westernisasi? Menurut Koentjaraningrat,
modernisasi adalah usaha untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang.
Sedangkan westernisasi menurut Koentjaraningrat adalah usaha meniru gaya hidup orang
Barat (orang Eropa Barat atau Amerika).
Bagaimana relasi atau hubungan istilah “cabe-cabean” dengan modernisasi dan
westernisasi yang berkembang saat ini? Menurut saya pribadi, gadis yang disebut dengan
istilah “cabe-cabean” ingin mengikuti gaya hidup orang Barat, tetapi sangat berlebihan.
Mereka menggunakan high heels, make up, dan dress trendi tetapi bukannya nongkrong di
klub-klub malahan nongkrong di pinggir jalan, di fly over, dan atau di taman-taman yang ada

Syifa Fauziah
1306372246
Sastra Cina
di pinggir jalan. Selain itu, mereka juga sering kebut-kebutan sambil cekikikan ketawa ketiwi
entah apa yang mereka tertawakan.
Sudah dapat dilihat bahwa mereka sangat berlebihan dalam meniru gaya hidup orang
Barat. Mereka meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat, meniru adat sopan santun
pergaulan orang Barat, dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan adat sopan santun
pergaulan Indonesia. Selain itu, mereka juga meniru pola pola bergaul, dan meniru kebiasaan
minum minuman keras seperti orang Barat dan sebagainya.

Sebenarnya sudah sejak lebih dari seabad lamanya kita meniru, mengambil alih atau
mengadaptasi unsur-unsur kebudayaan Barat. Unsur-unsur yang mula-mula berasal dari
kebudayaan Barat tersebut dapat kita tiru, kita ambil alih, kita adaptasi, dan tanpa harus
menjadi seperti orang Barat. Untuk menyerap budaya Barat harus sangat berhati-hati. Banyak
budaya Barat yang negatif dan banyak juga yang positif. Budaya Barat yang positif justru
harus kita serap, misalnya disiplin dalam bekerja dan belajar. Sedangkan budaya Barat yang
negatif dapat kita lihat dari pembahasan di paragraf sebelumnya, gadis remaja dengan
berpakaian dan berpenampilan yang diluar dari batas toleransi di Indonesia.
Orang Indonesia yang seperti itu belum tentu modern, mental mereka feudal, dalam
arti tidak bermutu dalam karya-karyanya, tidak menghargai dan mencintai kebudayaannya
sendiri, yaitu Kebudayaan Indonesia. Orang Indonesia seperti itulah tidak mempunyai
mentalitas yang diperlukan dalam modernisasi dan sebenarnya mental mereka sangat kolot
dan norak. Norak disini dalam arti mereka

gadis “cabe-cabean”

ingin menunjukkan

bahwa mereka sudah modern dengan meniru gaya kehidupan orang Barat, tetapi sebenarnya
mereka justru sangat amat kolot dan norak. Mereka tidak tahu apa dan bagaimana menyerap

serta menerapkan modernisasi dan westernisasi di Indonesia.

Syifa Fauziah
1306372246
Sastra Cina
Selain itu, orang Indonesia yang “modern” dengan gaya westernisasi pada umumnya
tidaklah hemat. Mereka menghambur-hamburkan uang untuk nongkrong sana sini, membeli
minuman keras, pesta tiap malam, dan sebagainya. Orang Indonesia yang hemat sebenarnya
membantu negara Indonesia untuk menjadi lebih baik dari pada saat ini untuk bisa
menghasilkan lebih banyak karya bermutu yang bisa kita banggakan dan membantu
Indonesia dalam pembangunan. Maka dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi modern
tidaklah membutuhkan westernisasi dengan gaya meniru pergaulan dan kehidupan orang
Barat, cukuplah jadi diri sendiri dan menjadi bangsa Indonesia yang beradab serta berbudaya.

Referensi:
http://sidomi.com/248569/cabe-cabean-adalah-istilah-untuk-gadis-dengan-10-ciri-berikut/
Koentjaraningrat. 1993. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum.
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/04/01/kisah-pengakuan-abg-cabe-cabean-1
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/04/01/1154512/Mengenal.Cabe-cabean.di.Jakarta