Shyness dan Perilaku Berisiko seks

SHYNESS DAN PERILAKU BERISIKO
Syurawasti Muhiddin
Program Studi Psikologi
Universitas Hasanuddin
Makassar

PENDAHULUAN

Manusia senantiasa bertumbuh dan berkembang sepanjang kehidupannya.
Mulai dari manusia dikonsepsi dalam rahim, dilahirkan, kemudian tumbuh dari
bayi menjadi anak-anak. Dari anak-ana manusia tumbuh menjadi remaja dan
kemudian memasuki masa dewasa. Sampai pada akhirnya manusia memasuki
masa tua dan kemudian meninggal. Pada setiap tahapan-tahapan kehidupannya,
manusia senantiasa mengembangkan tingkah laku yang kemudian mencirikan
tahapan kehidupan tersebut.
Tingkah laku merujuk pada cara seseorang, organisme, dan atau kelompok
untuk memberikan respon terhadap seperangkat kondisi-kondisi tertentu. Tingkah
laku manusia dapat dibedakan atas dua, yaitu tingkah laku yang tampak dan
tingkah laku yang tidak tampak. Istilah untuk tingkah laku yang tampak pada
manusia adalah overt behavior atau dalam bahasa riset adalah observable
behavior. Tingkah laku yang tidak tampak dikenal sebagai covert behavior atau

unobservable behavior. Covert behavior ini dapat berupa sikap (attitude),
persepsi, emosi dan motif-motif. Apabila hal itu ditampakkan dalam wujud
tingkah laku yang dapat diamati secara langsung maka disebutlah overt behavior.
Covert behavior memiliki hubungan dengan overt behavior. Misalnya
dicontohkan dengan sikap. Banyak perilaku yang didasari oleh sikap seseorang
terhadap suatu objek. Sikap A terhadap B mendasari perilaku A terhadap B.
Meskipun demikian, sikap tidak selalu dapat meramalkan suatu perilaku. Sikap
terhadap suatu hal dapat bertentangan dengan perilaku yang ditampilkan. Dengan
demikian, overt behavior tidak selalu merupakan representasi dari covert

2

behavior. Banyak faktor lain yang tercakup dalam konteks lain, misalnya konteks
sosial, yang menentukan perilaku (Sarwono & Meinarno, 2011).
Hubungan sikap dan perilaku dapat dipengaruhi oleh kuat lemahnya sikap
yang dimiliki yang bergantung pada ekstremitas dan pengalaman pribadi masingmasing orang. Teori tentang hubungan sikap dan perilaku (hubungan overt dan
covert behavior) dijelaskan dalam teori perilaku beralasan/theory of reason action
(Fishbein & Ajzen, 1980); teori perilaku berencana/ theory of planned behavior
(Ajzen, 1991); dan teori tentang hubungan spontan antara sikap dan perilaku yang
dijelaskan dalam attitude-to-behavior process model (Fazio, 1989) (Sarwono &

Meinarno, 2011).
Teori-teori

tentang

perilaku

manusia

berkembang

seiring

dengan

perkembangan ilmu psikologi, yang merupakan ilmu yang mengkaji mengenai
perilaku manusia. Berbagai konsep dan istilah tentang perilaku muncul, di
antaranya adalah konsep tentang perilaku berisiko (risk behavior/risky behavior)
atau dikenal juga dengan perilaku pengambilan risiko (risk-taking behavior). Risk
behavior merupakan suatu konsep yang sangat luas meliputi berbagai konteks

dalam kehidupan. Risk behavior dari sisi psikologi sendiri dapat dipandang dari
perspektif psikologi sosial dan juga perspektif psikologi klinis.
Fenomena perilaku berisiko dapat dipandang sebagai fenomena sosial,
misalnya merokok serta penggunaan obat-obatan terlarang. Apabila perilaku
tersebut menimbulkan suatu abnormalitas pada diri individu maka perspektif
psikologi klinis dapat digunakan. Dewasa ini, psikologi klinis berupaya memasuki
wilayah makro, bukan sekedar wilayah mikro. Konsep mengenai risk behavior ini
dapat juga dibahas dari sisi klinis makro yang berarti memerlukan perspektif
sosial.
Awal munculnya konsep perilaku berisiko yang dibahas dalam jurnal-jurnal
ilmiah didasari oleh semakin meluasnya perilaku-perilaku bermasalah yang
muncul, khususnya perilaku kesehatan pada remaja. Sudah banyak hasil survei
yang dipublikasikan terkait dengan perilaku berisiko pada remaja terutama di
Amerika Serikat. Di antaranya adalah High School Youth Risk Behavior Survey
(YRBS) tahun 2013 yang dipublikasikan oleh Vermont Department of Health.

3

Survey ini menggambarkan beberapa perilaku yang termasuk berisiko, yaitu
personal safety; penggunaan rokok, alkohol dan obat-obatan terlarang; perilaku

dan orientasi seksual; body image; serta nutrisi dan aktivitas fisik. Dalam suatu
artikel ilmiah yang diterbitkan oleh Ohio State University, beberapa perilaku
remaja yang dikategorikan sebagai perilaku berisiko adalah penggunaan produk
tembakau (merokok), kekerasan, penggunaan marijuana dan minuman keras, serta
perilaku seks bebas (Newby & Snyder, 2009).
Perilaku berisiko juga dipandang sebagai perilaku negatif di kalangan
masyarakat Indonesia secara umum. Hal ini diantaranya didukung oleh definisi
perilaku berisiko dalam modul Pendidikan Remaja Sebaya Palang Merah
Indonesia. Perilaku dikategorikan berisiko, apabila perilaku itu bisa berpeluang
mendatangkan kerugian saat ini dan atau di masa yang akan datang terhadap diri
sendiri maupun orang lain. Kerugian ini bisa berupa material, fisik, harga diri,
rasa malu, kehilangan kesempatan, kehilangan masa depan, dan seterusnya (PMI,
2008).
Lebih lanjut perilaku dikatakan berisiko bergantung pada dampak atau
konsekuensinya. Pada dasarya tidak mudah untuk melabel bahwa apakah suatu
perilaku berisiko atau tidak karena ada perilaku yang dianggap negatif ternyata
memiliki hasil yang positif (Schulenberg (Skaar, 2009) dan perilaku yang secara
umum dipertimbangkan positif ternyata dapat memberikan hasil negatif. Studi
kualitatif baru-baru ini menunjukkan bahwa remaja memahami risiko dikaitkan
dengan keputusan dan aktivitas yang diterima secara sosial (Skaar, 2009).

Perilaku berisiko adalah konsep yang sudah lama dibahas dalam jurnal-jurnal
penelitian ilmiah. Telah banyak dilakukan penelitian terkait dengan perilaku
berisiko terutama pada remaja. Perilaku berisiko umumnya dilihat sebagai
variabel

dependen.

Dengan

demikian,

berbagai

variabel

independen

dipertimbangkan sebagai faktor berpengaruh. Faktor tersebut dapat digolongkan
sebagai faktor internal dan faktor eksternal. Dalam tulisan ini faktor shyness
sebagai salah satu faktor internal dari individu dibahas lebih spesifik dari hasilhasil penelitian yang ada. Shyness dapat dipandang sebagai suatu pengalaman


4

subjektif yang ditunjukkan sebagai keresahan dan kekhawatiran dalam pertemuan
interpersonal (Buss; Leary & Schlenker; Zimabardo (Gökhan, 2010)
Faktor shyness dibahas lebih spesifik karena faktor tersebut belum memiliki
kedudukan yang pasti terkait dengan pengaruhnya terhadap perilaku berisiko.
Dengan kata lain, pengaruhnya terhadap perilaku berisiko dapat bersifat negatif
dan juga positif. Ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa shyness menjadi
faktor yang memengaruhi kecenderungan remaja terlibat dalam perilaku berisiko.
Namun sebaliknya, ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa shyness yang
merupakan karakteristik personal ini dapat mencegah remaja untuk terlibat dalam
perilaku berisiko. Hasil penelitian yang kedua ini dapat memberikan informasi
kepada pembaca bahwa shyness yang umumnya dipandang sebagai suatu karakter
yang negatif ternyata memiliki pengaruh yang positif pula.
Meskipun telah banyak literatur yang membahas mengenai perilaku berisko,
topik tersebut tetap dibahas oleh penulis dalam tulisan ini. Sisi yang ingin
diperlihatkan dalam tulisan ini adalah pergeseran pandangan mengenai perilaku
berisiko. Perilaku berisiko tidak selamanya dipandang sebagai perilaku negatif
melainkan juga perilaku yang lebih positif. Perilaku berisiko bukan hanya ditinjau

dari perspektif psikologi negatif. Psikologi positif sebagai cabang yang relatif
baru dari psikologi juga dapat digunakan untuk memandang perilaku berisiko
tersebut. Selain itu, tulisan ini menekankan faktor-faktor yang dapat memengaruhi
perilaku berisiko, termasuk shyness yang dibahas secara lebih spesifik
sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.
Alasan lain berkaitan dengan aktivitas yang digeluti oleh penulis sendiri.
Penulis merupakan salah seorang relawan PMI dalam bidang pengembangan
pendidikan remaja sebaya mengenai kesehatan remaja. Pendidikan kesehatan
remaja sangat berhubungan dengan upaya mengurangi perilaku berisiko yang
negatif. Penulis ingin memahami lebih dalam mengenai konsep perilaku berisiko,
faktor yang dapat berpengaruh, serta asesmen untuk mengukurnya. Sejalan
dengan maksud tulisan ini, penulis ingin menunjukkan kepada masyarakat dan
remaja bahwa pandangan mengenai perilaku berisiko seyogianya dapat digeser ke
arah yang lebih positif dan konstruktif bagi perkembangan kepribadian remaja.

5

Perilaku berisiko dalam tulisan ini tetap berfokus pada remaja. Hal ini
didasarkan pada data-data bahwa perilaku berisko yang negatif banyak
dikembangkan oleh remaja di seluruh dunia. Masa remaja memang dianggap

sebagai masa ketika perilaku berisiko mulai meningkat. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa status biologis khususnya status pubertas menjadi faktor
signifikan dalam perilaku remaja (Richey, 2005). Selain itu, sasaran dalam
pendidikan kesehatan yang digeluti oleh penulis adalah remaja, yaitu dengan
pendekatan pendidikan sebaya (peer educators). Lebih dari itu, masyarakat
umumnya masih berasumsi bahwa remaja merupakan masa yang sulit. Perubahan
yang pesat dari berbagai aspek perkembangan terjadi ketika masa remaja. Ketika
individu dapat melalui masa remaja dengan baik maka masa-masa selanjutnya
juga akan diikuti dengan perkembangan yang baik.
Secara umum, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji mengenai konsep perilaku
berisko. Secara khusus tulisan ini bertujuan untuk memperlihatkan perkembangan
pengertian ataupun pandangan terhadap perilaku berisko. Juga memahami
mengenai karakteristik perilaku berisiko dan faktor-faktor yang memengaruhinya.
Faktor yang dikaji secara lebih spesifik adalah shyness. Pemahaman mengenai
karakteristik perilaku berisiko dan faktor yang mungkin berkaitan dengan perilaku
berisiko pada remaja diperlukan oleh berbagai pihak, terutama orang tua dan para
pembina remaja lainnya, untuk kemudian bisa memberikan intervensi-intervensi
yang tepat sebagai upaya mengurangi dampak negatif perilaku berisko pada
remaja. Upaya pengurangan dampak negatif dan peningkatan dampak positif dari
perilaku remaja ini akan mengarah pada pengembangan kesehatan mental pada

remaja. Kondisi yang sehat mental pada remaja tentunya akan menjadikan remaja
lebih mampu berkontribusi secara positif agar dapat bermanfaat bagi dirinya dan
orang lain.
TEORI DAN KONSEP DASAR
Teori tentang perilaku yang normal pada dasarnya merujuk pada teori-teori
tentang dinamika tingkah laku. Dinamika tingkah laku dalam psikologi tentu saja

6

dibahas oleh berbagai perspektif pendekatan teori. Dalam ilmu psikologi, ada
empat perspektif utama yang membahas mengenai dinamika tingkah laku yang
diangkat oleh penulis,

yaitu perspektif behavioristik, perspektif psikoanalisa,

perspektif humanistik, dan perspektif kognitif. Dalam perkembangannya,
bermunculan berbagai teori dalam psikologi yang berorientasi pada dua atau lebih
perspektif tersebut. Salah satu teori tersebut adalah Teori Lapangan (Field Theory)
yang disebut juga sebagai Teori Psikodinamika (Sarwono, 2013). Teori ini
menggunakan perspektif kognitif karena berangkat dari aliran Psikologi Gestalt.

Teori Lapangan yang dikembangkan oleh Lewin ini banyak digunakan untuk
menjelaskan berbagai perilaku-perilaku sosial. Dalam paper ini, perilaku berisiko
lebih dipandang sebagai perilaku sosial. Dengan demikian, teori dasar untuk
tentang perilaku berisiko yang digunakan Penulis dirujuk dari Teori Lapangan.
Dalam paper ini, konsep perilaku berisiko tidak dibahas dari satu ahli saja.
Perilaku berisiko juga tidak dibahas dari satu perspektif. Perilaku berisiko dibahas
dari berbagai perspektif dan dari berbagai sudut pandang peneliti. Meskipun
demikian, konsep-konsep mengenai perilaku berisiko banyak diambil dari
penelitian Laura Richey (2005) dan Nicole Skaar (2009). Tulisan-tulisan
keduanya banyak merujuk pada pemikiran peneliti terdahulu mengenai perilaku
sosial, termasuk perilaku berisiko.
Perilaku berisiko yang dibahas sebagai konsep dasar adalah perilaku berisiko
yang didasarkan pada pandangan klasik mengenai perilaku berisiko, yaitu perilaku
yang mengarah pada dampak negatif. Jurnal-jurnal ilmiah mengenai perilaku
berisiko pada remaja banyak dipublikasikan pada tahun 1900-an. Pada saat itu,
perilaku berisiko banyak dibahas sebagai suatu masalah pada remaja, terutama
masalah sosial. Irwin dan Yates adalah dua diantara peneliti yang mengkaji
mengenai perilaku berisiko yang merupakan suatu perilaku yang berdampak
negatif. Hasil-hasil studi mereka banyak dimuat dalam jurnal perilaku berisiko
pada remaja dan jurnal mengenai kesehatan remaja.

Irwin (Skaar, 2009) mendifinisikan perilaku berisiko sebagai perilaku yang
mengandung konsekuensi yang tidak diketahui dan berpotensi untuk memiliki
dampak yang negatif terhadap kesehatan. Yates (Skaar, 2009) mendefinisikan

7

risiko sebagai suatu konsep multidimensional dan mengusulkan definisi yang
mencakup pertimbangan potensi kerugian, probabilitas kerugian, dan signifikansi
dari potensi kerugian. Definisi tersebut membahas potensi hasil yang merugikan,
tetapi gagal untuk mengatasi hasil yang berpotensi konstruktif. Perilaku tersebut
sering merujuk pada definisi seperti penyalahgunaan obat-obatan, perilaku seksual
berisiko, dan perilaku nekad lainnya (seperti perkelahian, aktivitas dalam geng
dan mengemudi dengan ceroboh). Penelitian telah jelas menunjukkan bahwa
perilaku tersebut dikaitkan dengan dampak terhadap kesehatan dan pendidikan
yang negatif. Sampai saat ini, pandangan terhadap perilaku berisiko memang
masih cenderung pada suatu hal yang negatif bagi remaja. De Guzman dan
Pohlmeier (2014) menyatakan bahwa perilaku berisiko yang tinggi adalah semua
perilaku yang dapat memberikan efek yang merugikan terhadap keseluruhan
perkembangan dan kesejahteraan (well-being) remaja, atau mungkin dapat
mencegah mereka mencapai kesuksesan dan perkembangan masa depan.
Bersesuaian dengan pengertian di atas maka karakteristik perilaku berisiko
ditandai setidaknya oleh dua hal. Pertama adalah memberikan dampak yang
merugikan secara signifikan bagi remaja baik pada saat ini maupun pada masa
yang akan datang. Kedua adalah berpotensi memberikan kemungkinan kerugian
bagi perkembangan remaja saat ini dan di masa yang akan datang. Secara lebih
nyata, perilaku berisiko adalah perilaku yang dapat menyebabkan perkembangan
remaja terganggu serta ketidakmampuan remaja mencapai well-being. Beberapa
konsekuensi negatif yang signifikan dari perilaku berisiko adalah penularan
penyakit seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, putus sekolah, pengangguran,
kecelakaan, ketergantungan zat dan alkohol, pengeluaran biaya medis yang besar,
hukuman penjara, disabilitas fisik dan psikologis dan kematian (Arnett; Irwin et
al.; Muuss & Porton; Spear (Richey, 2005).
Konsep tentang perilaku berisiko sangat banyak dikaji dalam literatur dan
dikembangkan dari berbagai aliran dalam lapangan psikologi. Perilaku berisiko
dapat dipandang, di antaranya, dari perspektif kognitif, biologis, dan sosial. Dari
perspektif kognitif, perilaku berisiko dikaitkan dengan suatu fokus pada tahapan
perkembangan kognitif dan proses pengambilan keputusan (Benthin, Slovic &

8

Severson; Boyer (Skaar, 2009).

Pengambilan keputusan tentunya melibatkan

persepsi dan pengetahuan individu. Pengambilan keputusan membutuhkan
pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pengatahuan tentang konsekuensi negatif
perilaku berisiko tidak mencegah remaja dari keterlibatan dalam perilaku berisiko
(Arnett; Igra & Irwin; Levitt, Selman & Richmond; Muuss & Porton (Richey L,
2005). Meskipun demikian, beberapa bukti menunjukkan bahwa remaja mendesak
kemampuan kognitif dengan mengakui konsekuensi dari keputusan mereka
(Keating; in Graber & Brooks-Gunn (Richey L, 2005). Penelitian lain mengklaim
bahwa remaja lebih sering mengakui konsekuensi jangka pendek daripada
mengakui konsekuensi jangka panjang (Igra & Irwin; Muuss & Porton (Richey L.,
2005).
Para ahli perspektif biologis menduga bahwa perilaku berisiko dihasilkan dari
proses biologis seperti terjadinya lonjakan hormon secara natural (Urdy (Skaar,
2009), waktu kematangan pubertas (Irwin & Milstein (Skaar, 2009), dan trait
yang secara personal diwariskan (Zuckerman, Bone, Neary, Mangelsfoff &
Brustman (Skaar, 2009). Usia remaja dapat berkaitan dengan level hormon
meskipun secara tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa aspek biologis,
khususnya pubertas kemungkinan menjadi faktor signifikan dalam perilaku
remaja (Richey, 2005).
Teori-teori psikososial sering digunakan untuk menjelaskan perilaku berisiko
pada remaja. Ada berbagai faktor-faktor sosial yang dapat membuat remaja lebih
mudah terlibat dalam perilaku berisiko. Faktor-faktor tersebut meliputi rendahnya
self-esteem, kelompok sebaya yang negatif, masalah psikiatri, konflik familial,
kemiskinan, menjadi orang tua, level pendidikan orang tua yang rendah, sikap
negatif terhadap sekolah, aspirasi pendidikan yang rendah, menjadi orang tua
tunggal dalam keluarga, seringkali membolos

sekolah, tidak memiliki

kepercayaan agama, keterampilan sosial yang rendah, kepadatan populasi yang
tinggi, laju pengangguran yang tinggi, menjadi seorang bujangan (single),
impulsivitas, perubahan dalam struktur keluarga (seperti perceraian dan
pernikahan kembali), menjadi seorang lelaki, serta memiliki masalah tingkah laku

9

pada masa anak-anak (Arnett; Crockett & Petersen; Igra & Irwin; Irwin et al.;
Muuss & Porton; Ponton (Richey, 2005); de Guzman & Pohlmeier, 2014)
Tingkat perilaku berisiko yang tinggi juga dikaitkan dengan tingkat pencarian
sensasi yang tinggi (Arnett; Spear (Richey, 2005). Pengaruh teman sebaya juga
ditandai sebagai faktor sosial yang utama, yang menyebabkan perilaku berisiko
pada remaja. Pada masa remaja, pendapat teman sebaya lebih diprioritaskan oleh
remaja dibandingkan pendapat keluarga (Arnett; Crockett & Petersen; Igra &
Irwin; Irwin et al. (Richey, 2005). Orang tua juga memiliki pengaruh yang besar
terhadap keterlibatan anak dalam perilaku berisiko. Remaja yang memiliki orang
tua yang menerapkan gaya pengasuhan yang authoritarian atau permisif akan
lebih cenderung mengambil risiko dibandingkan remaja yang orang tuanya
menerapkan pola asuh authoritative (Crockett & Petersen; Irwin et al.; Levitt,
Selman, & Richmond (Richey, 2005). Komunikasi anak dan orang tua yang
kurang, pengawasan orang tua yang rendah (misalnya, orang tua tidak sadar
dengan apapun yang dilakukan anak remajanya), dan kurangnya dukungan
keluarga, menjadi faktor familial yang memengaruhi perilaku berisiko pada
remaja (de Guzman & Pohlmeier, 2014).
Variabel ektra-familial juga memainkan peranan dalam keterlibatan remaja
pada perilaku berisiko. Beberapa faktor tersebut, yaitu remaja yang mengalamai
iklim negatif di sekolah, kualitas kehidupan tetangga yang buruk, status
sosioekonomi yang rendah, dan hubungan yang buruk dengan orang dewasa
selain orang tua (de Guzman & Pohlmeier, 2014). Media juga memiliki pengaruh
yang kuat pada perilaku remaja (Igra & Irwin; Irwin et al.; Ponton (Richey, 2005).
Media sering menggambarkan remaja-remaja

yang terlibat dalam perilaku

berisiko seperti merokok, meminum minuman keras, serta seks pranikah.
REVIEW JURNAL HASIL PENELITIAN
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian-penelitian
terhadap perilaku berisiko pada remaja sangat banyak dilakukan. Penelitianpenelitian tersebut bertujuan di antaranya untuk memastikan konsep dan teori

10

sebelumnya yang sudah ada, juga untuk melihat kemungkinan lain berkaitan
dengan perilaku berisiko. Penelitian yang dilakukan juga menggunakan berbagai
metode. Penelitian yang berhubungan dengan perkembangan remaja umumnya
berupa penelitian longitudinal. Metode lainnya seperti penelitian survey dan
cross-sectional. Penelitian mengenai perilaku berisiko menggunakan pendekatan
kualitatif ataupun kuantitatif, juga menggunakan kedua pendekatan tersebut dalam
satu penelitian. Penelitian-penelitian ini penting untuk melihat perkembangan
konsep perilaku berisiko.
Pertama, terkait dengan pergeseran pandangan mengenai perilaku berisiko.
Definisi pertama perilaku berisiko menekankan pada konsekuensi negatif dari
perilaku

risiko

dan

mengecualikan

perilaku

berisiko

yang

mungkin

mengakibatkan hasil yang positif, seperti menantang teman sebaya, mencoba
tantangan fisik, atau partisipasi dalam atletik. Partisipasi dalam atletik dan
kontradiksi terhadap sikap dan permintaan rekan sebaya tidak biasanya dipelajari
sebagai perilaku berisiko. Namun, perilaku tersebut menempatkan individu pada
risiko cedera, kekecewaan dan penolakan sosial. Ada bukti yang konsisten bahwa
partisipasi dalam kegiatan atletik dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya berkaitan
dengan hasil positif, yang meliputi peningkatan prestasi akademik (Broh, 2002;
Cooper, Valentine, Nye, & Lindsay, 1999), mengurangi penggunaan zat (Eccles &
Barber (Skaar, 2009), dan penurunan angka putus sekolah (Mahoney & Cairns,
(Skaar, 2009). Siswa yang menantang terhadap tekanan teman sebaya cenderung
untuk berpartisipasi dalam perilaku nakal (Wright, Nichols, Graber, Brooks,
Gunn, & Botvin (Skaar, 2009). Selain itu, siswa yang melakukan konformitas
yang tinggi terhadap teman sebaya melaporkan pencapaian akademik rendah dan
lebih banyak kelas yang dilewati (Santor, Messervey, & Kusumakar (Skaar, 2009).
Definisi yang lebih luas dari perilaku berisiko meliputi perilaku yang
memiliki dampak negatif dan positif yang diasosiasikan dengan perilaku tertentu
(Byrnes, Miller dan Schaffer; Moore & Gullone (Skaar, 2009). Jika individu
merasakan hasil positif dibandingkan hasi negatif, dia mungkin akan mengambil
risiko tersebut. Fokus pada saat ini tidak lagi pada hasil negatif dari perilaku
berisiko, tetapi memungkinkan seseorang untuk membedakan antara perilaku

11

maladaptif dengan hasil negatif yang potensial dan perilaku adaptif dengan
potensi pertumbuhan psikologis dan fisik. Definisi ini membuka pintu untuk
pandangan yang lebih positif terhadap perilaku berisiko dan menciptakan potensi
untuk memahami partisipasi dalam perilaku berisiko sebagai kekuatan, bukan
sekedar pembatasan (Skaar, 2009).
Beberapa perilaku berisiko berbeda dari tipe perilaku kesehatan berisiko
yang khas dalam kaitannya dengan kemungkinan konsekuensi (Byrnes et al.
(Skaar, 2009). Irwin dan Vaugh (Skaar, 2009) mengartikan perilaku yang
menghasilkan konsekuensi positif sebagai "perilaku mengeskplorasi/exploratory
behavior". Tetapi perbedaan ini belum biasa digunakan dalam literatur riset.
Remaja memahami risiko dikaitkan dengan keputusan dan aktivitas yang diterima
secara sosial. Sebagai contoh, remaja mengidentifikasi melanjutkan kuliah dan
menikah sebagai suatu perilaku beirisko (Abbott-Chapman, Denholm, & Wyld,
2008). Oleh karena itu, perilaku berisiko lebih sepenuhnya ditentukan saat itu
didasarkan pada hasil psikologis daripada penggunaan deskripsi yang diterima
secara tradisional (Skaar, 2009).
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan ringkasan definisi perilaku
berisiko dari beberapa ahli (Skaar, 2009).
Moore
Irwin

Yates

&

(1993) (1992) Gullone
(1996)
Konsekuensi

Byrnes
et al
(1999)

Jessor

Skaar
(2009)
(1992)

yang X

tidak diketahui
Konsekuensi negatif
Konsekuensi positif
Signifikansi
konsekuensi negatif
Probabilitas
konsekuensi negatif
Probabilitas
konsekuensi positif
Dibedakan
dengan
perilaku eksplorasi

X

X
X

X
X

X

X
X

X

X

X

X

X

X

X

X

X
X

X

12

Selanjutnya, berkaitan dengan faktor yang memengaruhi perilaku berisiko
maka

faktor-faktor tersebut dapat dijelaskan dalam model yang lebih

komperehensif, yaitu model biopsikososial. Perspektif ini memandang bahwa
perilaku berisiko merupakan perilaku fungsional yang dihasilkan dari interaksi
genetik, lingkungan sosial, lingkungan yang dipersepsi, trait personal dan
pengalaman dalam berperilaku. Model tersebut menjadikan perilaku berisiko
sebagai suatu kebutuhan untuk remaja dalam mencapai tugas perkembangannya.
Dengan demikian, perspektif yang paling baru pada perilaku berisiko remaja
konsisten dengan gagasan bahwa peningkatan perilaku berisiko pada remaja
adalah fungsi dari tipe perkembangan (Steinberg, 2007).
Model perkembangan menyediakan perspektif yang berbeda di mana perilaku
berisiko dipertimbangkan pada level makro dibandingkan level mikro. Perspektif
perkembangan memandang bahwa perilaku berisiko adalah bagian dari
perkembangan remaja untuk mencapai kematangan. Untuk bisa mencapai
perkembangan maka individu memang harus mengambil suatu risiko. Remaja
juga mengambil risiko dalam perkembangannya dalam cakupan dunia yang lebih
luas dan ruang gerak yang lebih lebar. Kemampuan kognitif dan sosial digunakan
untuk menganalisis dan memilih perilaku beirisko. Remaja ditandai dengan tahap
dalam kehidupannya ketika self-awareness dan identitas personal menjadi suatu
konflik dengan pihak otoritas. Remaja yang dapat melalui konflik dapat
bertransformasi menjadi seorang dewasa muda yang percaya diri sehingga tujuan
karir akan lebih muda dicapai (Skaar, 2009).
Perilaku yang tampak (overt behavior) dapat dipengaruhi oleh covert
behavior sebagaimana yang disebutkan dalam bagian pendahuluan. Perilaku
berisiko pada dasarnya dipengaruhi oleh aspek-aspek psikologis, di antaranya
adalah persepsi terhadap perilaku berisiko. Persepsi terhadap risiko personal
menyebabkan seseorang dapat melakukan tindakan protektif (motivasi perilaku).
Ketika seseorang memikirkan tindakannya menjadi efektif maka semakin rendah
pula persepsi mereka terhadap risiko (penilaian terhadap risiko). Persepsi terhadap
risiko secara akurat pada dasarnya merefleksikan perilaku berisiko (kekauratan).

13

Meskipun demikian, risiko yang dipersepsikan lebih tinggi dapat menyebabkan
tindakan protektif yang kurang (Brewer, Weinstein, Cuite, & Herrington, 2004).
Padahal seyogianya persepsi risiko yang tinggi dapat meningkatkan tindakan
protektif.
Berkaitan dengan penilaian terhadap perilaku berisiko, Steinberg (2007)
menemukan bahwa kecenderungan remaja yang lebih besar untuk mengambil
risiko bukan dikarenakan perbedaan usia terkait penilaian atau persepsi terhadap
risiko, tetapi perbedaan usia terkait faktor psikososial yang memengaruhi regulasi
diri (self-regulation). Ini menunjukkan bahwa masa remaja merupakan suatu
periode yang memiliki kerentanan yang tinggi terhadap pengambilan risiko karena
suatu disjungsi antara hal-hal baru dan pencarian sensasi (yang keduanya
meningkat secara dramatis pada masa pubertas) dan perkembangan kompetensi
regulasi diri, yang mana belum sepenuhnya matang sampai mencapai masa
dewasa awal. Disjungsi ini didorong secara biologis, normatif, dan tidak mungkin
diperbaiki melalui intervensi pendidikan yang didesain untuk mengubah persepsi,
penilaian ataupun pemahaman remaja terhadap risiko. Intervensi seyogyanya
dimulai dari anggapan dasar bahwa remaja secara inheren cenderung mengambil
risiko dibandingkan orang dewasa dan seyogyanya berfokus pada penurunan
bahaya yang berhubungan dengan perilaku berisiko.
Penurunan bahaya terkait dengan perilaku berisiko dapat diwujudkan dengan
mempertimbangkan faktor lain di luar diri individu, yaitu faktor lingkungan
sosial. Faktor sosial yang banyak dihubungkan dengan perilaku pengambilan
risiko adalah faktor keluarga. Faktor keluarga yang banyak dikaji akhir-akhir ini
adalah hubungan antara orang tua dan anak. Beberapa hasil penelitian merujuk
pada hal ini. Di antaranya adalah terdapat hubungan yang negatif antara family
attachment dan perilaku bermasalah (Galaif et al. (Christopherson & Conner,
2012). Artinya semakin tinggi family attachment maka semakin rendah
kemungkinan munculnya perilaku bermasalah. Kurangnya dukungan keluarga
juga berhubungan dengan keterlibatan remaja akhir laki-laki dalam perilaku
minum alkohol dibandingkan remaja akhir perempuan (Locke & Newcomb
(Christopherson & Conner, 2012). Selain itu, parental attachment berpengaruh

14

terhadap perilaku kesehatan berisiko pada remaja. Secara lebih spesifik, hubungan
keduanya dimediasi oleh loneliness (kesepian). Loneliness berhubungan dengan
perilaku merokok. Parental attachment berasosiasi dengan law abidance. Law
abidance adalah bagian dari konformitas sosial. Law abidance kemudian
berhubungan

dengan

perilaku

seksual,

hanya

bagi

remaja

perempuan

(Christopherson & Conner, 2012).
Perilaku berisiko diasosiasikan dengan kondisi keluarga yang mendukung.
Keluarga yang suportif dihubungkan dengan peningkatan kepercayaan diri,
toleransi terhadap stres yang lebih tinggi, dan memiliki self-initiation yang lebih
tinggi (Skaar, 2009). Sebaliknya keluarga yang kurang suportif dapat membuat
remaja cenderung berperilaku berisiko. Misalnya, orang tua remaja yang minum
alkohol cenderung mempengaruhi remaja untuk berperilaku berisiko lebih besar
dibandingkan dengan remaja dengan orang tua yang tidak minum alkohol.
Sementara remaja yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
cenderung lebih berperilaku berisiko dibanding remaja yang tidak mengalami
KDRT (Hidayangsih, Tjandrarini, Mubasyiroh dan Supanni, 2011)
Penelitian lain yang menunjukkan pentingnya faktor hubungan orang tua dan
anak adalah penelitian Sidze dan Defo (2013) di Kamerun, Afrika. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan muda melaporkan tingkat
pengawasan orang tua yang tinggi, kualitas hubungan orang tua dan anak yang
sedang serta tingkat komunikasi antara orang tua dan anak yang rendah
berdampak terhadap hal-hal terkait seksualitas. Semakin tinggi kualitas hubungan
antara orang tua dan anak, maka semakin rendah kemungkinan laki-laki muda
memiliki banyak pasangan seksual, dan lebih rendah kemungkinan wanita muda
untuk aktif secara seksual, atau memiliki banyak pasangan seksual ataupun
memiliki pasangan seksual sesekali. Hidup dengan ayah biologis hanya dikaitkan
dengan kemungkinan yang lebih tinggi memiliki beberapa mitra seksual dan
kemungkinan lebih tinggi dari sesekali memiliki pasangan seksual bersama antara
laki-laki muda. Penelitian ini menyimpulkan bahwa program kesehatan
reproduktif serta intervensi-intervensi untuk mencegah perilaku seksual berisiko

15

perlu mempertimbangkan efek protektif dari hubungan antara orang tua dan anak
serta pengawasan orang tua yang signifikan.
Hal yang dikaitkan dengan hubungan orang tua dan anak adalah status ibu
yang bekerja. Pandangan umum masyarakat adalah ibu-ibu yang bekerja tidak
memiliki waktu yang cukup banyak untuk mengurusi aktivitas anaknya termasuk
perilaku kesehatan berisiko. Hal itu tidak cukup kuat untuk dijadikan suatu
argumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku kesehatan berisiko di
kalangan remaja memiliki pervalensi yang sama-sama baik pada remaja yang
memiliki ibu yang bekerja sebagai pegawai maupun yang tidak bekerja. Sehingga
disimpulkan bahwa pola pekerjaan ibu tidak memengaruhi perkembangan remaja
selama pengawasan ibu cukup efektif terhadap anak. Kurangnya pengawasan
remaja yang memadai membuatnya lebih cenderung untuk mengembangkan
perilaku beirisko. Meskipun demikian, remaja yang memiliki ibu yang tidak
bekerja ditemukan lebih merasa puas dengan peran ibunya dalam keidupan seharihari dibandingkan remaja yang ibunya bekerja (Adhikari & Adhikari, 2014).
Perilaku berisiko juga dihubungan dengan gender. Gender dapat menjadi
moderator hubungan antara variabel yang memengaruhi perilaku berisiko pada
remaja (Christopherson & Conner, 2012). Pemikiran yang umum adalah remaja
laki-laki lebih cenderung terlibat dalam perilaku berisiko seperti penggunaan
alkohol dan obat-obatan terlarang serta perilaku seksual berisiko, dibandingkan
remaja perempuan (Harris, Jenkins & Glaser, 2006). Penelitian Hidayangsih,
Tjandrarini, Mubasyiroh dan Supanni (2011) menemukan bahwa remaja laki-laki
cenderung berperilaku berisiko dibanding remaja perempuan. Meskipun
demikian, penelitian lain menunjukkan bahwa penemuan ini acak, yang mana
remaja laki-laki lebih cenderung mengambil risiko pada domain tertentu dan tidak
ada perbedaan pada domain lainnya, khususnya dalam domain yang
melibatkannya dalam interaksi sosial dan risiko sosial. Riset tambahan
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam laboratorium untuk
melihat tugas-tugas pengambilan risiko (Galvan, Hare, Voss, Glover & Casey;
Gardner & Steinberg (Christopherson & Conner, 2012). Selian itu, perbedaan
gender dalam pengambilan risiko dan persepsi terhadap risiko mengalami

16

persempitan secara signifikan (menurun) pada dekade akhir-akhir ini (AbbottChapman, Denholm, & Wyld, 2008). Artinya, pada saat ini perbedaan gender
tidak memberikan pengaruh yang begitu kuat terhadap pengambilan risiko pada
remaja. Hubungan antara gender dan keterlibatan dalam perilaku berisiko adalah
hubungan yang kompleks dan mungkin berdasar pada sejumlah faktor-faktor
biologis dan lingkungan (Christopherson & Conner, 2012).
Faktor sosial lainnya yang dihubungan dengan perilaku berisiko adalah
budaya. Pertanyaan bahwa apakah budaya berpengaruh terhadap perilaku
pengambilan risiko remaja merupakan pertanyaan yang tidak dapat dipastikan
jawabannya. Suatu studi di Amerika memaparkan bahwa remaja Amerika berasal
dari latar belakang ras dan etnis yang beragam, tetapi mereka masih remaja yang
dapat terlibat dalam perilaku risiko (Christopherson & Jordan-Marsh, 2004). Pada
dasarnya jika kita merujuk pada perspektif perkembangan, maka semua remaja di
dunia ini dapat terlibat dalam perilaku berisiko meskipun mereka berasal dari latar
belakang budaya yang berbeda. Meskipun demikian, budaya dapat menjadi
variabel yang berpengaruh terkait dengan konsep kesehatan remaja itu
didefinisikan.
Para pembina remaja perlu mengatasi kebutuhan-kebutuhan khusus remaja
terkait budayanya. Pembina remaja dapat menjadi seseorang yang kompeten
secara budaya dengan menjadi sadar diri, mengembangkan pengetahuan tentang
kesehatan dan perbedaan budaya, dan belajar untuk melihat orang-orang muda
dan komunitas mereka sebagai suatu mitra dan tetap berhati-hati untuk
menyamakan budaya dari setiap etnis yang ada. Secara keseluruham, penting
untuk mengenali nilai-nilai budaya tradisional, dan mengakui atribut pribadi
remaja untuk mempromosikan gaya hidup sehat dan mencegah perilaku
pengambilan risiko (Christopherson & Jordan-Marsh, 2004).
Faktor sosial lainnya yang memengaruhi perilaku berisiko adalah tingkat
pendidikan dan status pekerjaan remaja. Ditemukan bahwa remaja dengan tingkat
pendidikan tinggi cenderung berperilaku berisiko lebih besar dibandingkan remaja
yang berpendidikan rendah. Remaja yang bekerja cenderung lebih berperilaku
berisiko dibandingkan dengan remaja yang tidak bekerja (Hidayangsih,

17

Tjandrarini, Mubasyiroh dan Supanni, 2011). Meskipun demikian, hubungan
antara pendidikan dan pekerjaan dengan perilaku berisiko sejalan dengan
hubungan gender dan usia terhadap perilaku berisiko. Faktor tersebut bukanlah
faktor tunggal. Banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, yang dapat memediasi
hubungan antara pendidikan dan pekerjaan dengan perilaku berisiko.
Secara lebih luas, suatu studi intergenerasi di Australia menunjukkan
bagaimana perbedaan perilaku berisiko pada remaja dan generasi ibunya yang
tergolong dewasa. Meskipun pola aktivitas berisiko kompleks, tampak bahwa
level konsumsi alkohol dan perilaku minum berlebihan (binge drinking) lebih
tinggi pada remaja perempuan dibandingkan generasi ibu mereka (AbbottChapman, Denholm, & Wyld, 2008). Hal ini mengindikasikan adanya perubahan
perilaku berisiko dari masa ke masa, yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Selain faktor eksternal, faktor internal yang lebih bersifat personal juga
memengaruhi perilaku berisiko. Beberapa faktor sudah disebutkan, seperti
motivasi, persepsi, regulasi-diri, stress, loneliness serta shyness. Faktor-faktor
tersebut dapat saling berhubungan. Shyness berhubungan secara positif dengan
loneliness (Gökhan, 2010; Christopherson & Conner, 2012). Telah disebutkan
bahwa loneliness berhubungan dengan perilaku merokok (Christopherson &
Conner, 2012).
Shyness dengan perilaku berisiko itu sendiri dapat berhubungan secara positif
dan juga secara negatif. Dengan kata lain, shyness dapat menjadi faktor yang
meningkatkan perilaku berisiko dan sebaliknya dapat menjadi faktor yang
menurunkan perilaku berisiko. Tingkat shyness yang rendah diasosiasikan dengan
penggunaan zat (Santesso, Schmidt & Fox (Christopherson & Conner, 2012),
sementara Kellam, Ensminger, dan Simon (Christopherson & Conner, 2012)
mengemukakan bahwa level shyness yang moderat sampai berat diasosiasikan
dengan penggunaan cannabis yang lebih rendah. Shyness pada laki-laki muda
secara langsung menurunkan penggunaan zat bermasalah ketika dewasa,
sementara shyness pada perempuan muda secara tidak langsung mengurangi risiko
penggunaan zat bermasalah pada saat dewasa (Fothergill & Ensminger
(Christopherson & Conner, 2012). Lebih jauh, telah ditemukan dalam penelitian

18

lainnya bahwa shyness meningkatkan risiko penggunaan zat-zat terlarang pada
remaja (Christopherson & Conner, 2012).
Chack dan Leung (2004) menunjukkan bahwa tingkat shyness yang lebih
tinggi berasoisasi dengan peningkatan adiksi terhadap penggunaan internet.
Meskipun diasosiasikan dengan adiksi yang moderat, namun secara statistik hal
itu signifikan dalam peningkatan adiksi internet. Adiksi terhadap internet dapat
mengantarkan remaja pada perilaku berisiko seperti pelecehan seksual, agresivitas
dan malas belajar. Di sisi lain, shyness dapat berdampak pada penurunan
kecenderungan perilaku beirisiko. Zalk, Kerr M, dan Weaver (2011) menunjukkan
dalam hasil penelitiannya bahwa shyness dapat menjadi suatu moderator atau
buffer terhadap perilaku berisiko bagi remaja awal. Sejalan dengan penelitiannya
yang serupa bahwa shyness dapat menjadi faktor protektif terhadap masalah
perilaku bagi remaja.
Setidaknya ada dua kemungkinan pengaruh shyness dalam kemunculan
perilaku bermasalah pada remaja. Pertama adalah shyness dapat mengurangi
kecenderungan remaja untuk bertindak dalam situasi di mana mereka dapat
terlibat dalam perilaku bermasalah yang penuh risiko. Hal ini telah diuji dalam
penelitian longitudinal dengan seorang remaja laki-laki awal sebagai sampel
(Kerr, Tremblay, Pagani & Vitaro (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011). Peneliti
berasumsi bahwa shyness didasari pada ketakutan atau hambatan tingkah laku
pada remaja awal, diasosiasikan dengan banyaknya waktu yang terlewatkan untuk
berpikir sebelum bertindak dalam seting yang tidak familiar (Kagan, Reznick, &
Gibbons (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011). Peneliti berasumsi bahwa remaja
laki-laki pemalu yang berada dalam kondisi tersebut mungkin akan ragu-ragu
dalam melakukan tindakan yang merupakan kenakalan remaja karena kenakalan
remaja secara tipikal terjadi pada seting yang tidak familiar. Peneliti menemukan
bahwa remaja yang diketahui sebagai remaja pemalu oleh teman sekelas
cenderung kurang terlibat dalam kenakalan remaja dua tahun kemudian dari pada
remaja

yang

melakukan

kenakalan

remaja

karena

memang

memiliki

kecenderungan menganggu orang lain. Perilaku bermasalah pada remaja awal
seperti mabuk dan seks pranikah memerlukan level keberanian, kepastian bahkan

19

impulsivitas dan orang yang pemalu secara umum lebih kurang impulsif dan lebih
ragu-ragu (Caspi & Silva (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011). Oleh karena itu,
karakteristik shyness seperti kurangnya impulsivitas, ketakutan dan keraguraguan, dapat bersifat protektif terhadap partisipasi remaja dalam perilaku
bermasalah.
Cara lain yang menunjukkan bahwa shyness dapat mengurangi risiko
keterlibatan dalam perilaku berisiko adalah dengan pembatasan pada kesempatan
untuk terlibat dalam hubungan romantis, dalam hal ini berpacaran. Remaja awal
yang sedang berpacaran secara otomatis mulai berafiliasi dengan kelompok
sebaya dimana hubungan seksual dan meminum minuman keras bersifat normatif.
Shyness membatasi keterlibatan remaja dalam perilaku bermasalah dalam
beberapa cara. Pertama, terkait dengan hubungan yang romantis. Remaja dan
orang dewasa yang pemalu lebih jarang berkencan dan lebih sedikit melakukan
hubungan seksual, dibandingkan dengan orang lain yang tidak pemalu dalam
berhubungan (Asendorpf & Wilpers; Jones & Carpenter; Leary & Dobbins;
Prisbell; Zimbardo (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011). Kedua, terhadap situasi
sosial. Ketika orang dewasa yang pemalu mengatasi keraguan mereka dan
mengambil bagian dalam peristiwa sosial, mereka tidak banyak berbicara dengan
orang lain dan cenderung menghabiskan waktu lebih sedikit pada beberapa
kejadian (Asendorpf & Wilpers; Dodge, Heimberg, Nyman, & O'Brien; Himadi,
Arkowitz, Hinton, & Perl; Twentyman & McFall; Watson & Friend (Zalk, Kerr &
Tilton-Weaver, 2011). Dengan demikian, shyness dapat membatasi kesempatan
bagi remaja yang terlibat dalam suatu hubungan romantis untuk terlibat dalam
kegiatan minum minuman keras atau terlibat dalam pengalaman seksual.
Meskipun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan bahwa shyness dapat
menjadi suatu proteksi terhadap perilaku bermasalah, namun ada juga yang
memercayai bahwa shyness justru meningkatkan risiko terlibat dalam perilaku
bermasalah, khususnya perilaku minum alkohol dan perilaku seksual berisiko.
Ada dua alasan utama. Pertama, remaja yang pemalu dapat mengkonsumsi
alkohol untuk mengurangi hambatan sosial dan membuat interaksi sosial lebih
lancar. Meminum alkohol seringkali dipandang oleh orang dewasa sebagai suatu
hal yang dapat menurunkan kecemasan yang muncul saat bersosialisasi. Riset

20

telah menunjukkan bahwa alkohol dapat menurunkan kecemasan sosial dan
shyness (Hartman; O’Hare; Burke & Stevens (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011).
Sebenarnya, dewasa muda yang pemalu melaporkan bahwa perilaku meminum
alkohol dalam situasi sosial merupakan upaya untuk mengatasi rasa malu dan
peminum yang bermasalah cenderung memiliki tingkat shyness yang tinggi
(Lewis & O’ Neill, 2000).
Alasan kedua yang memungkinkan shyness dapat meningkatkan risiko
perilaku bermasalah adalah bahwa shyness dikaitkan dengan self-esteem yang
rendah, khususnya selama masa remaja awal (Cheek & Melchior; Crozier;
Kemple; Schmidt & Robinson; Smith & Betz (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver, 2011).
Remaja dengan self-esteem yang rendah akan lebih mudah mendapatkan pengaruh
teman sebaya (Brown; Brown, Clasen, & Eicher (Zalk, Kerr & Tilton-Weaver,
2011). Penelitian telah menunjukkan bahwa pada beberapa individu, shyness
dapat ditandai dengan konformitas terhadap ide dan mempertahankan sikap netral
terhadap orang lain (Cheek & Krasnoperova; Leary & Kowalski; Lewinsky (Zalk,
Kerr & Tilton-Weaver, 2011). Hal ini dapat dengan mudah dibayangkan bahwa
remaja yang takut secara sosial dan memiliki self-esteem yang rendah dapat
melakukan sesuatu yang mereka percayai harus dilakukan, seperti melakukan
hubungan seks pranikah dan mabuk-mabukan. Dengan demikian, shyness dapat
memperburuk risiko partispasi remaja dalam perilaku berisiko, dalam hal ini
perilaku kesehatan berisiko.
Shyness dapat memengaruhi munculnya perilaku adapatif dan maladaptif
pada anak-anak dalam bergaul dengan teman sebayanya. Hal tersebut bergantung
pada dua aspek dari kemampuan regulasi emosi, yaitu regulasi fisiologis anakanak dan sosialisasi emosi maternal (Davis & Buss, 2012). Hal ini menunjukkan
pentingnya regulasi diri sejak dini untuk mencegah perilaku-perilaku berisiko
yang negatif. Selain itu, hal ini menunjukkan pentingnya peran orang tua,
khususnya ibu, dalam sosialisasi emosi dan membangun hubungan emosional
yang dekat dengan anaknya. Hal ini dapat mencegah anak terlibat dalam perilaku
berisiko negatif.
Shyness diasosiasikan dengan

neurotisisme, introversi, dan kurangnya

kepuasan dalam berhubungan sosial (Ebeling-Witte, Frank & Lester, 2007), yang

21

pada gilirannya dapat menimbulkan stres dan atau depresi. Stres dapat mendorong
remaja terlibat dalam perilaku berisiko. Hasil penelitian eksperimen menunjukkan
bahwa remaja akhir yang mengalami kondisi stress mengambil risiko yang lebih
dibandingkan mereka yang tidak berada di bawah kondisi stres. Meskipun
demikian, perbedaan dalam pengambilan risiko di bahwa kondisi stres
berhubungan dengan dasar kecenderungan pengambilan risiko (Johnson, Dariotis
& Wang, 2012). Dalam penelitian tersebut diobservasi tiga tipe risk-takers, yaitu
conservative (keakuratan yang tinggi, perencanaan rendah, pengambilan risiko
rendah, serta kondisi impulsif kognitif yang moderat), calculated (keakuratan
paling tinggi dan perencanaan yang baik berpasangan dengan kondisi impulsif
kognitif yang paling rendah dan pengambilan risiko yang tinggi), dan impulsive
(keakuratan yang sangat kurang, perencanaan yang kurang, pengambilan risiko
tinggi dan kondisi impusif kognitif yang juga tinggi) (Johnson, Dariotis & Wang,
2012).
Berkaitan dengan upaya untuk mengetahui perilaku berisiko maka
dikembangkan berbagai bentuk asesmen terhadap perilaku berisiko. Asesmen ini
banyak dikembangkan di Amerika Serikat. Upaya pertama yang dilakukan adalah
dengan menggunakan self-report. Namun dalam perkembangannya hasil selfreport ini dipertanyakan reiabilitas dan validitasnya secara statistik. Oleh karena
itu, dipertimbangkan alat ukur lain dapat mendeteksi kemungkinan ketidakjujuran
dalam menuliskan self-report, yaitu The Minnesota Multiphasic Personality
Inventory (MMPI).
Beberapa negara bagian di Amerika mengembangkan secara luas kuesioner
dan skala perilaku berisiko. Tujuan dari adanya kuesioner ini adalah untuk
menggambarkan partisipasi dalam perilaku kesehatan berisiko pada sampel
remaja yang banyak. Salah satu asesmen yang dikembangkan adalah The Youth
Risk Behavior Survey (YRBS) oleh Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) pada tahun 1990 sebagai bagian dari inisiasi untuk mengawasi
perkembangan tujuan yang dicanangkan, yaitu Healthy People 2010. YRBS
tersebut diberikan di sekolah-sekolah menengah di seluruh Amerika Serikat untuk
setiap enam bulan sekali untuk mengukut partisipasi remaja dalam perilaku
kesehatan berisiko. YRBS direvisi setiap dua tahun, namun format dari pertanyaan

22

masih sama. Item-item pertanyaannya meminta responden untuk melaporkan
seberapa sering dalam waktu yang spesifik mereka berpartisipasi dalam suatu
aktivitas dan pilihan respon didaftar dalam format pilihan ganda (multiple choice).
Selain YRBS, sekolah-sekolah tertentu juga mengembangkan instrumen sendiri
untuk penggunaan di sekolah yang bersangkutan.
Asesmen yang terbaru dikembangkan oleh Skaar (2009). Skaar (2009)
mengembangkan suatu alat ukur terhadap perilaku berisiko dan persepsi terhadap
perilaku berisiko. Skaar mengembangkan Adolescent Exploratory and Risk
Behavior Rating Scale (AERRS). Skala ini dikembangkan dengan berdasarkan
pada beberapa asesmen perilaku berisiko, yaitu YRBS, Iowa Youth Survey (IYS),
dan Adolescent Risk Behavior Questionnaire (ARQ) dari Australia. AERRS ini
tentunya memiliki realibilitas dan validitas yang terjamin secara statistik dan
dapat digunakan secara umum di beberapa negara-negara, terutama di Amerika.
KERANGKA PIKIR
Dari hasil review jurnal ilmiah berkaitan dengan perilaku berisiko dan faktorfaktor yang memengaruhinya maka dapat digambarkan kerangka untuk
memahami kedudukan perilaku berisiko. Perilaku berisiko dapat dilihat sebagai
suatu hasil (output) dari suatu proses psikologis dalam diri individu. Sedangkan
faktor-faktor yang memengaruhi perilaku berisiko dari luar individu dapat dilihat
sebagai suatu masukan (input) terhadap proses dalam diri individu.
Dari gambaran di atas maka dapat dilihat pula bahwa faktor yang
memengaruhi perilaku berisiko dapat digolongkan menjadi dua penggolongan
utama, yaitu faktor-faktor eksternal dan faktor-faktor internal. Faktor-faktor
eksternal berupa faktor-faktor sosial seperti status sosial, pengaruh lingkungan
teman sebaya di sekolah, pengaruh lingkungan keluarga, serta pengaruh dari
lingkungan tetangga dan masyarakat, termasuk kondisi sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat. Faktor internal meliputi karakter personal baik yang bersifat
biologis maupun psikologis. Selain itu, aspek-aspek psikologis yang mewarnai
perilaku (covert behavior), serta proses-proses psikologis dalam diri manusia.

23

Faktor tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari faktor perkembangan
manusia dari berbagai aspek, yaitu aspek fisik, kognitif, sosial, emosi dan moral.
Dengan perkataan lain faktor-faktor internal tersebut dihubungankan dengan
perkembangan individu.
Secara skematis, alur berpikir mengenai perilaku berisiko dapat dilihat
sebagai berikut.

Skema 4.1. Kerangka Pikir Perilaku Berisiko

Dari kerangka di atas, kemunculan perilaku berisiko kemudian dapat diukur
melalui berbagai asesmen untuk melihat tingkat kemunculannya. Apabila perilaku
berisiko yang muncul menimbulkan dampak negatif terhadap perkembangan
remaja dan remaja sulit untuk mengubah pola perilakunya maka dapat diberikan
intervensi-intervensi. Intervensi tersebut memerkulan keterlibatan berbagai pihak
yang dapat memengaruhi kecenderungan remaja dalam berperilaku, misalnya
orang tua, guru dan teman.
Dari kerangka pikir di atas, berbagai variabel-variabel dapat kita tentukan
untuk melakukan penelitian mengenai perilaku berisiko. Perilaku berisiko itu
sendiri dapat menjadi variabel dependen atau juga menjadi variabel independen.
Dari kerangka pikir di atas, perilaku berisiko cenderung menjadi variabel
dependen yang dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel independen, seperti
pengaruh teman sebaya di sekolah, hubungan orang tua dan anak, dukungan
keluarga, budaya, pekerjaan dan sebagainya. Karakter dan proses-proses
psikologis, seperti hormon, shyness, kemampuan regulasi diri, coping stres,
konformitas, dan sebagainya dapat dijadikan sebagai variabel independen.
Faktor-faktor yang bersifat internal dan psikologis dapat dijadikan pula sebagai
variabel antara/intervening, yang memediasi hubungan antara variabel independen
(faktor eksternal) dan variabel dependen. Varibel lainnya juga dapat menjadi
variabel kontrol apabila peneliti mengkaji perilaku berisiko dan intervensinya
dalam suatu desain eksprimen.
Selajutnya, asesmen dan intervensi perilaku berisiko untuk pencegahan
perilaku kesehatan berisiko dapat dipandang sebagai suatu sistem. D