Upaya Adaptasi dan Penanggulangan Bencan

Upaya Adaptasi dan Penanggulangan Bencana oleh Masyarakat
dan Pemerintah Terhadap Banjir Rob di Semarang

Gillang Noor Nugrahaning Gusti
12912018
Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung
Gedung Labtek XI, Lt. 2, Jalan Ganesha 10, Bandung.
Abstrak
Banjir rob merupakan banjir yang disebabkan oleh kenaikan muka air laut akibat dari
pasang surut. Banjir ini sering melanda daerah Pantau Utara Jawa, termasuk Semarang.
Banjir ini menggenangi daerah padat penduduk dan fasilitas publik di daerah Semarang
Utara. Aspek-aspek yang memengaruhi adanya banjir rob ini yaitu: alih fungsi lahan pesisir,
penurunan muka air tanah, penurunan muka tanah, dan perubahan iklim. Studi ini bertujuan
untuk mengetahui upaya adaptasi dan penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
masyarakat dan pemerintah Semarang dalam menangani banjir rob. Hasil yang didapat dari
studi yaitu langkah-langkah adaptasi masyarakat berupa adaptasi pada tempat tinggal,
ketersediaan air bersih, lahan tambak, dan sistem tanggap bencana. Upaya-upaya yang sudah
dilakukan oleh pemerintah Semarang antara lain pembangunan polder, pembangunan waduk
Jatibarang, dan pemaksimalan kerja drainase yang ada.
Kata kunci: banjir rob, pesisir Semarang, adaptasi masyarakat, penanggulangan bencana

1. Pendahuluan
Banjir Pasang Air laut (rob) adalah pola fluktuasi muka air laut yang dipengaruhi oleh
gaya tarik benda – benda angkasa, terutama oleh Bulan dan Matahari terhadap massa air laut
di Bumi (Sunarto, 2003). Air laut yang pasang yang menggenangi daratan dan menyebabkan
permasalahan di daerah yang lebih rendah dari muka air laut. Di masa mendatang, dampak
banjir rob ini diprediksikan semakin besar dengan adanya skenario kenaikan muka air laut
sebagai efek pemanasan global. Terjadinya banjir rob menimbulkan pengaruh yang besar
terhadap masyarakat Semarang, Jakarta dan kota-kota lain yang berada di pantai utara Jawa
terutama yang bertempat tinggal di kawan pesisir. Bahkan banjir rob di kawasan pesisir akan
semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir lokal akibat

saluran drainase yang kurang terawat. (Suryanti, 2009). Di Semarang permasalahan Rob ini
telah terjadi cukup lama dan semakin parah karena terjadi penurunan muka tanah sedang
muka air laut meninggi sebagai akibat pemanasan suhu bumi.
Menurut Suryanti dan Marfai, (2008), dampak banjir rob adalah terganggunya
aktivitas keseharian termasuk kegiatan rumah tangga, terganggunya aksesibilitas jalan dan
keterbatasan penggunaan saran dan prasarana. Dampak banjir rob menjadikan infrastruktur
pantai rusak karena terkena abrasi pantai. Akibat selanjutnya penduduk pantai akan
kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian. Salah satu dampak dan engaruh dari banjir
rob adalah terhadap penggunaan lahan, sebagai lahan produktif.

Kota Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah, Indonesia sekaligus kota
metropolitan terbesar kelima di Indonesia sesudah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Sebagai salah satu kota paling berkembang di Pulau Jawa, Kota Semarang memiliki luas
kawasan 37.070,39 ha dengan kepadatan penduduk sebanyak 1.376.798 jiwa. Dengan luas
kawasan lebih dari 27 ribu hektar tersebut, Kota semarang memiliki wilayah laut dengan
garis pantai sepanjang 13,6 km. Daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit,
yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota
bawah. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di sejumlah kawasan, banjir ini
disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal
dengan

sebutan

kota

atas,

di

antaranya


meliputi

Kecamatan

Candi,

Mijen,

Gunungpati,Tembalang dan Banyumanik.
Secara topografi Kota Semarang terdiri atas daerah pantai, dataran rendah dan
perbukitan. Daerah pantai merupakan kawasan di bagian Utara yang berbatasan langsung
dengan Laut Jawa dengan kemiringan antara 0% sampai 2%, daerah dataran rendah
merupakan kawasan di bagian Tengah, dengan kemiringan antara 2 – 15 %, daerah
perbukitan merupakan kawasan di bagian Selatan dengan kemiringan antara 15 – 40% dan
beberapa kawasan dengan kemiringan diatas 40% (>40%).
Kota Semarang dalam suatu sistem hidrologi, merupakan kawasan yang berada pada
kaki bukit Gunung Ungaran, mengalir beberapa sungai yang tergolong besar seperti yaitu
Kali Besole, Kali Beringin, Kali Silandak, Kali Siangker, Kali Kreo, Kali Kripik, Kali
Garang, Kali Candi, Kali Bajak, Kali Kedungmundu, Kali Penggaron. Sebagai Daerah Hilir,

dengan sendirinya merupakan daerah limpasan debiet air dari sungai yang melintas dan

mengakibatkan terjadinya banjir pada musim penghujan. Kondisi ini diperparah oleh
karakteristik kontur wilayah berbukit dengan perbedaan ketinggian yang sangat curam
sehingga curah hujan yang terjadi di daerah hulu akan sangat cepat mengalir ke daerah hilir.
Pada musim penghujan, banjir lebih sering disebabkan oleh banjir kiriman yang
terjadi karena lahan hulunya menerima hujan besar yang mengalir kedaerah hilirnya.
Sedangkan pada musim kemarau, banjir lebih disebabkan oleh adanya air laut pasang yang
lebih populer disebut rob. Kota Semarang bagian utara memiliki beberapa daerah yang
rawant erhadap rob, karena rata-rata ketinggian muka air tanahnya tidak berbeda jauh
denganpermukaan air laut. Genangan ini tidak hanya terjadi pada saat musim hujan,
melainkan juga terjadi pada saat tidak turun hujan yaitu akibat rob atau pasang air laut. Air
pasang tersebut dapat menggenang akibat adanya kontak dengan daratan melalui sungai
atausaluran yang bermuara ke pantai.

Gambar 1: Banjir Rob di Jalan Protokol Kota Semarang ( sumber:
myone1way.blogspot.com)
Beberapa literatur mengulas bahwa fenomena banjir rob kawasan pantai Semarang
merupakan akibat dari beberapa peristiwa berikut :
 Perubahan penggunaan lahan di wilayah pantai: lahan tambak, rawa dan sawah,

yang dulu secara alami dapat menampung pasang air laut telah berubah menjadi
lahan pemukiman, kawasan industri dan pemanfaatan lainnya, dengan cara
mengurug tambak, rawa dan sawah, sehingga air laut tidak tertampung lagi,
kemudian menggenangi kawasan yang lebih rendah lainnya. Dari sekitar 790,5 Ha
lahan di Kecamatan Semarang Utara sudah tidak ada lahan tambak, dan dari sekitar

585 Ha lahan total di Kecamatan Semarang Barat hanya terdapat sekitar 126,5 Ha
lahan tambak (Bappeda, 2000)

Gambar 2: Perubahan Wilayah Tambak di Lokasi Banjir Kanal Timur Menjadi
Pemukiman (Sumber: http://radifandwisandhyoko.blogspot.com/)
 Penurunan tanah di kawasan pantai (land subsidence). Penurunan muka tanah pada
wilayah pantai Kota Semarang berkisar antara 2-25 cm/tahun. Khusus di wilayah
Kelurahan Bandarharjo, Tanjung Mas dan sebagian kelurahan Terboyo Kulon
emncapai 20 cm/tahun (Dit. Geologi dan tata Lingkungan, 1999)
 Penurunan permukaan air tanah sebagai akibat dari penggunaan air tanah yang
berlebihan, dan recharge air tanah pada kawasan konservasi yang buruk.
Pengambilan air tanah Kota Semarang sebesar 35,639 x 106 M6/tahun (Dit.
Geologi dan Tata Lingkungan, 1998)
 Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai efek pemanasan global. Antara

tahun 1990 hingga tahun 2100 akan terjadi kenaikan suhu rerata permukaan bumi
sebesar 1,4 0C – 5,8 0C. Pemansan global itu akan menyebabkan perubahan iklim
bumi, dan kenaikan muka air laut (Sea Level Rise) sekitar 1,00 M pada tahun 2100
(Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC-Working Group 2, 2001)

Gambar 3: Peta Resiko Banjir Rob Kota Semarang (Sumber:
http://geodesi.undip.ac.id/gis/index.php#)

2. Pembahasan
2.1.

Adaptasi Masyarakat
Menurut para ahli ekologi budaya mendefinisikan bahwa adaptasi merupakan uatu

strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap
perubahan-perubahan lingkungan dan sosial (Alland, dkk, dalam Gunawan, B,2008).
Adaptasi adalah proses melalui interaksi yang bermanfaat, yang dibangun dan dipelihara
antara organisme dan lingkungan (Hardesty, 1977 dalam Gunawan, B, 2008). Dalam kajian
adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem adalah keseluruhan situasi dimana
adaptabilitas berlangsung atau terjadi. Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan

bumi, konteks adaptabilitas akan sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem
tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifik.
Ketika suatu populasi masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang
baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan mungkin membutuhkan waktu yang lama
untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982, dalam Gunawan, B, 2008). Sahlins (1968,
dalam Gunawan, B, 2008) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis karena
lingkungan dan populasi manusia deskriptif terhadap hasil analisis kuantitatif. Analisis
tersebut berguna berubah terus. Adaptasi yang dilakukan manusia terhadap lingkungan
menunjukkan adanya interelasi antar manusia dan lingkungan. ( Rambo, 1984, dalam

Gunawan, B, 2008). Berdasarkan beberapa pendapat mengenai adaptasi, maka dapat
disimpulkan bahwa adaptasi merupakan upaya penyesuaian diri terhadap perubahan
lingkungan. Adaptasi terhadap banjir rob merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang
dilakukan dan digunakan masyarakat selama hidupnya pada perubahan-perubahan
lingkungan dan sosial akibat banjir rob yang terjadi di suatu daerah tertentu.
Metode adaptasi yang telah dilakukan oleh masyarakat di daerah Semarang antara lain:
 Adaptasi pada tempat tinggal yang dilakukan masyarakat pesisir kec.Sayung yakni
dengan membuat tanggul, meninggikan rumah dan atapnya, meninggikan lantai
rumah dengan cara mengurug , membuat saluran air disekitar rumah


Gambar 4: Kegiatan Peninggian Lantai (Sumber:
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/38)
 Adaptasi pada ketersediaan air bersih dilakukan karena banjir rob berdampak pada
salinitas dan kualitas air di daerah tersebut. Sehingga masyarakat membutuhkan air
bersih layak konsumsi yang diperoleh dan dipasok dari daerah lain, baik dari PAM
maupun dari truk tangki air bersih, untuk hal tersebut masyarakat harus
mengeluarkan biaya.

Gambar 5: Bak Penampungan Air Bersih (Sumber:
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/38)
 Adaptasi pada lahan tambak dilakukan untuk mengurangi dampak dan kerugian
akibat banjir rob yang dilakukan dengan membuat tanggul, memasang jaring atau
waring disekeliling tambak, peninggian tanggul pembuatan saluran air penghubung
antar kolam tambak serta penanaman dan perawatan tananaman bakau di sekitar
pantai dan tambak. Penanaman bakau berfungsi pula untuk mengurangi dampak
banjir rob lainnya seperti kehilangan lahan dan abrasi pantai.

Gambar 6: Tanggul Beton dan Jaring pada Tambak (Sumber:
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/38)


Gambar 6: Kegiatan Penanaman Bakau (Sumber:
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/38)
Lalu ada pula yang melakukan adaptasi dalam sistem peringatan dini terhadap banjir,
seperti yang dilakukan oleh masyarakat Sub-Sistem Drainase Bringin. Penginformasian
tanda‐tanda akan terjadi bencana banjir dilakukan melalui dua metode. Metode pertama,

masyarakat dapat memperkirakan kemungkinan terjadinya banjir melalui intensitas curah
hujan dan lamanya waktu hujan turun, antara lain:
 Jika intensitas curah hujan sedang terjadi dalam kurun waktu yang lama, terjadi
genangan di sepanjang jalan lingkungan permukiman, yang topografinya relatif
lebih rendah daripada bangunan rumah.
 Jika intensitas curah hujan tinggi dengan kurun waktu yang lama, terjadi luapan
sungai-sungai kecil yang berada di sekitar Sungai Bringin yang dapat merendam
rumah di sekitar sungai.
 Jika intensitas curah hujan sangat tinggi dengan kurun waktu yang lama, dapat
dipastikan terjadi bencana, karena Sungai Bringin akan meluap dan merendam jalan
lingkungan yang lebih rendah serta rumah‐rumah masyarakat di sekitarnya.
Cakupan genangan bisa meluas hingga satu kelurahan, terutama Kelurahan
Mangunharjo dan Mangkang Wetan yang terletak di daerah hilir dan mempunyai
ketinggian yang lebih rendah daripada kelurahan lain di sekitarnya.

Metode kedua, selain memantau intensitas curah hujan dan lamanya waktu hujan,
masyarakat juga dapat mengetahui kemungkinan terjadinya banjir dengan memantau
ketinggian debit aliran sungai di daerah dekat permukiman. Penerapan metode ini berbeda‐
beda di tujuh kelurahan dalam Sub-Sistem Drainase Bringin, terutama dalam kaitannya
dengan pihak yang memantau ketinggian debit aliran.
 Masyarakat yang tinggal di dekat sungai
Sebagian besar kelurahan di Sub‐Sistem Drainase Bringin masih mengandalkan
masyarakat yang tinggal di dekat aliran sungai untuk memantau ketinggian debit
sungai jika terjadi hujan.
 Kelompok pemuda di Mangunharjo
Walaupun masih dilakukan secara sukarela, kelompok pemuda di Kelurahan
Mangunharjo mempunyai inisiatif untuk memantau ketinggian aliran sungai, jika
hujan turun dengan intensitas tertentu, untuk kemudian menginformasikannya
kepada masyarakat.
 Kelompok peduli bencana di Wonosari
Sudah terbentuknya kelompok peduli bencana, Tagana, di Kelurahan Wonosari
menjadikan mereka sudah terlatih untuk lebih tanggap terhadap kemungkinan

bencana banjir jika hujan turun dengan intensitas tertentu. Mereka memantau
ketinggian air sungai dan menginformasikan kepada masyarakat jika ketinggian air

sungai sudah melampaui batas-batas tertentu.
Pemantauan ketinggian debit banjir di tujuh kelurahan tersebut masih dilaksanakan secara
manual dan bersifat sukarela tanpa bantuan pemerintah.

2.2.

Penanggulaan Bencana oleh Pemerintah
Usaha dalam menangani masalah banjir dan rob sebenarnya sudah dimulai sejak

zaman Belanda dengan membangun Banjir Kanal Timur (BKT) dan Banjir Kanal Barat
(BKB) pada abad ke-19. BKT dan BKB difungsikan untuk mengalirkan luapan air yang
berasal dari Semarang atas langsung ke laut. Pembangunan BKT dan BKB tersebut
nampaknya kurang mengurangi masalah banjir dan rob. Oleh karena itu, pemerintah sampai
sekarang masih harus melakukan upaya-upaya dalam menangani masalah banjir tersebut.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan antara lain:
a. Membangun Waduk Jatibarang
b. Membuat dan memaksimalkan sistem drainase
c. Membangun polder

2.2.1. Pembangunan Waduk Jatibarang
Pembangunan Waduk Jatibarang, yang berkapasitas lebih dari 20 juta m 3 dengan tipe
Rockfill Dam setinggi 77 m, bertujuan dalam mengendalikan banjir Kali Garang. Waduk ini
juga dapat mendukung upaya pemerintah Kota Semarang dalam penyediaan air baku
permukaan wilayah Semarang Barat sebesar 2 m3/det bagi permukiman dan kawasan industri.
Diharapkan upaya ini mampu mengurangi penggunaan air tanah dan mengurangi
permasalahan amblesan (land subsidence) di sebagian wilayah kota Semarang.

Gambar 7: Waduk Jatibarang (Sumber: www.tribunnews.com)

2.2.2. Pembuatan dan Pemaksimalan Sistem Drainase
Sistem Drainase Semarang Tengah (dari Banjir Kanal Barat s/d Banjir Kanal Timur
melalui pembangunan Waduk Jatibarang yang meliputi 3 paket proyek pembangunan terdiri :
a. Normalisasi Kaligarang dan Banjirkanal Barat diselesaikan Tahun 2013,
b. Pembangunan Waduk Jatibarang diselesaikan Tahun 2014
c. Pengelolaan drainase perkotaan yang meliputi Kali Semarang, Kali Asin dan Kali
Baru (Kolam Retensi K Semarang) diselesaikan Tahun 2013.
d. Pembangunan polder banger diselesaikan Tahun 2012
Sistem Drainase Semarang Timur terdiri :
a. Normalisasi K Tenggang diselesaikan Tahun 2015
Sistem Drainase Mangkang terdri dari :

a. Penyiapan lahan (pembebasan Lahan) K Bringin yang telah lama terkatung- katung
untuk dapat dilakukan Pembangunan Fisik K. Bringin.
Secara drainase Kota Semarang dengan luas 37.300 hektar telah dengan kondisi genangan
banjir seluas 8.773 ha dan kawasan Rob seluas 3.400 ha baru terlayani dengan pompa
pengendali banjir seluas 3.117 ha dengan kecenderungan luas genangan yang makin
bertambah tiap tahun akibat penurunan tanah di daerah Semarang bagian bawah. Upaya yang
telah dilakukan adalah :
1. Penanganan Rob dengan pemfokusan di Jl. Mpu Tantular, Kaw. Johar, GKN, Kota
lama, Jl. Citarum, Jl. Ronggowarsito dan Kawasan Bandarharjo. Dengan optimalisasi
Pompa Banjir di Kawasan tersebut, Penutupan bocoran Air di Pintu Air dan Talud
parapet.
2. Penanganan Rob pada saat puncak rob dengan Optimalisasi Pompa :
a. Pompa Lanal dengan Luas Genangan ± 99 ha di Jl Mpu Tantular
b. Pompa Kalibaru dengan luas Genangan ± 110 ha di Kota Lama , Bubakan, Jl Agus
Salim
c. Pompa Johar & Kol Sugiono luas genangan ± 95 ha di Kaw. Hohar, Jl. Kol
Sugiono, Jl. Imam Bonjol
d. Pompa Buludrain luas Genangan ± 75 ha di Perum Tanah Mas, Jl. Gondomono
3. Operasionalisasi Saluran dengan Pengerukan Sedimentasi di Jl. Kakap, Layur,
Kuningan, Gondomono, Jl Citarum,

Singosari, Gondomono, Jl Kokrosono,

Buludrain, Bangkong, Majapahit, Jl. Mangkang, Jl Yos Sudarso, Siphon Sal. Kartini,
kali Asin, K Semarang (berok).

2.2.3. Pembuatan Polder

Pemerintah membangun sebuah polder di depan stasiun Tawang guna mengurangi
banjir dan rob di Kota Semarang yang digunakan untuk menampung curah air hujan agar
tidak menjadi rob dan banjir (Wahid, 2010: 11). Polder sendiri merupakan sekumpulan
dataran rendah yang membentuk kesatuan hidrologis artifisial yang dikelilingi oleh tanggul.
Tanggul yang mengelilingi polder dapat berupa pemadatan tanah dengan lapisan kedap air,
dinding batu, ataupun berupa konstruksi beton.

Gambar 8: Polder Tawang (Sumber: lamonalisasi.wordpress.com)
Keberadaan Polder Tawang mampu mengurangi tinggi dan luas genangan rob. Polder
tersebut dapat menampung 39000 m2 air. Usaha-usaha seperti itu, dapat mengurangi
ketinggian, jangka waktu, dan luas genangan air. Sedangkan tujuan dibangunnya sistem
polder Tawang adalah untuk memproteksi air limpahan dari luar kawasan dan mengendalikan
muka air di Kota Lama.
Namun, yang patut disayangkan, polder yang dibangun dengan menggunakan dana 7
miliyar ini belum dapat berfungsi secara optimal. Apabila terjadi hujan yang deras, pompapompa yang ada di sana seringkali tidak bisa mengatasi genangan yangtimbul. Hal ini
memang tidak bisa terlepas dari faktor pompa yang jumlahnya tidak sebanding dengan
kebutuhan ideal yang direncanakan, juga dikarenakan oleh adanya air yang masuk ke Polder
Tawang tersebut juga berasal dari daerah lain, seperti dari Jalan Pengapon dan

Ronggowarsito. Padahal, pada awalnya kolam polder dibuathanya untuk menampung
buangan air dari Kota Lama dan sekitarnya.
Pengelolaan sistem polder ini juga memerlukan penanganan yang cukup sulit,
terutama dalam menjaga kebersihan dan pemanfaatan kolam retensi sebaik-baiknya. Selain
dari limbah yang berasal dari rumah tangga, air dari polder tersebut juga dapatpula berasal
dari limbah pabrik, sehingga dikhawatirkan limbah tersebut akan menimbulkan pencemaran
air dan menimbulkan bau busuk di sekitar kolam retensi.

3. Penutup
Banjir yang terjadi di semarang berasal dari luapan air laut akibat pengaruh pasang surut.
Banjir ini menggenangi wilayah Semarang bagian utara yang merupakan daerah dataran
rendah seperti Kaligawe, Bringin, Genuk, Kota Lama dan Tanjung Emas. Selain
menggenangi perkampungan warga, banjir ini juga menggenangi fasilitas publik seperti
stasiun Tawang, stasiun Poncol, serta kawasan perkantoran dan objek wisata di Kota Lama.
Banjir rob yang terjadi menahun ini disebabkan oleh beberapa hal (1) alih fungsi lahan di
daerah pesisir (2) penurunan muka air tanah akibat pengambilan air tanah secara berlebihan
(3) penurunan muka tanah di daerah Semarang Utara (4) kenaikan muska air laut akibat
perubahan iklim.
Masyarakat setempat dalam merespon banjir rob tersebut telah melakukan beberapa
langkah adaptasi seperti (1) membuat sistem tanggap bencana mandiri (2) melakukan
penanaman bakau (3) memasang tanggul pada lahan tambak untuk mengurangi resiko banjir
(3) meninggikan lantai rumah da membuat saluran air di sekitar rumah (4) mempersiapkan
penampungan air bersih guna mengurangi kelangkaan saat banjir melanda.
Pemerintah sejak zaman dahulu kala sudah merupakan berbagai upaya untuk
menanggulangi banjir yang terjadi secara menahun. Upaya penanggulangan sudah dimulai
sejak zaman belanda dengan membuat banjir kanal barat dan banjir kanal timur. Langkahlangkah lain pun dilakukan seperti membuat polder di depan stasiun Tawang dan polder
banger. Polder tersebut dilengkapi dengan pompa air yang dihubungkan ke saluran air di
pemukiman warga. Pemaksimalan fungsi dari drainase pun di telah diberlakukan di daerahdaerah langganan banjir.

Walaupun sudah banyak upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah ataupun
masayarakat, penanganan banjir rob tetap menjadi permasalahan yang sulit untuk diatasi.
untuk menunjang keberhasilan penanganan banjir rob di kota Semarang, berikut saran yang
dapat diberikan:
a. Partisipasi pemerintah daerah dalam menangani banjir rob di kecamatan Sayung
sangat perlu dilakukan, karena banjir rob tersebut merupakan bencana alam,
sehingga masyarakat di daerah tersebut tidak dapat menangani bencana tersebut
secara swadaya, terutama dalam melakukan adaptasi terhadap banjir tersebut
membutuhkan biaya yang tidak sedikit, seperti untuk membangun kembali
infrastruktur dan aksesibilitas yang rusak akibat banjir rob serta membangun
infrastruktur sebagai usaha mencegah agar banjir rob tidak semakin luas.
b. Proyek pembangunan dan tata kota sebaiknya memperhatikan kelestarian
lingkungan

serta

dampak

dari

pembangunan

tersebut.

Jangan

sampai

pembangunan dan tata kota baik dampaknya untuk kota atau wilayah tertentu,
namun menimbulkan dampak buruk bagi kota atau wilayah lain.
c. Pengoptimalan teknologi yang digunakan sangat diperlukan dalam penanganan
banjir dan rob.

Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Rob

Sunarto. 2003. Geomorfologi Pantai. Dinamika Pantai. Fakultas Geografi UGM.Yogyakarta.
Marfai, MA., L King., Sartohadi J., Sudrajat S., Budiani SR., Fajar Y. 2008. The impact of
tidal flooding on a coasstal comunity in Semarang, Indonesia. Springer Journal (28) halaman
237-248.
http://coastalenvironment.blogspot.com/2011/12/upaya-mitigasi-terhadap-banjir-rob-di.html
http://www.bkreatif.co.id/semarangsetara/?q=content/selayang-pandang
Gunawan, B.2008. Kenaikan Muka Air Laut Dan Adaptasi Masyarakat. Diakses dalam:
http://www.walhi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=520:kenaikanmuka-airlaut-danadaptasi.artikel.html
http://psdaesdm.semarangkota.go.id/program-kegiatan/program-pengendalian-banjir
Manuhoro, Agasetyo. 2013. Program Pengendalian Banjir di Kota Semarang. Diakses
dalam:
http://www.academia.edu/4651784/PROGRAM_PENGENDALIAN_BANJIR_DI_KOTA_S
EMARANG
Permatasari, Inne Septiana. 2012. Strategi Penanganan Kebencanaan di Kota Semarang
(Studi

Banjir

dan

Rob).

Diakses

dalam:

http://portalgaruda.org/?

ref=browse&mod=viewarticle&article=72931
Dermawan, Bayu Trisna. 2012. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesir Terhadap Banjir Rob di
Kecamatan

Sayung,

Kabupaten

Demak,

Jawa

Tengah.

Diakses

dalam:

http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/38
Galuh, Larasati, Santoso. 2012. Efektivitas Manajemen Drainase Rob Kota Semarang.
Diakses dalam: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=72965&val=4925&title=
Waskitaningsih, Novida. 2012. Kearifan Lokal Masyarakat Sub-Sistem Drainase Bringin
Dalam

Menghadapi

Banjir.

http://ejournal.undip.ac.id/index.php/pwk/article/view/6495

Diakses

dalam: