t psn 080891 chapter1

(1)

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang Masalah

Istilah pendidikan seni memiliki pengertian pemanfaatan seni guna menyiapkan anak untuk hari depannya sebagai individu yang utuh. Seni dalam kurikulum sekolah umum, memanfaatkan karakteristik seni yang khas, yang tidak dimiliki oleh mata pelajaran yang lain, guna membantu anak tumbuh dan berkembang menjadi dewasa. Dengan demikian, hadirnya seni dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah umum berfungsi sebagai sarana menumbuh-kembangkan individu peserta didik dalam rangka mempersiapkan hari depannya menjadi pribadi yang utuh. Karakteristik yang khas pada bahan ajar seni tersebut adalah karakteristik seni sebagai sebuah aktivitas. Sebagai sebuah aktivitas atau kegiatan, aktivitas seni dapat diidentifikasi sebagai aktivitas penciptaan atau kreasi seni, aktivitas penghayatan atau apresiasi seni, dan aktivitas kritik seni atau evaluasi (Mulyadi, 1991: 3).

Secara mendasar, eksistensi atau kehidupan manusia tergerak oleh empat nilai dasar, yaitu: kebenaran, keindahan, etik dan moral, dan ketuhanan (Le Senne dan Lavelle dalam Hartoko, 1984). Karena itulah pada hakekatnya kompetensi yang ingin dicapai oleh pendidikan formal melalui kurikulum sekolah umum adalah pada upaya pengembangan keempat nilai dasar tersebut; demikian pula halnya untuk pengembangan nilai dasar keindahan. Makna pendidikan seni adalah pemberian „pengalaman estetik‟ (aesthetic experience) kepada siswa, yaitu


(2)

pengalaman menghayati nilai keindahan, bagaimanapun keindahan itu dimaknai. Melalui pengalaman estetik, siswa diharapkan dapat menginternalisasi (meresapi, mengakarkan) nilai- nilai estetik yang berfungsi untuk melatih kepekaan rasa, kecerdasan intelektual, dan mengembangkan imajinasinya. Suatu pengalaman estetik tidak mungkin bisa dicapai tanpa melibatkan olah rasa (emosi dan estetika), olah hati (karsa dan etika), olah cipta (pikir, logika), dan olah raga (fisik, kinestetika terutama untuk seni tari) (Jazuli, 2008: 18-17).

Dengan demikian masuknya seni sebagai mata pelajaran di sekolah adalah karena disadari adanya fungsi didik seni, seperti dapat kita simak dari paparan kutipan sebagai berikut:

Pencantuman seni dalam program-program pendidikan sebagaimana telah diuraikan pada perkembangan pendidikan seni terdahulu yang dirancang di sejumlah negara dan dalam berbagai waktu yang berbeda didasarkan atas asumsi bahwa seni mengandung potensi tertentu yang dapat difungsikan untuk membantu pendidikan. Khususnya dalam usahanya untuk menumbuh kembangkan peserta didik agar menjadi utuh, dalam arti cerdas nalar serta rasa, sadar rasa kepribadian serta rasa sosial, dan cinta budaya bangsa sendiri maupun bangsa lain. Potensi yang dimaksud merupakan bagian dari karakteristik seni yang khas yang tidak dimiliki oleh substansi bidang studi lainnya. Karena itu seni dikatakan sebagai sarana pendidikan yang mengandung nilai didik yang unik. Karakteristik unik yang dimaksud adalah unik karena seni dapat diperankan dalam pendidikan, dalam arti sebagai sarana untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi yang dimiliki oleh peserta didik, di samping dapat mencerdaskan perasaan dan keterampilan berkesenian. Singkat kata dapat dimanfaatkan untuk mengutuhkan individu peserta didik (Soehardjo, 2005: 165-166).

Terkait dengan peran seni dalam pendidikan tersebut, Soehardjo (2005) menyebutnya sebagai konsep pemfungsian seni, yaitu usaha didik lewat seni yang jangkauan wilayah garapannya tidak terbatas. Sedangkan Eisner (1972, dalam Soehardjo, 2005: 26) mengklasifikasinya sebagai justifikasi kontekstual (justification contextual), yaitu pendidikan seni yang diarahkan agar siswa


(3)

mempunyai kompetensi berkesenian sebagai bentuk pengalaman belajar dalam rangka pendewasaan individu untuk menjadi „manusia seutuhnya‟, dan hasil belajar yang dianggap urgen adalah penguasaan hasil ikutan. Jadi kehadiran seni dalam pendidikan adalah untuk menopang misi pendidikan umum yang meliputi “...(1) menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian peserta didik, (2) mengasuh rasa estetik anak didik, dan (3) mengkayakan kehidupan peserta didik secara kreatif” (Wickiser, 1974, dalam Soehardjo, 2005: 25-26). Kehadiran seni sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah masih dipersepsi dengan berbagai konsep yang ada tentang pendidikan seni, karena pada dasarnya dalam pelaksanaan pembelajaran seni di sekolah selain dapat memberikan kemampuan berkesenian, juga berdampak kepada kemampuan non seni. Justru pada dasarnya kemampuan inilah (dampak ikutan) yang sebenarnya menjadi fungsi didik seni, dan seharusnya menjadi kemampuan utama yang harus dicapai dalam pembelajaran seni di sekolah umum.

Ada dua kemungkinan kemampuan yang dihasilkan oleh peserta didik dalam melakukan kegiatan seni. Pertama, kemampuan melakukan kegiatan seni, kapabel menggunakan modus imitasi dan atau modus ekspresi; dan ke dua, kemampuan lain sebagai dampak dari proses pembimbingan, pengajaran, dan/ atau pelatihan tersebut. Kemampuan ke dua ini tidak berupa kapabelitas seni dari suatu karya seni, atau menghasilkan karya seni, tetapi kapabelitas non seni seperti menghargai buah pikiran dan menghargai karya orang lain apapun… di samping sebagai penularan seni (Education in Art) sebagai lanjutan pengertian masa lalu, juga sebagai pengertian elit berupa pemfungsian seni (Education Through Art). Yang pertama, merupakan aset budaya dalam pelestariannya, dan yang ke dua aset pendidikan yang misinya untuk memanfaatkan seni agar berfungsi sebagai sarana menumbuh dan mengembangkan individu peserta didik dalam rangka mempersiapkan hari depannya. Inilah yang disebut dengan fungsi didik seni (Soehardjo, 2005: 2-3).


(4)

Jadi tujuan pendidikan seni di sekolah umum bukan untuk mewariskan keterampilan atau kemahiran berkesenian, melainkan untuk memberikan pengalaman berkesenian kepada siswa dalam rangka untuk pengembangan potensi yang dimilikinya, terutama potensi perasaan (kecerdasan emosional), agar seimbang dengan potensi intelektualnya. Pengembangan pendidikan seni di sekolah umum adalah untuk meningkatkan pengetahuan, mengolah perasaan dan imajinasi siswa terkait dengan respon terhadap kesenian dan keindahan, mengembangkan dan meningkatkan daya kreatif siswa melalui praktik berkesenian (Jazuli 2008).

Pada dasarnya setiap orang memiliki implus/ daya estetik atau kesadaran estetik yang sifatnya sangat subjektif (Read, 1974). Salah satu impuls yang juga harus ditumbuh-kembangkan melalui pendidikan formal di sekolah adalah impuls estetik/ keindahan tersebut; yang kemudian kehadirannya dalam kurikulum sekolah berupa matapelajaran pendidikan seni, yang bahan ajarnya meliputi kegiatan apresiasi seni dan kreasi seni atau ekspresi seni. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar pendidikan Nasional, mata pelajaran Seni Budaya diklasifikasi dalam kelompok mata pelajaran estetika, yang cakupannya adalah sebagai berikut:

Kelompok mata pelajaran estetika dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas, kemampuan mengapresiasi, dan kemampuan mengekspresikan keindahan dan harmoni. Kemampuan mengapresiasi dan mengekspresikan keindahan serta harmoni mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan individual sehingga mampu menikmati dan mensyukuri hidup maupun dalam kehidupan kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan harmonis.


(5)

Paparan di atas jelas mengindikasikan bahwa kelompok mata pelajaran Estetika lebih mengarah kepada justifikasi atau pembenaran kontekstual (contextual justification) versi Eisner (Jazuli, 2008: 28-29).

Karakteristik bahan ajar seni yang khas sebagai sebuah kegiatan adalah proses kreatif, yang dalam penyelenggaraannya diwujudkan sebagai kegiatan ekspresif, konstruktif maupun apresiatif, yang masing-masing mengandung potensi untuk pengembangan kemampuan dasar siswa, terutama pengembangan aspek perasaan, khususnya impuls estetik (Soehardjo, 2005: 142). Pada dasarnya ada dua proses kreatif, yaitu kreativitas artistik (proses penciptaan) dan kreativitas estetik (proses penghayatan). Kreativitas bisa terjadi di beberapa bidang, ia bisa meliputi: (a) kegiatan ide, kegiatan berpikir, kegiatan berangan-angan, dan kegiatan berkhayal (fantasi); (b) kegiatan berekspresi, kegiatan pernyataan verbal, atau visual; (c) kegiatan kerja fisik yang akan melaksanakan dan membuktikan kebenaran ide yang telah dikarangnya (Soetjipto,1989:40).

Sementara ini proses kreasi/ penciptaan dipersepsi sebagai proses yang aktif, sedang proses penghayatan dipersepsi sebagai proses yang pasif. Pandangan tentang proses penghayatan sebagai proses yang pasif antara lain karena perolehan dari aktivitas penghayatan berupa pengalaman estetik yang sifatnya sangat personal dan tidak visibel. Namun jika kita simak pendapat Gadamer berikut, maka persepsi tentang proses penghayatan sebagai proses yang pasif, pasti akan akan berubah.

…, pengalaman keindahan sesungguhnya adalah pengalaman yang dilakukan dengan sengaja, yang pada gilirannya disertai dengan proses pemahaman. Baik sebagai pengalaman maupun pemahaman, masing-masing berfungsi saling melengkapi. Pengalaman estetis jelas ada dalam


(6)

kehidupan sehari-hari. Keindahan dalam perjalanan di atas, misalnya, dapat berubah menjadi pengalaman estetis yang sesungguhnya apabila subjek dengan sengaja mengadakan suatu pemahaman terhadap masing-masing episode perjalanannya …..Meskipun demikian, bukan berarti bahwa pengalaman estetis yang terjadi secara langsung tidak bermanfaat. Dalam kehidupan sehari-hari pengalaman estetis inilah yang senantiasa mewarnai kehidupan manusia sehingga seluruh kehidupan itu menjadi indah (dalam Kutha Ratna, 2003: 213).

Demikian juga pendapat Mulyadi (1991: 76) sebagai berikut: “Apresiasi bukanlah suatu proses yang sederhana, karena apresiasi itu sendiri merupakan proses kreatif”. Selanjutnya Mulyadi (1991:82) mengemukakan beberapa faktor yang ikut mempengaruhi proses apresiasi sebagai berikut:

a. Kemauan dan minat.

Di sini diperlukan kemauan serta minat untuk menikmati; sebab tanpa kemauan dan minat, apresiasi tidak berhasil.

b. Sikap terbuka.

Perlu dihindari adanya sikap apriori terhadap suatu karya, bahwa karya yang disenangi pasti baik, yang lain tidak.

c. Kebiasaan atau kulina.

Seorang penghayat perlu berlatih; ia perlu membiasakan diri menghadapi karya seni. Dengan demikian ia akan memperkaya pengalaman `rupa` pada dirinya, sehingga tanpa disadari pengalamannya akan bertambah dan meningkat.

d. Peka atau sensitif.

Kepekaan merupakan suatu tuntutan, karena kepekaan seseorang akan membantu menemukan sumber estetik suatu karya. Suatu karya seni merupakan ungkapan perasaan yang tidak mudah dicerna dengan rasio, tetapi harus didekati dengan kepekaan rasa.

e. Kondisi pribadi.

Yang dimaksudkan yaitu intensitas seseorang dalam mengadakan penghayatan. Kurangnya intensitas karena gangguan jiwa atau perasaan lain pada penghayat, akan menyebabkan seseorang tersebut tidak dapat menghayati karya.

Apresiasi/ penghayatan dikatakan sebagai proses kreatif, di mana seorang penghayat mengadakan kontemplasi. Dalam aktivitas ini ada persoalan estetik, yaitu suatu sikap penikmatan yang harus dilepaskan dari kebutuhan lain selain kebutuhan estetik. Ducasse (dalam Mulyadi, 1991:83) menyatakan bahwa proses apresiasi merupakan proses yang secara psikis terbalik bila dibandingkan dengan


(7)

proses penciptaan. Dalam proses penciptaan seorang seniman berusaha mengekspresikan perasaannya ke dalam bentuk visual, sedang dalam proses apresiasi seorang penghayat berusaha menggali agar menemukan nilai-nilai estetik pada suatu karya seni. Objek apresiasi adalah sebuah objek yang mempunyai kapasitas sebagai objek yang berisi bentuk-bentuk yang mencerminkan dan memacu pengalaman estetik. Oleh karena itu apresiasi, penghayatan, atau kontemplasi estetik merupakan kreasi estetik, di mana impresi mewujudkan ekspresi; suatu perolehan diangkat menjadi curahan perasaan, yang oleh Nathan Knobler (dalam Mulyadi, 1991) disebut feeling. Feeling merupakan suatu usaha untuk menggali ide-ide, pendapat, atau informasi yang diekspresikan. Dalam proses apresiasi, seorang penghayat tidak akan memperoleh pengalaman yang sama dengan penghayat yang lain; di sinilah proses penghayatan dinyatakan sebagai proses kreasi. Dapat dikutip pula dari Tabrani (2000: 59), tentang apresiasi sebagai berikut:

Apresiasi bukan proses semata memulai secara objektif berdasarkan norma-norma yang baku. Apresiasi bukan komputatif, bukan sekedar analisa dan sintesa atau dialektik. Apresiasi yang sejati, yang wajar, yang alamiah, hanya mungkin dalam penghayatan. Artinya harus tercapai integrasi antara stimuli luar (karya yang apresiasi) dengan stimuli dalam, dan ini berarti tercetusnya suatu kreasi yang kali ini berupa apresiasi, baik yang hanya mencapai sekedar kejutan atau yang mampu sampai terharu. Jadi, jika seniman kreatif dalam mencipta bentuk dalam karya seni (kreativitas artistik), maka penghayat kreatif dalam menciptakan nilai hayatan (kreativitas estetik) (Sutopo, 1991:15). Selanjutnya Sutopo juga menjelaskan pula tentang nilai sebuah karya seni sebagai berikut:

Nilai karya seni adalah nilai atau makna yang dicipta oleh penghayat setelah menangkap pacu yang ada terpancar dari karya sebagai benda


(8)

estetis. Dari pandangan hermeneutik bahkan ditegaskan bahwa setiap karya seni akan selalu mengalami proses penciptaan kembali, yaitu oleh penghayatnya. Penghayat sebagai penafsir merupakan pencipta kontemporernya dari setiap karya seni yang dihayati (Gadamer, 1976). Pandangan ini menyatakan bahwa relativitas nilai hayatan, kualitasnya sangat tergantung dari pengalaman, budaya, kondisi psikologis, dan kreativitas penghayat (Sutopo, 1991:15).

Jadi, pada dasarnya kreativitas dalam seni meliputi kreativitas artistik yang ada dalam proses penciptaan, dan kreativitas estetik yang ada dalam proses penghayatan. Dengan demikian pembelajaran apresiasi seni yang dimasukkan dalam program pengajaran pendidikan seni di sekolah dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan potensi estetik siswa. Potensi impuls estetik tersebut dapat tumbuh dan berkembang, terutama dalam kondisi pendidikan seni; dan bahan pelajaran tertentu diyakini dapat menumbuh kembangkan impuls estetik itu menjadi sadar estetik, bahkan bisa sampai pada tingkat cerdas estetik.

Aktivitas apresiasi berlangsung karena hadirnya objek estetik, yang salah satunya adalah berupa karya seni, dengan demikian objek estetik merupakan stimulus atau rangsang yang akan memacu timbulnya respon estetik pada pengamatnya. Aktivitas apresiasi seni yang bersifat psikologis merupakan sebuah aktivitas yang melibatkan proses stimulus-respons tersebut. Melalui pengamatan terhadap karya seni sebagai stimulus, maka akan terjadi proses merespon, proses persepsi, dan proses imajinasi. Wujud responsi tersebut berupa rasa indah, yang diawali oleh rasa terpesona, yang kemudian dilanjutkan dengan rasa bathiniah yang lain, seperti rasa senang, rasa nikmat, dan rasa puas (Soehardjo, 2005). Dalam aktivitas apresiasi inilah implus estetik atau kesadaran estetik seseorang akan terangsang dan diyakini memiliki potensi dapat mengembangkan kesadaran,


(9)

kepekaan, sikap estetik, dan kecerdasan estetik, yang muaranya pada kemampuan menghargai, menikmati dan menilai karya seni. Karena itulah apresiasi seni sebagai bagian dari aktivitas seni perlu dimasukkan dalam pengajaran seni di sekolah umum untuk melengkapi kegiatan ekspresi atau kreasi seni, dalam rangka mengembangkan potensi estetik siswa.

Fungsi didik seni dalam pengajaran seni di sekolah umum adalah memanfaatkan aktivitas dan karakteristik seni untuk membantu anak tumbuh-kembang menjadi dewasa. Dalam konteks ini pengajaran seni di sekolah umum bukan dimaksudkan untuk mempersiapkan calon seniman ataupun pekerja seni lainnya, melainkan mempersiapkan aneka profesi yang tidak selalu berkaitan dengan bidang seni. Berpegang pada prinsip bahwa pembelajaran seni bukan untuk menularkan kemampuan seni, melainkan untuk memfungsikan seni dalam pendidikan, maka pembelajaran seni yang memanfaatkan kegiatan apresiasi seni bertujuan untuk memfungsikannya sebagai sarana menumbuhkembangkan anak, walaupun karakteristik pembelajaran apresiasi harus tetap bersumber pada hakikat apresiasi itu sendiri.

Pembelajaran apresiasi seni sangat penting diberikan di sekolah, karena pembelajaran apresiasi seni tidak hanya berfungsi menumbuh kembangkan potensi estetik siswa, melainkan juga menumbuh kembangkan imajinasi, kemunculan kesadaran individual berupa kemampuan kreatif dan kesadaran sosial. Namun kenyataan emperis di lapangan menunjukkan adanya berbagai keluhan dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni dalam pelaksanaan pembelajaran pendidikan seni. Seharusnya apresiasi merupakan bagian integral


(10)

dalam pencapaian kompetensi dalam pembelajaran Seni Budaya di sekolah, namun menjadi kacau ketika banyak lembaga sekolah menempatkan guru kesenian sebagai pelengkap kurikulum saja, dan bukan suatu keharusan. Akibatnya bidang studi kesenian dipegang oleh guru yang tidak memahami seni sama sekali, dan hal ini mengakibatkan apresiasi anak terhadap kesenian menjadi dangkal, serta penghargaan terhadap bidang studi kesenian menjadi dangkal (Hadi, 2004). Demikian juga kebiasaan guru yang cenderung teksbook menyebabkan guru juga banyak membelajarkan seni secara teoritis. Kondisi seperti ini sangat kontradiktif dengan hakikat pendidikan seni yang lebih mengutamakan pengalaman (apresiasi dan kreasi), daripada teori (Hernawan, 2004). Akibatnya, apresiasi masyarakat Indonesia terhadap kesenian juga dalam kondisi `kritis`. Masyarakat tidak merasa membutuhkan kesenian. Siswa tidak pernah melihat dan mendengarkan kesenian secara langsung, sehingga mereka sulit terkesan dengan kesenian. Apalagi gurunya mengajarkan seni dengan bahasa verbal, dan bukan dengan bahasa seni yang tidak dapat digantikan dengan `kata-kata`. Parahnya lagi ketika menyelesaikan pendidikannya, gurunya pun hampir tidak dibekali dengan kemampuan apresiasi seni, dan ketika terjun di masyarakat sebagai guru, dia tidak pernah diberi kesempatan untuk meningkatkan apresiasinya (Riantiarno, 2004).

Penelitian Indrawati (2008) tentang persepsi guru-guru SD di Kotamadya Malang terhadap konsep pendidikan seni, menggambarkan bahwa kompetensi apresiasi seni hampir tidak tersentuh untuk dibelajarkan sebagai upaya pencapaian standar kompetensi apresiasi seni, yang merupakan salah satu dari kompetensi


(11)

yang harus dimiliki siswa dalam pembelajaran Seni Budaya. Demikian pula dari kebanyakan hasil pengamatan dan dialog penulis dengan guru-guru Seni Budaya di lapangan, diperoleh gambaran bahwa persepsi guru tentang pembelajaran apresiasi seni adalah, bahwa pembelajaran apresiasi seni berupa sajian tentang teori-teori seni atau berupa wawasan seni. Jadi dapat dikatakan bahwa pendekatan dalam pembelajaran apresiasi seni yang dikenal oleh guru hanya berupa apresiasi yang berbasis pemahaman seni saja (pengalaman kognitif). Walaupun sebenarnya ada dua basis yang bisa dicapai dalam pembelajaran apresiasi seni, yaitu: (1) apresiasi yang berbasis sikap estetik, yang berupa kemampuan afektif. Kemampuan afektif yang dimaksud di sini adalah termasuk sikap estetik, yaitu perilaku yang diarahkan oleh perasaan berdasarkan nilai-nilai. Jadi keputusan estetik merupakan keputusan rasa yang sifatnya sangat mempribadi, yang mewujud sebagai perhatian khusus yang tanpa pamrih. (2) apresiasi yang berbasis pemahaman seni, yang berupa kemampuan kognitif. Yang dimaksud dengan pemahaman adalah perilaku yang disadari oleh kesadaran nalar. Berbeda dengan pengalaman estetik yang berbasis sikap estetik, dalam pengalaman estetik yang berbasis pemahaman seni, di mana dalam apresiasi ini, interaksi subjek estetik (penghayat) dengan objek estetik (karya seni) didasari oleh persepsi praktis, yaitu rincian prosedurnya diawali dengan proses respon perasaan, lalu dilanjutkan dengan proses penalaran serupa analisis deduktif, dan diakhiri dengan perenungan untuk memantapkan nilai estetik yang disandang oleh sebuah objek estetik (karya seni) (Soehardjo, 2005).


(12)

Kehadiran apresiasi sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Seni Budaya sebenarnya bersifat mengutuhkan karakteristik seni sebagai bahan pelajaran yang berupa kegiatan. Pada dasarnya aktivitas seni bukanlah kreativitas artistik saja, melainkan juga kreativitas estetik. Sebagai sebuah aktivitas seni, keduanya tidak bisa dipisahkan karena sifatnya saling melengkapi. Karena itulah dalam kurikulum, keduanya muncul sebagai kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran Seni Budaya. Ditegaskan pula oleh Soehardjo (2005: 178) sebagai berikut:

Karakteristik dasar dijadikannya apresiasi sebagai bahan pelajaran seni karena dua alasan. Pertama karena kegiatan apresiasi mengandung fungsi didik. Keberadaannya dalam program pendidikan seni bersama dengan kegiatan kreasi dimaksud untuk melengkapi. Bahwa dengan kegiatan apresiasi diharapkan peserta didik di samping berkembang sisi kemampuan kreatif beserta dampak ikutannya, juga berkembang sisi kemampuan apresiatif beserta dampak ikutannya pula .

Hasil survey awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap siswa-siswi SMAK „St. Albertus‟ Malang, dan guru pendidikan seni di SMAK „St Albertus‟, menunjukkan bahwa guru seni pada umumnya dan guru seni rupa pada khususnya memiliki pemahaman yang terbatas dan beragam tentang apresiasi seni, serta pendekatan dalam pembelajaran apresiasi seni. Implementasi pembelajaran Seni Budaya bidang seni rupa, untuk kompetensi apresiasi seni sudah relatif proporsional, sesuai dengan tuntutan kurikulum (40% untuk apresiasi dan 60% untuk kreasi seni/ ekspresi seni, sesuai dengan informasi guru pada wawancara di bulan Februari 2010), walaupun dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih cenderung pada pendekatan yang berbasis pemahaman seni, yang lebih mengembangkan aspek kognitif. Dari hasil survey tersebut juga tampak bahwa


(13)

dalam pembelajaran seni yang lain (seni musik dan seni teater), siswa tidak pernah belajar apresiasi atau penikmatan pada karya seni musik dan seni teater, melainkan sepenuhnya belajar teori seni yang melandasi kreasi atau praktik seni musik dan seni teater.

Sutopo (1987) melalui penelitiannya telah mencoba mengembangkan model kritik dalam pengajaran apresiasi di sekolah menengah dengan pendekatan kritik yang disebut dengan „model kritik holistik‟. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat signifikansi peningkatan daya apresiasi seni pada siswa terhadap kesenian tradisional, khususnya wayang beber, sehingga dapat memberi kontribusi terhadap penghargaan siswa pada budaya tradisi sebagai warisan budaya nenek moyang. Pada tahun 2001 hingga 2002, program Pendidikan Apresiasi Seni (PAS) yang didukung oleh The Ford Foundation juga telah menguji cobakan berbagai pendekatan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi seni siswa terhadap seni nusantara. Hasilnya adalah, pendekatan pengamatan langsung pada objek seni dan keterlibatan interaksi dengan para kreator seni cukup membawa hasil pada peningkatan kemampuan apresiasi seni para siswa. Iriaji (2008), juga sudah mengembangkan model pembelajaran apresiasi seni yang berbasis pengalaman kognitif yang meliputi: (1) pembelajaran apresiasi dengan pendekatan asosiatif untuk materi apresiasi karya seni kriya, (2) pembelajaran apresiasi seni dengan pendekatan kritik semiotik untuk materi apresiasi karya seni terapan, dan (3) pembelajaran apresiasi seni dengan pendekatan kritik holistik untuk materi apresiasi karya seni murni. Masing-masing pendekatan tersebut berhasil


(14)

dikembangkan beserta perangkat pembelajarannya, yang meliputi buku pegangan guru, buku pegangan siswa, dan media/ sarana pembelajarannya.

Guna meningkatkan kualitas pembelajaran apresiasi oleh guru seni, serta guna memberikan alternatif variasi model pembelajaran apresiasi seni di SMAK „St. Albertus‟ - Malang, maka dirasa perlu untuk dikembangkan model pembelajaran apresiasi seni, selain model pembelajaran apresiasi seni seperti yang sudah dilaksanakan oleh guru seni rupa di SMAK „St. Albertus‟ - Malang. Menurut Dickie (1979, dalam Soehardjo, 2005), seorang pengamat seni dapat melakukan apresiasi dengan tiga respon estetik: menikmati karya seni (domain estetika), memahami karya seni (domain filsafat seni), dan menilai karya seni (domain filsafat seni), yang isi kajiannya masing-masing menuju ke arah pengalaman estetik. Domain teori estetika lebih banyak melibatkan rasa, dan disebut dengan apresiasi berbasis sikap estetik, yang berupa kemampuan afektif. Domain filsafat seni dan domain filsafat kritik lebih banyak melibatkan pemahaman atau aspek rasio atau intelektual, yang disebut dengan apresiasi berbasis pemahaman seni, yang berupa pengalaman kognitif.

Jika model pembelajaran apresiasi seni berbasis pemahaman seni telah dikembangkan oleh Iriaji (2008), maka dirasa perlu untuk dikembangkan pula model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik, guna melengkapi model pembelajaran apresiasi seni rupa yang sudah dilaksanakan di SMAK „St.Albertus, karena guru seni rupa di SMAK „St Albertus belum cukup mengenal berbagai pendekatan yang ada dalam pembelajaran apresiasi seni.


(15)

Dari hasil survey di lapangan, salah satu alasan klise yang dikemukakan guru dengan tidak dilaksanakannya pembelajaran apresiasi seni dalam pelaksanaan pembelajaran Seni Budaya di sekolah adalah, karena tidak tersedianya sarana-prasarana yang memadai. Padahal acapkali lingkungan budaya setempat relatif sarat dengan objek karya seni, terutama seni tradisi, yang bisa menjadi stimulus untuk berlangsungnya proses apresiasi seni. Di antara objek estetik yang layak menjadi objek apresiasi seni adalah tempat-tempat wisata, kawasan rekreasi dan taman, pemajangan karya lukis, patung, dan kriya, serta pementasan seni pertunjukan tari, musik, dan drama (Soehardjo, 2005: 186). Dengan demikian tidak salah jika dicoba untuk digugah kembali kesadaran murid pada kekayaan tradisinya. Selain untuk dipelajari, dipahami, dan diambil sari pati dari nilai-nilai yang terkandung dalam seni tradisi, maka langkah progresif lainnya dalam memanfaatkan seni tradisi sebagai objek apresiasi seni adalah, karena seni tradisi bisa dijadikan sumber kreativitas, baik kreativitas estetik maupun kreativitas artistik. Atas dasar rasionel tersebutlah maka pengembangan model pembelajaran apresiasi seni rupa di SMAK „St. Albertus‟ - Malang yang memanfaatkan seni tradisi tari topeng Malang ini dirasa perlu dilakukan, sehingga harapannya tidak ada lagi alasan bagi guru seni pada umumnya untuk tidak dapat melaksanakan pembelajaran apresiasi seni. Menjadikan seni sebagai substansi pendidikan akan berimplikasi kepada penciptaan lingkungan yang berkesenian, yang akan memberikan pengaruh kepada siswa. Dengan demikian lingkungan semacam itu (lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses interaksi antara siswa dengan karya seni), seperti lingkungan di lokasi kesenian tradisi topeng


(16)

Malang, atau pengamatan pada sajian tari topeng Malang, akan memungkinkan terjadinya proses apresiasi seni secara wajar. Dalam kegiatan apresiasi seni dengan penikmatan semacam itu, maka secara alamiah emosi siswa akan terlibat, karena karya seni memiliki kemampuan untuk merangsang aspek kejiwaan (menjadikan penikmat menjadi sedih, marah atau riang-gembira), dan merangsang aspek fisik (mempengaruhi tekanan darah, detak jantung, dan menimbulkan gerak refleks/ empati).

Dengan aktivitas apresiasi semacam itu, maka akan dapat tercapai manfaat dari kegiatan apresiasi sebagai berikut: (1) kegiatan apresiasi seni memberi kesempatan kepada siswa untuk menjadi kaya jiwanya, dan sehat rohaninya karena diisi dengan pengalaman yang positif dan bersifat konstruktif akan menghasilkan pengalaman baru, apalagi jika secara terus-menerus diperkaya, maka siswa akan memiliki keberanian mengungkapkan potensi persepsi dan kreasinya melalui berbagai media yang diinginkan. (2) Dalam proses pengalaman estetik melalui apresiasi seni dibutuhkan kemampuan memilih, memilah, dan menilai karya seni sebagai bentuk komunikasi simbolik, sehingga dalam kondisi tersebut siswa dapat mengembangkan persepsi, imajinasi atau daya fantasinya guna meningkatkan potensi dirinya, karena jiwanya selalu diperkaya dengan pengalaman yang memungkinkan potensi dirinya semakin nyata. (3) Pembelajaran apresiasi seni juga dapat menjadi sarana menanamkan cinta bangsa dan cinta sesamanya, yang dapat dirintis melalui usaha mengenalkan hasil karya seni orang lain, sehingga dapat menimbulkan kekaguman terhadap pencipta atau pelakunya. Oleh karena itu kegiatan apresiasi seni untuk siswa juga untuk mengetahui fungsi


(17)

seni dalam konteks sosial budaya, di mana di antaranya adalah untuk memenuhi berbagai kebutuhan seperti kebutuhan religius, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya. Dengan memahami hal-hal tersebut, diharapkan siswa juga dapat memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungannya, sehingga memotivasi dirinya untuk mengembangkan kepekaan perasaan estetiknya, mengembangkan sikap demokratis, toleran dalam masyarakat dan budaya yang majemuk. (4) Pembelajaran apresiasi seni juga bisa memberi manfaat pada peningkatan ketahanan budaya. Jika pada saat ini sebagian besar generasi muda kurang mengenal warisan seni budaya nenek moyangnya yang diyakini memiliki nilai filosofis yang tinggi, maka apabila keragaman seni budaya dikenalkan dan dibelajarkan kepada siswa di sekolah, diharapkan siswa akan mampu menghargai dan memahami keragaman serta perbedaan bentuk dan jenis budaya tersebut, sehingga hal tersebut bisa menjadi wahana utama untuk menanamkan cinta bangsa dan cinta sesamanya, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan katahanan budaya bangsa (Jazuli, 2008). Pembelajaran apresiasi seni akan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan harapan yang diinginkan jika dilakukan dengan latihan yang terus menerus, karena berapresiasi seni adalah suatu proses yang harus dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Dengan rasionel tersebut di ataslah, maka dirasa perlu untuk mengembangkan model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik, karena hakekat dari kegiatan apresiasi adalah penikmatan terhadap karya seni dengan segala aspeknya.


(18)

1.2. Rumusan Masalah

Masalah penelitian ini adalah, bagaimanakah model pembelajaran apresiasi seni yang berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang di SMAK St. Albertus, dapat melengkapi model pembelajaran apresiasi seni yang berbasis pegalaman kognitif (berbasis pemahaman seni)?

Berdasarkan permasalahan umum tersebut di atas, berikut ini akan dirumuskan permasalahan khusus sebagai berikut:

1.2.1. Bagaimanakah wujud model pembelajaran apresasi seni yang berbasis sikap estetik, yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni tradisi tari topeng Malang di SMAK „St Albertus‟?

1.2.2. Bagaimanakah kelayakan konseptual dari model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang yang telah dikembangkan setelah melalui uji coba ahli pembelajaran seni, guru seni budaya, dan uji kelompok kecil siswa?

1.2.3. Bagaimanakah tingkat kelayakan praktis model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap esetik pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, setelah melalui uji coba lapangan terbatas?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian pengembangan ini adalah untuk mendapatkan model pembelajaran apresiasi berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng


(19)

Malang untuk meningkatkan kualitas pembelajaran apresiasi seni rupa dalam mata pelajaran Seni Budaya di SMAK „St Albertus‟.

Secara khusus tujuan penelitian pengembangan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.3.1. Menghasilkan wujud model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang, yang dapat digunakan oleh guru dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni di SMAK „St Albertus‟.

1.3.2. Mendeskripsikan tingkat kelayakan konseptual model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan setelah uji coba oleh ahli pembelajaran seni, guru, dan kelompok kecil siswa.

1.3.3. Mendeskripsikan tingkat kelayakan praktis model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan setelah uji coba lapangan terbatas.

1.4. Asumsi Dan Keterbatasan

1.4.1. Penelitian ini berpijak dari asumsi-asumsi sebagai berikut:

1.4.1.1 Pada dasarnya setiap orang memiliki benih kesadaran estetik, yang berupa dorongan batin yang disebut impuls estetik (Read, 1974). Impuls estetik adalah dorongan batin yang membentuk sikap estetik, yang memampukan seseorang untuk mengontrol serta mengarahkan perhatiannya terhadap lingkungannya (sebagai stimulus), sehingga mampu berinteraksi


(20)

dengannya (merespon stimulus), dan akhirnya akan dapat diperoleh pengalaman estetik. Dari potensi berupa benih kesadaran estetik sampai menjadi kesadaran estetik, diperlukan pertumbuhan dan perkembangan yang prosesnya dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi yang menunjang berupa hadirnya objek-objek estetik sebagai stimulus yang merangsang terjadinya pengalaman estetik, sehingga memungkinkan tumbuh dan kembangnya impuls estetik menjadi kesadaran estetik lewat pengalaman estetik.

1.4.1.2 Apresiasi seni terdiri dari serangkaian kegiatan yang dimulai dari kegiatan penginderaan, penanggapan, sampai menuju ke kegiatan merespons dan perenungan. Pada saat proses penginderaan, terjadi kegiatan merespon akibat bangkitnya impuls estetik dan impuls sosial yang disandang oleh setiap manusia. Impuls estetik mendorong niat untuk menikmati, dan impuls sosial mendorong niat untuk menghargai (Soehardjo, 2005: 180). 1.4.1.3 Siswa dalam pembelajaran apresiasi seni dianggap sebagai apresiator,

karena proses penghayatan dapat dilakukan oleh siapa saja, dan dapat diasumsikan bahwa setiap anak dari latar belakang lingkungan apapun memiliki kemampuan dasar sadar estetik yang ditumbuhkan dari impuls estetik walaupun dalam kadar yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi lingkungan yang mempengaruhinya. Aplikasinya dalam pembelajaran apresiasi seni di sekolah, apresiasi seni dilakukan oleh siswa. Dalam konteks tersebut siswa dianggap sebagai apresiator seni, yaitu sebagai sosok pengamat seni yang menyandang kemampuan kepengamatan seni,


(21)

dan dengan kemampuannya tersebut siswa sanggup mengapresiasi karya seni. Dengan demikian siswa sebagai apresiator adalah siswa yang mengamati karya seni yang diamati. Dalam kapasitasnya sebagai pengamat seni dalam proses pembelajaran apresiasi seni, siswa perlu menyandang kemampuan kepengamatan seni tersebut. “Kepengamatan seni adalah kemampuan yang disandang oleh pengamat seni yang didasarkan atas impuls estetik. Dengan impuls estetik ini pengamat seni mampu merespon stimulus yang datang dari karya seni” (Soehardjo, 2005: 168).

1.4.1.4 Siswa memiliki potensi estetik dan tipe pengamatan yang berbeda. Dalam mengamati suatu objek karya seni, siswa dipengaruhi oleh indera dan faktor subjektifnya. Bahkan menurut Gadamer (1976, dalam Sutopo, 1991), nilai karya seni adalah nilai atau makna yang diciptakan oleh penghayatnya setelah menangkap pacu yang terpancar dari karya seni sebagai objek estetik. Setiap karya seni akan selalu mengalami proses penciptaan kembali, yaitu oleh penghayatnya, karena dalam diri penghayat, karya seni secara mudah dapat diobjektivikasikan sebagai suatu hasil dari pengalaman masa lampau yang cenderung diasosiasikan dengan objek eksternal. Dalam konteks inilah pengalaman estetik atau sadar rasa tersebut menggambarkan rasa yang mempribadi sifatnya, dalam kaitan inilah kreativitas dan imajinasi siswa sangat menentukan kualitas penghayatannya. Relativitas nilai hayatan kualitasnya sangat tergantung


(22)

dari pengalaman, budaya, kondisi psikologis, dan kreativitas penghayat (Kuspit, 1984, dalam Sutopo, 1991).

1.4.1.5Interaksi pembelajaran apresiasi seni yang dirancang dengan menggunakan model apresiasi berbasis sikap estetik adalah merupakan model pembelajaran apresiasi seni yang lebih mengemukakan kemampuan aspek afektif (rasa), sebagai hakekat dan karakter dari kegiatan apresiasi seni. Karena itulah pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik yang dikembangkan adalah apresiasi yang memanfaatkan pendekatan multisensori atau pendekatan empatik, dan pendekatan aplikatif atau pendekatan simultan. Pendekatan multisensori/ empatik merupakan pendekatan apresiasi seni berupa kegiatan ikut merasakan apa yang ada dalam karya seni (empaty). Pada pendekatan ini, siswa diajak ikut merasakan apa yang ada dalam karya seni dengan lebih banyak menggunakan perasaan, walaupun “… tidak berarti bersih dari alasan pemahaman…” (Soehardjo, 2005: 190). Sedang pendekatan aplikatif/

simultan merupakan pendekatan apresiasi seni berupa aktivitas

menumbuhkan potensi rasa estetik siswa melalui aktivitas penciptaan (Soedarso, 1988: 70), yang menurut Tarjo (2006: 331), model pembelajaran apresiasi ini merupakan model pembelajaran apresiasi seni yang terintegrasi dengan praktik berkarya seni (pembelajaran terpadu). Berdasarkan asumsi-asumsi yang dikemukakan tersebut di atas, penelitian ini juga tidak lepas dari keterbatasan-keterbatasan dari model pembelajaran yang dikembangkan.


(23)

1.4.2. Keterbatasan-keterbatasan tersebut antara lain:

1.4.2.1 Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang ini dikembangkan sesuai dengan kondisi dan karakteristik pembelajaran di SMAK St. Albertus- Malang saat ini (tahun 2009-2010), guna melengkapi model pembelajaran apresiasi seni yang lebih berbasis pada pengalaman kognitif yang sudah dilakukan oleh guru. Dengan demikian model ini belum dirancang untuk menjangkau sasaran pengembangan pada sekolah lain dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan geografis yang berbeda.

1.4.2.2 Model pembelajaran ini dirancang dengan objek apresiasi seni berupa seni pertunjukan tradisi tari topeng Malang, sehingga membutuhkan pelaksanaan pembelajaran di luar kelas (di lapangan, di lokasi komunitas wayang topeng Malang, atau di dalam ruang audio-visual yang ada di lingkungan sekolah, atau di dalam studio/ laboratorium seni yang dilengkapi fasilitas audio-visual ). Pelaksanaan pembelajaran semacam itu tidak mudah dilaksanakan, melainkan harus dirancang dan disesuaikan dengan kondisi dan fasilitas sekolah, karakteristik siswa, serta kebijakan sekolah. Karena objek estetik tertentu sebagai stimulus yang akan menghasilkan respons estetik, tidak perlu terikat pada objek yang ada lingkungan sekolah jika kondisinya tidak mencerminkan sebagai karya seni yang representatif dan bermutu. Objek pengalaman estetik adalah sesuatu yang apapun wujudnya (benda, panorama, peristiwa, karya seni), bisa berfungsi sebagai sumber stimulus (Soehardjo, 2005).


(24)

1.4.2.3Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang ini tidak berupaya meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran apresiasi seni di SMAK St Albertus Malang, yang relatif cukup baik; melainkan untuk memberikan alternatif kepada guru dan siswa dalam pencapaian kompetensi dasar apresiasi seni tradisi daerah setempat, pemanfaatkan variasi model pembelajaran apresiasi seni yang lain, memenuhi idealisme pembelajaran apresiasi seni, dan sebagai upaya untuk lebih mendekatkan belajar pada pemanfaatan media belajar berupa potensi lingkungan dan seni tradisi daerah setempat, sehingga kondisi belajar akan lebih menarik dan tidak membosankan, serta lebih mendekatkan siswa dengan seni-budaya di lingkungannya.

1.5. Manfaat Hasil Penelitian Pengembangan

Penelitian pengembangan ini dirasa penting untuk dikembangkan, karena diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1.5.1. Alternatif model pembelajaran apresiasi berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang ini diharapkan mampu mengoptimalkan tumbuh kembangnya kepekaan, kesadaran, dan pengalaman estetik siswa pada seni-budaya di lingkungannya; serta dapat meningkatkan wawasan dan kemampuan guru dalam pembelajaran apresiasi seni dalam mata pelajaran Seni Budaya.

1.5.2. Hasil penelitian pengembangan ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut untuk mengembangkan model pembelajaran apresiasi seni


(25)

berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang melalui uji model pembelajaran lebih lanjut untuk variasi karakteristik sekolah yang berbeda.

1.5.3. Hasil pengembangan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan tentang model pembelajaran apresiasi seni, sehingga model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik ini dapat melengkapi model pembelajaran apresiasi seni berbasis pemahaman seni yang sudah lebih diakrabi oleh guru.

1.5.4. Hasil penelitian pengembangan ini diharapkan juga dapat lebih mengakrabkan masyarakat pendidikan formal pada umumnya dan pendidikan seni pada khususnya dengan budaya tradisi lokal yang ada di sekitar lingkungan sekolah.

1.6. Penegasan Istilah

Untuk mengeleminir kesalahan penafsiran dan kerancuan makna konseptual sebagai akibat dari perbedaan persepsi, maka berikut ini akan dipaparkan penegasan istilah yang banyak digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1.6.1. Apresiasi seni adalah suatu aktivitas dalam rangka menikmati, merasakan nilai-nilai yang ada pada suatu karya seni dengan terlebih dahulu didasari oleh minat estetik. Berakhirnya proses ini akan memberikan suatu pangalaman yang menyenangkan, yaitu pengalaman estetik sebagai kepuasan kontemplasi atau kepuasan intuisi (Mulyadi, 1991: 77). Sedang


(26)

Soehardjo (2005: 169), menyatakan bahwa apresiasi adalah menghargai seni lewat kegiatan pengamatan yang menimbulkan respon terhadap stimulus yang berasal dari karya seni, sehingga pada awalnya menimbulkan rasa keterpesonaan, yang diikuti dengan penikmatan serta pemahaman pada penikmatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya apresiasi seni adalah proses psikologis yang terjadi pada penikmat seni pada saat menikmati sajian karya seni. Apresiasi seni ialah kesanggupan mengenal atau memahami suatu nilai, dan kesediaan untuk menerima (tidak menolak) nilai tertentu dalam setiap fase kebudayaan manusia. Dalam apresiasi seni berlaku tindakan menyadari, menyeleksi, bahkan mencipta kembali (Sudarmaji, 1973: 14-15).

1.6.2. Apresiasi seni berbasis sikap estetik adalah tipe pengalaman estetik yang berupa kemampuan afektif. Dalam pembelajaran seni, usaha menumbuhkan sikap estetik tersebut dilakukan dengan sengaja dan secara formal; artinya prosesnya dilakukan melalui pengarahan dan pembimbingan. Gambaran proses munculnya rasa estetik sebagai respon dari pengamat terhadap objek estetik tertentu yang berupa uraian tekstual, disebut dengan sikap estetik. Uraian tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk ungkapan lisan maupun tulisan, bahkan dapat pula berupa visualisasi pengalaman tersebut dengan medium estetik (Soehardjo, 2005: 191-192).


(27)

Joice & Weil (1980, dalam Tarjo & Prawira, 2009: 310), menyatakan bahwa suatu rancangan atau pola umum yang dapat digunakan untuk memberi bentuk atas suatu kurikulum, sebagai rangkaian kegiatan belajar jangka panjang, untuk mendesain materi pembelajaran di kelas maupun dalam latar lingkungan belajar lainnya. Model pembelajaran merupakan pola, gambaran garis besar atau skematis tentang peristiwa atau proses pembelajaran, berikut elemen-elemennya, yang dapat digunakan untuk merancang materi pembelajaran atau melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran tertentu. Model pembelajaran mencakup aspek filosofis, strategi, metode, media dan evaluasi.

1.6.4. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik adalah, gambaran garis besar atau skematis tentang struktur yang sedemikian rupa dalam pembelajaran apresiasi seni, di mana terjadi aktivitas stimulus-respon yang dapat mengembangkan kesadaran, kepekaan dan sikap estetik yang didasari oleh persepsi, imajinasi dan perasaan. Dalam pembelajaran, usaha menumbuhkan sikap estetik tersebut dilakukan secara formal, yang prosesnya berlangsung lewat pengarahan dan pembimbingan. Penentuan karya seni sebagai objek estetik diarahkan dan proses pegamatanpun dibimbingkan. Pengalaman estetik yang muncul dalam bentuk pengalaman afektif semacam itu merupakan respon yang berupa rasa estetik, yaitu sadar rasa yang terjadi dalam diri subjek estetik (orang yang melakukan pengamatan/ perespon), yang menggambarkan rasa yang sifatnya mempribadi. Dengan demikian hakekat pembelajaran apresiasi seni adalah


(28)

pengalaman yang berakhir dengan keputusan rasa yang ditunjang pikir, dan bukan keputusan yang ditunjang oleh pikir saja.

1.7. Spesifikasi Produk Yang Dikembangkan

Menurut Sukmadinata (2006: 171), produk pengembangan pendidikan dapat berupa perangkat keras atau perangkat lunak. Berdasarkan kategori tersebut, maka pengembangan model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) ini termasuk dalam kategori perangkat lunak yang aplikasinya harus didukung dengan adanya perangkat keras.

Hasil pengembangan produk ini dikembangkan untuk guru dan siswa

SMAK „St. Albertus‟-Malang. Dalam pengembangan produk berupa model

pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini perlu ditetapkan spesifikasi produk yang dihasilkan, yang akan dirumuskan berdasarkan hasil analisis kebutuhan tentang pengembangan model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) ini, yang bersumber dari: (1) fenomena emperik tentang perlu ditambahnya wawasan guru SMAK „St. Albertus‟ tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, serta pelaksanaan KD apresiasi seni tradisi daerah setempat, (2) kajian pustaka, (3) hasil-hasil penelitian terdahulu tentang pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa peningkatan wawasan guru seni tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, serta guna pemanfaatan variasi model pembelajaran apresiasi seni, maka perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan model


(29)

pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang. Hasil pengembangan model yang ada diharapkan dapat meningkatkan wawasan guru-guru seni tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, membantu guru dalam pelaksanaan kompetensi dasar apresiasi seni tradisi daerah setempat, serta dapat memberikan manfaat tentang variasi model pembelajaran apresiasi seni, supaya pembelajaran apresiasi seni lebih menarik minat siswa dalam belajar Seni Budaya, karena hakekat kegiatan apresiasi seni yang berupa aktivitas pengamatan dan penikmatan karya seni. Dengan demikian interaksi antara subjek estetik (siswa-siswi) dengan objek estetik yang berupa karya seni tradisi yang bermutu dan sarat nilai-nilai tradisi pada pengembangan model apresiasi seni ini, membutuhkan peran afeksi penghayatnya, sehingga akan dapat meningkatkan kepekaan rasa dan imajinasi siswa.

Produk pengembangan model apresiasi seni berbasis sikap estetik yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini, diharapkan memiliki spesifikasi sebagai berikut:

1.7.1. Produk penelitian pengembangan berupa model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang, yang lebih memanipulasi pengalaman afektif, hendaknya melibatkan „olahrasa‟ yang mendukung penikmatan melalui pengamatan, diawali dengan pemahaman dan keterpesonaan.

1.7.2. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis pengalaman afektif pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan ini, mengutamakan


(30)

keterlibatan rasa, emosi, dan sosial, sehingga dapat menumbuh-kembangkan potensi estetik dan potensi non estetik siswa.

1.7.3. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini hendaknya mendukung peningkatan potensi estetik siswa yang meliputi kepekaan emosional, karena karya seni memiliki kemampuan merangsang aspek kejiwaan, sehingga berkembang menjadi kemampuan sadar estetik, bahkan diharapkan sampai ke tahap cerdas estetik, yaitu kesadaran estetik tingkat tinggi, yang akan menumbuhkan kesadaran apresiasi jika siswa berhadapan dengan objek estetik, sehingga akan memunculkan aktivitas stimulus-respon.

1.7.4. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini hendaknya juga dapat mengembangkan potensi non estetik siswa yang mencakup potensi kepekaan terhadap gejala-gejala yang berhubungan dengan fenomena kehidupan, etik-moral, dan ketuhanan. Dengan kata lain, bahwa dengan kegiatan apresiasi seni, maka potensi afektif siswa menjadi fokus dan sasaran perhatian agar lebih berdaya dan berkembang.

1.7.5. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya mendukung pembelajaran seni yang menekankan pada pemanfaatan modal impuls estetik pada seseorang, yang dapat dibimbing untuk melakukan pengalaman estetik sehingga menumbuhkan sikap estetik


(31)

dalam dirinya. Pelaksanaan pengalaman berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) tidak memasalahkan persyaratan yang harus dimiliki oleh pelakunya, melainkan persyaratan itu harus dimiliki oleh objek estetik (seni tradisi tari topeng Malang) yang bakal menjadi sasaran pengamatan; karena objek estetik selalu menyandang nilai estetik.

1.7.6. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya dikemas dalam bentuk struktur prosedur pembelajaran yang sederhana, yang dilengkapi dengan perangkat pembelajaran yang meliputi media pembelajaran, buku pegangangan guru, buku petunjuk pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni bagi siswa, yang akan memudahkan guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni.

1.7.7. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya terdiri dari alternatif pendekatan multisensori/ empatik dan pendekatan aplikatif/ simultan, sehingga membantu guru dalam penggunaan variasi metode dalam kegiatan mengajarnya.


(1)

Soehardjo (2005: 169), menyatakan bahwa apresiasi adalah menghargai seni lewat kegiatan pengamatan yang menimbulkan respon terhadap stimulus yang berasal dari karya seni, sehingga pada awalnya menimbulkan rasa keterpesonaan, yang diikuti dengan penikmatan serta pemahaman pada penikmatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya apresiasi seni adalah proses psikologis yang terjadi pada penikmat seni pada saat menikmati sajian karya seni. Apresiasi seni ialah kesanggupan mengenal atau memahami suatu nilai, dan kesediaan untuk menerima (tidak menolak) nilai tertentu dalam setiap fase kebudayaan manusia. Dalam apresiasi seni berlaku tindakan menyadari, menyeleksi, bahkan mencipta kembali (Sudarmaji, 1973: 14-15).

1.6.2. Apresiasi seni berbasis sikap estetik adalah tipe pengalaman estetik yang berupa kemampuan afektif. Dalam pembelajaran seni, usaha menumbuhkan sikap estetik tersebut dilakukan dengan sengaja dan secara formal; artinya prosesnya dilakukan melalui pengarahan dan pembimbingan. Gambaran proses munculnya rasa estetik sebagai respon dari pengamat terhadap objek estetik tertentu yang berupa uraian tekstual, disebut dengan sikap estetik. Uraian tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk ungkapan lisan maupun tulisan, bahkan dapat pula berupa visualisasi pengalaman tersebut dengan medium estetik (Soehardjo, 2005: 191-192).


(2)

Joice & Weil (1980, dalam Tarjo & Prawira, 2009: 310), menyatakan bahwa suatu rancangan atau pola umum yang dapat digunakan untuk memberi bentuk atas suatu kurikulum, sebagai rangkaian kegiatan belajar jangka panjang, untuk mendesain materi pembelajaran di kelas maupun dalam latar lingkungan belajar lainnya. Model pembelajaran merupakan pola, gambaran garis besar atau skematis tentang peristiwa atau proses pembelajaran, berikut elemen-elemennya, yang dapat digunakan untuk merancang materi pembelajaran atau melaksanakan suatu kegiatan pembelajaran tertentu. Model pembelajaran mencakup aspek filosofis, strategi, metode, media dan evaluasi.

1.6.4. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik adalah, gambaran garis besar atau skematis tentang struktur yang sedemikian rupa dalam pembelajaran apresiasi seni, di mana terjadi aktivitas stimulus-respon yang dapat mengembangkan kesadaran, kepekaan dan sikap estetik yang didasari oleh persepsi, imajinasi dan perasaan. Dalam pembelajaran, usaha menumbuhkan sikap estetik tersebut dilakukan secara formal, yang prosesnya berlangsung lewat pengarahan dan pembimbingan. Penentuan karya seni sebagai objek estetik diarahkan dan proses pegamatanpun dibimbingkan. Pengalaman estetik yang muncul dalam bentuk pengalaman afektif semacam itu merupakan respon yang berupa rasa estetik, yaitu sadar rasa yang terjadi dalam diri subjek estetik (orang yang melakukan pengamatan/ perespon), yang menggambarkan rasa yang sifatnya mempribadi. Dengan demikian hakekat pembelajaran apresiasi seni adalah


(3)

pengalaman yang berakhir dengan keputusan rasa yang ditunjang pikir, dan bukan keputusan yang ditunjang oleh pikir saja.

1.7. Spesifikasi Produk Yang Dikembangkan

Menurut Sukmadinata (2006: 171), produk pengembangan pendidikan dapat berupa perangkat keras atau perangkat lunak. Berdasarkan kategori tersebut, maka pengembangan model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) ini termasuk dalam kategori perangkat lunak yang aplikasinya harus didukung dengan adanya perangkat keras.

Hasil pengembangan produk ini dikembangkan untuk guru dan siswa

SMAK „St. Albertus‟-Malang. Dalam pengembangan produk berupa model

pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini perlu ditetapkan spesifikasi produk yang dihasilkan, yang akan dirumuskan berdasarkan hasil analisis kebutuhan tentang pengembangan model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) ini, yang bersumber dari: (1) fenomena emperik tentang perlu ditambahnya wawasan guru SMAK „St. Albertus‟ tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, serta pelaksanaan KD apresiasi seni tradisi daerah setempat, (2) kajian pustaka, (3) hasil-hasil penelitian terdahulu tentang pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Berdasarkan hal tersebut di atas, diketahui bahwa peningkatan wawasan guru seni tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, serta guna pemanfaatan variasi model pembelajaran apresiasi seni, maka perlu ditindaklanjuti dengan pengembangan model


(4)

pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang. Hasil pengembangan model yang ada diharapkan dapat meningkatkan wawasan guru-guru seni tentang model-model pembelajaran apresiasi seni, membantu guru dalam pelaksanaan kompetensi dasar apresiasi seni tradisi daerah setempat, serta dapat memberikan manfaat tentang variasi model pembelajaran apresiasi seni, supaya pembelajaran apresiasi seni lebih menarik minat siswa dalam belajar Seni Budaya, karena hakekat kegiatan apresiasi seni yang berupa aktivitas pengamatan dan penikmatan karya seni. Dengan demikian interaksi antara subjek estetik (siswa-siswi) dengan objek estetik yang berupa karya seni tradisi yang bermutu dan sarat nilai-nilai tradisi pada pengembangan model apresiasi seni ini, membutuhkan peran afeksi penghayatnya, sehingga akan dapat meningkatkan kepekaan rasa dan imajinasi siswa.

Produk pengembangan model apresiasi seni berbasis sikap estetik yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini, diharapkan memiliki spesifikasi sebagai berikut:

1.7.1. Produk penelitian pengembangan berupa model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik pada seni tradisi tari topeng Malang, yang lebih memanipulasi pengalaman afektif, hendaknya melibatkan „olahrasa‟ yang mendukung penikmatan melalui pengamatan, diawali dengan pemahaman dan keterpesonaan.

1.7.2. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis pengalaman afektif pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan ini, mengutamakan


(5)

keterlibatan rasa, emosi, dan sosial, sehingga dapat menumbuh-kembangkan potensi estetik dan potensi non estetik siswa.

1.7.3. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini hendaknya mendukung peningkatan potensi estetik siswa yang meliputi kepekaan emosional, karena karya seni memiliki kemampuan merangsang aspek kejiwaan, sehingga berkembang menjadi kemampuan sadar estetik, bahkan diharapkan sampai ke tahap cerdas estetik, yaitu kesadaran estetik tingkat tinggi, yang akan menumbuhkan kesadaran apresiasi jika siswa berhadapan dengan objek estetik, sehingga akan memunculkan aktivitas stimulus-respon.

1.7.4. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang ini hendaknya juga dapat mengembangkan potensi non estetik siswa yang mencakup potensi kepekaan terhadap gejala-gejala yang berhubungan dengan fenomena kehidupan, etik-moral, dan ketuhanan. Dengan kata lain, bahwa dengan kegiatan apresiasi seni, maka potensi afektif siswa menjadi fokus dan sasaran perhatian agar lebih berdaya dan berkembang.

1.7.5. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya mendukung pembelajaran seni yang menekankan pada pemanfaatan modal impuls estetik pada seseorang, yang dapat dibimbing untuk melakukan pengalaman estetik sehingga menumbuhkan sikap estetik


(6)

dalam dirinya. Pelaksanaan pengalaman berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) tidak memasalahkan persyaratan yang harus dimiliki oleh pelakunya, melainkan persyaratan itu harus dimiliki oleh objek estetik (seni tradisi tari topeng Malang) yang bakal menjadi sasaran pengamatan; karena objek estetik selalu menyandang nilai estetik.

1.7.6. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya dikemas dalam bentuk struktur prosedur pembelajaran yang sederhana, yang dilengkapi dengan perangkat pembelajaran yang meliputi media pembelajaran, buku pegangangan guru, buku petunjuk pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni bagi siswa, yang akan memudahkan guru dan siswa dalam pelaksanaan pembelajaran apresiasi seni.

1.7.7. Model pembelajaran apresiasi seni berbasis sikap estetik (pengalaman afektif) pada seni tradisi tari topeng Malang yang dikembangkan, hendaknya terdiri dari alternatif pendekatan multisensori/ empatik dan pendekatan aplikatif/ simultan, sehingga membantu guru dalam penggunaan variasi metode dalam kegiatan mengajarnya.