Performa Produksi dan Organ Dalam Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pelet Ransum Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

RINGKASAN
DIANI NOFESA. D24080056. 2012. Performa Produksi dan Organ Dalam
Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pelet Ransum
Komplit Mengandung Daun Indigofera zollingeriana dan Leucaena
leucocephala. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr.
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Moh. Yamin, M.Agr.Sc.
Kelinci merupakan salah satu ternak penghasil daging yang dapat dijadikan
alternatif untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Daging kelinci memiliki
kandungan protein yang tinggi dan kolesterol yang relatif rendah. Pakan merupakan
komponen penting dalam budidaya kelinci. Pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi
akan mendukung potensi kelinci untuk menghasilkan jumlah dan kualitas daging
yang diharapkan. Pemenuhan kebutuhan nutrisi kelinci dalam ransum dapat berasal
dari berbagai jenis bahan baku pakan sumber protein, seperti legum. Indigofera
zollingeriana dan Leucaena leucocephala (lamtoro) merupakan legum yang
potensial sebagai sumber protein lokal yang dapat digunakan sebagai campuran
pakan kelinci. I. zollingeriana memiliki kandungan protein sebesar 23,40%-27,60%
dan lamtoro mempunyai kandungan protein sebesar 21%. Penelitian ini bertujuan
untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet ransum komplit mengandung daun
I. zollingeriana dan lamtoro dengan taraf yang berbeda terhadap performa produksi

dan organ dalam kelinci peranakan New Zealand White jantan.
Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci peranakan New Zealand White
jantan dengan bobot rata-rata 1653,36 ± 265,46 g/ekor dengan koefisien variasi
sebesar 16,06%. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan lima perlakuan dan empat kelompok. Perlakuan yang
diberikan adalah R0 (Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I.
zollingeriana), R1 (Pelet ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I.
zollingeriana), R2 (Pelet ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I.
zollingeriana), R3 (Pelet ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I.
zollingeriana), R4 (Pelet ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I.
zollingeriana). Data dianalisis menggunakan analysis of variance (ANOVA), untuk
melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji Jarak Duncan. Peubah yang diamati
adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan harian, efisiensi pakan, bobot
potong, persentase karkas dan non karkas, kadar lemak daging, bobot hati, bobot
jantung, bobot ginjal, dan Income Over Feed Cost (IOFC).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian ransum perlakuan
berdampak relatif sama dalam meningkatkan performa produksi kelinci peranakan
New Zealand White jantan. Penggunaan hijauan pada pelet ransum komplit perlakuan
R1 (30% lamtoro) dan R4 (30% I. zollingeriana) cenderung dapat menurunkan kadar
lemak daging. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelet ransum

komplit mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro dapat direkomendasikan
sebagai ransum kelinci berbahan pakan hijauan yang tinggi protein.
Kata kunci: I. zollingeriana, kelinci, lamtoro, performa
 
 

ABSTRACT
Performance and Viscera Persentage of New Zealand White Crossbred Rabbit
Fed with Complete Feed Containing Indigofera zollingeriana and Leucaena
leucochepala Leaves
D. Nofesa, L. Abdullah and M. Yamin
The aim of the study was to compare and analize the effect of complete feed with
different combination I. zollingeriana leaves and Leucaena leucochepala leaves on
rabbit performance. This research used a randomized block design, with five dietary
treatments and four replications. The treatments were R0 (commercial pellet
ration with 0% Leucaena leucochepala and 0% I. zollingeriana), R1 (complete
pellet ration containing 30% Leucaena leucocephala and 0% I. zollingeriana,
R2 (complete pellet ration containing 20% Leucaena leucocephala and 10% I.
zollingeriana), R3 (complete pellet ration containing 10% Leucaena leucocephala
and 20% I. zollingeriana), R4 (complete pellet ration containing 0% Leucaena

leucocephala and 30% I. zollingeriana). Variables observed were feed intake, body
weight gain, feed efficiency, fat content, carcass and non carcass weight, liver, heart,
kidneys weights and Income Over Feed Cost. The data were analyzed with analysis
of variance, and the differences among treatment were examined with Duncan Range
Test. The results show that all complete pellet ration having the same effect in
improving the performance of rabbits. Complete ration pellet with 30% Leucaena
leucocephala and completed ration pellet with 30% I. zollingeriana had a tendency
to derease the fat content compared with commercial pellet rations. It can be
concluded that complete pellet ration containing I. zollingeriana and Leucaena
leucochepala can be recommended as rabbit pellet.
Keywords : I. zollingeriana, Leucaena leucocephala, performance, rabbits

 
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelinci adalah ternak penghasil daging yang dapat dijadikan alternatif untuk
memenuhi kebutuhan protein hewani. Daging kelinci mengandung protein tinggi dan
kolesterol lebih rendah dibandingkan daging ternak lain. Kelinci mampu

menghasilkan anak dengan jumlah per kelahiran tinggi, laju pertumbuhan tinggi serta
mudah dalam pemenuhan kebutuhan pakannya karena tidak bersaing dengan
kebutuhan pangan manusia.
Pakan merupakan komponen penting dalam budidaya kelinci. Pakan yang
memenuhi kebutuhan nutrisi akan mendukung potensi kelinci untuk menghasilkan
jumlah dan kualitas daging yang diharapkan. Pemenuhan kebutuhan nutrisi kelinci
dalam ransum dapat berasal dari berbagai jenis bahan baku pakan sumber protein,
seperti legum. Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala (lamtoro)
merupakan legum pakan yang potensial sebagai sumber protein lokal yang dapat
digunakan sebagai campuran pakan kelinci.
I. zollingeriana dan lamtoro adalah leguminosa yang berkembang di daerah
tropis, toleran terhadap kekeringan dan pertumbuhan kedua tanaman tersebut cukup
cepat karena kemampuannya yang adapif terhadap lingkungan tropis. Kedua legum
ini sudah berkembang di masyarakat dan sering digunakan sebagai hijauan pakan
tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein ternak. Peternak di Indonesia telah
menggunakannya sejak disosialisaikan penggunaannya oleh pemerintah.
Penyajian kedua jenis hijauan ini dalam ransum masih terbatas sebagai
sumber pakan yang diberikan secara terpisah dan dalam bentuk segar. Pemberian
dalam komponen ransum komplit belum pernah dilakukan untuk ternak kelinci.
Penelitian ini merupakan pengujian ransum komplit yang mengandung I.

zollingeriana dan lamtoro yang diatur dalam taraf berbeda untuk diketahui
peranannya sebagai bahan pakan dalam ransum komplit.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet
ransum komplit mengandung daun I. zollingeriana dan lamtoro dengan taraf yang
berbeda terhadap performa produksi dan organ dalam kelinci peranakan New
Zealand White jantan.

 

TINJAU
UAN PUSTA
AKA
Indigofeera zollingerriana
Indigofe
fera zollingeeriana adalaah genus dengan
d
sekittar 700 speesies yang
terssebar secaraa geografis di Afrika ttropis, Asiaa, Australia,, Amerika Utara,
U

dan
Am
merika Selataan. Banyak spesies
s
di Afrika
A
dan Assia telah dilaaporkan berg
guna untuk
mak
kanan ternak
k, pupuk hijjau atau sebbagai tanamaan penutup. Khas dari leguminosa
l
ini adalah mem
miliki kandunngan proteinn yang tingggi, toleran teerhadap mussim kering,
gen
nangan air, dan
d tahan terrhadap saliniitas. Indigofe
fera sp. adalaah tanaman leguminosa
l
pohhon tropis memiliki kandungan

k
n
nutrisi
yangg baik untuuk ternak ruminansia.
r
Kanndungan pro
otein kasar beberapa
b
speesies Indigofe
fera sp. dilapporkan tergolong tinggi
berrkisar antara 22%-29%, sedangkan kkandungan serat
s
(NDF) tergolong reendah yaitu
antaara 22%-46%
% (Hassen et
e al., 2007).

Gaambar 1. Inddigofera zolllingeriana
Sumber : Abdullah (20010)


Menuruut Hassen et al. (2008) Indigofera
I
s mempunnyai kandunggan protein
sp.
kassar sebesar 24,3%,
2
sedanngkan menuurut Abdullah
h dan Suharrlina (2010) Indigofera
zolllingeriana mempunyai
m
protein kasaar sekitar 23,,40%-27,60%
%.
Taksonoomi tanamann I. zollingerriana sebagaai berikut :
divisi

: Speermatophyta

sub diviisi

: Anggiospermae


kelas

: Diccotyledonae

bangsa

: Rossales

suku

: Legguminosae

marga

: Inddigofera

jenis

: Inddigofera zolliingeriana


2
 

Menurut Skerman (1982), ciri-ciri legume Indigofera sp. adalah tinggi
kandungan protein dan toleran terhadap kekeringan dan salinitas menyebabkan sifat
agronominya

sangat

diinginkan.

Saat

akar

terdalamnya

dapat


tumbuh

kemampuannya untuk merespon curah hujan yang kurang dan ketahanan terhadap
herbivore merupakan potensi yang baik sebagai tanaman penutup tanah untuk daerah
semi-kering dan daerah kering. Interval defoliasi tanaman ini yaitu 60 hari dengan
intensitas defoliasi 100 cm dari permukaan tanah pada batang utama dan 10 cm dari
pangkal percabangan pada cabang tanaman. Produksi bahan kering (BK) total
Indigofera sp. adalah 21 ton/ha/tahun dan produksi bahan kering daun total 5
ton/ha/tahun (Hassen et al., 2008). Menurut Tarigan dan Ginting (2011), Indigofera
sp. dapat digunakan sebagai bahan pakan sumber protein dengan kandungan tanin
yang rendah yaitu sebesar 0,8 g/kg bahan kering.
Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Lamtoro (Leucena leucocephala) merupakan salah satu leguminosa pohon
yang mengandung protein tinggi dan karotenoid yang sangat potensial sebagai pakan
ternak. Lamtoro merupakan legum pohon yang produktif menghasilkan hijauan,
tahan pemotongan, pengembalaan berat, dan sebagai pakan tambahan bermutu
tinggi. Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak dalam bentuk hijauan segar,
kering, tepung, silase, dan pelet. Lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak,
dikarenakan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno
dan Soedaharoedjian, 1992). Menurut Mtenga dan Laswai (1994) lamtoro memiliki
kandungan protein yang tinggi (21%), kandungan asam aminonya cukup tinggi dan
juga memiliki antinutrisi seperti mimosin dan tanin. Wood et al. (2003) menyatakan
bahwa terjadi penurunan kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu
60°C dari 3,2% menjadi 2,5% dan pada pemanasan 145°C turun menjadi 1,8%.
Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat proses pelleting. Menurut Laconi dan
Widiyastuti (2010), detoksifikasi secara fisik dan kimia mampu menurunkan
kandungan mimosin daun lamtoro dengan perendaman selama 12 jam dalam air pada
suhu kamar dapat mereduksi kandungan mimosin lebih dari 50%.


 

Gambar
G
2. Leeucaena leuccocephala
Sumberr : flickriver.coom

n lamtoro leebih disukaii oleh kelinnci dibandin
ngkan daun
Pelet beerbasis daun
gam
mal, namun pemberian
p
d
daun
lamtoroo dapat meng
gurangi pertuumbuhan bo
obot badan,
konnsumsi pakaan, dan efissiensi pakann. Daun lam
mtoro mengaandung mim
mosin yang
men
nyebabkan kerontokan
k
dan reddish pada kelincci (Onwudikke, 1995). Oleh
O
karena
itu Onwudike (1995) mereekomendasikkan penggunnaan daun llamtoro dalaam ransum
tidaak lebih darii 50% total raansum.
Pelet
Menuruut Pond et al. (1995) pelet adallah ransum yang dibu
uat dengan
men
nggiling bahhan baku yanng kemudiann dipadatkann menggunakkan die deng
gan bentuk,
diam
meter, panjaang dan deraajat kekerasaan yang berbbeda. Pelet m
merupakan hasil
h
proses
pen
ngolahan bahhan baku rannsum secara mekanik yaang didukungg oleh faktorr kadar air,
pan
nas dan tekaanan. Ransum
m dalam beentuk pelet dapat
d
meninngkatkan nutrisi dalam
biaya pro
pak
kan, mempeermudah peenanganan sehingga menurunkan
m
oduksi dan
men
ngurangi pen
nyusutan (D
Dozier, 2001)).
Menuruut Abdullah (2010), hijauan dapat dibentuk m
menjadi peleet sehingga
mem
miliki kom
mposisi bahaan yang lebbih padat dan
d
tidak m
mengubah kandungan
bah
hannya, hijaauan yang berpotensi
b
diiproses men
njadi pelet adalah
a
I. zolllingeriana
yan
ng dapat dig
gunakan seb
bagai pakan sumber pro
otein karenaa memiliki kandungan
prootein kasar seebesar 25,666%. Perform
ma kelinci yaang diberi paakan berupa pelet lebih
baik
k dibandinggkan dengann kelinci yaang diberi pakan beruppa butiran atau mash
(Rizqiani, 2011
1)

4
 

Kelinci New Zealand White
Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil
daging yang dapat dijadikan alternatif sumber protein hewani bagi masyarakat, selain
itu bulu dan kotorannya dapat dimanfaatkan serta dijadikan hewan peliharaan.
Kelinci termasuk hewan herbivora non ruminan yang memiliki sistem pencernaan
monogastrik dengan perkembangan sekum seperti alat pencernaan ruminansia,
sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982). Kelinci
dapat mencerna serat kasar, terutama selulosa, dengan bantuan bakteri yang hidup di
dalam sekumnya (Farrel dan Raharjo, 1984).
Klasifikasi kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut :
Kingdom

: Animal

Phylum

: Chordata

Sub phylum

: Vertebrata

Ordo

: Logomorph

Family

: Lepotidae

Sub family

: Leporine

Genus

: Oryctolagus

Species

: Orytolagus cuniculus

Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan
penelitian adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan
antara lain : sifat produksi tinggi, siklus hidup yang pendek, daya tahan tubuh yang
lebih baik terhadap penyakit, adaptif terhadap lingkungan yang baru, dan tidak
memerlukan tempat yang luas. Kelinci New Zealand White ini termasuk dalam
bangsa medium yang memiliki bobot hidup antara 3,5-4 kg dan mencapai bobot
dewasa pada umur 5-6 bulan (Cheeke et al., 1987).
Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Kebutuhan nutrisi untuk kelinci harus terpenuhi untuk mencapai hasil yang
baik supaya kelinci calon pejantan atau betina dapat tumbuh normal dan sehat.
Kandungan nutrisi pakan yang diberikan harus berkualitas baik dan seimbang untuk
menunjang pertumbuhannya. Menurut Cheeke dan Patton (1982), kandungan protein
kasar dalam ransum untuk kelinci tidak boleh melebihi 2% dari kadar serat kasar,

 

artinya bahwa kadar serat kasar ransum tidak boleh terlalu rendah dibandingkan
dengan kadar protein ransumnya.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrien Kelinci
Nutrien
Digestible Energy (kcal/kg)
Serat kasar (%)
Protein kasar (%)
Lemak (%)
Ca (%)
P (%)
Sumber: Cheeke et al. (1987)

Kebutuhan nutrien kelinci
Pertumbuhan

Hidup pokok

Bunting

Laktasi

2500
14
15
3
0,50
0,30

2200
15-16
13
3
0,60
0,40

2500
14
18
3
0,80
0,50

2700
12
18
5
1,10
0,80

Konsumsi Ransum
Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak,
karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh ternak dan digunakan untuk keperluan
pertumbuhan dan produksi (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci adalah temperatur lingkungan,
kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, bobot badan, dan
kecepatan pertumbuhan (NRC, 1977).
Menurut Church dan Pond (1980), faktor yang mempengaruhi konsumsi
ransum adalah bobot badan, individu ternak, dan suhu lingkungan. Konsumsi ransum
akan semakin rendah bila kadar proteinnya semakin rendah sehingga metabolisme
jaringan ikat tidak seimbang. Sebaliknya bila kadar protein ransum terlalu tinggi
akan menurunkan kecernaan zat makanan lainnya (Cheeke, 1987).
Menurut Rizqiani (2011), konsumsi bahan kering kelinci lokal peranakan
New Zealand White yang diberi pelet ransum komplit yaitu sebesar 117,78
g/ekor/hari. Menurut Okerman (1994), kebutuhan konsumsi bahan kering ransum
pelet pada kelinci sebanyak 5% dari bobot badan. Jumlah pakan yang diberikan
bergantung pada periode pemeliharaan, harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan
oleh kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan
ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering (Tabel 2).

 

Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci
Status

Kebutuhan Bahan Kering

Bobot Badan (kg)

Muda
Dewasa
Bunting
Menyusui
Sumber : NRC (1977)

1,8-3,2
2,3-6,8
2,3-6,8
4,5

(% BB)

(g/ekor/hari)

6,2-5,4
4,0-3,0
5,0-3,7
11,5

112-173
92-204
115-251
520

Pertambahan Bobot Badan Kelinci
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan pakan, karena pertumbuhan yang
diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zat-zat
makanan dari ransum yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan akan
diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Church dan Pond, 1980).
Pertambahan

bobot

badan

erat

hubungannya

dengan

pertumbuhan.

Pertumbuhan adalah proses pertambahan ukuran fisik individu yang mencakup
pertambahan jumlah sel, volume, jenis maupun substansi sel yang terkandung
didalamnya dan bersifat tidak kembali. Pertumbuhan biasanya diukur dengan
bertambahnya bobot hidup yang diiringi dengan perubahan ukuran tubuh.
Pertumbuhan ternak umumnya mengikuti pola kurva berbentuk sigmoid yang
merupakan hubungan antara umur, bobot tubuh, dan pola pertumbuhan yang terjadi
pada kelinci sejak setelah lahir (Sanford, 1980).
Thalib et al. (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan bobot tubuh ternak
sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kulitas ransum, maksudnya penilaian
pertambahan bobot badan tubuh ternak sebanding dengan ransum yang dikonsumsi.
Menurut Rasyid (2009) salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot
badan adalah konsumsi pakan. Konsumsi pakan dan kecernaan pakan yang tinggi
akan menghasilkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan
oleh semakin banyak nutrien yang diserap oleh tubuh ternak tersebut.
Rizqiani (2011) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan harian kelinci
lokal peranakan New Zealand White dengan pemberian pelet ransum komplit
menghasilkan pertambahan bobot badan sebesar 17,60 g/ekor/hari. Di daerah tropis

 

pertambahan bobot hidup hanya 10-20 g/ekor/hari sehingga pemotongan dilakukan
pada umur 20 minggu. Pertumbuhan dan perkembangan yang maksimum ditentukan
oleh faktor genetik, tetapi makanan merupakan faktor esensial untuk mencapai bobot
maksimal (Cheeke, 1987).
Efisiensi Pakan Kelinci
Efisiensi ransum merupakan perbandingan antara pertambahan bobot badan
dan konsumsi pakan. Menurut Card dan Nesheim (1972), nilai efisiensi penggunaan
pakan menunjukkan banyaknya pertambahan bobot badan yang dihasilkan dalam
satu kilogram pakan. Menurut Cheeke et al. (2000), efisiensi dapat berkisar antara
0,25–0,28. Nilai efisiensi pakan kelinci lokal peranakan New Zealand White dengan
pemberian pelet ransum komplit pada penelitian Rizqiani (2011) yaitu 0,15.
Parakkasi (1999) menyatakan bahwa penambahan protein dalam ransum dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan sedangkan penambahan serat dalam ransum
dapat menurunkan bobot badan. Penelitian Fernandez dan Fraga (1996) melaporkan
efisiensi pakan pada kelinci yang diberikan pakan mengandung lemak nabati lebih
tinggi dibandingkan kelinci yang diberi pakan yang mengandung lemak hewani.
Pakan berkualitas rendah dapat memperlambat pertambahan bobot hidup dan
memperkecil efisiensi penggunaan ransum (Lebas et al., 1986).
Bobot Potong dan Karkas Kelinci
Bobot potong merupakan bobot hidup akhir ternak sebelum dipotong pada
saat kelinci sudah siap dipotong pada umur dan bobot badan yang ditentukan. Bobot
potong yang tinggi menghasilkan bobot karkas yang tinggi pula (Muryanto dan
Prawirodigdo, 1993). Hal ini disebabkan proporsi bagian tubuh yang menghasilkan
daging akan bertambah selaras dengan ukuran bobot tubuh ternak.
Karkas adalah tubuh ternak setelah dilakukan pemotongan yang dihilangkan
kepala, kaki dari bagian carpus dan tarsus, darah serta organ-organ internal
(Soeparno 1992). Produksi karkas dinyatakan dalam bobot dan persentasenya,
dimana persentase karkas merupakan hasil dari perbandingan bobot karkas dengan
bobot tubuh kosong atau bobot potongnya. Zotte (2002) menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi bobot karkas dibedakan menjadi 3, yaitu faktor genetik, biologi,
dan pakan. Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah

 

pemotongan. Faktor yang menentukan adalah bobot karkas, jumlah daging yang
dihasilkan dan kualitas daging dari karkas yang bersangkutan (Soeparno dan Sumadi,
1991).
Menurut Yurmiaty (1991), semakin banyak jumlah ransum yang dikonsumsi
semakin baik pula pertumbuhan seekor ternak yang selanjutnya akan berpengaruh
pada bobot karkas, karena bobot karkas mempunyai kaitan yang erat dengan bobot
potong yang dihasilkan. Menurut Gillespie (2004), bobot hidup sekitar 1,8-2,1 kg
menghasilkan karkas dengan persentase karkas sebesar 50%-59%. Hasil penelitian
dari Rohmatin (2010) yang menggunakan kelinci jantan lokal menghasilkan
persentase karkas sebesar 50,89%-52,65%.
Kadar Lemak Daging Kelinci
Tingkat perlemakan dapat menentukan kapan ternak seharusnya dipotong.
Pemotongan ternak sebaiknya dilakukan menjelang dewasa. Lemak akan ditimbun
selama pertumbuhan dan perkembangan, karkas ternak dewasa dapat mengandung
lemak sekitar 30%-40%, dengan meningkatnya berat karkas maka proporsi otot dan
tulang menurun, sedangkan proporsi lemak meningkat (Soeparno, 1992). Perletakan
dan distribusi lemak mempunyai arti ekonomi dalam produksi daging, karena lemak
menambah bobot daging karkas dan penyebarannya turut menentukan mutu daging.
Depot lemak merupakan komponen karkas yang masak lambat, dimana persentase
depot lemak meningkat dengan bertambahnya bobot hidup (De Blass et al., 1977).
Perletakan lemak tubuh pada kelinci disekitar rusuk, sepanjang tulang
belakang, daerah paha, sekitar leher, ginjal dan jantung. Pertumbuhan lemak pada
ternak kelinci berlangsung bila berumur lebih dari dua bulan yaitu pada bobot sekitar
1,5-2,0 kg, tetapi lemak yang dikandungnya lebih kecil dibandingkan dengan ternak
lainnya (Bogart, 1977). De Blass et al. (1977) melakukan penelitian dengan
menggunakan kelinci betina Spanish giant, yang dipotong pada umur 3, 4, dan 5
bulan, ternyata dengan meningkatnya umur potong kadar lemaknya meningkat
34,1%, 37,85% dan 43,97% dari bobot lemak awalnya.
Penentuan kadar lemak dalam analisis proksimat menggunakan metode
Soxhlet. Penentuan kadar lemak menggunakan metode ini, selain lemak juga
dihasilkan fosfolipida, sterol, asam lemak bebas, karotenoid dan pigmen yang lain,
sehingga hasil analisisnya sering disebut dengan lemak kasar (Sudarmadji et al.,

 

1989). Kadar lemak daging kelinci pada paha kanan kelinci lokal peranakan New
Zealand White yang diperoleh oleh Rizqiani (2011) yang menggunakan metode
Soxhlet adalah sebesar 0,65%.
Organ Dalam Kelinci
Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Fungsi hati antara lain : mensekresikan empedu, mengatur aktivitas
karbohidrat, metabolisme protein, metabolisme lemak, pembentukan darah,
menyimpan vitamin, mengatur produksi panas, serta mengatur kadar protein dan gula
dalam darah (Thakur dan Puranik, 1981; Leach, 1961).

Steven et al. (1974)

menyatakan bahwa persentase bobot hati kelinci berkisar antara 2,45%-3,29%.
Jantung adalah suatu struktur muskular berongga yang berbentuk menyerupai
kerucut dan terbagi menjadi bagian kanan dan bagian kiri. Jantung terdiri dari empat
rongga dengan empat katup sebagai alat pemompa darah. Jantung mendapat nutrisi
dan oksigen dari darah yang mengalir melalui pembuluh darah koroner. Besarnya
jantung bergantung pada jenis, umur, besar dan pekerjaan (Ressang, 1984)
Ginjal adalah alat tubuh yang mempunyai daya saring dan serap kembali
(Ressang, 1984). Ginjal terletak dibagian dalam rongga perut pada kedua sisi tulang
belakang. Ginjal mempunyai fungsi mengeluarkan limbah sisa metabolisme,
mengatur konsentrasi air dan garam, menjaga keasaman plasma darah, sebagai organ
endokrin menghasilkan hormon-hormon eritropietin, renin, dan prostaglandin.
(Hernomoadi et al., 1994). Ressang (1984) menyatakan bahwa pembesaran dan
pengecilan bobot ginjal dapat diakibatkan oleh bertambahnya aktivitas ginjal dalam
menyeimbangkan susunan darah yang mengandung racun.
Data persentase bobot hati, jantung, dan ginjal pada penelitian yang
dilakukan oleh Rohmatin (2010) yaitu sebesar 2,31%-2,76%; 0,21%-0,23%; dan
0,52%-0,59% untuk kelinci lokal peranakan New Zealand White yang diberi ransum
komplit dengan bobot 1723-2015 g.
Persentase Non Karkas Kelinci
Berat non karkas sangat mempengaruhi berat karkas, karena semakin
meningkat berat non karkas maka perolehan karkas yang dihasilkan akan semakin
menurun. Hal ini disebabkan jumlah non karkas yang dihasilkan lebih banyak dari
10 
 

pada jumlah karkas dari ternak tersebut. Menurut Rao et al. (1977), kepala dan kaki
merupakan organ yang masak dini, pertumbuhan dan perkembangan kepala terjadi
sangat cepat, sedangkan setelah dewasa pertumbuhannya menjadi lambat. Cheeke et
al. (2000) menyatakan bahwa bobot kulit kelinci dipengaruhi oleh kandungan protein
pakan, dimana dengan tercukupinya asupan protein maka akan meningkatkan bobot
potong dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap bobot kulit.
Bobot saluran pencernaan berhubungan dengan nilai retensi makanan
didalam saluran pencernaan, ransum yang bermutu rendah cenderung memerlukan
waktu yang lama, hal ini sehubungan dengan usaha ternak yang bersangkutan untuk
memenuhi kebutuhan nutrisinya. Perkembangan saluran pencernaan dipengaruhi
oleh adanya perubahan anatomis dan enzimatis, hal ini berhubungan dengan jenis
pakan yang dikonsumsi (Mulyaningsih et al., 1984). Sistem pencernaan pada kelinci
terdiri dari saluran pencernaan dan kelenjar pencernaan yang meliputi kelenjar ludah,
pankreas dan hati (Thakur dan Puranik, 1981).
Persentase bobot kepala, kaki, kulit dan saluran pencernaan yang dilaporkan
oleh Rohmatin (2010), yaitu 9,99%-10,34%; 2,81%-3,19%; 10,02%-10,705%;
13,55%-15,42% yang menggunakan kelinci lokal peranakan New Zealand White
yang diberi ransum komplit dengan bobot 1723-2015 g.
Income Over Feed Cost (IOFC)
Analisis ekonomi sangat penting dalam usaha peternakan, karena tujuan akhir
usaha adalah untuk mendapatkan keuntungan. Salah satu perhitungan yang dapat
digunakan adalah Income Over Feed Cost yaitu pendapatan yang diterima setelah
dikurangi biaya pakan selama pemeliharaan (Setyono, 2006). Pendapatan merupakan
salah satu tujuan utama dalam usaha peternakan, dengan mengetahui jumlah
pendapatan yang diterima maka seorang peternak dapat mengetahui apakah biaya
pakan yang dikeluarkan selama pemeliharaan ternak cukup ekonomis atau tidak.
Faktor yang dapat berpengaruh penting dalam perhitungan IOFC adalah pertambahan
bobot badan selama pemeliharaan, konsumsi pakan dan harga pakan (Mulyaningsih,
2006).

11 
 

MATERII DAN MET
TODE
Lokassi dan Wakttu
Penelitiian dilakuk
kan di Labboratorium Lapang Ilm
mu Produkksi Ternak
Rum
minansia Keecil Blok B, Fakultas Peeternakan, Innstitut Pertannian Bogor. Pembuatan
P
peleet ransum komplit
k
dilakkukan di Pabbrik Pakan Komersil. P
Penelitian dillaksanakan
darri bulan November 2011 sampai Januuari 2012.
Materi
Terrnak
Ternak yang digunnakan dalam
m penelitian ini adalah kkelinci perannakan New
Zeaaland White jantan seban
nyak 20 ekoor umur emppat bulan denngan bobot hidup
h
ratarataa 1653,36 ± 265,46 g/ekor dengan kooefisien variiasi sebesar 16,06%.

Gam
mbar 3. Kelinnci New Zea
aland White
Suumber : Dokum
mentasi penelittian (2011)

Kandang dan Peralatan
Kandanng yang diguunakan adalaah kandang bertingkat
b
sistem bateraii individual
terb
buat dari kaawat sebanyak 20 buah. Masing-m
masing kandaang dilengkaapi dengan
tem
mpat pakan dan
d tempat minum.
m

Gam
mbar 4. Kanddang Kelincci Penelitian
Suumber : Dokum
mentasi penelittian (2011)

12
 

Peralatan lain yang dibutuhkan adalah timbangan untuk mengukur bobot
badan kelinci, termometer digital, plastik, dan alat kebersihan kandang. Pada analisis
organ dalam dan persentase karkas, peralatan yang digunakan adalah pisau, gunting,
tali dan timbangan digital.
Ransum Penelitian
Ransum penelitian yang digunakan merupakan pelet ransum komplit yang
mengandung hijauan daun I. zollingeriana dan daun lamtoro dengan taraf masingmasing sesuai perlakuan. Ransum komplit diformulasikan sesuai dengan kebutuhan
kelinci periode pertumbuhan berdasarkan NRC (1977) dengan menggunakan
Winfeed 2.8. Ransum komplit ini disusun sesuai dengan kebutuhan kelinci jantan.
Komposisi bahan ransum komplit masing-masing perlakuan dan kandungan zat
makanannya berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Ransum
penelitian lain adalah pelet ransum komersil kelinci yang berasal dari Pabrik Pakan
Komersil dengan komposisi bahan pakan yaitu jagung kuning, dedak padi, dedak
gandum, bungkil kedelai, bungkil kelapa, molasses, rumput, antimold, antioxidant,
vitamin serta mineral.
Tabel 3. Komposisi Ransum Penelitian (% BK)
Bahan Pakan
Ransum komersil
Daun I. zollingeriana
Daun Lamtoro
Jagung
Dedak padi
Bungkil kedelai
Bungkil Kelapa
Tepung ikan
CGM
CaCO3
DCP
NaCl
Premix
Jumlah (%)

R01
100
-

Taraf Pemberian (%)
R1
R2
R3
0
10
20
30
20
10
30
30
30
20
20
20
11
11
11
5
5
5
1
1
1
1
1
1
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
100
100
100

R4
30
0
30
20
11
5
1
1
0,5
0,5
0,5
0,5
100

Keterangan : 1Komposisi bahan pakan dirahasiakan (Pelet ransum komersil)

13 
 

Tabel 4. Kandungan Nutrien Ransum (% BK)
Kandungan nutrien
Abu (%)
LK (%)
PK (%)
SK (%)
BETN (%)
TDN (%)
Kandungan nutrien
Kadar Air3 (%)
Abu3 (%)
LK3 (%)
PK3 (%)
SK3 (%)
BETN3 (%)
TDN4 (%)

R01
8,00
4,00
16,00
13,00
59,00
68,00
R0
9,19
10,25
6,68
15,74
9,76
57,57
62,87

R12
7,20
5,08
20,51
11,66
55,55
74,82
R1
10,46
8,07
6,46
17,90
8,16
59,41
68,26

Perlakuan
R22
7,63
5,13
20,86
11,57
54,81
75,28
R2
10,02
8,40
6,79
18,95
7,60
58,26
69,70

R32
8,06
5,16
21,19
11,47
54,12
75,74
R3
9,61
8,63
7,07
21,06
8,45
54,79
68,81

R42
8,48
5,21
21,54
11,37
53,4
76,19
R4
10,35
8,63
5,29
19,00
8,11
58,97
66,99

Keterangan : 1Komposisi nutrien dari Pabrik Pakan Komersil. 2Komposisi nutrien berdasarkan
hasil perhitungan formulasi ransum komplit. 3Hasil analisa di Laboratorium Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor (2011).
4
Berdasarkan rumus Hartadi et al. (1980).
%TDN = 22,822 – 1,44 (SK) – 2,875 (LK) + 0,655 (BeTN) + 0,863 (PK) + 0,02
(SK)2 – 0,078(LK)2 + 0,018 (SK)(LK) + 0,045 (LK)(BeTN) – 0,085 (LK)(PK) +
0,02 (LK)2(PK)

Prosedur
Persiapan Hijauan
Daun I. zollingeriana dan lamtoro segar dijemur di bawah sinar matahari
selama ± 3 hari hingga kadar air bahan mencapai ± 12%. I. zollingeriana dan lamtoro
kering dipisahkan antara daun dan rantingnya kemudian digiling halus.
Pembuatan Pelet Ransum Komplit
Daun I. zollingeriana dan lamtoro yang telah digiling dan berbentuk tepung
dicampur dengan bahan pakan (jagung, dedak, CGM, bungkil kedelai, bungkil
kelapa, CaCO3, DCP, NaCl, premix dan tepung ikan) sesuai dengan formula pada
Tabel 3. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam mesin mixer agar semua bahan
tersebut tercampur rata. Selanjutnya dilakukan proses pelleting menggunakan mesin
pelet dengan ukuran 3 mm. Pelet yang dihasilkan selanjutnya diangin-anginkan dan
dimasukkan ke dalam karung sesuai perlakuan.

14 
 

G
Gambar
5. Allur Proses Peembuatan Peelet Ransum
m Komplit
Perrsiapan Kan
ndang
Kandanng sebanyak 20 buah seebelum digun
nakan diberrsihkan terlebih dahulu
dan
n disanitasi seminggu
s
seebelum kelinnci datang. Kandang
K
dillengkapi tem
mpat pakan
darri keramik dan
d tempat minum
m
dari botol minu
um khusus yyang sebeluumnya juga
telaah dibersihkaan.
Pem
meliharaan
Ternak yang digunnakan adalaah 20 ekor kelinci peraanakan

New
w Zealand

Whhite jantan um
mur empat bulan.
b
Kelinnci dipeliharra dalam kanndang individu selama
tuju
uh minggu. Dua minggu
u pertama seebagai masaa adaptasi paakan. Pembeerian pakan
dilaakukan secarra bertahap dengan menncampurkan pemberian pelet ransum
m komersil
keliinci dan peelet perlakuuan dengan perbanding
gan 25%:755% selama lima hari,
dilaanjutkan 50%
%:50% selam
ma lima harii, pemberiann 75%:25% sselama empaat hari, dan
saaat kelinci sudah dapaat mengkonnsumsi 1000% pelet perlakuan, dilakukan
pen
ngamatan dan
d
pengam
mbilan data, pada minnggu ke tigga sampai ke tujuh.
Pennimbangan bobot
b
badann dan sisa paakan dilakuk
kan setiap m
minggu dan air minum
diberikan ad liibitum. Pem
mberian pakaan dan minu
um dilakukann dua kali sehari
s
pada
pag
gi dan soree hari. Pem
mbersihan kandang, tem
mpat pakan, dan temppat minum
dilaakukan setiapp hari.
15
 

Pengukuran Persentase Karkas dan Organ Dalam
Sebelum dilakukan proses pemotongan di akhir penelitian, kelinci dipuasakan
selama lebih kurang 10 jam dan ditimbang bobotnya sebagai bobot potong.
Pemotongan dilakukan dengan cara memotong leher, semua pembuluh darah (vena
jugularis), tenggorokan dan oesophagus terpotong agar pengeluaran darah sempurna.
Kelinci yang telah dipotong, digantung dengan cara mengikat kaki belakang. Bagian
kepala, kaki depan, kaki belakang dan ekor dipisahkan. Kulit dilepaskan dengan cara
membuat sayatan pada bagian dalam paha ke arah pangkal ekor, setelah kulit terlapas
buat sayatan pada tengah perut, jeroan dikeluarkan sehingga diperoleh karkas.
Setelah didapatkan karkas kelinci, karkas ditimbang untuk mengetahui bobot karkas.
Organ dalam dipisahkan lalu ditimbang sebagai bobot organ dalam.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlakuan
Perlakuan yang diberikan adalah pelet ransum komersil kelinci sebagai kontrol
dan pelet ransum komplit mengandung daun lamtoro dan I. zollingeriana dengan
taraf yang berbeda, perlakuannya adalah sebagai berikut :
R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R1 = Pelet ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R2 = Pelet ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana
R3 = Pelet ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana
R4 = Pelet ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan lima perlakuan dan empat kelompok. Kelompok dalam percobaan
adalah bobot badan kelinci New Zealand White jantan. Model matematika rancangan
tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + ßj+ εij
Keterangan :  = rataan umum
i = efek perlakuan ke-i
ßj = efek kelompok ke-j
ij = eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
16 
 

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan sidik ragam (ANOVA) (Steel
dan Torrie, 1993), apabila hasil uji menunjukkan adanya pengaruh yang nyata, maka
uji lanjutan untuk membandingkan pengaruh antar perlakuan dengan uji Jarak
Duncan.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah :
1.

Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) diukur setiap hari dengan cara menghitung
jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa.

2.

Pertambahan bobot badan harian (g/ekor/hari) adalah rataan selisih perhitungan
bobot akhir dikurang bobot awal dalam satuan hari setiap minggu selama lima
minggu. Bobot badan awal dan akhir diukur dengan cara menimbang kelinci
sebelum pemberian pakan.

3.

Efisiensi pakan diperoleh dengan cara membagi pertambahan bobot badan
dengan konsumsi bahan kering selama perlakuan.

4.

Bobot potong, yaitu bobot kelinci pada saat sebelum dipotong.

5.

Persentase karkas adalah bobot tubuh kelinci dikurangi dengan bobot kulit,
bobot kepala, bobot ekor, bobot organ dalam serta darah, dihitung berdasarkan
bobot potong dan dikalikan 100%.
Persentase Karkas = (bobot karkas : bobot potong) x 100%

6.

Pengukuran kadar lemak dilakukan dengan menggunakan daging paha bagian
kanan.
Kadar lemak (%) = kadar lemak (%) x berat sampel

7.

Bobot hati, yaitu bobot hati setelah dipisahkan dari kantung empedu.
Persentase hati dihitung berdasarkan bobot potong dan dikalikan 100%.

8.

Bobot jantung, yaitu bobot jantung setelah dipisahkan dari lemak. Persentase
jantung dihitung berdasarkan bobot potong dan dikalikan 100%.

9.

Bobot ginjal, yaitu bobot ginjal setelah dipisahkan dari lemak. Persentase ginjal
dihitung berdasarkan bobot potong dan dikalikan 100%.

10.

Bobot non karkas meliputi bobot kepala, kaki, kulit, dan saluran pencernaan.
Bobot saluran pencernaan yang ditimbang adalah bobot saluran pencernaan
17 

 

kotor setelah dikurangi organ dalam. Persentase kepala, kaki, kulit, dan saluran
pencernaan dihitung berdasarkan bobot potong dan dikalikan 100%.
11.

IOFC merupakan pendapatan yang dihasilkan setelah dikurangi biaya pakan.
IOFC =[(Pertambahan bobot badan x harga/kg BB) – (biaya pakan/kg x
konsumsi Ransum)]

18 
 

HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Banyaknya pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kondisi ternak,
karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan dapat ditentukan banyaknya zat
makanan yang masuk ke dalam tubuh ternak dan digunakan untuk keperluan
pertumbuhan dan produksi (Parakkasi, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci adalah temperatur lingkungan,
kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, bobot badan, dan
kecepatan pertumbuhan (NRC, 1977). Hasil penelitian terhadap konsumsi ransum
pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Ransum Kelinci Penelitian
Perlakuan

Konsumsi Ransum
(g/ekor/hari)

Konsumsi Bahan
Kering (g/ekor/hari)

Konsumsi BK per
Bobot Badan (%)

R0
R1
R2
R3
R4

84,14
86,01
73,86
97,87
89,11

76,40
77,02
66,46
88,47
79,88

4,02
3,92
3,49
4,10
3,77

SEM

4,41

3,98

0,11

Keterangan : R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R1 = Pelet ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R2 = Pelet ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana
R3 = Pelet ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana
R4 = Pelet ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
SEM = standard error of mean

Berdasarkan uji sidik ragam pemberian ransum memberikan pengaruh yang
tidak berbeda terhadap jumlah konsumsi ransum harian dan konsumsi bahan kering.
Hasil penelitian terhadap konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan penelitian Rizqiani (2011), konsumsi bahan kering kelinci
lokal peranakan New Zealand White yang diberi pelet ransum komplit yaitu sebesar
117,78 g/ekor/hari dan menurut NRC (1977) kelinci dengan bobot badan 1,8-3,2 kg,
mengkonsumsi bahan kering sebesar 112-173 g/ekor/hari. Pakan perlakuan yang
mengandung daun lamtoro menyebabkan konsumsi ransum yang rendah diduga
disebabkan oleh masih adanya antinutrisi mimosin pada lamtoro. Menurut Onwudike
(1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibandingkan daun
19
 

gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertambahan bobot badan,
konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang
menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna coklat) pada kelinci. Oleh
karena itu Onwudike (1995) merekomendasikan penggunaan daun lamtoro dalam
ransum kelinci tidak lebih dari 50% total ransum.
Konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor pakan dan ternak. Ternak lebih suka
mengonsumsi pakan berkualitas dengan tingkat palatabilitas tinggi. Faktor ternak
yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah kondisi fisiologi ternak yang
membutuhkan zat makanan dengan jumlah berbeda pada setiap fasenya. Faktor lain
yang mempengaruhi tingkat konsumsi ternak kelinci adalah kadar bahan kering.
Menurut Okerman (1994), kelinci mengonsumsi bahan kering sebanyak 5% dari
bobot badannya. Persentase rataan konsumsi bahan kering harian pada penelitian
pada setiap perlakuan berkisar antara 3,77%-4,10% dari bobot badan. Konsumsi
bahan kering pada perlakuan lebih rendah dari 5%, kondisi ini disebabkan karena
konsumsi ransum harian yang rendah sehingga konsumsi bahan kering penelitian ini
belum memenuhi kebutuhan bahan kering kelinci.
Pertambahan Bobot Badan Harian dan
Efisiensi Pakan
Hasil penelitian terhadap PBBH (pertambahan bobot badan harian) dan
efisiensi pakan menghasilkan tidak adanya perbedaan yang nyata (Tabel 6).
Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Harian dan Efisiensi Pakan
Perlakuan
PBBH (g/ekor/hari)
Efisiensi Pakan
R0
R1
R2
R3
R4

6,01
4,88
4,09
7,00
7,65

0,06
0,05
0,06
0,08
0,09

SEM

1,19

0,01

Keterangan : R0 = Pelet ransum komersil dengan 0% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R1 = Pelet ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. zollingeriana
R2 = Pelet ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. zollingeriana
R3 = Pelet ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana
R4 = Pelet ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. zollingeriana
SEM = standard error of mean

20
 

Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertambahan bobot badan merupakan salah satu kriteria yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi kualitas bahan pakan ternak, karena pertumbuhan
yang diperoleh dari suatu percobaan merupakan salah satu indikasi pemanfaatan zatzat makanan dari ransum yang diberikan. Dari data pertambahan bobot badan akan
diketahui nilai suatu bahan pakan bagi ternak (Chruch dan Pond, 1980).
Hasil penelitian terhadap pertambahan bobot badan kelinci pada berbagai
perlakuan dapat dilihat pada Tabel 6. Perlakuan secara statistika memberikan
pengaruh yang tidak berbeda (P>0,05) terhadap nilai pertambahan bobot badan. Hal
tersebut menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang sama terhadap
pertambahan bobot badan harian kelinci.
Pertambahan bobot badan harian kelinci pada penelitian ini lebih rendah bila
dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizqiani (2011) yang juga
menggunakan kelinci peranakan New Zealand White, yaitu sebesar 17,60
g/ekor/hari. Menurut Cheeke (1987) kelinci di didaerah tropis mempunyai
pertambahan bobot badan harian sekitar 10–20 g/ekor/hari. Hal ini dapat disebabkan
oleh konsumsi pakan yang rendah karena kelinci tumbuh berada di kondisi yang
kurang opimal sehingga menghasilkan pertambahan bobot badan harian yang rendah.
Menurut Rasyid (2009) salah satu faktor yang mempengaruhi pertambahan bobot
badan adalah konsumsi pakan. Konsumsi pakan yang tinggi akan menghasilkan
pertambahan bobot badan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh semakin banyak
nutrien yang diserap oleh tubuh ternak tersebut
Faktor lingkungan sangat mempengaruhi pertumbuhan kelinci yang meliputi
suhu kandang, cuaca, dan kebersihan kandang. Rataan suhu kandang pada saat
penelitian sebesar 28,3°C dan kelembaban sebesar 91,3%. Nilai suhu tersebut kurang
sesuai untuk pertumbuhan kelinci, Direktorat Jendral Peternakan (2008) menyatakan
bahwa suhu optimal kandang untuk perkembangbiakan kelinci sebesar 15-20°C,
dengan kelembaban sebesar 45%-70%. Ternak kelinci yang tumbuh pada suhu yang
kurang optimal, akan menyebabkan kelinci stress sehingga konsumsi terhadap pakan
menjadi rendah yang mengakibatkan pertambahan bobot badan harian menjadi
rendah.

21
 

Efisiensi Pakan
Efisiensi pakan dikatakan tinggi jika kuantitas pakan yang dikonsumsi
rendah, ternak dapat menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi. Hasil
penelitian terhadap efisiensi pakan pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel
6. Rataan efisiensi pakan pada setiap perlakuan pada penelitian ini berkisar antara
0,05-0,09. Perlakuan tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai efisiensi pakan.
Nilai efisiensi pakan pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan efisiensi
pakan kelinci yang dilakukan oleh Rizqiani (2011) yaitu 0,15. Hal ini dapat
disebabkan karena konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian yang
rendah pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Rizqiani (2011).
Cheeke (1987) menyatakan bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi
efisiensi penggunaan ransum yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam
ransum akan menurunkan konversi pakan dan meningkatkan efisiensi pakan. Pakan
berkualitas rendah dapat memperlambat pertambahan bobot hidup dan memperkecil
efisiensi penggunaan ransum (Lebas et al., 1986).
Bobot Potong, Persentase Karkas dan
Kadar Lemak Daging
Hasil penelitian terhadap bobot potong persentase karkas, dan kadar kemak
daging kelinci pada berbagai perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rataan Bobot Potong, Persentase Karkas, dan Kadar Lemak Daging Kelinci
Perlakuan

Bobot Potong (g)

Persentase Karkas

Kadar Lemak
daging (%)

R0
R1
R2
R3
R4

1736
1867
1815
2067
2046

51,58ab
50,15ab
46,69b
53,77a
50,29ab

0,90b
0,49a
0,80ab
0,71ab
0,46a

SEM

68,25

0,89

0,07

Keterangan :Superscrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan
nyata (p0,05) terhadap bobot
potong kelinci. Hal ini diduga karena konsumsi kelima ransum perlakuan relatif
sama dalam menunjang pertumbuhan kelinci. Rizqiani (2011) menyatakan bahwa
bobot potong dipengaruhi oleh jumlah pakan yang dikonsumsi dan nutrien yang
diserap dalam tubuh kelinci. Nutrien yang diserap lebih banyak oleh ternak kelinci
akan memberikan bobot hidup lebih tinggi. Hal ini dikarenakan perkembangan
jaringan-jaringan tubuh ternak dan pendepositan lemak akan banyak dilakukan oleh
tubuh ternak. Bobot awal kelinci juga mempengaruhi bobot hidup kelinci, ketika
bobot awalnya lebih tinggi, maka memungkinkan hasil bobot akhirnya lebih tinggi
juga.
Persentase Karkas
Karkas adalah tubuh ternak setelah dilakukan pemotongan yang dihilangkan
kepala, kaki dari bagian carpus dan tarsus, darah serta organ-organ internal
(Soeparno, 1992). Produksi karkas dinyatakan dalam bobot dan persentasenya,
dimana persentase karkas merupakan hasil dari perbandingan bobot karkas dengan
bobot tubuh kosong atau bobot potongnya
Persentase karkas erat hubungannya dengan bobot potong kelinci. Semakin
tinggi bobot potong, maka persentase karkas daging kelincinya juga semakin tinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan persentase karkas pada semua perlakuan
berkisar 46,69%-53,77%. Berdasarkan uji sidik ragam perlakuan memberikan
pengaruh yang berbeda (P