Kecernaan Nutrien pada Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan yang Diberi Pellet Ransum Komplit Mengandung Indigofera zollingeriana dan Leucaena leucocephala

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan dalam
pemeliharaan kelinci. Kelinci berproduksi dengan baik jika diberikan pakan dengan
kualitas dan kuantitas yang baik. Permasalahan yang terjadi di peternakan kelinci
pada umumnya adalah manajemen pakan yang dilakukan secara tradisional sehingga
peternak kurang memperhatikan kecukupan nutrisi kelinci seperti pemenuhan energi,
protein dan air. Kekurangan zat makanan dapat mempengaruhi performa ternak.
Menurut Ensminger et al. (1990), pakan kelinci dapat berupa hijauan, namun hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga produksinya tidak akan
maksimum, oleh karena itu dibutuhkan pakan konsentrat. Kendala penggunaan
konsentrat adalah harganya yang mahal, sehingga dapat memberatkan peternak untuk
itu diperlukan pakan alternatif yang berkualitas baik dan harganya murah. Leucaena
leucocephala merupakan leguminosa yang memiliki protein tinggi sehingga bisa
digunakan sebagai campuran pakan kelinci.
Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh
kelinci dibandingkan daun gamal. Selanjutnya Onwudike (1995), menyatakan bahwa
pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertambahan bobot badan, konsumsi
pakan dan efisiensi pakan. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan
kerontokan dan reddish (urin berwarna cokelat) pada kelinci. Penggunaan Indigofera
zollingeriana atau yang biasanya dikenal dengan istilah I. zollingeriana sebagai

hijauan sumber protein adalah salah satu cara untuk mengurangi kadar daun lamtoro
dalam pakan kelinci dan diharapkan mampu meningkatkan kecernaan kelinci
sehingga dapat meningkatkan pertambahan bobot badan, konsumsi pakan dan
efisiensi pakan.
Pengolahan daun I. zollingeriana dalam bentuk pellet akan mempermudah
proses distribusi dan meningkatkan umur simpan pakan tanpa mengubah komposisi
zat makanan. Pemberian 40% pellet I. zollingeriana pada ransum ternak kambing
Peranakan Etawa dan Saanen dapat meningkatkan kecernaaan pakan dan produksi
susu (Apdini, 2011). Suharlina (2010), menyatakan bahwa koefisien cerna bahan
kering I. zollingeriana yang di ukur secara in vivo berkisar antara 68,21%-73,15%.

Pemberian I. zollingeriana dan kombinasi antara I. zollingeriana dan Leucaena
luecocephala sebagai hijauan dalam pakan kelinci merupakan hal baru dan belum
pernah dilaporkan, sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
tentang kombinasi daun lamtoro dan I. zollingeriana yang tepat dalam ransum
kelinci.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh pemberian pelet
ransum komplit yang mengandung I. zollingeriana dan Leucaena leucocephala
terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar, dan lemak kasar serta

untuk mempelajari konsumsi bahan kering, bahan organik, protein kasar dan lemak
kasar kelinci peranakan New Zealand White jantan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Ternak Kelinci
Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil
daging, kulit/bulu, hewan percobaan dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991).
Kelinci merupakan hewan herbivora non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan
monogastrik dengan perkembangan sekum seperti ruminansia, sehingga kelinci
disebut pseudo-ruminansia (Cheeke dan Patton, 1982).
Klasifikasi kelinci menurut Damron (2003) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animal (hewan)

Phylum

: Chordata (mempunyai notochord)


Sub phylum

: Vertebrata (bertulang belakang)

Kelas

: Mamalia (memiliki kelenjar susu)

Ordo

: Logomorpha (memiliki dua pasang gigi seri rahang atas)

Famili

: Leporidae (rumus gigi 8 pasang diatas dan 6 pasang dibawah)

Genus

: Oryctolagus (morfologi yang sama)


Spesies

: Oryctolagus cuniculus.
Bangsa kelinci yang biasanya paling banyak digunakan sebagai hewan

penelitian adalah New Zealand White. Kelinci ini memiliki beberapa keunggulan
antara lain: sifat produksi yang tinggi, tidak dibutuhkan biaya dalam pemeliharaan,
siklus hidup yang pendek, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, adaptif
terhadap lingkungan yang baru, dan tidak memerlukan tempat yang luas. Kelinci
New Zealand White termasuk dalam bangsa medium yang memiliki bobot hidup
antara 4kg-5kg (Blakely dan Bade, 1991) dan mencapai bobot dewasa pada umur 5-6
bulan (Cheeke et al., 2000).
Kelinci dapat menggunakan protein hijauan secara efisien dengan tingkat
reproduksi tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan kualitas
dagingnya cukup tinggi karena kelinci dapat memanfaatkan feses lunak yang
dihasilkan dari kegiatan coprophagy. Kegiatan tersebut yaitu memakan kembali feses
yang dikeluarkan sehingga dapat mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein
mikroba yang berkualitas tinggi, mensintesis vitamin B dan memecah selulosa atau
serat menjadi energi yang berguna (Cheeke,1983; Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci


merupakan ternak yang mempunyai potensi reproduksi tinggi, laju pertumbuhan
cepat, periode kebuntingan yang pendek bila dibandingkan dengan ternak lain,
seperti sapi, kerbau, babi, kecuali unggas (Cheeke et al., 1982). Seekor induk kelinci
mampu beranak 4-5 kali dalam setahun dengan masa kebuntingan 30-35 hari dan
dari satu periode kelahiran dapat memberikan 6-8 ekor anak (Rismunandar, 1981)
Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Kelinci mempunyai ukuran, kegunaan, warna dan panjang yang berbedabeda. Berat kelinci saat dewasa bervariasi mulai dari 1,5 kg sampai 7 kg (Blakely
dan Bade, 1991). Bangsa kelinci yang dijadikan sebagai penghasil daging
diantaranya California, Flemish giant, Satin dan New Zealand White karena sifat
produksinya yang tinggi, tidak dibutuhkan banyak biaya dalam pemeliharaan, siklus
hidup yang pendek, memiliki daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit, mudah
beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan tidak memerlukan tempat yang luas
(Farrel dan Raharjo, 1984). Kelinci mempunyai potensi sebagai penghasil daging
yang baik kerena kelinci sangat cepat berkembang biak.
Tabel 1. Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Nutrient

Kebutuhan Nutrisi Kelinci
Pertumbuhan


Hidup pokok

Bunting

Laktasi

2500

2100

2500

2500

65

55

58


70

10-12

14

10-12

10-12

Protein kasar (%)

16

12

15

17


Lemak (%)

2

2

2

2

0,40

0,75

Digestible Energy (kcal/kg)
TDN (%)
Serat kasar (%)

Ca (%)


0,45

P (%)

0,55

0,5

Metionin + Cystine (%)

0,6

0,6

Lysin

0,65

0,75


Sumber: NRC (1977)

Menurut Cheeke (1987), kebutuhan protein kelinci berkisar antara 12%-18 %,
tertinggi pada fase menyusui sebesar 18% dan terendah pada fase dewasa sebesar
12%, kebutuhan serat kasar induk menyusui, bunting dan muda berkisar antara 10%4

12%, kebutuhan serat kasar kelinci dewasa sebesar 14% sedangkan kebutuhan lemak
pada setiap periode pemeliharaan tidak berbeda yaitu sebesar 2% (Tabel 1).
Jumlah pakan yang diberikan harus memenuhi jumlah yang dibutuhkan oleh
kelinci sesuai dengan tingkat umur atau bobot badan kelinci. Pemberian pakan
ditentukan berdasarkan kebutuhan bahan kering. Jumlah pemberian pakan bervariasi
bergantung pada periode pemeliharaan dan bobot badan kelinci (Tabel 2).
Tabel 2. Kebutuhan Bahan Kering Kelinci
Status

Bobot badan (BB)

Kebutuhan bahan kering


(Kg)

(% BB)

(g/ekor/hari)

Muda

1,8-3,2

6,2-5,4

112-173

Dewasa

2,3-6,8

4,0-3,0

92-204

Bunting

2,3-6,8

5,0-3,7

115-251

4,5

11,5

520

Menyusui dengan anak 7 ekor
Sumber: NRC (1977)

Saluran Pencernaan Kelinci
Saluran pencernaan merupakan saluran yang memanjang yang dimulai dari
mulut sampai anus yang berfungsi sebagai tempat pakan ditampung, dicerna,
diabsorbsi dan tempat sisa pencernaan yang akan dikeluarkan. Gerakan pakan di
saluran pencernaan dilakukan oleh adanya kontraksi atau gerakan peristaltik otot
sirkuler dinding saluran pencernaan. Berbagai macam getah pencernaan yang berisi
macam-macam enzim pencernaan yang diekskresikan ke dalam saluran pencernaan
(Kamal,1994)
Berdasarkan sistem pencernaannya, kelinci diklasifikasikan ke dalam hindgut
fermentor yaitu saluran pencernaan bagian belakang memegang peranan penting
seperti sekum dan kolon (McNitt et al., 1996). Pada ternak ruminansia fermentasi
serat terjadi di dalam rumen, fermentasi pakan pada kuda terjadi di dalam kolon
sedangkan pada kelinci terjadi di dalam sekum (Irlbeck, 2001).
Mikroba banyak terdapat di dalam sekum, sekum pada kelinci sangat besar
dibandingkan bagian lainnya dan berbentuk spiral (Gambar 1). Proporsi sekum pada
saluran pencernaan kelinci yaitu 40% dari total saluran pencernaannya (Irlbeck,
2001). Sekum kelinci 5 sampai 6 kali lebih panjang dibandingkan kuda (Gidenne et
al., 2002). Church (1991) menyatakan bahwa sekum pada kelinci mempunyai ukuran
5

panjang 40 cm dan berat 25 gram, sedangkan lambung pada kelinci mempunyai
ukuran berat 20 gram, lambung pada kelinci memiliki kapasitas 90-100 gram atau
17% bahan kering. Lambung memiliki pH yang asam yaitu berkisar antara 1,5-2,0.
Usus halus pada kelinci memiliki ukuran panjang 330 cm dan berat 60 gram.
Kapasitas usus halus pada kelinci yaitu berkisar antara 20-40 gram atau setara
dengan 7% bahan kering.

Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci
Sumber: Cheeke et al. (2000)

Kelinci memiliki kebiasaan yang berbeda dari ternak lainnya yaitu kebiasaan
memakan feses yang sudah dikeluarkan yang disebut coprophagy. Sifat coprophagy
biasanya terjadi pada malam atau pagi hari berikutnya. Sifat tersebut memungkinkan
kelinci memanfaatkan secara penuh pencernaan bakteri di saluran bagian bawah,
yaitu mengkonversi protein asal hijauan menjadi protein bakteri yang berkualitas
tinggi, mensintesis vitamin B, dan memecahkan selulosa atau serat menjadi energi
yang berguna.
Ransum Komplit
Ransum merupakan campuran jenis pakan yang diberikan kepada ternak
setiap hari pada waktu tertentu selama umur hidupnya untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi bagi tubuhnya. Ransum yang sempurna harus mengandung zat-zat gizi yang
6

seimbang, disukai ternak dan dalam bentuk yang mudah dicerna oleh saluran
pencernaan (Ensminger et al., 1990). Ransum komplit merupakan pakan yang cukup
gizi untuk hewan dalam status fisiologis tertentu, dibentuk atau dicampur untuk
diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok, produksi,
atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al.,
1997).
Ensminger et al. (1990) melaporkan beberapa keuntungan yang diperoleh
dari penggunaan ransum komplit antara lain: 1) meningkatkan efisiensi pemberian
pakan, 2) meningkatkan konsumsi dari suplementasi hijauan yang kurang palatabel
dengan konsentrat dan dapat mengganti konsentrat yang terbatas dengan hijauan
sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat memudahkan ternak
mendapatkan pakan lengkap. Keistimewaan ransum komplit adalah pencampuran
bersama semua bahan-bahan pakan seperti hijauan, bijian, konsentrat, suplemen
protein, vitamin dan mineral menjadi satu dan diberikan kepada ternak sebagai pakan
tunggal.
Indigofera zollingeriana dan Pengaruhnya
terhadap Ternak
Indigofera zollingeriana adalah tanaman leguminosa pohon dengan genus
Indogofera dan memiliki sekitar 700 spesies yang tersebar secara geografis di Afrika
tropis, Asia, Australia dan Amerika Utara, sekitar tahun 1900 Indigofera sp. dibawa
ke Indonesia oleh bangsa Eropa dan terus berkembang hingga saat ini (Tjelele,
2006). Leguminosa pohon ini cocok dikembangkan di Indonesia tahan terhadap
kekeringan, banjir, dan salinitas (Hassen et al. 2007). Berdasarkan penelitian Hassen
et al., ( 2006) yang menggunakan beberapa spesies Indigofera sp. antara lain I.
amorphoides, I. arecta, I. brevicalyx, I. coerulea, I. costata, I. cryptantha, I. spicata,
I. trita, I. vicoides diketahui bahwa tanaman ini sangat berpotensi digunakan sebagai
tanaman pakan sekaligus tanaman pelindung karena mampu memperbaiki kondisi
tanah penggembalaan yang mengalami overgrazing dan erosi. Hasil penelitian
Abdullah dan Suharlina (2010) menunjukkan bahwa manajemen panen yang optimal
ditinjau dari aspek produktivitas dan kualitas nutrisi adalah panen pertama dilakukan
pada umur 8 bulan disertai dngan frekuensi panen setiap 60 hari dengan tinggi
potongan 1,5 m diatas permukaan tanah. Tepung daun Indigofera zollingeriana
7

mengandung protein kasar sebesar 27,9%, NDF 19%-50%, serat kasar 15%, fospor
0,19%, kalsium 0,22 dan kecernaan bahan organik yang diukur secara in vitro
sebesar 56%-72% (Hassen et al. 2007).
Taksonomi tanaman Indigofera sebagai berikut
divisi

: Spermatophyta

sub divisi

: Angiospermae

kelas

: Dicotyledonae

bangsa

: Rosales

suku

: Leguminosae

marga

: Indigofera

jenis

: Indigofera zollingeriana

Gambar 2: Tanaman Indigofera zollingeriana
Sumber : Dokumentasi Penelitian

Pellet daun Indigofera zollingeriana memiliki kandungan protein kasar
sebesar 25,66% sehingga dengan kandungan protein kasar tersebut dapat dijadikan
bahan pakan pengganti konsentrat (Abdullah, 2010). Keunggulan lain tanaman ini
adalah kandungan taninnya sangat rendah berkisar antara 0,6 ppm-1,4 ppm (jauh
dibawah taraf yang dapat menimbulkan sifat anti nutrisi), rendahnya kandungan tanin
ini juga berdampak positif terhadap palatabilitasnya (Abdullah, 2010). Produksi
8

bahan kering total Indigofera zollingeriana adalah 51 ton/ha/tahun (Abdullah 2010).
Tarigan (2009) menyatakan bahwa nilai kecernaan bahan kering daun Indigofera sp.
yang diberikan sebanyak 45% dari total ransum terhadap kambing Boerka adalah
60%.
Lamtoro ( Leucaena leucocephala) dan Pengaruhnya
terhadap Kelinci
Lamtoro ( Leucaena leucocephala) merupakan tanaman legum pohon serba
guna. Lamtoro umumnya ditanam sebagai tanaman pagar dan tanaman pelindung
untuk tanaman komersial. Tanaman lamtoro dapat diberikan pada ternak berupa
hijauan segar, kering, tepung, silase dan pellet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai
pakan ternak, dikarenakan daum lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan
mineral (Soeseno dan Soedaharoedjian, 1992).
Menurut Mtenga dan Laswai (1994) lamtoro memiliki kandungan protein
yang tinggi yaitu 21%, kandungan NDF sebesar 4,28% sedangkan kandungan asam
aminonya cukup tinggi dan juga memiliki antinutrisi seperti mimosin dan tanin.
Berdasarkan penelitian Futiha (2010), lamtoro memiliki kandungan protein kasar
sebesar 26,07%, serat kasar 17,73%, lemak kasar 5%, Kalsium 1,86% dan Fospor
0,25%. Laconi dan Widiyastuti (2010) menyatakan bahwa kandungan mimosin pada
daun lamtoro berkisar antara 2%-6%.

Gambar 3. Leucaena leucocephala
Sumber : Dokumentasi Penelitian

9

Menurut Onwudike (1995), pellet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh
kelinci dibanding daun gamal, namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi
pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Daun lamtoro
mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish ( urin berwarna
cokelat) pada kelinci. Wood et al. ( 2003) menyatakan bahwa terjadi penurunan
kadar mimosin daun lamtoro akibat pemanasan pada suhu 60ºC dan 145ºC yaitu
sebesar 43%. Selain itu, terjadi inaktivasi mimosin akibat proses pelleting. Menurut
Onwudike (1995) penggunaan lamtoro sebesar 50% dalam pakan kelinci akan
menurunkan performa kelinci fase pertumbuhan.
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dimakan oleh hewan bila
diberikan ad libitum. Konsumsi ransum juga merupakan faktor dasar untuk hidup
dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Ternak mampu mencapai tingkat
penampilan produksi yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila
memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Menurut Wiseman (1989), banyaknya
ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada
cita rasa, ukuran dan tekstur. Aroma pakan juga mempengaruhi terhadap palatabilitas
yang dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995).
Tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh temperatur
lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, kecepatan
pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke
(1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah.
Lang (1981) menyatakan bahwa kualitas protein dalam ransum penting untuk kelinci
karena dapat meningkatkan konsumsi ransum.
Kecernaan Leguminosa pada Kelinci secara
in vivo
Kecernaan zat- zat makanan merupakan salah satu ukuran dalam menentukan
kualitas suatu bahan pakan. Kecernaan adalah bagian dari pakan yang tidak
disekresikan dalam feses dimana bagian tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh
ternak, biasanya dinyatakan dalam bahan kering dan apabila dinyatakan dalam
persentase makan disebut koefisien cerna (McDonald et al., 2002).
10

Daya cerna hijauan leguminosa sangat bervariasi yang banyak ditentukan
oleh tingkat protein yang dikandungnya. Rendahnya protein kasar yang dicerna oleh
seekor ternak tergantung tinggi rendahnya persentase protein dalam tanaman. Pada
umumnya nilai daya cerna leguminosa lebih tinggi daripada rumput. Hal ini
dimungkinkan karena leguminosa mempunyai kualitas yang baik terutama
kandungan proteinnya yang tinggi (Ella, 1996). Kecernaan leguminosa pohon
bervariasi. Gamal (Glicirida sepium) memiliki daya cerna berkisar antara 50%-75%,
Leucaena leucocephala berkisar antara 65%-87%, kaliandra berkisar antara 35%42% (Karti, 1998).
McDonald et al (2002) menyatakan bahwa zat makanan yang tercerna dapat
dihitung dengan mengukur selisih zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan
zat makanan yang tersisa dalam feses. Pengukuran kecernaan dapat dilakukan secara
langsung pada ternak (in vivo) maupun tidak langsung di laboratorium (in vitro) dan
melalui metode kantong nilon (in sacco).
Pengukuran kecernaan ternak ruminansia secara langsung (in vivo) dilakukan
melalui koleksi feses total yang lebih mudah dilakukan pada ternak jantan karena
saluran ekskresi feses (rektum) terpisah dari saluran uretra. Ternak ditempatkan
dalam kandang individu sehingga dapat diukur jumlah pakan yang dikonsumsi dan
feses yang dikeluarkan. Tingkat kecernaan pakan dapat dihitung dengan rumus
berikut (Cheeke, 2005):
% Kecernaan =

Pakan yang dikonsumsi – Jumlah feses

x 100%

Pakan yang dikonsumsi

Sebelum melakukan koleksi feses, ternak harus beradaptasi terhadap pakan
yang diberikan untuk memastikan kestabilan mikroflora dalam saluran pencernaan
terhadap perlakuan pakan dan menghilangkan residu pakan yang diberikan
sebelumnya. Adaptasi selama 10-14 hari dilakukan untuk memaksimalkan tingkat
konsumsi pakan. Metode koleksi feses dibagi menjadi dua yaitu koleksi total feses
dan koleksi sampel feses. Koleksi total dilakukan dengan mengumpulkan seluruh
feses yang dikeluarkan ternak pada waktu yang sama setiap harinya. Sedangkan
koleksi sampel feses dilakukan dengan mengambil feses dari rektum dua kali per

11

hari. Hasil koleksi feses harus dijaga dari kontaminasi. Panjang waktu koleksi feses
adalah 4-12 hari (Rymer, 2000).
Salah satu unsur yang terpenting dalam ransum kelinci adalah protein (NRC
1977). Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh tingginya kandungan protein kasar
dalam ransum (Garcia et al., 1993). Kecernaan zat-zat makanan akan cenderung
meningkat apabila kadar protein bahan makanan meningkat, serta kualitas protein
sangat penting untuk kelinci karena konsumsi akan meningkat jika dalam ransum
mengandung protein yang berkualitas tinggi (Lang, 1981). Faktor lain yang
mempengaruhi kecernaan protein adalah ADF (Acid Detergent Fiber). Pakan yang
mengandung ADF tinggi kemungkinan kandungan selulosa dan ligninnya tinggi,
sehingga menyebabkan menurunnya kecernaan protein (Cheeke, 1987). Amrinawati
(2004) melaporkan ransum bahwa kecernaan protein dipengaruhi oleh komposisi
asam amino tersebut digunakan dalam tubuh ternak. Kecernaan protein kelinci yang
diberi ransum komplit mengandung bungkil kedelai dan tepung ikan berkisar antara
67,79% - 78,78% (Amrinawati, 2004), sedangkan kecernaan protein kelinci yang
diberi ransum biomassa ubi jalar sebesar 70,75% (Khotijah, 2006). Menurut
Nicodema et al. (2007) kecernaan serat kasar kelinci yang diberi ransum
mengandung kulit kedelai dan tepung biji anggur sebesar 21,6%.

12

MATERI DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Ternak Ruminansia Kecil
(Kandang B),

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dan analisis feses dilakukan di laboratorium
Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor
Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan yaitu bulan November 2011 sampai
Januari 2012.
Materi
Alat dan Bahan
Ternak. Penelitian ini menggunakan 20 ekor kelinci peranakan New Zaeland White
jantan periode lepas sapih umur 4 bulan, dengan bobot hidup rata-rata sekitar 1807±
255,87 g/ekor g/ekor.

Gambar 4. Kelinci Peranakan New Zealand White Jantan
Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

Kandang dan Peralatan. Kandang yang digunakan adalah kandang individu yang
terbuat dari besi, sebanyak 20 buah dengan ukuran panjang 50 cm, lebar 50 cm dan
tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Masingmasing kandang ditempati seekor kelinci.
Ransum Penelitian. Ransum penelitian yang digunakan adalah pelet ransum
komplit dengan sumber hijauan daun I. zollingeriana dan L. Leucocephala sebagai
perlakuan. Bahan lain adalah jagung, dedak padi, CGM, bungkil kedelai, bungkil
kelapa, CaCO3, premix, DCP, NaCl dan tepung ikan. Ransum komplit diformulasikan
sesuai dengan kebutuhan kelinci periode pertumbuhan berdasarkan NRC (1977)

dengan menggunakan Winfeed 2.8. Susunan ransum berdasarkan perlakuan yang
diberikan terdapat pada Tabel 3. Komposisi nutrien pellet ransum komplit yang
diberikan selama penelitian berdasarkan analisis laboratorium terdapat pada Tabel 4.
Tabel 3. Susunan Ransum Penelitian (%BK)
Bahan Pakan
Ransum komersil

Taraf Pemberian (%)
R1
R2
R3
-

1

R0
100

R4
-

Daun I. zollingeriana

-

0

10

20

30

Daun Lamtoro

-

30

20

10

0

Jagung

-

30

30

30

30

Dedak padi

-

20

20

20

20

Bungkil kedelai

-

11

11

11

11

Bungkil Kelapa

-

5

5

5

5

Tepung ikan

-

1

1

1

1

CGM

-

1

1

1

1

CaCO3

-

0,5

0,5

0,5

0,5

DCP

-

0,5

0,5

0,5

0,5

NaCl

-

0,5

0,5

0,5

0,5

Premix

-

0,5

0,5

0,5

0,5

100

100

100

100

100

Jumlah (%)
1

Keterangan : Komposisi bahan pakan dirahasiakan (Pellet ransum komersil)

Metode
Persiapan Hijauan
Hijauan yang digunakan sebagai bahan pakan ransum komplit adalah daun I.
zollingeriana dan lamtoro. Hijauan dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar
matahari selama ± 3 hari hingga kadar air bahan mencapai ± 12 %. Hijauan
dipisahkan antara ranting dan daunnya sebelum digiling halus dengan ukuran
gilingan 2 mm hingga berbentuk tepung.
Pembuatan Pelet Ransum Komplit
Bahan hijauan yang telah digiling dan berbentuk tepung dicampur dengan
bahan pakan (Jagung, Dedak padi, CGM, Bungkil kedelai, Bungkil kelapa, CaCO3,
DCP, NaCl, Premix dan Tepung ikan) sesuai dengan formula pada Tabel 3. Bahan
14

campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin pengaduk atau mixer agar semua
bahan tersebut tercampur dengan rata. Tahap selanjutnya adalah pelleting yakni
memasukan semua bahan yang telah tercampur ke dalam mesin pellet dengan ukuran
3 mm. Pellet yang akan dihasilkan selanjutnya diangin-anginkan dan dimasukkan ke
dalam karung sesuai dengan perlakuan.
Tabel 4: Komposisi Nutrien Ransum Penelitian
Bahan pakan

Kandungan Nutrien (%BK)
R0

R1

R2

R3

R4

Abu

10,25

8,07

8,40

8,63

8,63

Protein Kasar

15,74

17,90

18,95

21,06

19

Lemak Kasar

6,68

6,46

6,79

7,07

5,29

Serat Kasar

9,76

8,16

7,60

8,45

8,11

BETN

57,57

59,40

58,26

54,78

58,97

TDNa

62,87

68,26

69,70

68.81

66,99

Sumber

:

Keterangan

:

Hasil Analisis Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, IPB (2011); berdasarkan Rumus Hartadi et al., (1980), %TDN =
22,822 – 1,44 (SK) – 2,875 (LK) + 0,655 (BeTN) + 0,863 (PK) + 0,02 (SK) 2 –
0,078(LK)2 + 0,018 (SK)(LK) + 0,045 (LK)(BeTN) – 0,085 (LK)(PK) + 0,02
(LK)2(PK)
R0 = pellet comersial, R1 = pellet ransum komplit 0% I. zollingeriana dan 30%
lamtoro, R2 = pellet ransum komplit mengandung 10% I. zollingeriana dan
20% lamtoro, R3 = pellet ransum komplit mengandung 20% I. zollingeriana dan
10% lamtoro, R4 = pellet ransum mengandung 30% I. zollingeriana dan 0%
lamtoro.

Gambar 5. Pellet Ransum Komplit Perlakuan
Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

15

Pellet komersil (R0) memiliki warna kuning kecoklatan sedangkan ransum
perlakuan memiliki warna hitam kehijau-hijauan (Gambar 5). Pellet ransum komplit
yang mengandung I. zollingerian dan L. leucocephala (R1, R2, R3 dan R4) memiliki
aroma khas hijauan I. zollingerian dan L. leucocephala sedangkan pellet komersil
beraroma jagung. Pellet komersil lebih rapuh dibandingkan pellet ransum komplit
yang mengandung I. zollingeriana dan L. leucocephala.
Prosedur Kerja
Persiapan Kandang
Kandang sebanyak 20 buah sebelum digunakan dibersihkan terlebih dahulu
dengan desinfektan, kemudian dijemur. Kandang didiamkan selama satu minggu
setelah didesinfektan. Kandang dilengkapi tempat pakan dari keramik dan tempat
minum dari botol minum khusus.
Pemeliharaan
Ternak dipelihara dalam kandang individu selama 8 minggu. Dua minggu
pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary). Adaptasi pakan dilakukan
hingga kelinci mampu mengkonsumsi pakan yang akan diuji cobakan hingga 100 %
(tidak ada sisa) tanpa mengalami penurunan konsumsi dan bobot badan. Kemudian
minggu ke-3 sampai ke-8 dilakukan pengamatan dan pengambilan data.

Gambar 6. Pemeliharaan
Sumber : Dokumentasi penelitian (2011)

Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pemberian pakan dilakukan dua
kali sehari, pada pagi hari pukul 06.00 – 07.00 WIB dan sore hari pada pukul 17.00 –
18.00 WIB. Gambar 6 menunjukkan sistem pemeliharaan selama penelitian.
16

Koleksi Feses
Pengambilan contoh feses dilakukan pada tiga hari terakhir penelitian selama
3x24 jam dengan metode koleksi total (Perez et al., 1995). Seluruh feses yang
tertampung (tiap perlakuan) ditimbang sebagai berat feses total, kemudian
dikeringkan dibawah sinar matahari selama 24 jam. Feses yang telah kering
kemudian digiling dan dicampur pada masing-masing perlakuan. Feses yang baru
keluar segera ditampung agar tidak tercampur dengan urin. Feses yang terkumpul
selama 24 jam ditimbang sebagai bobot feses segar, kemudian sampel feses
dikeringkan matahari untuk mendapatkan berat feses kering matahari. Sampel yang
sudah kering matahari langsung dimasukkan dalam oven 60ºC, kemudian sampel
dihaluskan dan dikomposit. Sampel yang sudah dikomposit selanjutnya diambil 10%
dari setiap perlakuan dan ulangan, lalu dilakukan analisa proksimat untuk
mengetahui kandungan nutrien pakan dan feses (AOAC, 2000). Skema pengambilan
feses ditunjukkan oleh gambar 7.
Feses diambil pada
tiga hari terakhir
penelitian

Timbang
sebagai berat

Kering udara

Analisis bahan
kering, bahan
organik, protein
kasar, lemak kasar
dan serat kasar

Pengambilan
feses ± 3-5 gram
untuk sampel

Penggilingan
feses

Gambar 7. Skema Koleksi Feses
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok
(RAK) dengan 5 perlakuan dan 4 kelompok. Kelompok dalam percobaan ini adalah
bobot badan kelinci New Zealand White jantan yang dibagi menjadi empat
kelompok. Lima ulangan adalah jumlah kelinci untuk masing-masing perlakuan yang
merupakan perwakilan dari tiap kelompok. Masing-masing perlakuan terdiri atas
empat ulangan. Perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:
R0

= Pellet komersil
17

R1

= Pellet Ransum komplit dengan 30% lamtoro dan 0% I. Zollingeriana.

R2

= Pellet Ransum komplit dengan 20% lamtoro dan 10% I. Zollingeriana.

R3

= Pellet Ransum komplit dengan 10% lamtoro dan 20% I. zollingeriana.

R4

= Pellet Ransum komplit dengan 0% lamtoro dan 30% I. Zollingeriana

Model matematika rancangan tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + ßj+ εij
Keterangan:  = rataan umum
i = efek perlakuan ke-i
ßj = efek kelompok ke-j
ij = eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisa statistik dengan sidik ragam (ANOVA) dan
apabila terdapat perbedaan yang signifikan dilanjutkan dengan uji kontras orthogonal
(Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kecernaan
bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, kecernaan lemak
kasar dan kecernaan serat kasar,serta konsumsi bahan kering, bahan organik, protein
kasar, serat kasar dan lemak kasar pada kelinci peranakan New Zealand white jantan
dengan rumus kecernaan berdasarkan metode Chruch (1991) sebagai berikut:


Kecernaan BK (%) = Konsumsi BK Ransum (g) – BK feses (g) x 100 %
Konsumsi BK Ransum (g)



Kecernaan BO (%) = Konsumsi BO Ransum (g) – BK Feses (g) x 100%
Konsumsi BO Ransum (g)



Kecernaan PK (%) = Konsumsi PK Ransum (g) – PK Feses (g) x 100%
Konsumsi PK Ransum (g)



Kecernaan LK (%) = Konsumsi LK Ransum (g) – LK Feses (g) x 100%
Konsumsi LK Ransum (g)



Kecernaan SK (%) = Konsumsi SK Ransum (g) – SK Feses (g) x 100%
Konsumsi SK Ransum (g)






Konsumsi BK (gr/ekor/hari)
Konsumsi BO (gr/ekor/hari)
Konsumsi PK (gr/ekor/hari)
Konsumsi LK (gr/ekor/hari)

= Konsumsi (gr/ekor/hari) × %BK pakan
= Konsumsi (gr/ekor/hari) × %BO pakan
= Konsumsi (gr/ekor/hari) × %PK pakan
= Konsumsi (gr/ekor/hari) × %LK pakan
18

 Konsumsi SK (gr/ekor/hari) = Konsumsi (gr/ekor/hari) × %SK pakan
Keterangan :
BK Feses (g)
BO Feses (g)
PK Feses (g)
SK Feses (g)

= Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % BK Feses
= Feses yang keluar (g) x % BO Feses
= Feses yang keluar (g/ekor/hari) x % PK Feses
= Feses yang keluar (g) x % SK Feses

19

HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Ransum
Konsumsi zat makanan merupakan bahan-bahan penting berupa nutrisi yang
terkandung dalam zat makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Rataan konsumsi zat
makanan kelinci disajikan pada Tabel 5 dan persentase konsumsi zat makanan
disajikan pada Tabel 6.
Tabel 5. Rataan Konsumsi Zat Makanan Berdasarkan 100% BK
Konsumsi (gr/ekor/hari)
Perlakuan

Bahan
Organik
67,78±1,38

Protein
Kasar
18,52±1,13b

Lemak
Kasar
6,97±0,70b

Serat Kasar

R0

Bahan
Kering
76,40±1,40

R1

77,02±1,35

70,07±1,36

22,44±1,68a

7,67±0,48a

7,02±2,14

R2

66,46±0,65

60,26±0,65

19,91±0,70b

5,44±0,25b

6,09±0,28

R3

88,47±0,96

80,02±0,96

23,52±0,58a

7,89±0,19a

8,27±1,55

R4

79,88±0,65

72,19±0,65

19,31±0,87b

5,38±0,24b

7,23±1,02

9,52±0,92

Keterangan: Superskrip pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P