Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima Wallichii (DC.) Korth.) di hutan pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi

ABSTRAK
FITRI APRIANTI. Teknik Pemanfaatan Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi. Dibimbing oleh CAHYO WIBOWO.
Teknik pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi bertujuan untuk mempelajari teknik-teknik
pemanfaatan anakan alam puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) dan mempelajari
respon/perlakuan anakan alam puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan yaitu:
teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm,
teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm, teknik cabutan
dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm, teknik puteran dengan tinggi
tanaman 2−29 cm, dan teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm. Pertambahan tinggi dan
pertambahan jumlah daun teknik puteran dengan tinggi ≥ 30 cm memiliki respon terbaik
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Tanaman dengan tinggi tanaman ≥ 30 cm mempunyai
biomassa yang lebih besar sehingga mempunyai persediaan air yang lebih banyak dan lebih
tahan terhadap kekeringan. Namun, tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara keenam
teknik pemanfaatan anakan alam puspa dalam hal persentase bibit hidup, persentase daun kering
dan persentase daun gugur.
Kata kunci : Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Schima wallichii, teknik cabutan,
teknik puteran


ABSTRACT
FITRI APRIANTI. Techniques of Utilization of Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.)
Wildlings in Gunung Walat University Forest (GWUF), Sukabumi. Under academic supervision
of CAHYO WIBOWO.
The objectives of this study were learning the techniques of utilizing puspa (Schima
wallichii (DC.) Korth.) wildlings in Gunung Walat (GWUF), Sukabumi, as planting stocks and
studying the respond of these wildlings which were utilized as bare root (uprooted) plants and
earth balled plants. Experiment for this purpose was conducted as completely randomized
design (CRD) with six treatments, namely: bare root (uprooted) plants with plant heights of
2−29 cm, bare root (uprooted) plants with plant heights of ≥ 30 cm, bare root (uprooted) plants
with initial plant heights of 2−29 cm accompanied with soil loosening, bare root (uprooted)
plants with initial plant heights of ≥ 30 cm accompanied with soil loosening, earth balled plants
with initial plant height of 2−29 cm, and earth balled plants with initial plant height of ≥ 30 cm.
Increment of height and number of leaves for earth balled plants with initial height of ≥ 30 cm
showed the best respond as compared with other treatments. Plants with initial height of ≥ 30
cm possessed greater biomass and possessed more water and are therefore more resistant toward
desiccation. However, there were no significant difference between the six techniques
(treatments) of utilizing puspa wildlings in terms of survival percentage, percentage of
desiccated leaves, and percentage of shed leaves.
Key words : bare root (uprooted) plant techniques, earth balled plants techniques, Gunung Walat

University Forest (GWUF), Schima wallichii.

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) memiliki kondisi penutupan
lahan dengan berbagai jenis vegetasi yang dapat dimanfaatkan sebagai permudaan
(anakan alam). Permudaan hutan merupakan proses regenerasi tegakan hutan yang
dapat dilakukan secara alami (permudaan alami), maupun buatan (permudaan
buatan). Permudaan alami adalah proses regenerasi tegakan hutan yang
mengandalkan proses alam tanpa ada penanganan manusia dalam setiap tahapan
proses perkembangan tegakan hutan, sedangkan permudaan buatan adalah proses
regenerasi tegakan hutan yang dilakukan oleh manusia melalui penerapan aspekaspek budidaya hutan (Indriyanto 2008).
Dorongan untuk menghutankan kembali suatu kawasan hutan dapat timbul
karena alasan ekonomi, sosial, maupun ekologi. Alasan ekonomi didasarkan pada
persediaan dan permintaan kayu, sedangkan alasan sosial dan ekologi didasarkan
adanya manfaat yang dapat dirasakan, baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk kehidupan masyarakat di sekitar hutan serta lingkungan yang
dipengaruhinya.

Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat
dapat dijadikan sebagai penghasil anakan alam karena termasuk salah satu pohon
dalam ekosistem hutan yang tumbuh pada tanah kering dengan tingkat kesuburan
tanah yang rendah, sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi hutan
tanaman (Firmansyah 2006). Dalam penelitian Widodo (2003) puspa dapat
dijadikan sebagai tanaman revegetasi karena relatif tidak sulit untuk
dikembangkan dilapangan dan termasuk salah satu tanaman yang resisten
terhadap kebakaran
Teknik perbanyakan dalam rangka permudaan ini dapat dilakukan
menggunakan biji ataupun anakan/semai alam. Teknik perbanyakan menggunakan
anakan dapat dilakukan melalui teknik puteran atau cabutan. Pada penelitian ini,
dilakukan perbanyakan dengan jalan pemanfaatan anakan alam puspa melalui
puteran dan cabutan dengan berbagai ukuran tinggi guna pengadaaan bibit puspa
di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu mempelajari teknik-teknik pemanfaatan
anakan alam puspa (S. wallichii) dan mempelajari respon/perlakuan anakan alam
puspa yang dimanfaatkan secara cabutan dan puteran.


Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
respon anakan alam puspa (S. wallichii) terhadap teknik cabutan dan teknik
puteran dalam berbagai tinggi anakan (semai), sehingga dapat digunakan sebagai

2

bahan rekomendasi mengenai teknik pemanfaatan anakan alam puspa, khususnya
di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)
Pohon puspa yang berasal dari famili Theaceae merupakan jenis kayu
pertukangan. Puspa memiliki nama daerah simar tolu, madang bungkar (Sumatra),
huru manuk (sunda), seru (Jawa), merang surau (Kalimantan). Klasifikasinya
adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta

Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Famili
: Theaceae
Genus
: Schima
Spesies
: S. wallichii (DC.) Korth.

Puspa (Schima walichii (DC.) Korth.)
Puspa memiliki 9 sub spesies, di antaranya bacana, noronhae, tetapi antar
sub spesies tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok.
Lingkaran tumbuh tidak teratur, berganti-ganti sempit dan lebar, batas lingkaran
tumbuh kabur, pori-pori tidak teratur rapih. Susunan antara dua jari-jari kayu
terdapat dua pertiga pori-pori merupakan beberapa ciri dari kayu puspa (Gambar
1a).
Pohon puspa bisa mencapai tinggi ± 47 meter, dengan diameter batang dapat
mencapai 127 cm, kadang-kadang memiliki banir 1.8 meter, berdaun tunggal

berbentuk lanset dengan ukuran 2.5−30 cm x 1.5−10 cm, pangkal dan ujung
daunnya meruncing. Daun muda puspa umumnya berwarna merah, merah muda,
dan atau ungu. Bunganya soliter atau tandan terdapat pada ketiak dan termasuk
pohon yang berbunga sepanjang tahun. Buah puspa berbentuk bulat, diameter
mampu mencapai 0.5 sampai 2.5 cm. Pohon puspa ini juga memiliki biji yang
berbentuk ginjal dengan ukuran 6−12 cm x 3−7cm (Gambar 1b).

Gambar 1 Puspa: (a) kulit kayu (Wikipedia.org); (b) buah puspa (Wikipedia.org);
(c) bunga puspa

2

bahan rekomendasi mengenai teknik pemanfaatan anakan alam puspa, khususnya
di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW).

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth)
Pohon puspa yang berasal dari famili Theaceae merupakan jenis kayu
pertukangan. Puspa memiliki nama daerah simar tolu, madang bungkar (Sumatra),
huru manuk (sunda), seru (Jawa), merang surau (Kalimantan). Klasifikasinya

adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Theales
Famili
: Theaceae
Genus
: Schima
Spesies
: S. wallichii (DC.) Korth.

Puspa (Schima walichii (DC.) Korth.)
Puspa memiliki 9 sub spesies, di antaranya bacana, noronhae, tetapi antar
sub spesies tersebut tidak menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok.
Lingkaran tumbuh tidak teratur, berganti-ganti sempit dan lebar, batas lingkaran

tumbuh kabur, pori-pori tidak teratur rapih. Susunan antara dua jari-jari kayu
terdapat dua pertiga pori-pori merupakan beberapa ciri dari kayu puspa (Gambar
1a).
Pohon puspa bisa mencapai tinggi ± 47 meter, dengan diameter batang dapat
mencapai 127 cm, kadang-kadang memiliki banir 1.8 meter, berdaun tunggal
berbentuk lanset dengan ukuran 2.5−30 cm x 1.5−10 cm, pangkal dan ujung
daunnya meruncing. Daun muda puspa umumnya berwarna merah, merah muda,
dan atau ungu. Bunganya soliter atau tandan terdapat pada ketiak dan termasuk
pohon yang berbunga sepanjang tahun. Buah puspa berbentuk bulat, diameter
mampu mencapai 0.5 sampai 2.5 cm. Pohon puspa ini juga memiliki biji yang
berbentuk ginjal dengan ukuran 6−12 cm x 3−7cm (Gambar 1b).

Gambar 1 Puspa: (a) kulit kayu (Wikipedia.org); (b) buah puspa (Wikipedia.org);
(c) bunga puspa

3

Kayu puspa merupakan kayu pertukangan yang bermutu baik dan sering
digunakan sebagai bahan bangunan. Kayu ini dianggap lebih baik dijadikan
sebagai tiang penyangga rumah, kusen pintu, panil kayu, lantai rumah, perabotan

rumah tangga, dan bahan pembuat perahu. Kayu puspa juga baik sebagai kayu
lapis, dan papan serat.

Ekologi
Puspa mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat.
Tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini
juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu,
bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 5−3.900 m dpl.
Puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih
menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh
baik di daerah rawa dan tepian sungai. Puspa merupakan tumbuhan asli di India,
Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei,
Filipina, dan Papua Nugini, sedangkan di Indonesia pohon puspa memiliki tempat
tumbuh di daerah Pulau jawa, Pulau sumatera, pulau Kalimantan. Penyebaran
secara alami di Indonesia terutama terdapat di Jawa Barat. Tumbuhan ini
berkelompok membentuk hutan primer maupun hutan sekunder, kadang-kadang
tersebar di daerah yang selalu lembab. Di Jawa Barat sering kali terdapat pada
ketinggian 100−1500 m dpl (Bloembergen 1952).

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW),
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli
sampai dengan September 2012.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polibag dengan dua macam
ukuran (tinggi = 13 cm, diameter = 14 cm ; dan tinggi = 8 cm, diameter = 9 cm),
mistar atau pita ukur, garpu, kamera, alat penyiram, software SPSS versi 16 dan
software Microsoft Excel 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
anakan alam puspa.

3

Kayu puspa merupakan kayu pertukangan yang bermutu baik dan sering
digunakan sebagai bahan bangunan. Kayu ini dianggap lebih baik dijadikan
sebagai tiang penyangga rumah, kusen pintu, panil kayu, lantai rumah, perabotan
rumah tangga, dan bahan pembuat perahu. Kayu puspa juga baik sebagai kayu
lapis, dan papan serat.


Ekologi
Puspa mampu hidup pada berbagai kondisi tanah, iklim, dan habitat.
Tumbuh melimpah di hutan primer dataran rendah hingga pegunungan, pohon ini
juga umum dijumpai di hutan-hutan sekunder dan wilayah yang terganggu,
bahkan juga di padang ilalang. Bisa hidup hingga ketinggian 5−3.900 m dpl.
Puspa tidak memilih-milih kondisi tekstur dan kesuburan tanah. Meski lebih
menyukai tanah yang berdrainase baik, pohon puspa diketahui mampu tumbuh
baik di daerah rawa dan tepian sungai. Puspa merupakan tumbuhan asli di India,
Nepal, Burma, Cina, Vietnam, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, Brunei,
Filipina, dan Papua Nugini, sedangkan di Indonesia pohon puspa memiliki tempat
tumbuh di daerah Pulau jawa, Pulau sumatera, pulau Kalimantan. Penyebaran
secara alami di Indonesia terutama terdapat di Jawa Barat. Tumbuhan ini
berkelompok membentuk hutan primer maupun hutan sekunder, kadang-kadang
tersebar di daerah yang selalu lembab. Di Jawa Barat sering kali terdapat pada
ketinggian 100−1500 m dpl (Bloembergen 1952).

METODOLOGI
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW),
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli
sampai dengan September 2012.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah polibag dengan dua macam
ukuran (tinggi = 13 cm, diameter = 14 cm ; dan tinggi = 8 cm, diameter = 9 cm),
mistar atau pita ukur, garpu, kamera, alat penyiram, software SPSS versi 16 dan
software Microsoft Excel 2007. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
anakan alam puspa.

4

Prosedur Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan, yaitu persiapan
bibit, pengangkutan, penyapihan, pemeliharan, pengamatan, pengambilan data,
serta perancangan percobaan dan analisis data.
Persiapan
Anakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan alam puspa.
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan
yaitu:
1. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm,
2. Teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm,
3. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm,
4. Teknik cabutan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm,
5. Teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm,
6. Teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm.
Setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu
tanaman dalam satu polibag, sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6
x 15) menjadi 90 tanaman.
Tahapan persiapan yang dimaksud adalah pengadaan bibit dan persiapan
media. Bibit yang digunakan merupakan hasil dari cabutan tanpa penggemburan
tanah, cabutan dengan penggemburan tanah, dan puteran dari kawasan hutan
Pendidikan Gunung Walat (HPGW).
Media tanam yang digunakan adalah tanah 100% yang ditempatkan dalam
polibag dengan tinggi 13 cm, diameter 14 cm untuk tinggi tanaman ≥30 cm; dan
polibag dengan tinggi 8 cm, diameter 9 cm untuk tinggi tanaman 2−29 cm.
Perbedaan ukuran polibag ini disesuaikan dengan ukuran tanaman.
Persiapan yang dilaksanakan untuk menghindari kematian anakan setelah
dicabut adalah mempersiapkan ember berisi kertas koran yang diberi air, agar
anakan yang telah dicabut tersebut tetap mendapatkan kelembaban. Pada
perlakuan puteran anakan yang akarnya masih utuh diselimuti oleh tanah
dimasukan kedalam polibag dan ini dilakukan langsung di lapangan untuk
meminimalisir kerusakan puteran tersebut. Teknik yang dilakukan dalam
penelitian ini ada tiga macam yaitu cabutan langsung, cabutan dengan
penggemburan tanah, dan puteran.
Teknik cabutan langsung adalah mencabut anakan dari tempat tumbuhnya
dengan cara memegang bibit di bagian bawah sedekat mungkin dengan tanah,
kemudian bibit ditarik tegak lurus searah batang (Gambar 2a). Hal tersebut
dilakukan pada tanah yang gembur. Jika media tumbuh tanaman tersebut padat
maka dilakuakan pemberian air terlebih dahulu agar memudahkan proses
pencabutan.
Teknik cabutan dengan penggemburan tanah artinya tanah dari anakan
digemburkan dengan garpu yang dihunjamkan sampai kedalaman ± 25 cm dan
lebar garpu ± 25 cm sebelum anakan tersebut dicabut. Jarak tanaman ke garpu
sekitar 20 cm dan proses pencungkilan dengan garpu dilakukan satu kali saja.
Namun, jika tanahnya belum gembur, pencungkilan bisa dilakukan beberapa kali
di sekeliling anakan tersebut (Gambar 2b).

5

Teknik puteran adalah pengambilan tanaman lengkap dengan tanahnya.
Pengambilan tersebut dilakukan dengan cara menghujamkan golok/pisau ke
dalam tanah, sampai kedalaman ± 20 cm membentuk lingkaran sekeliling anakan
yang akan diambil. Tanah diluar lingkaran tersebut digemburkan agar
mempermudah pengambilan puteran. Jarak antara batang tanaman dengan golok
adalah sekitar 5 cm (membentuk jari jari lingkaran ± 5 cm) (Gambar 2c). Untuk
puteran, tanah yang dipilih adalah tanah yang kompak dan padat karena akan lebih
mudah mendapatkan puteran tanah yang tidak hancur. Teknik-teknik tersebut
berlaku sama untuk tinggi tanaman 2−29 cm maupun yang ≥30 cm.

Gambar 2 Teknik pemanfaatan anakan: (a) cabutan langsung; (b) cabutan dengan
penggemburan tanah; (c) puteran
Pengangkutan
Pengangkutan dilakukan setelah semua tanaman selesai dikumpulkan.
Tanaman dengan teknik cabutan dikumpulkan di dalam ember yang berisi kertas
koran yang sudah dibasahi, karena akar perlu dihindarkan dari sengatan cahaya
matahari (Dahlan 1992), sedangkan tanaman hasil teknik puteran dimasukan ke
dalam polibag di lapangan untuk mengurangi kerusakan hasil puteran tersebut.
Semua tanaman kemudian dikumpulkan dalam gerobak dorong dan dibawa
sampai kepersemaian.

Gambar 3 Hasil teknik pemanfaatan anakan alam puspa: (a) cabutan; (b) puteran
Penyapihan
Waktu penyapihan dilakukan sekitar pukul 15.30 wib, untuk mengurangi
terjadinya penguapan pada anakan. Anakan puspa disapih ke dalam polibag yang
sudah berisi media. Kadang-kadang ditemukan tanaman puspa dengan batang
yang bengkok, dan dalam keadaan demikian maka pada saat penyapihan tanaman
tidak dipaksa diluruskan pada saat penanaman ke dalam polibag karena
dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman tersebut. Setelah 90

6

bibit ditanam dalam polibag, kemudian diberi label dan disusun berdasarkan
rencana layout (Lampiran 1)

Gambar 4 Kegiatan di persemaian: (a) tanah yang digunakan; (b) hasil puteran
dimasukan ke dalam polibag
Pemeliharaan
Pemeliharaan anakan puspa yang telah disusun sesuai layout, disiram 2 kali
sehari setiap pagi pukul 07.00 wib dan sore hari pukul 16.00 wib, (± 44 ml air tiap
polibag) dengan menggunakan alat penyiraman (kapasitas 4 liter) serta
mempertimbangkan kondisi media tanam di dalam polibag. Jika tanah masih
basah maka penyiraman tidak dilakukan.
Pengamatan dan Pengambilan Data
Parameter yang diamati adalah: (1) persentase bibit hidup, bibit hidup
adalah bibit yang masih segar atau yang menunjukkan pertumbuhan daun baru
diakhir masa penelitian (3 bulan). Persentase bibit hidup dihitung dengan rumus:
bibit hidup
% bibit hidup =
X 100%
bibit keseluruhan
(2) tinggi semai, pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan mistar,
mulai dari pangkal batang yang sudah ditandai sebelumnya (± 1 cm di atas media)
hingga titik tumbuh pucuk apikal (ujung dibatang utama). (3) jumlah daun,
pertambahan jumlah daun didapat dari selisih antara jumlah daun diakhir
pengamatan dengan jumlah daun diawal pengamatan. Sebagian tanaman
menunjukkan pertambahan jumlah daun yang negatif (jumlah daun di akhir lebih
sedikit dibandingkan di awal pengamatan) dalam hal ini, untuk keperluan
pengolahan dan analisis data, nilai negatif yang terbesar dianggap sebagai nol (0)
sehingga semua angka aktual tersebut di tambah 26. (4) persentase daun kering,
persentase daun kering yaitu jumlah daun kering yang dihitung setiap empat
minggu dengan menggunakan rumus:
daun kering
X 100%
% daun kering =
daun keseluruhan di awal penelitian untuk tiap tanaman
Daun dikategorikan sebagai daun kering apabila lebih dari 50% luas daun
kering. dan (5) persentase daun gugur. Menghitung persen daun gugur, yaitu
jumlah daun gugur yang dihitung setiap empat minggu dengan rumus:
daun gugur
% daun gugur =
X 100%
daun keseluruhan di awal penelitian untuk tiap tanaman

7

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan faktor teknik pengambilan anakan alam menggunakan 6 perlakuan,
setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman,
sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman.
Masing-masing perlakuan dirinci sebagai berikut:
A1 = cabutan semai dengan tinggi 2−29 cm
A2 = cabutan semai dengan tinggi ≥30 cm
A3 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi 2−20 cm
A4 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi ≥30 cm
A5 = puteran dengan tinggi 2−20 cm
A6 = puteran dengan tinggi ≥30 cm
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dianalisis
dengan menggunakan model linear:
Yik = µ + αi + εik
Yik
= Nilai/respon dari pengamatan pada faktor teknik taraf ke-i dan ulangan
ke-k
µ = Nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan teknik ke-i
εik
= pengaruh acak faktor teknik ke-i dan ulangan ke-k
Analisis Data
Guna mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan sidik ragam dengan uji F.
Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS versi 16, jika:
a. Psig > 0.05, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter
yang diamati
b. Psig ≤ 0.05, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan
uji lanjut Duncan`s Multiple Range Test.

KEADAAN UMUM HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG
WALAT
Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat
Tahun 1951 kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon
damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanami pada tahun 1951−1952
tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar
basecamp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama
dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jendral
Kehutanan Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan
Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jendral
Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada

7

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
(RAL) dengan faktor teknik pengambilan anakan alam menggunakan 6 perlakuan,
setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan, dan satu ulangan adalah satu tanaman,
sehingga jumlah tanaman untuk seluruh perlakuan (6 x 15) menjadi 90 tanaman.
Masing-masing perlakuan dirinci sebagai berikut:
A1 = cabutan semai dengan tinggi 2−29 cm
A2 = cabutan semai dengan tinggi ≥30 cm
A3 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi 2−20 cm
A4 = cabutan semai penggemburan tanah dengan tinggi ≥30 cm
A5 = puteran dengan tinggi 2−20 cm
A6 = puteran dengan tinggi ≥30 cm
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran dianalisis
dengan menggunakan model linear:
Yik = µ + αi + εik
Yik
= Nilai/respon dari pengamatan pada faktor teknik taraf ke-i dan ulangan
ke-k
µ = Nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan teknik ke-i
εik
= pengaruh acak faktor teknik ke-i dan ulangan ke-k
Analisis Data
Guna mengetahui pengaruh perlakuan, dilakukan sidik ragam dengan uji F.
Data diolah dengan menggunakan perangkat lunak statistika SPSS versi 16, jika:
a. Psig > 0.05, maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap parameter
yang diamati
b. Psig ≤ 0.05, maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati. Jika terdapat perbedaan yang nyata maka dilakukan
uji lanjut Duncan`s Multiple Range Test.

KEADAAN UMUM HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG
WALAT
Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat
Tahun 1951 kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon
damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanami pada tahun 1951−1952
tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar
basecamp. Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama
dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jendral
Kehutanan Departemen Pertanian pada tahun 1967 untuk mengusahakan Hutan
Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan. Tahun 1968 Direktorat Jendral
Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada

8

IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh
Fakultas Kehutanan IPB. Pada tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala
Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tanggal 14
Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjukkan
sebagai hutan pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.
SK Mentri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/73 tentang penunjukkan komplek
Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada
tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan Hutan Gunung Walat seluas 359 ha
dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan
dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun
1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh wilayah HPGW telah
berhasil ditanami berbagai jenis tanaman yaitu damar (A. loranthifolia), pinus
(Pinus merkusi), puspa (S. wallichii), kayu afrika (maesopsis eminii), mahoni
(Swietenia macrophylla), rasamala (Altiangia excelsa), sonokeling (Dalbegia
latifolia), gamal (Gliricidae sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti
(Shorea sp.) dan mangium (Acacia mangium). Berdasarkan SK Mentri Kehutanan
No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai
hutan pendidikan, pengelolaan kawasa Hutan Pendidikan Gunung Walat sebagai
hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan atau Balai Latihan (BLK) Bogor. Keputusan
ini mulai berlaku sejak tanggal 24 januari 1993. Status hukum kawasan HPGW
pada tahun 2005 dikuatkan dengan diterbitkannya SK Menhut No. 188/MenhutII/2005, yang menetapkan fungsi hutan kawasan HPGW sebagai Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada
Fakultas Kehutanan IPB dengan tujuan khusus sebagai Hutan Pendidikan (Badan
Eksekutif HPGW 2009)

Letak dan Posisi Geografis
HPGW secara geografis terletak pada 6°53’35”−6°55’10”LS dan
106°47’50”–106°51’30” BT. Secara administratif, HPGW termasuk dalam
wilayah Kecamatan Cicantayan dan Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi,
Propinsi Jawa Barat. Berdasarkan pembagian wilayah kehutanannya, HPGW
termasuk wilayah BKPH Cikawung, KPH Sukabumi (Damayanti 2003).

Kondisi Vegetasi Hutan Pendidikan Gunung Walat
Kondisi penutupan lahan oleh vegetasi di kawasan HPGW sekitar 75%
adalah hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1951 dengan dominasi jenis
damar (A. dammara), tusam-pinus (P. merkusii), mahoni (S. macrophylla),
beberapa jenis pinus asing (P.oocarpa, P.caribaea, P.insularis), sonokeling (D.
latifolia), rasamala (A. excelsa), cendana (Santalum album), puspa (S. wallichii),
sengon (P. falcataria), jenis-jenis acacia (A. auriculiformis dan A.mangium)
(Buliyansih 2005). Sejak ditunjuk menjadi hutan pendidikan pada tahun 1969
dengan luas 359 ha yang dibagi ke dalam 3 blok yaitu: (1) Blok I yang disebut

9

blok Cikatomas seluas 120 ha; (2) Blok II yang disebut blok Cimenyan seluas 125
ha; dan (3) Blok III yang disebut blok Tangkalok atau Seuseupan seluas 114 ha.
Jenis Tanah dan Topografi
Berdasarkan peta tanah Gunung Walat (1981) skala 1:10.000, tanah Gunung
Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (Latosol merah kekuningan),
Tropodult Tipik (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kuning) dan
Tropopent Lipik (Litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah
yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di
daerah lembah terdapat tanah podsolik (Marwitha 1997).
Gunung Walat merupakan sebagian dari pebukitan yang berderet dari timur
ke barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti
punggung-punggung bukit yang memanjang dan landai dari utara ke selatan. Di
bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat pada titik
triangulasi KQ 2212. Di bagian timur dengan ketinggian 726 m dpl dapat dilihat
pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian lebih dari
500 m dpl, hanya lebih kurang 10% dari bagian selatan berada dibawah
ketinggian tersebut.

Iklim dan Curah Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di HPGW termasuk
iklim tipe B dengan nilai Q 18.42% yaitu daerah basah dengan vegetasi masih
hutan hujan tropika. Berdasarkan data curah hujan tahun 1999 sampai dengan
2004, distribusi curah hujan HPGW DAS Cipeureu, Sukabumi rata-rata tertinggi
jatuh pada bulan Desember yaitu sebesar 453.4 mm dan curah hujan rata-rata
terendah jatuh pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai masing-masing yaitu
sebesar 53.18 mm dan 53.52 mm. Selanjutnya untuk nilai rata-rata bulan basah
diperoleh sebesar 289.56 mm dan rata-rata bulan kering sebesar 53.35 mm
(Laboratorium Pengaruh Hutan Fahutan IPB 2004 diacu dalam Buliyansih 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik perbanyakan anakan alam
puspa sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan
jumlah daun, persentase daun kering (1 bulan, 2 bulan), persentase daun gugur (1
bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.
Ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa teknik
pemanfaatan anakan alam puspa berpengaruh sangat nyata terhadap parameter
pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering 1 bulan, 2
bulan, persentase daun gugur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan. Selain itu, hasil sidik
ragam teknik pemanfaatan anakan alam tidak berpengaruh nyata terhadap
persentase bibit hidup, dan persentase daun kering 3 bulan, kemudian di uji
lanjutkan menggunakan uji Duncan yang akan di bahas pada setiap parameter.

9

blok Cikatomas seluas 120 ha; (2) Blok II yang disebut blok Cimenyan seluas 125
ha; dan (3) Blok III yang disebut blok Tangkalok atau Seuseupan seluas 114 ha.
Jenis Tanah dan Topografi
Berdasarkan peta tanah Gunung Walat (1981) skala 1:10.000, tanah Gunung
Walat termasuk dalam keluarga Tropohumult Tipik (Latosol merah kekuningan),
Tropodult Tipik (Latosol coklat), Dystropept Tipik (Podsolik merah kuning) dan
Tropopent Lipik (Litosol). Tanah latosol merah kekuningan adalah jenis tanah
yang terbanyak, sedangkan di daerah berbatu hanya terdapat tanah litosol, dan di
daerah lembah terdapat tanah podsolik (Marwitha 1997).
Gunung Walat merupakan sebagian dari pebukitan yang berderet dari timur
ke barat. Bagian selatan merupakan daerah yang bergelombang mengikuti
punggung-punggung bukit yang memanjang dan landai dari utara ke selatan. Di
bagian tengah terdapat puncak dengan ketinggian 676 m dpl tepat pada titik
triangulasi KQ 2212. Di bagian timur dengan ketinggian 726 m dpl dapat dilihat
pada titik KQ 2213. Hampir seluruh kawasan berada pada ketinggian lebih dari
500 m dpl, hanya lebih kurang 10% dari bagian selatan berada dibawah
ketinggian tersebut.

Iklim dan Curah Hujan
Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklim di HPGW termasuk
iklim tipe B dengan nilai Q 18.42% yaitu daerah basah dengan vegetasi masih
hutan hujan tropika. Berdasarkan data curah hujan tahun 1999 sampai dengan
2004, distribusi curah hujan HPGW DAS Cipeureu, Sukabumi rata-rata tertinggi
jatuh pada bulan Desember yaitu sebesar 453.4 mm dan curah hujan rata-rata
terendah jatuh pada bulan Juli dan Agustus dengan nilai masing-masing yaitu
sebesar 53.18 mm dan 53.52 mm. Selanjutnya untuk nilai rata-rata bulan basah
diperoleh sebesar 289.56 mm dan rata-rata bulan kering sebesar 53.35 mm
(Laboratorium Pengaruh Hutan Fahutan IPB 2004 diacu dalam Buliyansih 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik perbanyakan anakan alam
puspa sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan
jumlah daun, persentase daun kering (1 bulan, 2 bulan), persentase daun gugur (1
bulan, 2 bulan dan 3 bulan). Hasil sidik ragam dapat dilihat pada Tabel 1.
Ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), menunjukkan bahwa teknik
pemanfaatan anakan alam puspa berpengaruh sangat nyata terhadap parameter
pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, persentase daun kering 1 bulan, 2
bulan, persentase daun gugur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan. Selain itu, hasil sidik
ragam teknik pemanfaatan anakan alam tidak berpengaruh nyata terhadap
persentase bibit hidup, dan persentase daun kering 3 bulan, kemudian di uji
lanjutkan menggunakan uji Duncan yang akan di bahas pada setiap parameter.

10

Tabel 1 Ringkasan hasil sidik ragam teknik pemanfaatan anakan alam puspa
(Schima wallichii (DC.) Korth.)
Perlakuan
Teknik pemanfaatan
anakan alam puspa
Parameter
Persentase bibit hidup
tn
Pertambahan tinggi
**
Pertambahan jumlah daun
**
Persentase daun kering 1B
**
Persentase daun kering 2B
**
Persentase daun kering 3B
tn
Persentase daun gugur 1B
**
Persentase daun gugur 2B
**
Persentase daun gugur 3B
**
**= perlakuan berpengaruh nyata pada taraf uji 99%, tn = perlakuan tidak berpengaruh
nyata
1B = 1 Bulan, 2B = 2 Bulan, 3B = 3 Bulan

Persentase Bibit Hidup
Bibit hidup yaitu bibit yang tumbuh dan berkembang selama pengamatan
dilakukan. Persentase bibit hidup dihitung untuk melihat bagaimana ketahanan
suatu tanaman dalam satu perlakuan selama penelitian dilakukan. Ketersediaan air
di dalam tanah yang semakin berkurang sementara proses metabolisme dan
transpirasi masih terus berlangsung (Slatyer 1967, diacu dalam Dianingsih 1994),
menjelaskan bahwa kekurangan air akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman
dan jika kondisi cukup berat akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut.
Air merupakan bagian terbesar dari jaringan tanaman dan sangat berperan
dalam kehidupan tanaman. Tjondronegoro (1999) menyebutkan bahwa air
merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
dibandingkan dengan faktor lingkungan lainnya, hal ini terbukti karena lebih dari
80% berat basah tanaman terdiri air sehingga ketersediaannya merupakan faktor
pembatas dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sebab air penting
untuk pembelahan dan pembesaran sel.
Teknik pemanfaatan anakan puspa tidak berpengaruh nyata terhadap
persentase bibit hidup pada taraf uji 99% (Tabel 1), dikarenakan tidak ada
perbedaan yang nyata, tapi semua menunjukkan persentase bibit hidup yang tinggi
terhadap teknik pemanfaatan anakan alam puspa. Hal ini menunjukkan bahwa
semua teknik yang digunakan dilihat dari persentase bibit hidup baik digunakan
untuk pemanfaatan anakan alam puspa (Gambar 5).

Persentase bibit hidup (%)

11

a

a

100

a

a

a

A4

A5

A6

a

90
80
70
60
A1

A2

A3
Teknik

Gambar 5 Persentase bibit hidup pada teknik pemanfaatan anakan alam puspa
(Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti
tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan
tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman
≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan
tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan penggemburan
tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan
tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman
≥30 cm)
Pertambahan Tinggi
Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran yang dapat diukur, misalnya
saja tinggi merupakan pertambahan kesatu arah (Salisbury dan Ross 1995),
sehingga pengukuruan tinggi dapat digunakan untuk mengetahui bagaimana
faktor lingkungan mempengaruhi tanaman. Teknik perbanyakan anakan alam
sangat berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi pada taraf uji 99% (Tabel
1). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan A6 yaitu teknik
putaran dengan tinggi ≥30 cm memberikan respon pertumbuhan yang tinggi dan
lebih baik jika dibandingkan dengan teknik lainnya seperti yang tersaji pada
Gambar 6.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik A6 (teknik putaran
dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai rataan pertambahan tinggi yang paling besar
yaitu 3.03 cm, sehingga dapat dikemukakan bahwa A6 sangat berbeda nyata
dengan teknik yang lainnya yang ditunjukkan oleh huruf c. Hal ini dikarenakan
teknik puteran merupakan teknik pemindahan bibit lengkap dengan media
tanahnya (keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK 272/Menhut-V/2004)
sehingga, kerusakan pada sistem perakarannya sangat rendah dibandingkan
dengan teknik yang lainnya. Menurut Mulyana (2010) tinggi tanaman ≥30 cm
sudah memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit, pertumbuhan tanaman
sudah seimbang dan telah melalui proses aklimatisasi. Selain itu, tinggi tanaman
≥30 cm, mempunyai biomassa yang lebih besar, maka mempunyai persediaan air
yang lebih banyak dan lebih tahan terhadap kekeringan.

12

Tinggi (cm)

4.00

c
bc

3.00
2.00

a

ab

abc

ab

1.00
0.00
A1

A2

A3

A4

A5

A6

Teknik

Gambar 6 Pertambahan tinggi tanaman pada teknik pemanfaatan anakan alam
puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan
dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi
tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah
dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan
penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik
puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan
tinggi tanaman ≥30 cm)

Pertambahan jumlah Daun
Daun berfungsi sebagai organ utama fotosintesis pada tumbuhan karena
paling banyak mengandung klorofil sehingga daun sangat diperlukan untuk
penyerapan dan pengubahan energi cahaya menjadi energi kimia untuk
pertumbuhan (Gardner et al. 1991). Pengamatan daun sangat diperlukan selain
sebagai indikator pertumbuhan juga sebagai data penunjang untuk menjelaskan
proses pertumbuhan yang terjadi (Sitompul dan Guritno 1995). Berdasarkan
ringkasan hasil sidik ragam (Tabel 1), teknik perbanyakan anakan puspa
berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun pada taraf uji 99%. Hasil
uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30
cm dan teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm memiliki respon yang baik
untuk pertambahan jumlah daun dibandingkan dengan teknik lainnya, seperti yang
tersaji pada Gambar 7.
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa rataan jumlah daun yang
paling tinggi adalah perlakuan A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm) dengan
nilai 26.60 dan perlakuan A5 (teknik puteran dengan tinggi 2−29 cm) dengan nilai
25.40, sedangkan untuk perlakuan A1 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman
2-29 cm), A2 (cabutan langsung dengan tinggi tanaman ≥30 cm), A3 (cabutan
dengan penggemburan dengan tinggi tanaman 2-29 cm) dan A4 (cabutan dengan
penggemburan dengan tinggi ≥30 cm) memiliki nilai yang rendah terhadap
pertambahan jumlah daun. Hal ini membuktikan bahwa pada teknik puteran,
terdapat ketersediaan air yang cukup pada perakaran, sehingga transpirasi tidak
terjadi secara berlebihan dan akibatnya tanaman tidak banyak merontokan daun
sedangkan perlakuan lainnya mengalami kekurangan air yang mengakibatkan
rontoknya daun sebagai akibat gangguan secara fisiologis. Bila transpirasi

13

Jumlah daun (helai)

berlebihan yang tidak seimbang dengan aliran air yang masuk, maka jaringan
akan kehilangan turgiditasnya, tumbuhan menjadi layu atau bahkan mengering
dan mati (Salisbury dan Ross 1995).
b

b

30
a

a

a

a

20
10
0
A1

A2

A3

A4

A5

A6

Teknik

Gambar 7 Pertambahan jumlah daun pada setiap teknik pemanfaatan anakan alam
puspa (Schima wallichii). Perlakuan yang memiliki huruf yang sama
berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan
dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi
tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah
dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan
penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik
puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan
tinggi tanaman ≥30 cm)
Persentase Daun Kering
Penyebab terjadinya daun menjadi kering salah satunya adalah karena
kurangnya air yang tersedia sehingga tanaman mengeringkan atau merontokan
daun untuk mengurangi penguapan yang terjadi. Teknik pemanfaatan anakan
puspa berpengaruh nyata terhadap persentase daun gugur pada bulan pertama (1
bulan) dan bulan kedua (2 bulan), sedangkan pada bulan ketiga (3 bulan),
persentase daun gugur tidak berpengaruh nyata terhadap pemanfaatan anakan
alam puspa (Tabel 1).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa untuk bulan pertama (1
bulan) dan bulan kedua (2 bulan) nilai tertinggi persentase daun kering
ditunjukkan oleh teknik A2 (cabutan langsung dengan tinggi ≥30 cm) dengan nilai
21.01% dan 26.41%, sehingga A2 merupakan teknik yang menghasilkan daun
kering yang tertinggi dibandingkan teknik lainnya. Hal ini dikarenakan
kemampuan metabolisme bibit dalam merespon kekeringan berbeda pada setiap
individunya (Permata 2009). Air seringkali membatasi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Respon tanaman terhadap kekurangan air relatif terhadap
aktivitas metabolismenya, morfologinya, tingkat pertumbuhannya dan potensial
hasil panennya (Gardner et al. 1991).

Persentase daun kering
(%)

14

b

30
b
20

a a
10

a

1 Bulan

a

a

a
a

a

a a

A5

A6

2 Bulan

0
A1

A2

A3

A4
Teknik

Gambar 8 Persentase daun kering untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam
puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.). Perlakuan yang memiliki huruf
yang sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf uji 99%. (A1 = teknik
cabutan dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A2 = teknik cabutan dengan
tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik cabutan dengan penggemburan
tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A4 = teknik cabutan dengan
penggemburan tanah dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A5 = teknik
puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm; A6 = teknik puteran dengan
tinggi tanaman ≥30 cm)

Persentase Daun Gugur
Proses gugurnya daun atau absisi, terjadi karena adanya peningkatan
konsentrasi asam absisat pada suatu pangkal daun. Hormon ini menstimulus
lepasnya daun dari batang tempat dia melekat. Konsentrasi absisat ini sangat
bergantung pada konsentrasi air pada tubuh tumbuhan. Ketika konsentrasi air
rendah, jumlah asam absisat akan meningkat dan menyebabkan daun-daun
berguguran (Mulyani 2006).
Berdasarkan ringkasan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa persentase daun
gugur berpengaruh nyata setiap bulannya yaitu 1 bulan, 2 bulan, dan 3 bulan.
Hasil uji lanjut Duncan persentase daun gugur nilai terendah terlihat pada A5
(puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm) dan A6 (puteran dengan tinggi tanaman
≥30 cm) seperti yang dapat dilihat pada Gambar 9. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pada teknik A5 dan A6 memiliki air yang tersedia pada tanaman sehingga
terjadi rendahnya pengguguran daun. Rontoknya daun sebagai mekanisme untuk
beradaptasi dikarenakan ketersedian air yang minim dapat memicu penimbunan
asam absisat sehingga mengakibatkan daun gugur (Permata 2009).
Gugurnya daun dapat mengurangi luasan transpirasi tanaman, dengan
demikian akan mengurangi hilangnya air dari tanaman (Jones et al 1981, diacu
dalam Dedywiryanto 2006). Selain itu, air yang tersimpan di dalam tanah
(kapasitas lapang) pada titik pelayuan permanen tidak dapat diserap oleh tanaman
(air yang tersedia) (Gardner er al. 1991). Titik pelayuan permanen terjadi karena
terjadinya plasmolisis. Plasmolisis adalah suatu proses lepasnya protoplasma dari

15

Persentase daun gugur (%)

dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury dan
Ross 1995).

60

c

c

b

c b
c

b
bc c

bcbc

b

40
a
a

20

a

a

a

a

1 Bulan
2 Bulan
3 Bulan

0
A1

A2

A3
A4
Teknik

A5

A6

Gambar 9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam
puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur.
Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29
cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik
cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm;
A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi
tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm;
A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pertambahan tinggi dan
pertambahan jumlah daun, teknik A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm)
memiliki nilai yang tinggi dan untuk persentase daun kering dan persentase daun
gugur memiliki nilai yang rendah sehingga teknik A6 yang paling baik digunakan
untuk teknik pemanfaatan anakan alam. Selain itu, untuk persentase bibit hidup
tidak ada yang berbeda nyata pada taraf uji 99%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi kerja karena secara umum
keenam teknik perlakuan memperlihatkan efektifitas yang sama tetapi dalam
penelitian ini efisiensi kerja belum diukur. Selain itu juga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh teknik perlakuan terhadap bibit setelah
ditanam di lapangan.

15

Persentase daun gugur (%)

dinding sel yang diakibatkan keluarnya sebagian air dari vakuola (Salisbury dan
Ross 1995).

60

c

c

b

c b
c

b
bc c

bcbc

b

40
a
a

20

a

a

a

a

1 Bulan
2 Bulan
3 Bulan

0
A1

A2

A3
A4
Teknik

A5

A6

Gambar 9 Persentase daun gugur untuk setiap teknik pemanfaatan anakan alam
puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) terhadap persentase daun gugur.
Perlakuan yang memiliki huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata
pada taraf uji 99%. (A1 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman 2−29
cm; A2 = teknik cabutan dengan tinggi tanaman ≥30 cm; A3 = teknik
cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi tanaman 2−29 cm;
A4 = teknik cabutan dengan penggemburan tanah dengan tinggi
tanaman ≥30 cm; A5 = teknik puteran dengan tinggi tanaman 2−29 cm;
A6 = teknik puteran dengan tinggi tanaman ≥30 cm)

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam hal pertambahan tinggi dan
pertambahan jumlah daun, teknik A6 (teknik puteran dengan tinggi ≥30 cm)
memiliki nilai yang tinggi dan untuk persentase daun kering dan persentase daun
gugur memiliki nilai yang rendah sehingga teknik A6 yang paling baik digunakan
untuk teknik pemanfaatan anakan alam. Selain itu, untuk persentase bibit hidup
tidak ada yang berbeda nyata pada taraf uji 99%.

Saran
Perlu dilakukan penelitian mengenai efisiensi kerja karena secara umum
keenam teknik perlakuan memperlihatkan efektifitas yang sama tetapi dalam
penelitian ini efisiensi kerja belum diukur. Selain itu juga perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh teknik perlakuan terhadap bibit setelah
ditanam di lapangan.

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM
PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth)
DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI

FITRI APRIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

16

DAFTAR PUSTAKA
Buliyansih A. 2005. Penilaian dampak kebakaran terhadap makrofauna tanah
dengan metode forest health monitoring [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Jakarta (ID): Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Damayanti EK. 2003. Pengelolaan hutan secara lestari berbasiskan tumbuhan
obat: studi kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, IPB [tesis]. Bogor
(ID): Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Dedywiryanto Y. 2006. Respon bibit dan kajian karakter ketahanan terhadap
cekaman kekeringan pada kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.) [skripsi].
Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Dianingsih M.G.A. 1994. Pengaruh stres kekurangan air dan pemberian nitrogen
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman mangga (Mangifera indica L.)
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
[Badan Eksekutif HPGW] Badan Eksekutif Hutan Pendidikan Gunung Walat.
2009. Rencana Pembangunan Hutan Pendidikan Gunung Walat 2009-2013.
Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
[Fahutan-IPB] Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. 1978. Pola Umum
Pembangunan HPGW. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Firmansyah K. 2006. Pertumbuhan alami puspa (Schima wallichii (DC) Korth)
pada lahan bekas terbakar di HTI PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Utara
[skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Fitter AH, Hay RKM. 1991. Fisiologi Tanaman. Andani S, Perbayanti ED,
penerjemah. Srigandono B, editor. Semarang (ID): UGM Pr. Terjemahan
dari: Enviromental Physiology of Plants.
Gardner FP, Pearce RB, Roger LM. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Herwatisusilo, penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari:
Physiology of Crop Plants.
Indriyanto. 2008. Pengantar Budidaya Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara
Martawijaya A, Kartasudjana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas
Kayu Indonesia Jilid II. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hutan, Departemen Kehutanan.
Marwitha J. 1997. Penerapan sistem informasi geografis untuk mendukung
kegiatan perencanaan dan pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor.
Mulyana D, Asmarahman C. 2010. 7 Jenis Kayu Penghasil Rupiah. Jakarta (ID):
Agromedia Pustaka.
Mulyani Sri. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta (ID): Kunisius.
Permata FW. 2009. Pengaruh bahan penahan air aquasorb terhadap pertumbuhan
Jati [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Salisbury B, Cleon R. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 1. Lukman DR,
Sumaryono, penerjemah; Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
Terjemahan dari: Plant Physiology.

17

Sitompul S.M, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta
(ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Tjondronegoro PD, Said H, Hamim. 1999. Fisiologi Tumbuhan Dasar. Bogor
(ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Widodo A. 2003. Permasalahan dan Pengendalilan Kebakaran Hutan di
Indonesia. Review Hasil Litbang. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan, Departemen Kehutanan.

TEKNIK PEMANFAATAN ANAKAN ALAM
PUSPA (Schima wallichii (DC) Korth)
DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT (HPGW), SUKABUMI

FITRI APRIANTI

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Teknik Pemanfaatan
Anakan Alam Puspa (Schima wallichii (DC.) Korth.) di Hutan Pendidikan
Gunung Walat (HPGW), Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang