Species Identification of Meloidogyne on Carrot in Cianjur, West Java

IDENTIFIKASI SPESIES Meloidogyne PADA TANAMAN WORTEL
(Daucus carota L.) DI KAWASAN AGROPOLITAN CIANJUR,
JAWA BARAT

HALIMAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Spesies
Meloidogyne pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) di Kawasan
Agropolitan Cianjur, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013

Halimah
NIM A352100021

4

RINGKASAN
HALIMAH. Identifikasi Spesies Meloidogyne pada Tanaman Wortel
(Daucus carota L.) di Kawasan Agropolitan Cianjur, Jawa Barat. Dibimbing oleh
SUPRAMANA dan GEDE SUASTIKA
Nematoda puru akar (NPA), Meloidogyne spp. telah dilaporkan menjadi
penyebab umbi bercabang pada wortel di beberapa sentra produksi sayuran di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyakit ini menyebabkan penurunan kualitas dan
kuantitas umbi sehingga menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi petani.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies Meloidogyne (NPA) yang

berasosiasi dengan penyakit umbi bercabang pada wortel dan untuk mengetahui
tingkat kekerabatan spesies NPA yang menginfeksi pertanaman wortel di Cianjur,
Jawa Barat dengan spesies Meloidogyne yang sudah dilaporkan sebelumnya
menggunakan data sekuen yang ada di Genbank.
Sampel wortel dikoleksi dari pertanaman wortel Agropolitan Cianjur, Jawa
Barat kemudian dilakukan pengidentifikasian di Laboratorium Nematologi
Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Identifikasi NPA dilakukan berdasarkan pengamatan ciri
morfologi nematoda betina dewasa dan amplifikasi DNA dengan primer spesifik.
DNA nematoda diekstraksi dari nematoda betina dan diamplifikasi melalui
polymerase chain reaction (PCR) menggunakan primer spesifik spesies (Rjav/
Fjav untuk M. javanica, Rar/ Far untuk M. arenaria dan Rinc/ Finc untuk M.
incognita) dan multipleks (M. hapla, M. chitwoodi dan M. fallax). Sekuensing
nukleotida dilakukan terhadap DNA hasil PCR tanpa melalui proses kloning.
Pengamatan di lapangan menunjukkan terdapat tiga tipe gejala umbi akibat
infeksi NPA diantaranya umbi bercabang, umbi pendek membulat dan umbi
pecah. Di samping itu, letak puru pada akar wortel juga dapat dibedakan menjadi
tiga yaitu puru menempel pada permukaan umbi wortel, puru bulat membesar dan
akar rambut (hairy root). Hasil identifikasi pola sidik pantat NPA (perineal
pattern) ada empat spesies Meloidogyne yang ditemukan menginfeksi pertanaman

wortel di lokasi pengambilan sampel yaitu M. arenaria, M. incognita, M. javanica
dan M. hapla.
Hasil analisis pohon filogenetik memperlihatkan bahwa M. javanica asal
Cianjur, Jawa Barat berkerabat sangat dekat dengan M. javanica isolat asal Cina
dengan tingkat homologi mencapai 91.9%. Nematoda M. hapla asal Cianjur, Jawa
Barat mempunyai sekuen nukleotida yang relatif tidak berbeda dibanding dengan
isolat-isolat dari negara lain.
Kata kunci: filogenetik, Meloidogyne hapla, M. javanica, nematoda puru akar

6

SUMMARY
HALIMAH. Species Identification of Meloidogyne on Carrot in Cianjur,
West Java. Supervised by SUPRAMANA and GEDE SUASTIKA.
Root knot nematodes (RKN), Meloidogyne spp., has been reported as the
cause of carrot branched tuber on several vegetable production centers in Central
and East Java. The disease caused the reduction of the quantity and quality of the
tubers and lead to significant yield losses.
This research aimed to identify species of Meloidogyne that associate with
carrot branched tuber diseases and determined relationship of RKN species in

Cianjur, West Java with Meloidogyne species in Genbank.
Samples were collected from Agropolitan Cianjur, West Java then identified
at Laboratory of Plant Nematology and Plant Virology, Faculty of Agriculture,
Bogor Agriculture University. RKN identification was done by observing
morphological characters of female nematode and by DNA amplification using
specific primers.
DNA was extracted from female nematodes and amplified through PCR
using species specific primers (Fjav/ Rjav for M. javanica, Far/ Rar for M.
arenaria and Finc/ Rinc for M. incognita) and multiplex primer (M. hapla, M.
chitwoodi and M. fallax). Nucleotides of PCR results were sequenced without
cloning process.
Field observation showed that there were three types of tuber symptoms
caused by RKN infection, that were branched tubers, short bulb and break tubers.
In addition, location of galls on root of carrot also divided into three types, i.e.
attached on tuber surface, enlarged bulb gall and hairy roots. Based on perineal
pattern, four Meloidogyne spesies were identified namely M. arenaria, M. hapla,
M. incognita, and M. javanica.
Phylogenetic analysis showed that M. javanica from Cianjur, West Java
related closely to China isolate with the homology level of 91.9%. Whereas M.
hapla from Cianjur, West Java had nucleotide sequence which was relatively not

different from isolates of other countries.
Keyword: Meloidogyne hapla, M. javanica, phylogenic, root knot nematode

8

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10

IDENTIFIKASI SPESIES Meloidogyne PADA TANAMAN
WORTEL (Daucus carota L.) DI KAWASAN AGROPOLITAN
CIANJUR, JAWA BARAT


HALIMAH

Tesis
sebagai salah syarat untuk dapat memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

12

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abdul Munif MScAgr

Judul Tesis


Nama
NRP

: Identifikasi Spesies Meloidogyne Pada Tanaman Wortel
(Daucus carota L.) di Kawasan Agropolitan Cianjur,
Jawa Barat
: Halimah
: A352100021

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Supramana MSi
Ketua

Dr Ir Gede Suastika MSc
Anggota

Diketahui oleh
Ketua Program Studi Fitopatologi


Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat MSc

Dr Ir Dahrul Syah MScAgr

Tanggal Ujian: 8 November 2013

Tanggal Lulus:

14

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohim,
Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Identifikasi Spesies
Meloidogyne pada Tanaman Wortel (Daucus carota L.) di Kawasan
Agropolitan Cianjur, Jawa Barat”. Tesis disusun sebagai salah satu syarat

untuk dapat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi
Sekolah Pascasarjana IPB.
Dalam penyelesaian tesis penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Ir Supramana MSi selaku ketua komisi pembimbing.
2. Dr Ir Gede Suastika MSc selaku komisi pembimbing.
3. Dr Ir Abdul Muin Adnan MSi selaku ketua Lab. Nematologi Tumbuhan.
4. Dr Ir Hendrastuti Hidayat MSc selaku ketua Lab. Virologi Tumbuhan.
5. Gatut Heru Bromo selaku laboran di Lab. Nematologi Tumbuhan.
6. Mbak Tuti selaku laboran di Lab. Virologi Tumbuhan.
7. Rekan-rekan Fitopatologi 2010.
8. Rekan-rekan di Lab. Nematologi Tumbuhan.
9. Dan rekan-rekan yang tidak disebutkan terima kasih atas persahabatan dan
kerja samanya.
Terakhir, penulis menyampaikan terima kasih kepada ibunda Aisyah
Harahap, ayahanda Djarkasih Siregar (alm), kakanda Rosnani Siregar,
Muhammad Arsyad Nasution dan keluarga penulis atas doa, kasih sayang dan
dukungannyakepada penulis untuk menjadi manusia yang berpendidikan.
Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di masa yang akan datang.


Bogor, 30 September 2013

Halimah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Hipotesis
Manfaat Penelitian

1
2
2
2

TINJAUAN PUSTAKA

Wortel
Nematoda Puru Akar
Klasifikasi Nematoda Puru Akar
Biologi NPA
Gejala Penyakit
Identifikasi Morfologi Spesies Meloidogyne
Identifikasi Sekuen Nukleotida Spesies Meloidogyne
Amplifikasi DNA dengan PCR
Perunutan DNA

3
4
4
4
7
8
9
9
10

BAHAN DAN METODE
Tampat dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Pengamatan Gejala Penyakit Tanaman
Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Morfologi
Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Sekuen Nukleotida

11
11
11
12
13

HASIL DAN PEMBAHASAN
Survei dan Gejala Penyakit Nematoda Puru Akar
Tipe Gejala NPA pada Umbi Wortel
Spesies Meloidogyne Berdasarkan Morfologi
Spesies Meloidogyne Berdasarkan PCR dan Sekuen Nukleotida

16
17
18
19

SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

16

DAFTAR TABEL

1

Primer yang digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne
asal Cianjur, Jawa Barat ................................................................................. 14

2

Amplifikasi fragment ITS-rDNA spesies Meloidogyne
menggunakan PCR ......................................................................................... 15

3

Prevalensi distribusi NPA berdasarkan ketinggian tempat Cianjur,
Jawa Barat ...................................................................................................... 19

4

Homologi sekuen nukleotida DNA M. javanica Cianjur, Jawa
Barat dengan sekuen DNA yang ada di GenBank .......................................... 20

5

Homologi sekuen nukleotida DNA M. hapla Cianjur, Jawa Barat
dengan sekuen DNA yang ada di GenBank ................................................... 21

DAFTAR GAMBAR

1

Diagram siklus hidup Meloidogyne spp. .......................................................... 5

2

Sel transfer makanan Meloidogyne .................................................................. 6

3

Gejala penyakit nematoda puru akar ................................................................ 7

4

Morfologi pola sidik pantat (perineal pattern) Meloidogyne betina................ 8

5

Prosedur pembuatan preparat sidik pantat Meloidogyne ............................... 13

6

Gejala penyakit NPA pada pertanaman wortel di Cianjur, Jawa Barat ......... 16

7

Gejala umbi wortel yang terinfeksi NPA ....................................................... 17

8

Letak puru pada perakaran wortel .................................................................. 18

9

Hasil identifikasi pola sidik pantat NPA ........................................................ 19

10 Hasil amplifikasi DNA Meloidogyne isolat Cianjur, Jawa Barat
menggunakan primer spesifik ........................................................................20
11 Pohon filogenik spesies M. javanica yang menginfeksi pertanaman
wortel di Cianjur, Jawa Barat .........................................................................20
12 Pohon filogenik spesies Meloidogyne hapla yang menginfeksi
pertanaman wortel di Cianjur, Jawa Barat ......................................................22

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Wortel merupakan tanaman sayuran berumbi yang banyak dikembangkan di
Indonesia terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan sayur. Namun demikian,
dengan berkembangnya teknologi pangan serta semakin pesatnya kemajuan
bidang kesehatan, kini wortel dimanfaatkan sebagai bahan minuman, pewarna
makanan dan sebagai ramuan obat tradisional. Sejalan dengan peningkatan
kebutuhan wortel di Indonesia, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi
wortel dalam negeri. Menurut catatan Badan Pusat Statistik produksi wortel di
Indonesia dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat. Pada tahun 2009 produksi
wortel tercatat 358 014 ton dengan luas 24 095 ha, tahun 2010 dan 2011
meningkat menjadi 403 827 ton dengan luas 27 149 ha dan 526 917 ton dengan
luas 33 228 ha (BPS 2012).
Budidaya tanaman wortel di Indonesia memiliki berbagai kendala yang
berkaitan dengan produktivitas dan kualitas hasil panen. Selama periode antara
2009 dan 2011 terjadi penurunan produktivitas di beberapa sentra produksi wortel
di Indonesia seperti Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara yaitu
masing-masing dari 19.39 ton/ ha menjadi 17.19 ton/ ha, 21.20 ton/ ha menjadi
18.72 ton/ ha dan 12.63 ton/ ha menjadi 6.24 ton/ ha (BPS 2012).
Beberapa penyakit pada tanaman wortel yang telah dilaporkan adalah
penyakit Aster yellow (fitoplasma dan spiroplasma) (Gera et al. 2011; Roger et
al. 2011), penyakit hawar daun (Cercospora carotae, Alternaria dauci), busuk
sklerotinia (Sclerotinia), busuk mahkota (Rhizoctonia carotae), bercak berongga
pada wortel (Phytium violae) (David dan Raid 2002), Crown gall (Agrobacterium
tumefaciens), Carrot virus Y (CarVY) (Latham et al. 2004) dan puru akar
(Meloidogyne spp.) (McDonald et al. 2008).
Penyakit puru akar merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh
nematoda puru akar (NPA). NPA banyak merusak tanaman pertanian di Indonesia
(Mustika 2010) dan juga negara lain terutama tanaman wortel (Anwar dan
McKenry 2010). Selain itu, NPA juga dapat berinteraksi dengan patogen tanaman
lainnya yang mengakibatkan kerusakan semakin meningkat (Widmer et al. 1999).
Meloidogyne spp. merupakan penyebab penyakit umbi bercabang pada
wortel. Kehilangan hasil akibat infeksi NPA dilaporkan sebesar 15% hingga 95%
(Kurniawan 2010). Di negara lain misalnya Amerika Serikat (Gugino et al. 2006),
Eropa (Wesemael et al. 2011), Brazil (Charchar et al. 2009) dan Turki (Devran
dan Sogut 2009) NPA juga merupakan patogen penting dalam budidaya wortel.
Ada empat spesies Meloidogyne (M. arenaria, M. javanica, M. incognita
dan M. hapla) penyebab umbi bercabang pada wortel dilaporkan telah
menginfestasi sentra pertanaman wortel di Indonesia, diantaranya Jawa Tengah
(Dieng, Wonosobo, Banjarnegara, Semarang dan Magelang) (Taher et al. 2012;
Pradika 2012) dan Jawa Timur (Kota Batu) (Hikmia et al. 2012).
Saat ini teknik untuk keperluan identifikasi nematoda dengan cepat dan
akurat telah dikembangkan.Teknik identifikasi secara cepat tersebut menggunakan
pendekatan biologi molekuler, salah satu metodenya adalah polymerase chain
reaction (PCR). Metode ini berbasis pada struktur asam nukleat, misalnya

2
(internal transcribed spacer) ITS rRNA sebagai dasar untuk mengarakterisasi dan
mengidentifikasi patogen tanaman.
ITS adalah suatu urutan RNA dari proses transkripsi utama yang berada
antar prekusor ribosomal subunit. Organisme eukaryotik mempunyai dua daerah
ITS; ITS 1 terletak di antara gen 18S dan gen 5.8S, dan ITS 2 terletak di antara
gen 5.8S dan 28S. Daerah ITS biasanya mengalami perubahan atau mutasi
sehingga dapat berbeda atau bervariasi di antara spesies (Mulyatni et al. 2011).
Analisis filogenetik DNA atau sekuen nukleotida menjadi salah satu pilihan
penting untuk mempelajari sejarah evolusi organisme. Analisis filogenetik juga
penting untuk mengklasifikasi organisme dan mempelajari hubungan
kekerabatannya pada tingkat molekuler (Nei dan Kumar 2000).
Tujuan Penelitian
1.
2.

Mengidentifikasi spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan penyakit
umbi bercabang pada wortel.
Mengetahui tingkat kekerabatan spesies Meloidogyne yang menginfeksi
tanaman wortel di Cianjur, Jawa Barat dengan spesies Meloidogyne dari
negara lain.
Hipotesis Penelitian

1.
2.

Terdapat beberapa spesies Meloidogyne yang berasosiasi dengan penyakit
umbi bercabang pada wortel.
Variasi sekuen nukleotida pada daerah ITS dari DNA ribosomal dapat
digunakan untuk melihat tingkat kekerabatan spesies Meloidogyne.
Manfaat Penelitian

1.
2.
3.

Informasi ini dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan strategi
pengendalian penyakit yang lebih efektif.
Memberikan informasi tentang spesies NPA penyebab penyakit umbi
bercabang pada wortel.
Metode deteksi pada penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman deteksi
organisme pengganggu tumbuhan dari golongan nematoda.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Wortel
Pada awalnya, wortel merupakan tumbuhan liar tumbuh di Eropa dan Asia
yang digunakan sebagai tanaman obat. Sebelum tahun 900, wortel dibudidayakan
di Afganistan yang dianggap sebagai pusat keanekaragaman utama, kemudian
tahun 1100-an wortel tersebar ke Eropa, Mediterania, dan Asia dimana Turki
diakui sebagai pusat keanegaraman kedua (Grubben dan Denton 2004; Stolarczyk
dan Janick 2011).
Bangsa Eropa memiliki budaya pekarangan yang dianggap mempunyai nilai
magis. Hal ini terus berlangsung dengan masuknya bangsa Eropa ke Indonesia.
Kedatangan dan menetapnya mereka di Indonesia sehingga dikembangkan
sayuran Eropa di dataran tinggi, seperti kentang, kubis, wortel, dan lain-lain.
Daerah pertama yang digunakan untuk budidaya wortel adalah Jawa Barat yaitu
Lembang dan Cipanas, selanjutnya menyebar ke daerah sentra sayuran lainnya di
Jawa dan luar Jawa. Berdasarkan data BPS (2012) tercatat bahwa luas pertanaman
wortel di Indonesia tahun 2011 mencapai 33 228 ha yang tersebar di 24 Provinsi
yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Bengkulu,
Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi
Utara, Bali, NTB, Aceh, Sulawesi Tengah, NTT, Papua, Banten, Sulawesi
Tenggara, Papua Barat dan Maluku (BPS 2012).
Wortel termasuk jenis sayuran semusim berbentuk semak (perdu). Dalam
sistematika tumbuh-tumbuhan, klasifikasi tanaman wortel adalah sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Class
: Dicotyledonae
Ordo
: Umbelliferales
Famili
: Umbelliferae/ Apiaceae (Simon dan Golman 2007).
Genus
: Daucus
Species
: Daucus carota L.
Wortel merupakan tanaman tropis dan subtropis yang tumbuh di daerah
relatif dingin. Suhu optimum untuk memperoleh wortel kualitas tinggi, berkisar
antara suhu 16 ºC hingga 21ºC (Hunez et al. 2008). Jika suhu di atas 21oC umbi
wortel cenderung pendek dan baunya lebih kuat. Sebaliknya, di bawah suhu 16 oC
umbi wortel cenderung lebih panjang dan kecil (David dan Raid 2002).
Penanaman wortel dianjurkan pada tanah yang subur, gembur dan kaya
humus dengan pH antara 5.5 hingga 6.5. Namun, wortel sering dibudidayakan
pada tanah berpasir (Grubben dan Denton 2004). Menurut Hunez et al. (2008) tipe
tanah yang sesuai bagi pertumbuhan wortel adalah lempung berdebu.
Beberapa penyakit yang menginfeksi wortel, yaitu penyakit busuk hitam
(Alternaria radicina) (Davis dan Raid 2002), busuk mahkota (Rhizoctonia solani),
busuk Fusarium (Fusarium spp.), Penyakit puru akar (Meloidogyne spp.) (Brown
1950), penyakit kudis (Streptomyces scabies), Carrot virus Y, busuk Yeast
(Candida sp.), penyakit hairy root (Phytoplasma) dan busuk akar Phytophthora
(Phytophthora megasperma) (David dan Raid 2002).

4
Nematoda yang menyerang tanaman wortel yaitu Meloidogyne spp. (Simon
dan Golman 2007), Trichodorus spp., Heterodera carotae dan Longidorus
africanus (Hunez et al. 2008).
Nematoda Puru Akar
Klasifikasi Nematoda Puru Akar (NPA)
Spesies Meloidogyne dikenal dengan “root-knot nematode atau nematoda
puru akar”. Kata Meloidogyne berasal dari bahasa Yunani yang artinya betina
berbentuk apel (apple-shaped female). Meloidogyne merupakan nematoda
endoparasit obligat yang bersifat menetap (sedentary). Nematoda ini adalah
endoparasit akar dan patogen penting pada berbagai spesies tanaman di dunia
(Dropkin 1991).
Klasifikasi Meloidogyne spp. berdasarkan Decraemer dan Hunt (2006)
terdiri atas:
Kingdom
: Metazoa
Filum
: Nematoda
Class
: Chromadorea
Ordo
: Tylenchida
Subordo
: Tylenchina
Infraordo
: Tylenchomorpha
Superfamili
: Tylenchoidea
Famili
: Meloidogynidae
Subfamili
: Meloidogyninae
Genus
: Meloidogyne
Meloidogyne spp. merupakan nematoda penyebab penyakit tanaman
(phytonematodes) paling dikenal di seluruh dunia karena gejala pada bagian akar
menonjol dan spesifik yakni menyebabkan puru pada akar tanaman. Hingga saat
ini, sekitar 100 spesies Meloidogyne yang telah dideskripsikan (Mitkowski et al.
2002). Enam spesies diantaranya menjadi perhatian utama karena dapat
menurunkan produksi tanaman wortel dan merugikan secara ekonomi, yaitu M.
incognita, M. javanica, M. arenaria, M. hapla, M. chitwoodi, dan M. fallax
(Adam et al. 2007).
Biologi NPA
Siklus Hidup. Pada dasarnya semua spesies Meloidogyne mempunyai
siklus hidup yang sama. Skema siklus hidup Meloidogyne spp. disajikan pada
gambar 1.Tahap pertama siklus hidup Meloidogyne dimulai dari telur. Kulit telur
terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan vitelin, lapisan kitin, dan lapisan glikolipid
(Eisenback dan Hunt 2009). Nematoda betina menghasilkan telur sekitar 500
butir, dikumpulkan dalam massa gelatin terdiri atas glikoprotein yang dihasilkan
pada kelenjar rektal. Kelompok telur berada dalam massa gelatin untuk
melindungi dari lingkungan yang ekstrim, biasanya terdapat pada permukaan puru
atau dalam jaringan puru (Karssen dan Moens 2006; Moens et al. 2009).
Dalam telur terjadi proses embriogenesis, juvenil pertama (J1) berganti kulit
menjadi J2. Suhu mendorong telur untuk menetas kemudian bergerak aktif dan
berpindah secara vertikal hingga jarak antara 40 dan 100 cm dalam tanah dengan
tingkat kelembaban optimal. Juvenil kedua (J2) bergerak menuju ujung akar inang

5
yang sesuai untuk penetrasi dan masuk ke dalam korteks hingga menemukan
feeding site (Moens et al. 2009). Juvenil kedua (J2) mengalami pergantian kulit
menjadi J3, selanjutnya J3 berganti kulit dan berkembang menjadi J4. Pergantian
kulit J4 menjadi tahap akhir dewasa yang dapat membedakan antara jantan dan
betina. Jantan berbentuk seperti cacing, keluar dari akar dan hidup bebas dalam
tanah sedangkan betina terus tumbuh menebal, sedikit memanjang dan berbentuk
seperti buah pir (pyriform) (Agrios 2005; Eisenback dan Hunt 2009).

Gambar 1 Diagram siklus hidup Meloidogyne spp.
(Sumber:http://plpnemweb.ucdavis.edu)

Mekanisme Parasitisme. Nematoda parasit tumbuhan memiliki dua
struktur khusus yaitu stilet dan kelenjar sekresi esofagus yang dibutuhkan untuk
proses parasitisme. Stilet digunakan untuk menusuk dinding sel tanaman.
Heteroderidae memiliki tiga kelenjar sekresi esofagus. Setiap kelenjar adalah
tunggal, sel besar yang dihubungkan pada lumen esofagus nematoda melalui
elaborate valve. Sekresi dari kelenjar esofagus dikeluarkan melalui stilet. Sekresi
tersebut mengandung biokimia pemicu untuk perkembangan sel raksasa sebagai
unsur penting untuk permulaan penetrasi dan berpindah. Selama makan, stilet
ditusukkan menembus dinding sel tanpa merusak membran plasma, dimana
menjadi invaginasi di sekitar stilet. Nematoda menyerap nutrisi dari sitosol sel
terparasit melalui lubang kecil yang dibuat dalam membran plasma pada lubang
stilet. Akumulasi (penumpukan) kallosa antara membran plasma dan dinding sel
disekitar stilet (Gambar 2). Komposisi sekresi stilet menunjukkan adanya protein
dan karbohidrat. Aktivitas enzim, termasuk selulase dan proteinase dapat
dideteksi dalam eksudat dari nematoda (Williamson dan Hussey 1996).
Bagian anterior nematoda ditunjukkan dengan tonjolan stilet melalui
dinding sel tanaman (Gambar 2). Kelenjar sekresi dimulai dari kelenjar esofagus

6
yang mungkin disimpan diluar membran plasma dan mempengaruhi reseptor
membran atau secara langsung diinjeksikan ke dalam sitoplasma terhadap sel
penerima melalui lubang kecil dalam membran plasma pada lubang stilet. Sekresi
dari amphid, organ kemosensori nematoda, diambil pada permukaan dinding sel
dan mungkin memiliki peran dalam interaksi (Williamson dan Hussey 1996).
Kelenjar sekresi

Nematoda
stilet

Amfid
Kelenjar amfidial

Dinding
sel
Reseptor
Membran
plasma

Signal transduksi

Gambar 2 Sel transfer makanan Meloidogyne (Sumber: Williamson dan Hussey
1996)

Juvenil kedua (J2) menginfeksi jaringan tanaman melalui penetrasi dan
menembus dinding sel akar melalui kerusakan fisik dikombinasikan dengan
dorongan dari stilet dan enzim selulitik dan pektolitik. Saliva dikeluarkan untuk
melunakkan isi sel dan bergerak cepat kemudian masuk ke jaringan akar dan
bergerak di dalamnya atau menetap pada permukaan sel akar, dimana sel transfer
makanan akan melayani nematoda. Setelah penetrasi, infeksi terjadi pada akar
yang sama, ujung akar membesar dan pertumbuhan akar sering terhenti untuk
periode yang singkat (Agrios 2005; Karssen dan Moens 2006).
NPA menghasilkan sekresi protease yang dapat mengubah protein dalam
jaringan tanaman menjadi asam amino. Salah satu asam amino yang dihasilkan
yaitu triptofan, diduga bertindak sebagai perangsang terjadinya auksin (IAA). Zat
tumbuh merangsang terjadinya hipertrofi (pertambahan besar sel yang tidak
normal) dan hiperplasia (pertambahan banyak sel yang tidak normal). Hal tersebut
mengakibatkan terjadinya gall atau puru pada akar (Mulyadi 2009).
Pengaruh Faktor Lingkungan. Suhu merupakan faktor lingkungan yang
penting bagi perkembangan dan reproduksi NPA. Secara umum, siklus hidup
terjadi selama 25 hari pada suhu optimum antara 25 oC dan 35 oC, tetapi akan
lebih panjang tergantung pada tinggi rendah suhu lingkungan (Charchar dan Santo
2009; Tsai 2008). Siklus hidup M. hapla berlangsung selama 4 minggu pada suhu
20 oC, pada suhu 10 oC siklus hidupnya lebih lama. M. incognita dapat hidup
selama 25 hari pada suhu antara 25 oC dan 35 oC tanpa makan, tetapi pada suhu
15 oC dapat lebih lama 380 hari (Das et al. 2011). M. javanica memiliki suhu
optimum antara 15 oC dan 35 oC (Evans dan Perry 2009).

7
Tekstur dan struktur tanah berkaitan langsung dengan kapasitas kandungan
air dan aerasi terhadap kehidupan nematoda, penetasan dan kerusakan tanaman.
Tipe tanah dan pH tanah juga mempunyai pengaruh terhadap distribusi nematoda,
munculnya populasi dan tingkat kerusakan tanaman. Prot dan Gundy (1981)
menyatakan bahwa migrasi nematoda berkurang dengan meningkatnya
kandungan lempung di dalam tanah dan migrasi terhenti apabila tanah
mengandung lempung lebih dari 30%.
Gejala Penyakit
Meloidogyne spp. adalah salah satu nematoda parasit pada tanaman wortel
(Agrios 2005). Nematoda ini memiliki kisaran inang yang sangat beragam, lebih
dari 2000 spesies tanaman dan sebagian besar adalah tanaman budidaya
(Opperman et al. 2008). Tanaman wortel yang terinfeksi menunjukkan gejala
kerdil dan rumpun jarang (Taher et al. 2012). Gejala infeksi NPA pada umbi
wortel antara lain malformasi bentuk umbi (Sikora dan Fernandez 2005) dan puru
akar (Gambar 3). Gejala pada bagian tajuk tanaman terkonsentrasi pada titik-titik
tertentu di lahan pertanaman dan mengelompok.

Gambar 3

Gejala penyakit nematoda puru akar; a. Gejala penyakit nematoda puru akar
di pertanaman Agropolitan Cianjur, Jawa Barat; b. Gejala nematoda puru
akar pada umbi wortel

Di Jawa Timur gejala yang ditemukan pada umbi yang terinfeksi NPA
antara lain umbi bercabang, umbi berambut, umbi bercabang berambut (Hikmia et
al. 2012) dan di Jawa Tengah ditemukan umbi bercabang, umbi pendek
membulat, umbi pecah, dan umbi berambut (Taher et al. 2012). Santo et al.
(1988) melaporkan bahwa M. hapla dan M. chitwoodi menyebabkan umbi
pendek, hairy root dan umbi bercabang.
Tanaman terinfeksi NPA memiliki gejala khas berupa hipertropi dan
hiperplasi yaitu pembengkakan jaringan akar yang disebut puru. Puru terjadi
karena adanya perbesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada jaringan
perisikel dan perubahan bentuk pada jaringan pengangkut. Timbulnya puru pada
sistem perakaran merupakan gejala awal asosiasi nematoda dengan akar tersebut.
Puru disebabkan oleh nematoda betina. Tanaman yang telah terinfeksi berat
menyebabkan sistem perakaran mengalami disfungsi secara total, pertumbuhan

8
akar hampir tidak terjadi, fungsi perakaran terhambat dalam menyerap dan
penyaluran air maupun unsur hara ke seluruh bagian tanaman (Mulyadi 2009).
Ukuran dan bentuk puru tergantung pada spesies NPA, jumlah nematoda
dalam jaringan tanaman, jenis inang, dan umur tanaman. Gejala yang disebabkan
M. hapla berbeda dengan yang disebabkan oleh kebanyakan spesies NPA lainnya
yaitu puru kecil, cabang akar banyak terbentuk yang berasal dari jaringan puru
menyebabkan terjadinya suatu sistem akar yang disebut akar rambut (hairy root)
(Netscher dan Sikora 1995).
Meloidogyne sebagai agen peluka jaringan akar tanaman, berpindah secara
interseluler antar sel kortikal hingga menemukan jaringan vaskular dan
membentuk daerah makan (feeding site). Luka tersebut dapat berinteraksi antara
patogen dan nematoda dan sebagai fasilitas masuknya patogen ke dalam jaringan
akar. Misalnya bakteri, beberapa bakteri patogen tumbuhan masuk ke dalam
jaringan tanaman inang melalui lubang alami atau luka. Nematoda menembus dan
memecah sel jaringan inang sehingga menyediakan jaringan nekrotik bagi
perkembangan bakteri kemudian menyerang jaringan sehat. Penyakit layu oleh
Pseudomonas solanacearum pada inang yang beragam menunjukkan peningkatan
pada kejadian penyakit sebagai hasil luka infeksi nematoda (Abawi dan Chen
1998). Selain itu, luka juga memberi kemudahan interaksi antara nematoda dan
cendawan, terutama antara Meloidogyne dan Fusarium (Karssen dan Moens
2006).
Identifikasi Morfologi Spesies Meloidogyne
Identifikasi Meloidogyne berdasarkan ciri morfologi nematoda betina
merupakan metode standar pengidentifikasian dan sering digunakan. Penciri
diagnostik yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi Meloidogyne antara
lain: bentuk tubuh, daerah bibir, panjang stilet, bentuk cone stilet, basal knob dan
pola sidik pantat (Hunt dan Handoo 2009).

Ujung ekor

Lengkung
dorsal
Garis lateral

Gambar 4 Morfologi pola sidik pantat (perineal pattern) Meloidogyne betina
(Sumber: Eisenback et al. 1981)

Pengamatan pola sidik pantat (perineal pattern) merupakan salah satu
teknik identifikasi nematoda yang diperkenalkan oleh Eisenback et al. (1981).
Puru pada akar yang mengandung NPA betina dipilih dan direndam dalam air

9
hingga menjadi lunak (±48 jam) kemudian dibedah. Nematoda betina yang
diperoleh dipotong dan diambil bagian posteriornya. Daerah ini terdiri atas vulva,
anus, ujung ekor, fasmid, garis lateral, striae di sekitar kutikula (Hunt dan Handoo
2009). Bagian perineal (daerah di sekeliling vulva dan anus) nematoda betina
menunjukkan pola ridges dan anulasi untuk tiap-tiap spesies (Gambar 4)
(Eisenback et al. 1981; Mitkowski et al. 2002).
Identifikasi Sekuen Nukleotida Spesies Meloidogyne
Metode identifikasi berdasarkan karakter morfologi memerlukan banyak
keterampilan dan sering tidak meyakinkan untuk penciri suatu spesies karena
mempunyai variasi bentuk dan ukuran dalam suatu populasi. Identifikasi NPA
melalui polymerase chain reaction (PCR) merupakan alternatif deteksi untuk
spesies Meloidogyne (Zijlstra et al. 2000). Analisis DNA telah banyak digunakan
dalam sistematika dan identifikasi nematoda (Qiu et al. 2006). Identifikasi melaui
PCR relatif lebih cepat dibanding dengan identifikasi morfologi.
Metode identifikasi membutuhkan kesensitifan dalam mendeteksi spesies
Meloidogyne. Beberapa teknik molekuler dapat digunakan untuk mengidentifikasi
NPA, seperti random amplified polymorphic DNA (RAPD)-PCR, restriction
fragment length polymorphisms (RFLPs) terhadap mtDNA dari NPA, dan
perbedaan sekuen DNA ribosomal (rDNA) satelit (Zijlstra 1997). PCR memiliki
sensitivitas yang tinggi untuk amplifikasi dan identifikasi DNA (Power dan Harris
1993).
DNA ribosomal mengkode RNA ribosomal. Ribosom adalah makromolekul
intraseluler yang menghasilkan protein atau rantai polipeptida. DNA ribosomal
merupakan bagian genom paling informatif dan bagian yang sering digunakan
untuk studi filogenik. Setiap unit rDNA mengkode gen dengan urutan 5’-18S,
5.8S, 28S-3’. Daerah antara 18S dan 5.8S terdapat ratusan pasang basa yang
disebut internal transcribed spacer 1 (ITS 1), diantara 5.8S dan 28S adalah ITS2
(Blok & Powers 2009).
Primer multipleks yang digunakan disusun dari intergenic spacer (IGS) M.
chitwoodi, M. fallax dan M. hapla daerah 24 dan 25 ribosom. Primer spesifik
didesain dari primer umum yang terletak pada gen 5S yang berlokasi di IGS 2
untuk membedakan spesies M. fallax dan M. chitwoodi. Ketiga primer
multipleks dirancang di IGS 2 dari M. hapla untuk menghasilkan suatu produk
komplementer yang sesuai dengan ukuran yang dihasilkan oleh M. fallax dan M.
chitwoodi (Wishart et al. 2002).
Amplifikasi DNA dengan PCR
PCR merupakan suatu metode enzimatis yang melipatgandakan sekuen
nukleotida secara in vitro, sehingga DNA dalam jumlah kecil dapat diamplifikasi
(Higgs dan Attwood 2005). Proses PCR terdiri atas tiga tahap pengulangan,
pertama yaitu pemisahan untaian DNA (denaturation) dengan inkubasi pada suhu
tinggi (sekitar 95 oC). Kedua penempelan primer (annealing) pada suhu antara 50
o
C dan 60 oC tergantung panjang dan komposisi primer, pembentukan untai DNA
baru (extension) pada suhu antara 65 oC dan 75 oC tergantung pada enzim DNA
polimerase yang digunakan (Harris et al. 1990).

10
Metode identifikasi DNA berdasarkan PCR sudah pernah dilakukan oleh
Cenis (1993) melalui random amplified polymorphic DNA (RAPD) dari larva
nematoda. Pada percobaan tersebut berhasil diamplifikasi pita spesies diagnostik
dengan beberapa pita minor. Karajeh et al. (2010) berhasil mengidentifikasi
Meloidogyne incognita, M. javanica dan M. arenaria menggunakan sequence
characterized amplified region PCR (SCAR-PCR) dan RAPD-PCR terhadap
DNA yang diekstraksi dari telur dan betina nematoda. Sekora et al. (2010) juga
telah berhasil mengidentifikasi spesies Meloidogyne dengan analisis fatty acid
methyl ester (FAME). Kunci identifikasi molekuler spesies Meloidogyne dengan
ukuran pita DNA hasil PCR telah berhasil disusun oleh Adam et al. (2007)
menggunakan pasangan primer tertentu.
Teknik PCR-ITS rDNA berdasarkan sistem kerja yang dimilikinya
memisahkan spesies dengan mengamplifikasi gen DNA ribosom.
Pengamplifikasian bagian tertentu dari genom nematoda merupakan langkah yang
efektif untuk melihat karakterisasi dan identifikasi nematoda (Powers dan Haris
1993).
Pengujian dengan teknik PCR memerlukan dua primer oligonukleotida
spesifik yang akan menginisiasi pembentukan dan perbanyakan asam nukleat atau
untaian DNA dengan bantuan enzim Taq polymerase dalam mesin PCR atau
thermocycler (Saiki 1990). Pemilihan primer yang tepat sangat menentukan
keberhasilan identifikasi suatu patogen. Dalam bidang fitopatologi, teknik PCR
banyak digunakan untuk tujuan deteksi patogen, identifikasi patogen, karakterisasi
keanekaragaman patogen, maupun untuk diferensiasi patogen tumbuhan.
Publikasi tentang marker molekuler spesifik spesies Meloidogyne tersedia
untuk spesies daerah dingin, seperti M. chitwoodi, M. fallax, dan M. hapla.
Demikian juga untuk spesies Meloidogyne yang terdapat di daerah bersuhu hangat
atau tropis seperti M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica yang banyak
menyebabkan kerusakan pertanian, sudah tersedia primer spesifik (Dong et al.
2001).
Beberapa primer yang umum digunakan untuk mengidentifikasi
Meloidogyne spp. adalah primer C2F3 untuk mengidentifikasi gen cytochrome
oxidase subunit II (COII) dan 1108 untuk mengidentifikasi M. incognita (Powers
dan Harris 1993), primer spesifik 5367 dan 5368 untuk mengidentifikasi M.
hapla, M. chitwoodi dan M. fallax (Zijlstra 1997), primer spesifik Finc/ Rinc
untuk spesies M. incognita, primer Fjav/ Rjav untuk M. javanica, Far/ Rar untuk
M. arenaria (Karajeh et al. 2010), dan Mi2F4/ Mi2R1 untuk M. incognita
(Kiewnick et al. 2011).
Perunutan DNA
Pada umumnya, analisis genom nematoda merupakan informasi bagian ITS
dari rDNA. Bagian ini merupakan daerah sangat variabel sehingga dapat
berfungsi sebagai penanda spesifik dalam studi taksonomi molekuler (Thiery dan
Mugniery 1996).
Filogenik digambarkan sebagai klasifikasi secara taksonomi dari suatu
organisme berdasarkan sejarah evolusi. Analisis filogenetik sekuen asam amino
biasanya menjadi hal yang penting dalam analisis sekuen. Analisis filogenetik
juga digunakan untuk mengikuti perubahan sekuen yang terjadi. Perubahan

11
sekuen yang besar mampu mengubah organisme menjadi spesies yang terpisah
(Dharmayanti 2011).
Pemisahan sekuen (taksa) didefenisikan sebagai jarak filogenetik tertentu
pada sebuah pohon. Pohon terdiri atas cabang pohon yang menunjukkan
hubungan antartaksa. Ketika sekuen nukleotida atau protein dari dua organisme
yang berbeda mempunyai kemiripan, maka diduga kedua organisme tersebut
mempunyai tetua yang sama (common anchestor) (Dharmayanti 2011).
Analisis filogenetik berhubungan dengan sekuen asam nukleat atau protein
sebagai penentu asal famili selama evolusi. Hubungan evolusi antara sekuen
digambarkan dengan penempatan sekuen di bagian luar cabang pohon. Hubungan
bagian dalam cabang menunjukkan tingkat sekuen yang berbeda. Dua sekuen
yang memiliki banyak persamaan ditemukan sebagai cabang yang berdekatan di
sebelahnya dan bergabung pada cabang yang sebenarnya (Wasserman dan
Sandelin 2004).

12

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian
Sampel berupa tanaman wortel bergejala umbi bercabang dikoleksi dari
Agropolitan Cianjur, Jawa Barat. Daerah ini memiliki ketinggian 1300 m dpl,
1500 m dpl dan 1600 m dpl dan merupakan salah satu sentra produksi wortel di
Jawa Barat. Identifikasi nematoda dilakukan di Laboratorium Nematologi
Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari
bulan Mei 2012 hingga April 2013.
Metode Penelitian
Pengamatan Gejala Penyakit Tanaman Wortel
Pemilihan lahan dan pendataan. Lahan yang digunakan untuk
pengambilan sampel wortel adalah sentra produksi wortel di Jawa Barat yaitu
Agropolitan Cipanas mempunyai ketinggian antara 1300 m dpl dan 1600 m dpl.
Pada saat pengambilan sampel dilakukan pendataan untuk mendapatkan informasi
tentang lokasi kebun, luas kebun, ketinggian tempat, jenis tanah, varietas wortel
yang ditanam dan teknik budidaya.
Pengambilan sampel. Sampel yang diambil berupa umbi wortel bercabang
dan berpuru. Sampel umbi yang bergejala diusahakan dalam keadaan lembab dan
disimpan dalam kantung plastik secara terpisah, kemudian dimasukkan ke dalam
kantung plastik atau kertas yang dilapisi parafilm untuk menghindari sampel
kering dan diberi label yang berisi keterangan tentang lokasi, ketinggian dan
tanggal pengambilan sampel (Bezooijen 2006). Sampel diletakkan dalam box
untuk mencegah terjadinya kerusakan akibat fluktuasi suhu dan kelembapan
selama perjalanan ke Laboratorium Nematologi Tumbuhan.
Pendataan. Pendataan dilakukan untuk memperoleh informasi awal
mengenai lokasi kebun, ketinggian tempat, luas kebun, varietas wortel yang
ditanam, produksi per hektar, tipe puru, keberadaan wortel bercabang, hairy root,
teknik pengolahan tanah, kedalaman pengolahan tanah, jenis tanah, asal irigasi,
serta penggunaan pupuk dan nematisida. Hasil pendataan dimaksudkan untuk
dapat memberikan informasi tambahan tentang kondisi wilayah serta keberadaan
gejala penyakit di lahan pengamatan.
Identifikasi gejala penyakit pada tanaman wortel. Identifikasi dilakukan
terhadap gejala penyakit yang terjadi pada bagian tajuk dan perakaran tanaman.
Gejala pada bagian tajuk yang amati berupa tinggi tanaman (kerdil), warna daun
dan kelayuan pada siang hari, sedangkan gejala pada bagian perakaran/ umbi
berupa bentuk, ukuran puru, dan hairy root.

13
Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Morfologi
Identifikasi dilakukan dengan pengamatan pola sidik pantat (perineal
pattern) nematoda betina dewasa. Pembuatan preparat nematoda betina sebanyak
150 slide menggunakan metode Eisenback et al. (1981). Prosedur pembuatan
preparat sidik pantat nematoda betina dijelaskan gambar 5. Akar atau umbi yang
terinfeksi Meloidogyne dicuci untuk menghilangkan partikel tanah yang
menempel. Nematoda betina yang terdapat di dalam jaringan akar yang berpuru
dicungkil dengan hati-hati. Bagian anterior dipotong dengan pisau khusus
kemudian bagian posterior ditekan agar kandungan di dalamnya keluar. Potongan
dipindahkan dalam laktafenol dingin (0.03% cotton blue). Bagian posterior
disayat dan disisihkan bagian sidik pantatnya kemudian jaringan di dalamnya
dibuang secara hati-hati dengan sikat khusus. Sidik pantat kemudian dipindahkan
ke gelas objek lain dengan ditetesi laktofenol 0.1% (cotton blue). Gelas objek
direkatkan dengan Zut (Glycell) atau kutek kuku. Bagian perineal diamati di
bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x dan diidentifikasi berdasarkan
kunci identifikasi Meloidogyne (Eisenback et al. 1981).
b

a

e

c

d

f

Gambar 5 Prosedur pembuatan preparat sidik pantat Meloidogyne
Sumber: Hunt dan Handoo (2009)

Identifikasi Meloidogyne spp. Berdasarkan Sekuen Nukleotida
Ekstraksi DNA. Puru akar direndam selama 24 jam kemudian puru akar
dibedah dengan menggunakan jarum bedah dan diekstraksi menggunakan metode
Hikmia et al. (2012) yang telah dimodifikasi. Dua puluh ekor nematoda betina
dimasukkan ke dalam tabung mikro. Sampel tersebut ditambah buffer ekstrak
(200 mM Tris HCl pH 8.0, 25 mM EDTA pH 8.0 dan 0.5% SDS) sebanyak 150
µl dan digerus hingga halus dengan cornical grinder steril. Selanjutnya, ditambah
chloroform : isoamilalkohol (24:1) sebanyak 150 µl dan disentrifugasi dengan
kecepatan 11 000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil 100 µl kemudian
dimasukkan ke dalam tabung mikro baru, ditambah larutan Sodium Asetat
(CH3COONa) 3M pH 5.2 sebanyak 50 µl dibolak-balik kemudian disimpan pada
suhu -20 oC selama 10 menit. Setelah itu suspensi disentrifugasi dengan dengan
kecepatan 12 000 rpm selama 20 menit. Supernatan diambil sebanyak 100 µl dan

14
dipindahkan ke dalam tabung mikro baru. Isopropanol ditambah 1 volume ke
dalam tabung, dibolak-balik dan disimpan pada suhu ruang selama 30 menit
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 selama 20 menit. Supernatan
dibuang dan ditambah ethanol 80% sebanyak 1 volume kemudian disentrifugasi
pada kecepatan 12 000 selama 15 menit dan supernatan dibuang. Endapan DNA
dikeringkan, ditambah buffer TE pH 8 sebanyak 30 µl hingga 100 µl sesuai
dengan ketebalan endapan DNA dan disimpan pada suhu -20 oC hingga
digunakan.
Polymerase Chain Reaction. Setiap reaksi PCR yang menggunakan primer
spesifik spesies terdiri dari 12.5 µl 2x Go Taq®Green Master mix (Promega), 1 µl
primer Forward 10 µM, 1 µl primer Reverse 10 µM, 1 µl DNA template dan 9.5
µl air bebas nuklease sehingga volume menjadi 25 µl.
Reaksi PCR yang menggunakan primer multipleks spesies terdiri dari 12.5
µl 2x Go Taq®Green Master mix (Promega), 1 µl primer Forward JMV1 10 µM,
1 µl primer Reverse JMV2 10 µM, 1 µl primer Reverse JMV hapla 10 µM, 1 µl
DNA template dan 8.5 µl air bebas nuklease sehingga volume menjadi 25 µl.
JMV1 dan JMV hapla akan menghasilkan pita berukuran 440 pasang basa (pb)
menunjukkan Meloidogyne hapla sedangkan JMV1 dan JMV2 akan menghasilkan
pita berukuran 540 pb (M. chitwoodi) dan 670 pb (M. fallax).
Amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR dengan primer spesifik spesies
M. javanica, M. incognita, M. arenaria, dan multipleks primer untuk M. hapla,
M. chitwoodi, M. fallax (Tabel 1) (Adam et al. 2007).
Tabel 1 Primer yang digunakan untuk identifikasi spesies Meloidogyne asal Cianjur,
Jawa Barat

Kode

Sekuen (dari ujung -5’ ke -3’)

Fjav
Rjav
Finc
Rinc
Far
Rar
JMV1
JMV2
JMV
hapla

GGTGCGCGATTGAACTGAGC
CAGGCCCTTCAGTGGAACTATAC
CTGGCGATAGAGGTAAATGAC
TCGGCGATAGACACTACAAACT
TCGGCGATAGAGGTAAATGAC
CTGGCGATAGACACTACAAAACT
GGATGGCGTGCTTTCAAC
TTCCCCCTTACGATGTTTACCC
AAAAATCCCCTCGAAAAATCCACC

Ukuran pita Spesies NPA
hasil PCR
720 pb
M. javanica
999 pb

M. incognita

420 pb

M. arenaria

540 pb
670 pb
440 pb

M. chitwoodi
M. fallax
M. hapla

Mesin PCR (thermo cycle) diprogram sesuai dengan primer yang
digunakan. Proses amplifikasi DNA nematoda dilakukan melalui lima tahap,
yakni denaturasi, annealing, extension/ elongation, final elongation, dan final
hold. Proses denaturasi pada suhu 94 oC selama 4 menit, extension/ elongation
pada suhu 72 oC selama 1 menit, final elongation pada suhu 72 oC selama 7 menit,
dan final hold 4 oC untuk setiap DNA spesies Meloidogyne memerlukan suhu dan
waktu yang sama, hanya proses annealing yang berbeda untuk setiap DNA
spesies yang diuji. Proses annealing spesies M. javanica pada suhu 55 oC selama
45 detik, M. incognita pada suhu 57 oC selama 45 detik, M. arenaria pada suhu 55

15
o

C selama 45 detik dan M. hapla pada suhu 50 oC selama 30 detik (Adam et al.
2007) (Tabel 2).
Tabel 2 Amplifikasi fragment ITS-rDNA spesies Meloidogyne menggunakan PCR
Spesies

Denaturasi
awal

Denaturasi

Annealing

Elongation

Final
elongation

M. javanica
M. incognita
M. arenaria
M. hapla

94 ºC (4’)
95 ºC (4’)
94 ºC (4’)
94 ºC (2’)

94 ºC (30’’)
94 ºC (30’’)
94 ºC (30’’)
94 ºC (30’’)

55 ºC (45’’)
57 ºC (45’’)
55 ºC (45’’)
50 ºC (30’’)

72 ºC (1’)
72 ºC (2’)
72 ºC (1’)
72 ºC (1.5’)

72 ºC (7’)
72 ºC (10’)
72 ºC (7’)
72 ºC (7’)

Jumlah
siklus
4 ºC
4 ºC
4 ºC
4 ºC

30
35
35
45

DNA nematoda hasil amplifikasi dianalisis dengan elektroforesis. Larutan
agarosa 1% [0.4 g agarosa dimasukkan ke dalam 40 ml buffer TBE (Tris-HCl 45
mM, asam borat 45 mM, dan EDTA 1 mM) 0.5 x selanjutnya dipanaskan dengan
microwive oven selama ± 2 menit. Dalam keadaan hangat ditambah 2 µl Ethidium
bromide kemudian larutan agarosa dituang ke dalam gel box yang dipasang sisir
(comb) pada ujungnya untuk membuat sumuran. Gel agarosa dibiarkan dingin
selama 1 jam pada suhu ruang. Setelah gel memadat, sisir dicabut sehingga
terbentuk lubang-lubang kecil/ sumuran.
Pengukuran DNA menggunakan penanda TriDyeTM-Promage 100 pb
ladder untuk M. javanica, M. arenaria, dan M. hapla dan TriDyeTM-Promage
1000 pb ladder untuk M. incognita. Masing-masing sampel diisi pada sumuran
gel sebanyak 10 µl menggunakan mikropipet dan marker sebanyak 8 µl.
Setelah DNA dan marker dimasukkan ke dalam sumur gel, gel box ditutup
dan dialirkan arus listrik. Kutub yang sejajar dengan lubang sampel DNA berupa
kutub negatif, sedangkan kutub yang lainnya positif. Elektroforesis dilakukan
pada tegangan 50 Volt selama 60 menit kemudian dilanjutkan 100 Volt selama 5
menit. Hasil elektroforesis divisualisasi dengan UV transiluminator dan gambar
pita-pita DNA difoto dengan kamera digital (Hikmia et al. 2012).
Perunutan DNA. Perunutan dilakukan oleh PT Macrogen Incorporation
Seoul, Korea Selatan menggunakan pasangan primer spesifik M. javanica dan
primer multipleks M. hapla. Hasil sekuensing dianalisis menggunakan program
Basic Local Alignment Search Tool (BLAST) dengan program optimasi untuk
mendapatkan urutan basa DNA yang terdapat dalam situs National Center for
Biotechnology Information (NCBI). Sekuen identity didapatkan dengan
menggunakan software Clustal W (Bioedit), sedangkan pohon filogenetik
didapatkan dengan menggunakan software MEGA dan Neighbour Joining (NJ)
1000 bootstrap.

16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Survei dan Gejala Penyakit Nematoda Puru Akar (NPA)
Agropolitan Cianjur terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat yang
merupakan salah satu sentra produksi wortel Indonesia. Selain memproduksi
wortel, daerah ini juga memproduksi tanaman sayuran lainnya, seperti bawang
daun, lobak, brokoli, tomat, cabai rawit, cabai besar.
Gejala penyakit umbi bercabang pada wortel yang ditemukan di Agropolitan
Cianjur antara lain: umbi pecah, umbi bercabang, umbi pendek membulat dan
umbi berambut. Gejala ini memiliki kesamaan dengan gejala yang terdapat di
pertanaman wortel Jawa Tengah (Taher et al. 2012) dan Jawa Timur (Hikmia et
al. 2012). Pola penyebaran infeksi di lapang terjadi pada titik tertentu dan
mengelompok.

a

c
Gambar 6

b

d
Gejala penyakit NPA pada pertanaman wortel Cianjur, Jawa Barat:
a) umbi bercabang; b) ketinggian 1600 m dpl; c) ketinggian 1500 m dpl;
d) ketinggian 1300 m dpl

Teknik budidaya wortel pada setiap ketinggian berbeda-beda. Ketinggian
1300 m dpl, petani menanam wortel lebih ke arah monokultur (Gambar 6d)
sedangkan ketinggian 1500 m dpl dan 1600 m dpl petani melakukan rotasi tanam,
salah satunya dengan tanaman brokoli. Petani wortel juga melakukan tumpang
sari dengan bawang daun.
Dalam memelihara tanaman, petani menggunakan pupuk sintetik dan pupuk
kandang (pukan). Pukan yang digunakan salah satunya adalah kotoran ayam.

17
Petani menilai bahwa selain menyuburkan tanah, pukan ayam juga dapat
meningkatkan produksi wortel. Hasil penelitian Sudirman (2011); Akhtar dan
Malik (2000) menyatakan bahwa pukan ayam mengandung senyawa amonia dan
asam nitrit yang dikeluarkan secara langsung bersifat nematisidal sehingga
mampu mengurangi jumlah penetrasi akar oleh M. javanica, menekan
perkembangan nematoda dan meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Tekstur tanah di lokasi pengambilan sampel adalah lempung berpasir.
Tekstur tanah ini sesuai untuk pertumbuhan tanaman wortel juga sesuai untuk
habitat spesies Meloidogyne.
Tipe Gejala NPA pada Umbi Wortel
Petani wortel di Agropolitan Cianjur mengalami kendala dalam peningkatan
produksi wortel, salah satu penyebabnya adalah penyakit umbi bercabang.
Penyakit ini disebabkan oleh nematoda puru akar. Di samping menyebabkan umbi
bercabang, nematoda ini juga menyebabkan gejala lain seperti umbi pecah dan
umbi pendek membulat (Gambar 7). Gejala tersebut lebih mengarah ke
malformasi dari bentuk normal umbi.
Umbi bercabang ditandai dengan bentuk umbi yang abnormal, dimana
terdapat satu atau lebih percabangan (Gambar 7a). Gejala berikutnya adalah umbi
pecah, bagian stele umbi tampak jelas (Gambar 7b). Biasanya pada bagian
permukaan umbi kasar, jika dibedah terdapat NPA betina di dalamnya dan
terkadang terdapat rambut akar yang berpuru. Umbi pecah diduga karena
rangsangan hormon IAA untuk terjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga
permukaan kulit umbi tidak bisa mengimbangi pertumbuhan dan perkembangan
umbi wortel secara keseluruhan. Hal ini diperkuat dari bagian umbi yang pecah
terdapat puru yang bentuknya seperti kudis.

a

b

c

Gambar 7 Gejala umbi wortel yang terinfeksi NPA: a) umbi bercabang, b) umbi
pecah, c) pendek membulat

Tipe gejala umbi lainny