Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java

(1)

KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT

LIA NURULALIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Oktober 2012

Lia Nurulalia


(3)

(4)

ABSTRACT

LIA NURULALIA. Diversity and Identification Key of Whiteflies (Hemiptera: Aleyrodidae) Species on Agricultural Crops in West Java. Under supervision of PURNAMA HIDAYAT and DAMAYANTI BUCHORI.

Whiteflies are one of the most important insect group of pests in agricultural crops which can cause direct and indirect damages to plants, i.e. disturb photosynthesis and plant aesthetics, and transmit plant viruses. Whiteflies have been reported in Indonesia since 1900’s. There are 37 whiteflies species that have been recorded in Indonesia, but it is believed that many more are unidentified. The aims of this research was to identify the whiteflies species in agricultural crops and study their diversity at different altitudes. Whiteflies were collected at five areas in West Java: Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, and Garut. The identification of whiteflies were using fourth instar nymph or known as pupa. Slide preparation followed Watson’s protocol that has been modified. Morphological characters for such species were recorded for identification. Identification key was constructed in the dichotomous and digital forms using Lucid Phoenix Key program. Diversity of whiteflies was analysed using Shannons’s (H’), Simpson’s (D) and Sorenson’s (C) diversity index. Whitefly natural enemies that were found in the field or parasitized whiteflies were identified. There were 38 whiteflies species found and 10 were still unidentified. About 89.5% whiteflies found were the member of subfamily Aleyrodinae. Whiteflies were more commonly found in the plants with complex architecture (fruit trees) than the plants with simple architecture (vegetables, ornamental plants, etc). Plant with complex architecture can provide more space and food for organism to live. Aleurodicus dispersus and Aleurodicus dugesii are cosmopolitan species that can be found in various types of plants and altitudes. Bemisia tabaci

was commonly found in lower altitude, whereas Trialeurodes vaporariorum was mainly found in higher altitude. Both species are become important pests in vegetable crops and transmit plant diseases. The highest whitefly species richness and diversity was found in lowland (0-500 m above sea level (asl)) (H’=2.14; 1-D=5.53). Similarity analysis (C) showed that number of whitefly species found at lowland was 64% similar to midland (501-1000 m asl). The natural enemies that commonly found were coccinellid beetle, aphelinid, and encyrtid wasp.


(5)

(6)

RINGKASAN

LIA NURULALIA. Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat. Dibimbing oleh PURNAMA HIDAYAT dan DAMAYANTI BUCHORI.

Kutukebul merupakan kelompok kutu tanaman yang termasuk ke dalam famili Aleyrodidae. Imago bersayap dan aktif terbang untuk berpindah tempat, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul dapat menyebabkan gangguan secara langsung di antaranya mengganggu proses fotosintesis dan respirasi tanaman, dan mengurangi estetika tanaman (hias); serta menyebabkan gangguan secara tidak langsung dengan menularkan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus. Keberadaan kutukebul di Indonesia sudah diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, beberapa spesies kutukebul menyebabkan permasalahan pada tanaman, di antaranya Aleurodes pada tebu,

Aleuroctrarthrus (Aleurodicus) destructor pada kelapa, dan Bemisia tabaci pada tembakau. Hingga saat ini sudah diketahui sekitar 37 spesies kutukebul yang ada di Indonesia. Penelitian bertujuan mengetahui spesies kutukebul pada tanaman pertanian dan mengetahui keanekaragamannya berdasarkan ketinggian tempat yang berbeda.Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies kutukebul pada tanaman pertanian, keanekaragaman dan karakteristik morfologi spesies, tanaman inang, serta penyebaran kutukebul, sehingga dapat menjadi dasar bagi identifikasi dan pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian.

Penelitian dilakukan sejak Juni 2011 sampai dengan Juni 2012. Sampel kutukebul diambil dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut yang diambil dari komoditas tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), tanaman pangan, serta tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Identifikasi kutukebul dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan GPS. Pada pengamatan keanekaragaman, tempat pengambilan sampel kutukebul dikelompokkan menjadi 3 kisaran ketinggian, yaitu dataran rendah (0–500 m di atas permukaan laut (dpl)), dataran sedang (501–1000 m dpl), dan dataran tinggi (1001-1500 m dpl). Pembuatan preparat kutukebul mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Karakter umum morfologi kutukebul yang menjadi ciri identifikasi adalah keberadaan compound pores (pori majemuk), dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Data jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh pada ketiga kelompok ketinggian dianalisis dengan indeks Shannon, Simpson, dan Sorenson. Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotom. Kemudian dibuat format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key.

Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian. Sebanyak 28 spesies sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies lainnya belum


(7)

teridentifikasi. Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili utama, yaitu subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Subfamili Aleurodicinae memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula yang besar, sedangkan subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen dan bentuk vasiform orifice beragam. Sebagian besar spesies kutukebul yang diperoleh (34 spesies) merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae, sedangkan empat spesies lainnya dari subfamili Aleurodicinae. Empat spesies kutukebul yang relatif mudah ditemukan adalah

Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Keempat spesies tersebut memiliki kisaran tanaman inang yang luas dan sering menyebabkan permasalahan di pertanaman.

Berdasarkan jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada masing-masing kisaran ketinggian tempat, diperoleh informasi bahwa keanekaragaman spesies kutukebul tertinggi terdapat di dataran rendah, yaitu sebanyak 32 spesies. Dominasi spesies terjadi di dataran tinggi, yaitu dari spesies A. dispersus dan A. dugesii. Kedua spesies tersebut juga dominan di semua kisaran ketinggian tempat.

A. dugesii cenderung lebih mudah ditemukan pada dataran tinggi. Spesies kutukebul lain yang memiliki kecenderungan yang khusus dalam hal ketinggian tempat hidup adalah B. tabaci dan T. vaporariorum. B. tabaci dominan ditemukan pada dataran rendah hingga sedang, sedangkan T. vaporariorum dominan ditemukan pada dataran sedang hingga tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh masing-masing virus yang dibawa oleh kedua spesies kutukebul tersebut. Hasil analisis dengan indeks Sorenson menunjukkan terdapat kemiripan wilayah sebesar 64% di antara dataran rendah dengan dataran sedang berdasarkan jumlah spesies dan individu kutukebul yang diperoleh.

Beberapa spesies kutukebul sering ditemukan berada pada daun yang sama sehingga terjadi populasi campuran pada satu daun. Sebagian besar spesies kutukebul ditemukan pada tanaman buah-buahan, yang umumnya memiliki struktur tanaman yang kompleks dan merupakan tanaman tahunan yang dapat menyediakan ruang hidup yang lebih luas dan lebih lama daripada kelompok tanaman lainnya, seperti sayuran, tanaman hias, pangan, dan sebagainya yang memiliki struktur yang sederhana.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

(10)

KEANEKARAGAMAN DAN KUNCI IDENTIFIKASI SPESIES

KUTUKEBUL (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT

LIA NURULALIA

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Magister Sains

pada

Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(11)

(12)

Judul Penelitian : Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat

Nama Mahasiswa : Lia Nurulalia NRP : A351100051

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Mayor Entomologi Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(13)

(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Keanekaragaman Spesies dan Kunci Identifikasi Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Tanaman Pertanian di Jawa Barat.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Purnama Hidayat, M.Sc. dan Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. selaku dosen pembimbing; kepada Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. selaku dosen penguji luar dan Dr. Ir. Pudjianto, M.Si selaku ketua program studi Entomologi yang telah memberikan saran dan masukan dalam tesis ini. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada I-MHERE IPB atas pendanaan dari sebagian penelitian ini, serta kepada Dr. Jon Martin dari Natural History Museum of London, serta Profesor Soemartono Sosromarsono atas bantuan literatur pada penelitian ini.

Ungkapan terimakasih disampaikan kepada ibu serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Aisyah dan ibu Atiek Sinarwati selaku laboran lab Biosistematika Serangga dan Museum Serangga. Terimakasih pula kepada sahabat-sahabat penulis, Anik Larasati, Yani Maharani, Sari Nurulita, Sudarsono, Damayanti, Isamu Kondo, Shinichi Kato, dan Angie Higuchi; teman-teman di laboratorium, Radhian Ardy Prabowo, Osmond Vito Eliazar, M. Khoeruddin Latip, Heny Emilia, Irma Utami Siagian, Bagus Kukuh Urdianto, Aceu Wulandari, dan Van Basten Tambunan; rekan-rekan Entomologi dan Fitopatologi IPB, serta rekan-rekan Summer-Winter Course IPB 2011 atas bantuan dan dorongan motivasinya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012


(15)

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 15 Mei 1983 dari ayah Lili Gozali (alm) dan ibu Nurlaela Salamah. Penulis merupakan puteri pertama dari lima bersaudara.

Tahun 2001, penulis lulus dari SMU Negeri I Ciawi, Bogor, Jawa Barat dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Entomologi dengan bantuan dana beasiswa dari I-MHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency) IPB.

Pada tahun 2005-2006, penulis membantu kegiatan penelitian di Cianjur yang dibiayai oleh dana penelitian Hibah Bersaing. Tahun 2007, penulis membantu kegiatan penelitian di Laboratorium Biosistematika Serangga, Departemen Proteksi Tanaman (DPT), IPB. Tahun 2008 hingga sekarang, penulis bekerja di Museum Serangga DPT, IPB. Pada tahun 2008, penulis membantu kegiatan penelitian di pertanian organik yang didanai oleh Academic Research Frontier Project (ARFP), Tokyo University of Agriculture (TUA), Jepang. Tahun 2009-2010, penulis ikut membantu penelitian yang didanai oleh I-MHERE IPB dan pada tahun yang sama, penulis ikut membantu penelitian mahasiswa dari TUA, Jepang. Pada tahun 2011, penulis mengikuti kegiatan Summer-Winter Course yang diselenggarakan oleh I-MHERE IPB yang merupakan kerjasama antara IPB dengan Universitas Ibaraki, Jepang. Penulis ikut aktif dalam kegiatan kepanitiaan Seminar dan Kongres Internasional ISSAAS (The International Society for Southeast Asian Agricultural Sciences) Indonesia Chapter 2011 dan Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi (PEI) cabang Bogor 2012 di Bogor. Saat ini penulis aktif sebagai sekretaris dalam Forum Mahasiswa Pascasarjana Entomologi-Fitopatologi IPB periode tahun 2012/2013.


(17)

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

BAB I PENDAHULUAN UMUM ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul ... 5

Bioekologi Kutukebul ... 6

Kunci Identifikasi Serangga ... 8

Kutukebul sebagai Serangga Vektor ... 9

Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga ... 10

Kutukebul sebagai Spesies Invasif ... 11

BAB III SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA TANAMAN PERTANIAN DI BEBERAPA DAERAH DI JAWA BARAT DAN KUNCI IDENTIFIKASINYA ... 13

Abstrak ... 13

Pendahuluan ... 13

Metode Penelitian ... 15

Koleksi Sampel Kutukebul di Lapangan ... 15

Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul ... 15

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat ... 15

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam ... 17

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia ... 17

Identifikasi Kutukebul ... 17

Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul ... 18

Hasil Penelitian ... 19

Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul ... 19

Kunci Identifikasi Kutukebul ... 21

Pembahasan ... 21

Deskripsi Spesies Kutukebul ... 22

a. Subfamili Aleurodicinae ... 22


(19)

Kunci Identifikasi Kutukebul pada Tanaman Pertanian ... 45

Kesimpulan ... 45

Daftar Pustaka ... 46

BAB IV KEANEKARAGAMAN SPESIES KUTUKEBUL PADA KETINGGIAN TEMPAT BERBEDA DI JAWA BARAT 49

Abstrak ... 49

Pendahuluan ... 49

Metode Penelitian ... 51

Pengambilan Sampel Kutukebul di Lapangan ... 51

Pengukuran Keanekaragaman Kutukebul ... 52

Identifikasi Musuh Alami Kutukebul ... 53

Hasil Penelitian ... 53

Analisis Keanekaragaman Kutukebul ... 53

Tanaman Inang Kutukebul ... 56

Musuh Alami Kutukebul ... 57

Pembahasan ... 58

Keanekaragaman Kutukebul Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 58

Gangguan Kutukebul pada Tanaman ... 58

Kutukebul dan Tanaman Inangnya ... 59

Kutukebul dan Musuh Alaminya ... 60

Spesies Kutukebul Invasif ... 62

Kesimpulan ... 63

Daftar Pustaka ... 64

BAB V PEMBAHASAN UMUM ... 67

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN UMUM ... 75

Kesimpulan Umum ... 75

Saran Umum ... 76

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Jumlah individu kutukebul yang ditemukan pada tiga kisaran ketinggian tempat di Jawa Barat dan hasil analisis

dengan indeks Shannon dan Simpson ... 54 Tabel 4.2 Perbandingan kemiripan spesies kutukebul antar wilayah

pengambilan sampel pada tiga kisaran ketinggian dengan


(21)

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan

pori majemuk abdomen dan vasiform orifice ... 20 Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi

dalam format digital menggunakan program Lucid

Phoenix ... 21 Gambar 3.3 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun

kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan pupa (d) A.

destructor ... 23 Gambar 3.4 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun

kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus ... 24 Gambar 3.5 Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun

kembang sepatu ... 25 Gambar 3.6 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan

bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei ... 26 Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus... 27 Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun

nangka, serta eksuvia A. spiniferus ... 28 Gambar 3.9 Eksuvia A. woglumi ... 29 Gambar 3.10 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae ... 30 Gambar 3.11 Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta

(b) ... 30 Gambar 3.12 Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b) 31 Gambar 3.13 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. psidii ... 32 Gambar 3.14 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. marlatti ... 32 Gambar 3.15 Pupa (a) dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1 ... 33 Gambar 3.16 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 ... 34 Gambar 3.17 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 ... 34 Gambar 3.18 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae ... 35 Gambar 3.19 Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun

singkong ... 36 Gambar 3.20 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) C. psidii ... 36 Gambar 3.21 Eksuvia Cockerelliella sp. 1 ... 37


(23)

Gambar 3.22 Eksuvia Cockerelliella sp.2 ... 38 Gambar 3.23 Eksuvia D. kirkaldyi ... 38 Gambar 3.24 Pupa (a) dan eksuvia (b) Dialeurodes sp. ... 39 Gambar 3.25 Koloni pupa (a) dan eksuvia (b) D. decempuncta

pada permukaan daun yang halus (mangga), pupa (c) dan eksuvia (d) pada permukaan daun kasar (jambu

biji) ... 40 Gambar 3.26 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) Lipaleyrodes sp. 41 Gambar 3.27 Eksuvia M. minuta ... 41 Gambar 3.28 Koloni O. mammaeferus pada daun puring (a), pupa

(b), dan eksuvia (c) O. mammaeferus... 42 Gambar 3.29 Koloni Rusostigma sp. pada daun salam (a), imago

(b), pupa (c), dan eksuvia (d) Rusostigma sp. ... 43 Gambar 3.30 Pupa (a), imago (b), dan eksuvia (c) T. vaporariorum

pada daun tomat ... 44 Gambar 4.1 Titik-titik tempat pengambilan sampel kutukebul ... 52 Gambar 4.2 Jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada lima

jenis komoditas tanaman pertanian ... 56 Gambar 4.3 Serangga predator yang ditemukan di sekitar koloni

kutukebul di lapangan ... 57 Gambar 4.4 Serangga parasitoid yang ditemukan memarasit


(24)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae (contoh spesies:

Aleurodicus pulvinatus (Maskell)) ... 82 Lampiran 2 Bagian ventral dan dorsal eksuvia serta karakter

morfologi yang umum digunakan pada kunci

identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleyrodinae 83 Lampiran 3 Kantung pupa spesies kutukebul yang belum

teridentifikasi ... 84 Lampiran 4 Keberadaan spesies kutukebul pada tanaman pertanian

(sayuran, buah-buahan, hias, pangan, serta obat dan

rempah) ... 85 Lampiran 5 Kunci identifikasi kutukebul ... 86


(25)

PENDAHULUAN UMUM

Latar Belakang

Kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan salah satu serangga kelompok kutu tanaman yang menjadi hama penting pada beberapa jenis tanaman, seperti famili Solanaceae (cabai, tomat, terung, dan sebagainya). Serangga dewasa bersayap dan aktif berpindah tempat dengan cara terbang antar tanaman maupun antar pertanaman, sedangkan pradewasa melekat pada permukaan bawah daun. Kutukebul memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap (haustelata) yang umumnya menimbulkan kerusakan pada tingkat sel atau jaringan tanaman sehingga dapat menyebabkan nekrosis jaringan. Pada saat aktifitas makan berlangsung, kutukebul akan mengeluarkan cairan (ludah) yang mengandung enzim yang dapat membantu menguraikan dinding sel tanaman, sehingga memudahkan serangga untuk mengisap cairan dari sel-sel tanaman. Kehilangan cairan tanaman secara terus menerus dapat menyebabkan tanaman menjadi layu, terjadinya pertumbuhan yang abnormal, sampai dengan kekerdilan tanaman. Cairan (ludah) ini juga dapat menjadi media bagi penyebaran virus penyebab penyakit tanaman. Perpindahan kutukebul yang bersifat viruliferous (mengandung virus), baik antar tanaman maupun antar pertanaman dapat mempengaruhi penyebaran penyakit tanaman (Gullan dan Cranston 2000).

Di Indonesia, kutukebul telah dikenal sejak tahun 1900-an terkait peranannya sebagai hama pada tanaman, di antaranya tebu, kelapa, dan tembakau. Pada tahun 1915 dilaporkan terjadi peledakan populasi kutukebul Aleuroctarthrus

(= Aleurodicus) destructor pada perkebunan kelapa di Pulau Selayar dan Sulawesi. Pada tahun 1930-an, didatangkan parasitoid dari Jawa dalam jumlah besar untuk mengendalikan populasi A. destructor. Sejak tahun 1940-an, tidak ada lagi laporan mengenai kerusakan yang disebabkan oleh kutukebul tersebut. Spesies kutukebul lainnya yaitu Bemisia tabaci dilaporkan pada tahun 1938 terkait dengan penyebaran penyakit pseudomosaik dan krupuk pada pertanaman tembakau di Deli. Pada tahun 1940, van der Laan membuktikan bahwa kejadian penyakit


(26)

pseudomosaik berhubungan erat dengan adanya inang alternatif dari B. tabaci, yaitu gulma Eupatorium odoratum yang mulai menyebar luas di Asia Tenggara sejak tahun 1931. Di Jawa, kutukebul B. tabaci dapat menularkan penyakit krupuk dari beberapa jenis gulma ke tanaman tembakau. Penularan terutama terjadi di tempat pembibitan (Kalshoven dan Vecht 1950). Pada kisaran tahun 1994-1999, terjadi invasi spesies B. tabaci yang menjadi vektor penyakit pepper yellow leaf curl dari Thailand ke Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali). Saat ini penyakit tersebut lebih dikenal sebagai penyakit kuning pada tanaman cabai (De Barro et al. 2008).

Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesies-spesies tertentu, seperti B. tabaci dan Trialeurodes vaporariorum West terkait peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman pada berbagai komoditas sayuran. Oleh karena itu, istilah kutukebul lebih sering mengacu pada kedua spesies tersebut. Pada kenyataannya, jumlah spesies kutukebul sangat banyak. Watson (2007) menyatakan bahwa terdapat sekitar 1200 spesies kutukebul yang telah diketahui berdasarkan laporan dari berbagai negara dan baru 35% di antaranya yang telah dideskripsikan. Sebagian besar dari keanekaragaman hayati di dunia berada di daerah tropik, sehingga Indonesia sebagai salah satu wilayah yang terletak di daerah tropik berpotensi menjadi salah satu sumber keanekaragaman spesies di dunia (Ubaidillah dan Sutrisno 2009). Oleh karena itu, kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang dapat ditemukan, khususnya pada tanaman pertanian. Pendekatan taksonomi merupakan salah satu aspek yang penting dalam memahami keanekaragaman hayati. Pengetahuan mengenai karakter morfologi yang unik pada setiap spesies penting dipahami agar karakter antar spesies kutukebul yang ditemukan dapat dengan jelas dibedakan. Salah satu aspek dari taksonomi adalah identifikasi dan bagi para pelaku taksonomi, aspek ini merupakan hal yang paling penting. Salah satu alat yang sering digunakan dalam proses identifikasi adalah kunci identifikasi, khususnya berupa kunci dikotom. Adanya kunci identifikasi tersebut diharapkan dapat memudahkan proses identifikasi agar lebih cepat dan akurat (Quicke 1993).


(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengindentifikasi berbagai spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian, mempelajari keanekaragaman spesies kutukebul, serta membuat kunci identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan di wilayah Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian, tanaman inang, penyebaran, serta kunci identifikasi kutukebul, sehingga dapat menunjang upaya pengendalian kutukebul pada tanaman pertanian.


(28)

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi dan Morfologi Kutukebul

Kutukebul termasuk ke dalam ordo Hemiptera yang memiliki alat mulut bertipe menusuk-mengisap, serta subordo Sternorrhyncha yang secara umum memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak (sessile) dan/atau imago yang bersayap pada beberapa superfamili. Subordo Sternorrhyncha terdiri dari empat superfamili, yaitu Psylloidea, Aleyrodoidea, Aphidoidea, dan Coccoidea. Kutukebul termasuk ke dalam superfamili Aleyrodoidea yang merupakan kelompok serangga yang memiliki ciri peralihan antara superfamili Psylloidea dengan Coccoidea. Superfamili Aleyrodoidea mirip dengan Psylloidea karena fase imago memiliki sayap dan dapat bereproduksi secara seksual maupun partenogenesis, sedangkan dikatakan mirip dengan Coccoidea karena memiliki fase pradewasa yang tidak aktif bergerak. Superfamili Aleyrodoidea hanya terdiri dari satu famili, yaitu Aleyrodidae. Ciri dari famili ini di antaranya imago jantan dan betina memiliki dua pasang sayap dengan venasi yang sederhana; nimfa dan pupa memiliki vasiform orifice, lingula, dan operculum yang merupakan struktur yang sangat terspesialisasi di sekitar anus. Struktur ini berasosiasi dengan sekresi embun madu. Selain itu, struktur ini merupakan karakteristik utama dari famili Aleyrodidae yang tidak dimiliki oleh kelompok serangga lainnya (Watson 2007).

Famili Aleyrodidae terdiri dari dua subfamili, yaitu Aleurodicinae dan Aleyrodinae. Perbedaan yang mendasar di antara kedua subfamili tersebut adalah adanya pori majemuk abdomen (abdominal compound pores) di bagian subdorsal tubuh dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki 4-6 pasang pori majemuk abdomen dan

vasiform orifice yang berbentuk setengah bola dengan lingula berbentuk spatula berukuran besar yang memanjang hingga melewati tepi posterior vasiform orifice,

serta 1-2 pasang seta di bagian ujung lingula tersebut. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen, meskipun ada spesies tertentu yang memiliki pori sederhana yang mirip dengan pori majemuk, tetapi strukturnya


(30)

berbeda dengan pori majemuk. Selain itu, subfamili Aleyrodinae memiliki bentuk dan ukuran vasiform orifice yang sangat beragam dengan lingula yang relatif kecil, tidak memanjang, dan tidak melewati tepi posterior vasiform orifice, serta hanya terdapat satu pasang seta di bagian ujungnya (Watson 2007, Martin 2008).

Pada tahun 1758, Linnaeus mengklasifikasikan kutukebul sebagai kelompok ngengat dan baru dimasukkan ke dalam ordo Homoptera (sekarang Hemiptera) pada tahun 1795 oleh Lattreille. Penamaan whitefly dalam bahasa Inggris mengacu pada imago kutukebul yang berbentuk seperti lalat dengan permukaan tubuh tertutupi oleh tepung lilin berwarna putih (Martin 2008), sedangkan nama umum kutukebul dalam bahasa Indonesia berasal dari perilaku serangga ini yang jika diganggu, imago yang berwarna putih akan berterbangan seperti ‘kebul’ (asap).

Bioekologi Kutukebul

Fase pradewasa kutukebul dapat ditemukan di bagian permukaan bawah daun. Telur kutukebul memiliki pedisel di salah satu bagian ujungnya yang berfungsi untuk melekat pada permukaan daun. Nimfa instar I (crawler) aktif bergerak untuk mencari tempat makan yang sesuai. Pada saat instar II dan III, nimfa sudah menetap di tempat tertentu. Nimfa instar IV sering disebut juga dengan fase pupa. Hal ini disebabkan pada fase ini kutukebul sudah berhenti makan (seperti pada fase pupa sejati), terjadi pembentukan bakal sayap dan antena, serta pematangan alat kelamin (Watson 2007). Oleh karena itu, kutukebul memiliki tipe metamorfosis peralihan antara paurometabola dengan holometabola. Imago betina aktif mencari tempat peletakan telur yang biasanya pada daun-daun tanaman yang relatif muda. Setiap imago betina dapat menghasilkan sekitar 30 telur yang diletakkan pada permukaan bawah daun. Sebelum bertelur, imago betina biasanya akan menusukkan stiletnya pada daun sebagai pusat tumpuan, kemudian mulai berputar sambil meletakkan telur-telurnya dengan pola melingkar. Selanjutnya telur-telur tersebut akan ditutupi dengan lilin. Ada pula beberapa spesies kutukebul meletakkan telur-telurnya secara acak. Di daerah beriklim subtropik, kutukebul menghasilkan satu atau dua generasi per tahun (univoltine


(31)

atau bivoltine), sedangkan di daerah beriklim tropik, kutukebul dapat menghasilkan banyak generasi per tahun (polyvoltine) dengan setiap generasi berkembang selama 6-8 minggu (Watson 2007).

Kutukebul termasuk ke dalam kelas serangga yang merupakan organisme yang bersifat poikiloterm, yaitu memiliki suhu tubuh yang bervariasi tergantung suhu permukaan dan lingkungan tempat hidupnya. Semakin tinggi suhu tubuh, maka reaksi metabolisme yang terjadi akan semakin cepat. Hal ini berarti setiap proses yang terjadi pada kutukebul, seperti pertumbuhan dan perkembangan tergantung pada suhu lingkungannya. Suhu merupakan bagian dari faktor iklim pada suatu kisaran wilayah yang luas, sedangkan kondisi atmosfer pada waktu dan tempat tertentu yang berhubungan dengan panas, dingin, sinar matahari, hujan, awan, dan sebagainya yang sering disebut dengan cuaca. Iklim dan cuaca merupakan faktor abiotik yang berperan penting dalam ekologi serangga, yang meliputi reproduksi dan penyebaran serangga agar dapat tumbuh dan berkembang (Speight et al. 1999).

Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, serangga herbivora sering dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu monofag, oligofag, dan polifag. Serangga monofag adalah serangga yang memakan satu spesies tanaman inang atau spesies tanaman lain yang hubungan kekerabatannya sangat erat; serangga oligofag memakan beberapa jenis tanaman inang yang masih termasuk ke dalam famili yang sama; sedangkan serangga polifag memakan banyak spesies tanaman inang dari famili yang berbeda-beda. Namun pengelompokan ini bersifat tidak konsisten, khususnya pada saat membedakan antara serangga monofag dengan oligofag. Pada kenyataannya sulit untuk membedakan serangga yang hanya memakan satu jenis tanaman dengan serangga yang memakan beberapa jenis tanaman yang memiliki kandungan senyawa sekunder yang hampir sama. Selain itu, individu dari spesies yang sama dapat memakan tanaman inang yang berbeda atau memiliki preferensi tanaman inang yang berbeda tergantung tempat tinggal dari masing-masing serangga tersebut. Hal ini disebabkan individu serangga lebih spesifik dalam memilih tanaman inangnya daripada populasi serangga secara keseluruhan. Berkaitan dengan hal tersebut, pengelompokkan serangga berdasarkan kisaran tanaman inangnya sering pula dibedakan menjadi kelompok


(32)

serangga spesialis (mencakup serangga monofag dan oligofag) dan generalis (polifag) (Schoonhoven et al. 1998).

Kunci Identifikasi Serangga

Salah satu alat yang paling dikenal dan sering digunakan dalam identifikasi untuk sebagian besar organisme adalah kunci identifikasi, khususnya kunci dikotom. Kunci dikotom terdiri atas suatu seri divisi atau dikotomi yang masing-masing mengandung dua alternatif karakter yang dimiliki oleh kelompok taksa tertentu yang membedakannya dengan taksa lainnya. Alternatif pernyataan yang menyusun masing-masing set dikotomi dalam suatu kunci dinamakan kaplet (couplet). Masing-masing kaplet tersebut terdiri atas dua set alternatif karakter yang sering disebut dengan lead (= leg) (Quicke 1993).

Kunci identifikasi yang baik harus dapat digunakan secara luas, baik oleh kalangan taksonom maupun kalangan lain yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda. Suatu kunci identifikasi idealnya harus dibuat oleh seorang ahli yang mempelajari spesimen tertentu. Karakter yang digunakan dalam kunci identifikasi diusahakan tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Pemakaian karakter yang terlalu banyak dalam suatu kaplet dapat menyebabkan munculnya kebingungan pada penggunanya. Selain itu, pengguna dapat kehilangan kepercayaan diri terhadap kunci yang ada sehingga dapat membuat keputusan yang salah. Sebaliknya, pemakaian karakter yang terlalu sedikit, misalnya hanya satu karakter pada kunci monotetik, dapat pula menyebabkan kebingungan pada penggunanya terutama jika berhadapan dengan spesimen yang bentuknya sudah tidak sempurna. Sebagai contoh, antena atau tungkai serangga yang rusak atau hilang, sedangkan karakter ini menjadi salah satu karakter yang biasanya digunakan pada awal penggunaan kunci monotetik. Oleh karena itu, sebaiknya digunakan 2-3 karakter utama pada setiap lead sehingga dapat mengatasi permasalahan jika salah satu karakternya rusak atau hilang (Quicke 1993).

Kunci identifikasi kutukebul yang umum digunakan biasanya berupa kunci dikotom. Kunci identifikasi yang banyak digunakan saat ini di antaranya kunci


(33)

identifikasi kutukebul untuk kawasan Amerika bagian tengah, Eropa, dan sebagian kawasan di Asia. Kunci identifikasi kutukebul yang cukup dikenal adalah Martin (1987). Selain itu, Martin juga pernah membuat kunci identifikasi yang spesifik untuk kawasan Papua New Guinea (Martin 1985). Kedua jenis kunci tersebut menyertakan gambar yang berupa sketsa. Kunci identifikasi yang menyertakan gambar spesimen berwarna (foto) terdapat pada kunci identifikasi Dooley (2007).

Kutukebul sebagai Serangga Vektor

Beberapa kelompok serangga dapat berperan sebagai vektor penyakit tanaman yang disebabkan oleh patogen. Hemiptera merupakan salah satu ordo serangga yang sering menjadi vektor patogen penyebab penyakit tanaman. Ordo ini memiliki alat mulut yang fungsinya termodifikasi untuk menusuk dan melukai epidermis tanaman inang, lalu terjadi transfer cairan di dalamnya. Seperti halnya serangga secara umum, keberadaan serangga vektor juga dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik, di antaranya kondisi cuaca, reproduksi, dan penyebaran. Adanya musuh alami dan kompetisi dapat membatasi kelimpahan serangga vektor. Selain itu, keberadaan tanaman inang juga dapat mempengaruhi keberadaan serangga vektor di suatu habitat dan penyebaran antar habitat. Serangga vektor dapat memiliki kisaran tanaman inang yang sempit (spesifik) maupun luas. Gulma dapat menjadi inang alternatif bagi serangga vektor, sebagai contoh pada tahun 1938, Bemisia tabaci menjadi vektor virus penyebab penyakit pseudomosaik pada tembakau. B. tabaci dapat hidup pada gulma Eupatorium odoratum yang ada di sekitar pertanaman tembakau (Kalshoven dan Vecht 1950).

Penularan penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus bersifat sangat spesifik. Terdapat hubungan yang khusus antara serangga vektor dengan virus yang dibawanya. Kemampuan, efisiensi, dan cara penularan ditentukan oleh struktur alat mulut yang dimiliki oleh serangga vektor (Bos 1994). Terdapat 3 spesies kutukebul yang diketahui dapat berperan sebagai vektor virus tanaman, yaitu B. tabaci, Trialeurodes vaporariorum, dan T. abutiloneus. Kutukebul B. tabaci diketahui dapat menjadi vektor dari cassava mosaic virus, cassava mosaic


(34)

geminiviruses, tomato yellow leaf curl virus, dan sebagainya (Lapidot dan Polston 2010). B. tabaci menularkan penyakit tanaman secara persisten non-sirkulatif. Virus yang terambil ketika makan akan menuju saluran pencernaan dan menembus dinding usus, selanjutnya bersirkulasi di dalam cairan tubuh (haemolymph) dan mengkontaminasi cairan ludah. Hal ini menyebabkan serangga vektor tetap bersifat infektif pada aktivitas makan berikutnya. Daya tular dapat bertahan selama beberapa hari tergantung pada jumlah virus yang terbawa ketika proses makan berlangsung pada tanaman sakit (Bos 1994).

Pengukuran Keanekaragaman Spesies Serangga

Keanekaragaman hayati adalah variasi antar organisme dari berbagai sumber, yang mencakup organisme yang hidup di darat, laut, dan ekosistem perairan lainnya beserta perannya dalam ekologi. Keanekaragaman hayati mencakup kenekaragaman dalam suatu spesies, antar spesies, dan dalam suatu ekosistem (Speight et al. 1999). Keanekaragaman spesies terdiri dari dua komponen, yaitu variasi dan kelimpahan relatif spesies. Keanekaragaman spesies diukur berdasarkan kekayaan (jumlah) spesies (species richness) dan kemerataan spesies (eveness) dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Pada dasarnya, keanekaragaman spesies dibagi menjadi tiga, yaitu keanekaragaman α (alpha), (beta), dan (gamma). Keanekaragaman α adalah keanekaragaman pada suatu wilayah atau lanskap tempat pengambilan sampel, keanekaragaman adalah keanekaragaman antar wilayah pengambilan sampel untuk melihat komposisi spesies dari komunitas yang berbeda, sedangkan keanekaragaman adalah keanekaragaman spesies pada kisaran wilayah yang luas atau secara sederhana dapat dikatakan bahwa keanekaragaman merupakan hasil penggabungan dari keanekaragaman α dan (Magurran 1988).

Pengukuran keanekaragaman spesies dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu indeks kekayaan spesies, yang pada dasarnya merupakan suatu ukuran bagi jumlah spesies yang diperoleh dalam suatu unit pengambilan sampel; model kelimpahan spesies yang menggambarkan distribusi dari kelimpahan spesies; dan indeks yang berdasarkan pada proporsi kelimpahan spesies. Keanekaragaman


(35)

serangga, termasuk kutukebul dapat diukur dengan menggunakan indeks keanekaragaman. Penggunaan indeks dalam melakukan pengukuran keanekaragaman spesies disesuaikan dengan tujuannya. Pengukuran keanekaragaman α biasanya terbagi menjadi tiga tujuan, yaitu untuk mengetahui kekayaan, dominasi, dan kemerataan spesies. Indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kekayaan spesies di antaranya α (log series), λ (log normal), Q statistic, S (kekayaan spesies), indeks Margalef, Shannon, Brillouin, dan McIntosh U. Indeks untuk mengukur dominasi spesies di antaranya indeks Simpson, Berger-Parker, dan McIntosh D. Kemerataan spesies biasanya diukur dengan menggunakan indeks Shannon dan Brillouin. Keanekaragaman di antaranya diukur dengan menggunakan indeks Jaccard, Sorenson, dan Morista-Horn (Magurran 1988).

Kutukebul sebagai Spesies Invasif

Secara umum, spesies invasif didefinisikan sebagai spesies asing yang dapat dengan cepat menyebar di suatu wilayah yang baru. Biasanya keberadaan spesies invasif dapat menyebabkan perubahan dalam hal keanekaragaman organisme, perubahan fungsi dalam ekosistem, serta berdampak pada aspek sosial-ekonomi dan kesehatan manusia di daerah baru tersebut. Spesies asing sendiri didefinisikan sebagai spesies organisme yang berada di luar wilayah tempat tinggal aslinya yang berpotensi mengalami penyebaran, salah satunya melalui aktivitas manusia. Pada dasarnya spesies invasif yang menginvasi daerah baru harus dapat melewati tahapan-tahapan, di antaranya suatu spesies baru yang masuk ke suatu daerah baru harus mampu bertahan hidup di daerah baru tersebut; lalu spesies tersebut mampu berkembang biak dan melakukan kolonisasi; selanjutnya spesies baru tersebut mampu mempertahankan keberadaan populasinya dan melakukan penyebaran ke daerah di sekitarnya (Walther et. al. 2009).

Keberadaan spesies invasif di suatu lingkungan dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap tanaman inang atau organisme lain di suatu lingkungan yang sama. Spesies invasif dapat secara langsung menyerang, melemahkan, dan/atau membunuh tanaman inang atau organisme lain yang ada di


(36)

lingkungan tersebut, sedangkan secara tidak langsung dapat mengganggu keseimbangan ekosistem di suatu wilayah (Carruthers 2003). Jika dilihat dari aspek yang berhubungan dengan manusia, dampak keberadaan spesies invasif berhubungan dengan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dampak keberadaan spesies invasif terhadap aspek ekonomi berkaitan langsung dengan penurunan atau kehilangan hasil di pertanaman, sedangkan terhadap aspek lingkungan berupa gangguan terhadap struktur ekosistem yang terkadang mengacu pada penurunan keanekaragaman suatu organisme di suatu wilayah. Keberadaan spesies invasif juga berdampak terhadap aspek sosial, di antaranya pada kesehatan, kenyamanan dan kualitas hidup manusia, rekreasi, budaya, dan sebagainya (Charles dan Dukes 2007). Dalam bidang pertanian, serangga merupakan organisme yang sering menjadi spesies invasif, termasuk di antaranya kutukebul. Terdapat kutukebul yang berstatus sebagai spesies invasif di beberapa negara, di antaranya

Aleurodicus dispersus, A. dugesii, dan B. tabaci. Spesies-spesies tersebut menyebabkan kerugian secara ekonomi dalam bidang pertanian (Muniappan 2011).


(37)

BAB III

SPESIES KUTUKEBUL YANG DITEMUKAN PADA

TANAMAN PERTANIAN DI JAWA BARAT DAN KUNCI

IDENTIFIKASINYA

Abstrak

Kutukebul merupakan salah satu serangga hama yang penting karena dapat menyebabkan kerusakan langsung dan tidak langsung pada tanaman. Serangan kutukebul dapat mengganggu fotosintesis dan respirasi tanaman, estetika tanaman hias, serta menularkan penyakit tanaman. Sebanyak 37 spesies kutukebul telah dilaporkan keberadaannya di Indonesia dan kemungkinan masih banyak spesies kutukebul yang belum teridentifikasi. Penelitian ini bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul pada tanaman pertanian di Jawa Barat dan membuat kunci identifikasi kutukebul berdasarkan karakter morfologinya. Sampel kutukebul dikoleksi dari lima daerah di Jawa Barat, yaitu Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, dan Garut. Identifikasi kutukebul berdasarkan pada nimfa instar keempat atau lebih dikenal dengan pupa. Pembuatan preparat mikroskop mengacu pada metode Watson yang dimodifikasi. Kunci identifikasi dibuat dalam format dikotomi dan digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix Key. Sebanyak 38 spesies kutukebul ditemukan pada tanaman pertanian, 10 spesies di antaranya belum teridentifikasi. Berdasarkan kisaran tanaman inangnya, empat spesies kutukebul yang bersifat generalis adalah Aleurodicus dispersus, Aleurodicus dugesii, Bemisia tabaci, dan Trialeurodes vaporariorum. Kunci identifikasi kutukebul diharapkan digunakan sebagai panduan untuk identifikasi spesies-spesies kutukebul yang dapat ditemukan pada tanaman pertanian.

Kata kunci:pupa, karakter morfologi, preparat mikroskop, kunci identifikasi

Pendahuluan

Keberadaan kutukebul (Hemiptera: Aleyrodidae) di Indonesia sudah diketahui sejak tahun 1900-an. Pada saat itu, famili serangga ini dikenal dengan Aleurodidae (Koningsberger 1908). Koningsberger melaporkan terdapat tiga spesies kutukebul yang menjadi hama penting pada tanaman tebu di Jawa, di antaranya Aleurodes bergi Sign, A. longicornis Zehnt, dan A. lactea Zehnt. Selanjutnya Dammerman (1929) melaporkan adanya tiga spesies kutukebul lainnya, yaitu Aleurocanthus spiniferus Quaint, Aleurodicus cocois Corb, dan


(38)

yang menyerang pohon buah-buahan dan kelapa di Jawa. Pada kisaran tahun 1930-an, Kalshoven dan Vecht melaporkan 20 spesies kutukebul (Kalshoven dan Vecht 1950), termasuk spesies-spesies yang telah dilaporkan oleh Koningsberger dan Dammerman. Kemudian berdasarkan penelitian Bintoro dan Hidayat (2008) di Bogor, Jawa Barat diperoleh 17 spesies kutukebul yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, sehingga sudah diketahui 37 spesies yang ada di Indonesia, baik pada tanaman pertanian maupun bukan tanaman pertanian.

Penelitian mengenai kutukebul di Indonesia masih terbatas pada spesies seperti Bemisia tabaci Genn dan Trialeurodes vaporariorum West. Kedua spesies tersebut berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman. Spesies kutukebul lainnya yang menjadi hama penting di indonesia adalah Aleurodicus dispersus Russell dan A. dugesii Cockerell. A. dispersus dan A. dugesii

merupakan serangga asli di kawasan Amerika Selatan dan memiliki kisaran inang yang luas. Pada tahun 1989, A. dispersus diketahui telah menyebar di sebagian wilayah Jawa dan Sumatera yang memiliki tanaman inang sebanyak 22 spesies dari 14 famili tanaman (Kajita et. al. 1991). A. dugesii pertamakali dilaporkan pada tahun 2007 di Bogor oleh Hidayat dan Watson (2008) yang menyerang pada tanaman kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis). A. dispersus dan A. dugesii

merupakan spesies kutukebul yang kosmopolitan dan memiliki kisaran tanaman inang sangat luas. Hasil penelitian Murgianto menunjukkan bahwa A. dispersus

memiliki tanaman inang sebanyak 111 spesies dari 53 famili tanaman, sedangkan

A. dugesii sebanyak 40 spesies dari 27 famili tanaman. Sebagian besar dari tanaman inang A. dispersus dan A. dugesii merupakan kelompok tanaman dari komoditas hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias) (Murgianto 2010).

Beberapa spesies kutukebul diketahui dapat menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung pada tanaman, khususnya pada kelompok tanaman budidaya yang bersifat komersial. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman pertanian di beberapa daerah di Jawa Barat. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies-spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman pertanian, mengetahui karakteristik morfologi kutukebul,


(39)

dan tanaman inangnya, sehingga dapat menunjang proses identifikasi dan upaya pengendalian kutukebul khususnya di tanaman pertanian.

Metode Penelitian Koleksi Kutukebul di Lapangan

Pengambilan sampel kutukebul dilakukan pada lima wilayah di Jawa Barat, di antaranya Bogor, Cianjur, Sukabumi, Bandung, dan Garut sejak Juni 2011 sampai dengan April 2012. Posisi geografi dan ketinggian tempat pengambilan sampel diukur dengan menggunakan aplikasi GPS (Global Positioning System) dari Pocket PC Mio P550. Sampel diambil dari berbagai jenis tanaman, di antaranya dari tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), pangan, serta beberapa jenis tanaman obat dan rempah. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode pengambilan secara langsung (purposive sampling). Daun-daun yang terinfestasi pupa atau eksuvia kutukebul diambil dan ditutupi dengan kertas tisu, lalu dimasukkan ke dalam kantung plastik bening, dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dibuat menjadi preparat mikroskop.

Pembuatan Preparat Mikroskop Kutukebul

Pembuatan preparat kutukebul dilakukan dengan metode Watson (2007) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada saat membuat preparat kutukebul yang pupanya berwarna hitam. Pupa direndam terlebih dahulu di dalam larutan KOH 10% selama 24 jam. Pada penelitian ini, pembuatan preparat mikroskop dilakukan dengan dengan metode preparat permanen untuk identifikasi dan penyimpanan dalam jangka waktu yang lama. Pada dasarnya, pembuatan preparat mikroskop kutukebul disesuaikan dengan tipe pupa atau eksuvia yang diperoleh. Terdapat dua macam spesimen yang umumnya digunakan dalam pembuatan preparat mikroskop kutukebul, yaitu pupa dan eksuvia.

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Pucat. Pupa kutukebul diambil dengan hati-hati dari daun tanaman inang dengan


(40)

menggunakan jarum mikro. Kemudian pupa dimasukkan ke dalam alkohol 80% dan didiamkan selama 5-10 menit. Sebanyak lima ml KOH 10% dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dipanaskan di atas kompor listrik. Kemudian larutan KOH tersebut dimasukkan ke dalam cawan sirakus. Pupa kutukebul secara satu persatu dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10% dengan menggunakan jarum mikro, lalu didiamkan hingga pupa terlihat transparan. Di bawah mikroskop cahaya, pupa dibersihkan dari lilin-lilin yang masih menempel dengan menggunakan jarum mikro. Selain itu, isi tubuh kutukebul dikeluarkan secara perlahan-lahan hingga hanya tersisa eksuvia-nya. Selanjutnya eksuvia dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Lilin yang masih tersisa pada eksuvia dapat dibersihkan dengan cara merendam eksuvia tersebut di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik. Lalu eksuvia dibilas kembali dengan akuades. Setelah itu, eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Kemudian eksuvia direndam di dalam campuran larutan pewarna asam fuchsin dan asam asetat glasial dengan perbandingan 1:1 selama 15 menit. Eksuvia yang telah diwarnai direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit atau hingga diperoleh warna eksuvia yang diinginkan. Lalu direndam di dalam alkohol 100% selama satu menit. Setelah itu eksuvia dimasukkan ke dalam minyak cengkeh.

Gelas objek (25.4 x 76.2 cm) disiapkan untuk perentangan eksuvia kutukebul. Pada permukaan atas gelas objek di bagian tengah diberi satu tetes minyak cengkeh. Sebanyak satu eksuvia diletakkan pada minyak cengkeh tersebut. Lalu eksuvia direntang dengan posisi ventral tubuh menghadap ke atas. Kemudian minyak cengkeh yang ada di sekitar eksuvia diserap dengan menggunakan kertas tisu. Selanjutnya pada eksuvia tersebut diteteskan balsam canada. Larutan medium dioleskan ke sekeliling eksuvia hingga hampir menyamai ukuran dari gelas penutup yang akan digunakan. Posisi eksuvia diatur kembali hingga letaknya tepat di bagian tengah. Gelas penutup (18 x 18 cm) diletakkan secara perlahan-lahan di atas spesimen dengan bantuan pinset. Preparat miroskop diberi label di sisi kanan dan kiri. Pada label di bagian kanan spesimen diberi keterangan lokasi dan waktu pengambilan sampel, tanaman inang, dan kolektor. Label di bagian kiri spesimen dikosongkan yang selanjutnya akan diisi dengan keterangan taksonomi spesimen setelah dilakukan identifikasi. Preparat


(41)

mikroskop kutukebul dikeringkan di atas hotplateFisher Scientific Slide Warmer

dengan suhu 60ºC selama 6-8 minggu. Identifikasi dapat dilakukan pada saat preparat sudah dikeringkan selama satu minggu. Selanjutnya preparat diletakkan kembali di atas hotplate hingga medium pada preparat tersebut benar-benar mengering. Preparat mikroskop kutukebul yang telah selesai dikeringkan disimpan di dalam kotak preparat.

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Pupa Berwarna Hitam. Pupa kutukebul yang telah diambil dari daun dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi larutan KOH 10%. Selanjutnya didiamkan selama 24 jam. Setelah itu, isi tubuh pupa kutukebul dikeluarkan sehingga hanya tertinggal eksuvia-nya. Eksuvia dibilas dengan akuades sebanyak dua kali. Sisa lilin yang masih terdapat pada eksuvia dibersihkan dengan cara merendam eksuvia di dalam larutan carbol xylene selama 10 detik, lalu dibilas kembali dengan akuades. Kemudian eksuvia direndam di dalam alkohol 80% selama 1-2 menit, lalu direndam di dalam alkohol 100% selama satu menit. Eksuvia selanjutnya dimasukkan ke dalam minyak cengkeh. Cara perentangannya sama dengan cara perentangan pada eksuvia yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pembuatan Preparat Mikroskop dari Eksuvia. Eksuvia kutukebul diambil secara hati-hati dari daun dengan menggunakan jarum mikro. Kemudian eksuvia dimasukkan ke dalam cawan sirakus yang berisi alkohol 80%, dan didiamkan selama 5-10 menit. Selanjutnya eksuvia direndam di dalam larutan asam alkohol 50% selama 10 menit. Setelah itu, eksuvia diwarnai dengan merendamnya di dalam campuran larutan asam fuchsin dengan asam asetat glasial selama 15 menit. Langkah selanjutnya sama seperti pada pembuatan preparat mikroskop dari pupa berwarna pucat yang telah dijelaskan sebelumnya.

Identifikasi Kutukebul

Identifikasi dilakukan berdasarkan karakter morfologi pupa kutukebul. Hal ini disebabkan pupa kutukebul memiliki karakter yang spesifik untuk masing-masing spesies (Watson 2007). Secara umum, karakter kutukebul yang menjadi ciri identifikasi di antaranya adanya compound pores (pori majemuk) di bagian


(42)

subdorsal dan bentuk vasiform orifice di bagian posterior tubuhnya. Struktur

vasiform orifice terdiri dari lingula (struktur seperti lidah) yang memiliki bentuk dan ukuran yang bervariasi untuk masing-masing spesies. Beberapa spesies kutukebul memiliki karakter yang khusus, seperti adanya barisan duri atau seta pada bagian submargin, adanya papila dan tuberkel, keberadaan serta bentuk pori trakea (tracheal pore), dan sebagainya. Karakter morfologi umum dari kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. Identifikasi kutukebul dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi kutukebul, di antaranya Russell (1964), Martin (1985), Martin (1987), Dooley (2007), dan Dubey et al. (2009) dengan bantuan mikroskop majemuk. Berdasarkan frekuensi penemuannya di lapangan, kutukebul dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu kutukebul yang sering ditemukan (lebih dari tiga kali ditemukan) dan jarang ditemukan (kurang dari tiga kali ditemukan).

Pembuatan Kunci Identifikasi Kutukebul

Kunci identifikasi kutukebul dibuat dengan sistem dikotomi. Karakter dari masing-masing kutukebul dibuat ke dalam matriks karakter. Matriks karakter tersebut akan menjadi dasar bagi pembuatan kunci identifikasi dikotom. Kunci identifikasi dibuat pula dalam format digital dengan menggunakan program Lucid Phoenix (2004). Gambar yang digunakan pada kunci identifikasi berupa foto berwarna yang diambil dengan menggunakan kamera digital SONY DSC-W520 di bawah mikroskop cahaya dan mikroskop majemuk (untuk preparat mikroskop). Pengukuran spesimen dibantu oleh perangkat lunak Dino Capture (2009). Selanjutnya pada gambar yang telah diperoleh diberi keterangan, khususnya untuk karakter yang bersifat spesifik untuk masing-masing spesies kutukebul. Gambar-gambar tersebut juga digunakan pada kunci identifikasi dengan format digital, tetapi gambar-gambar tersebut harus dirubah dahulu dalam format resolusi rendah (sekitar 10 kilobit (kb)) agar komposisi tampilan gambar pada format digital terlihat baik.


(43)

Hasil Penelitian

Hasil Identifikasi dan Karakter Morfologi Kutukebul

Berdasarkan hasil pengambilan sampel, jumlah kutukebul yang diperoleh adalah 38 spesies. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae ditemukan sebanyak empat spesies, sedangkan Aleyrodinae 34 spesies. Dari 38 spesies kutukebul yang ditemukan, sebanyak 28 di antaranya sudah teridentifikasi, sedangkan 10 spesies lainnya belum teridentifikasi. Kesepuluh spesies kutukebul yang belum teridentifikasi tersebut termasuk ke dalam subfamili Aleyrodinae (Lampiran 3). Jika dilihat dari frekuensi penemuannya di lapangan, terdapat 14 spesies yang sering ditemukan di pertanaman, sedangkan 24 spesies lainnya jarang ditemukan. Dari 14 spesies kutukebul tersebut di atas, sebanyak 6 spesies ditemukan pada tanaman sayuran (Lampiran 4). Hasil identifikasi spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian adalah sebagai berikut:

Subfamili Aleurodicinae:

1. Aleuroctarthrus destructor* 2. Aleurodicus dispersus** 3. Aleurodicus dugesii** 4. Paraleyrodes minei** Subfamili Aleyrodinae:

5. Aleurocanthus citriperdus** 22. Dialeurodes sp.*

6. Aleurocanthus spiniferus** 23. Dialeuropora decempuncta** 7. Aleurocanthus woglumi* 24. Lipaleyrodes sp.*

8. Aleuroclava aucubae* 25. Minutaleyrodes minuta*

9. Aleuroclava canangae* 26. Orchamoplatus mammaeferus** 10. Aleuroclava jasmini** 27. Rusostigma sp.**

11. Aleuroclava psidii* 28. Trialeurodes vaporariorum** 12. Aleurolobus marlatti* 29. Spesies 1*

13. Aleurotrachelus sp.1** 30. Spesies 2* 14. Aleurotrachelus sp.2* 31. Spesies 3* 15. Aleurotrachelus sp.3* 32. Spesies 4* 16. Asiothrixus antidesmae** 33. Spesies 5* 17. Bemisia tabaci** 34. Spesies 6* 18. Cockerelliella psidii** 35. Spesies 7* 19. Cockerelliella sp. 1* 36. Spesies 8* 20. Cockerelliella sp. 2* 37. Spesies 9* 21. Dialeurodes kirkaldyi* 38. Spesies 10*

Keterangan: *jarang ditemukan, ** sering ditemukan (berdasarkan frekuensi penemuan di lapangan).


(44)

Kutukebul subfamili Aleurodicinae dan Aleyrodinae dapat dibedakan dari karakter morfologi umum berupa pori majemuk abdomen dan vasiform orifice

(Gambar 3.1). Subfamili Aleurodicinae memiliki pori majemuk di bagian subdorsal abdomen tubuhnya. Selain itu, di bagian posterior tubuhnya terdapat

vasiform orifice yang berbentuk setengah lingkaran dengan lingula (struktur seperti lidah) yang berukuran besar hingga melewati batas vasiform orifice. Subfamili Aleyrodinae tidak memiliki pori majemuk abdomen; bentuk vasiform orifice beragam, tergantung spesiesnya masing-masing; dan biasanya memiliki seta kauda di bagian posterior tubuh. Selain itu, bentuk dan warna eksuvianya subfamili Aleyrodinae sangat beragam, mulai dari berwarna pucat hingga gelap.

Gambar 3.1 Ciri morfologi umum eksuvia kutukebul subfamili Aleurodicinae (a), dan Aleyrodinae (b) berdasarkan pori majemuk abdomen dan


(45)

Kunci Identifikasi Kutukebul

Karakter morfologi dari masing-masing spesies kutukebul yang ditemukan dapat dilihat pada kunci identifikasi pada Lampiran 5. Kunci identifikasi dikotom dibuat dalam format digital (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Tampilan kunci identifikasi kutukebul dikotomi dalam format digital menggunakan program Lucid Phoenix

Pembahasan

Hasil pengambilan sampel menunjukkan bahwa jumlah spesies kutukebul yang ditemukan pada tanaman pertanian sebagian besar merupakan anggota dari subfamili Aleyrodinae. Menurut laporan Watson (2007), jumlah spesies dari subfamili Aleyrodinae lebih banyak daripada Aleurodicinae. Subfamili Aleurodicinae meliputi 120 spesies dari 18 genus, sedangkan subfamili Aleyrodinae meliputi 1080 spesies dari 112 genus. Kutukebul dari subfamili Aleurodicinae sangat umum ditemukan di kawasan Neotropik, sedangkan Aleyrodinae penyebarannya sangat luas. Spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae umumnya memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, sedangkan spesies dari subfamili Aleyrodinae memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil daripada Aleurodicinae. Hal ini menyebabkan spesies kutukebul dari subfamili


(46)

Aleyrodinae dapat lebih aktif terbang dan lebih mudah terbawa oleh angin dalam berpindah tempat daripada spesies kutukebul dari subfamili Aleurodicinae. Selain itu, venasi sayap yang dimiliki oleh imago subfamili Aleyrodinae lebih sederhana daripada Aleurodicinae. Hal ini menunjukkan bahwa subfamili Aleyrodinae merupakan serangga yang lebih maju daripada Aleurodicinae dari segi evolusinya (Gullan dan Martin 2003). Hal ini kemungkinan yang menyebabkan beberapa spesies dari subfamili Aleyrodinae dapat berperan sebagai vektor virus penyebab penyakit tanaman dan berkembang menjadi biotipe tertentu, contohnya pada B. tabaci.

Deskripsi Spesies Kutukebul a. Subfamili Aleurodicinae

1. Aleuroctarthrus destructor Martin

Sinonim: Aleurodicus destructor Mackie; Aleurodes albofloccosa Froggatt Nama umum: coconut whitefly

Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: A. destructor biasanya dapat ditemukan pada permukaan bawah daun pohon kelapa. Imago berwarna putih dan memiliki ukuran tubuh yang relatif besar (Gambar 3.3b). Ciri khas dari kutukebul ini dapat dilihat dari bentuk lilin yang dihasilkannya. Masing-masing pupa dapat menghasilkan lilin berwarna putih yang tebal di bagian tengah dorsal tubuhnya yang mengarah ke atas (Gambar 3.3c). Pada bagian tepi tubuhnya dihasilkan lilin putih yang lebih tipis yang jika dilihat secara keseluruhan akan membentuk jalinan-jalinan lilin yang tidak beraturan sehingga terlihat seperti gumpalan-gumpalan lilin (Gambar 3.3a). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen yang berukuran relatif besar (Gambar 3.3d). A. destructor dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Keberadaan A. destructor di Indonesia telah dilaporkan sejak tahun 1915 (Kalshoven dan Vecht 1950).


(47)

Gambar 3.3 Koloni A. destructor pada permukaan bawah daun kelapa (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. destructor

2. Aleurodicus dispersus Russell Nama umum: spiralling whitefly

Tanaman inang: Apocynaceae: kamboja (Plumeria alba); Araceae: talas (Colocasia esculenta); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Caricaceae: pepaya (Carica papaya); Euphorbiaceae: kastuba (Euphorbia pulcherrima), singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus), buncis (Phaseolus vulgaris); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: kapas (Gossypium arboretum); Musaceae: pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense), jambu biji (Psidium guajava); Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis), jeruk limau (Citrus amblycarpa); Solanaceae: cabai merah besar (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung, Sukabumi, dan Garut.

Deskripsi: Spesies A. dispersus merupakan kutukebul yang bersifat polifag dan kosmopolitan. Imago A. dispersus berwarna putih dengan tubuh berukuran relatif besar, tetapi relatif lebih kecil daripada A. destructor. Pada pupa A. dispersus terdapat dua struktur lilin yang ukurannya panjang di bagian posterior tubuhnya yang bentuknya menyerupai ekor (Gambar 3.4b). A.


(48)

dispersus umumnya hidup secara berkelompok. Pada populasi yang tinggi, koloni kutukebul dapat menutupi hampir seluruh permukaan bawah daun (Gambar 3.4a). Pada eksuvia terdapat empat pasang pori majemuk abdomen (Gambar 3.4c). A. dispersus dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam. Kutukebul A. dispersus

dilaporkan keberadaannya di Indonesia sejak tahun 1989 (Kajita et al. 1991).

Gambar 3.4 Koloni A. dispersus pada permukaan bawah daun kastuba (a), pupa (b), dan eksuvia A. dispersus

3. Aleurodicus dugesii Cockerell

Sinonim: Aleurodicus poriferus Sampson & Drews Nama umum: giant whitefly

Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Apocynaceae: kamboja (P. alba); Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Asteraceae: dahlia (Dahlia pinnata); Begoniaceae: begonia (Begonia grandis, Begonia sp.); Cannaceae: kana (Canna indica); Cucurbitaceae: labu siam (Sechium edule); Euphorbiaceae: ekor kucing (Acalypha hispida), akalifa (Acalypha wilkesiana); Lauraceae: alpukat (Persea americana); Malvaceae: Kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis); Moraceae: murbei (Morus alba), nangka (Artocarpus heterophyllus); Musaceae: pisang hias (Heliconia colisiana), pisang (Musa paradisiaca); Myrtaceae: dewandaru (Eugenia uniflora);


(49)

Orchidaceae: anggrek tanah (Spathoglottis plicata); Rubiaceae: kopi (Coffea arabica); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia); Solanaceae: cabai keriting, cabai merah besar (Capsicum annuum), melati kosta (Brunfelsia uniflora).

Tempat ditemukan: Bandung, Bogor, Cianjur, Sukabumi, dan Garut.

Deskripsi: Kutukebul A. dugesii dapat dengan mudah dikenali di lapangan dengan adanya lilin-lilin putih yang banyak dan memanjang ke bawah hingga menyerupai janggut (Gambar 3.5a). Imago A. dugesii berwarna putih dengan corak berwarna kelabu pada bagian sayap depannya (Gambar 3.5b). Nimfa berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.5c). Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian posterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.5d). A. dugesii merupakan spesies kutukebul yang bersifat polifag dan cenderung lebih banyak ditemukan di daerah dataran tinggi daripada dataran rendah dan dataran sedang. Pada populasi yang tinggi, koloni kutukebul dan lilinnya dapat menutupi seluruh permukaan bawah daun.

A. dugesii dapat menghasilkan embun madu yang sering menjadi medium bagi pertumbuhan cendawan jelaga sehingga bagian permukaan atas daun biasanya terlihat berwarna hitam.

Gambar 3.5 Koloni A. dugesii pada permukaan bawah daun kembang sepatu (a), imago (b), pupa (c), dan eksuvia (d) A. dugesii


(50)

4. Paraleyrodes minei Iaccarino Nama umum: nesting whitefly

Tanaman inang: Lauraceae: alpukat (Persea americana); Myrtaceae: jambu air (Syzigium samarangense); Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Sukabumi.

Deskripsi: Imago P. minei berwarna putih dengan ukuran tubuh yang mirip dengan A. dispersus (Gambar 3.6b). Imago betina sering meletakkan telur-telurnya secara melingkar dengan ditutupi oleh lapisan lilin sehingga menyerupai sarang burung. Kemudian imago tersebut berdiam diri di bagian tengah. Pupa P. minei berwarna kuning hingga transparan (Gambar 3.6a). Permukaan tubuhnya sering tertutupi oleh lapisan lilin yang dihasilkannya. Di sepanjang tepi tubuhnya dikelilingi oleh lilin yang berwarna putih. Pada eksuvia terdapat enam pasang pori majemuk abdomen (dua pasang pori majemuk di bagian anterior ukurannya tereduksi) (Gambar 3.6c). Kutukebul ini baru diketahui keberadaannya di Indonesia pada tahun 2011 (Nurulalia et al.

2012).

Gambar 3.6 Nimfa (a), dan imago (b) P. minei pada permukaan bawah daun jeruk, serta eksuvia P. minei

b. Subfamili Aleyrodinae

5. Aleurocanthus citriperdus Quaintance and Baker Sinonim: Aleurocanthus cameroni Corbett

Tanaman inang: Rutaceae: jeruk nipis (Citrus aurantifolia), jeruk bali (Citrus maxima).


(51)

Deskripsi: A. citriperdus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman jeruk. Kutukebul ini belum pernah dilaporkan ditemukan pada tanaman selain jeruk. Kutukebul genus Aleurocanthus umumnya ditemukan hidup secara berkelompok, termasuk A. citriperdus. A. citriperdus dapat dikenali dengan warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Pada saat di lapangan, A. citriperdus relatif sulit dibedakan dengan kutukebul genus Aleurocanthus lainnya. Identifikasi kutukebul Aleurocathus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvia-nya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh. Spesies A. citriperdus memiliki duri-duri sebanyak 16 pasang (Gambar 3.7).

Gambar 3.7 Eksuvia A. citriperdus

6. Aleurocanthus spiniferus Quaintance

Sinonim: Aleurocanthus spinifera Quaintance; Aleurodes citricolus Newstead;

Aleurocanthus spiniferus Quaintance & Baker; Aleurocanthus spiniferus var. intermedia Silvestri; Aleurocanthus rosae Singh

Nama umum: orange spiny whitefly

Tanaman inang: Arecaceae: kelapa (Cocos nucifera); Moraceae: nangka (Artocarpus heterophyllus); Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava); Rutacaeae: jeruk manis (Citrus sinensis).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Bandung.

Deskripsi: A. spiniferus merupakan spesies kutukebul yang umum ditemukan pada tanaman jeruk, kelapa, dan nangka. Seperti halnya A. citriperdus,


(52)

kutukebul ini juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara langsung pada daun, A. spiniferus sulit dibedakan dari A. citriperdus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhnya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Kadang-kadang di bagian ujung duri tersebut sering terdapat cairan yang lengket berwarna kuning yang kemungkinan merupakan cairan embun madu yang dihasilkan oleh kutukebul (Gambar 3.8). Imago memiliki tubuh berwarna jingga dengan sayap bercorak warna hitam. Seperti halnya A. citriperdus,

identifikasi A. spiniferus hanya dapat dipastikan berdasarkan karakter eksuvia-nya, yaitu adanya duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang yang semua ukuran panjangnya sama.

Gambar 3.8 Pupa (a) dan imago (b) A. spiniferus pada daun nangka, serta eksuvia A. spiniferus

7. Aleurocanthus woglumi (Ashby)

Sinonim: Aleurocanthus punjabensis Corbett; Aleurocanthus woglumi var

formisana Takahashi Nama umum: citrus blackfly

Tanaman inang: Rutaceae: jeruk manis (Citrus sinensis). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: Kutukebul A. woglumi merupakan spesies kutukebul yang biasanya ditemukan pada tanaman jeruk. Seperti halnya spesies dari genus

Aleurocanthus lainnya, A. woglumi juga umumnya hidup secara berkelompok. Jika dilihat secara langsung pada daun, A. woglumi sulit dibedakan dari A.


(53)

citriperdus dan A. spiniferus karena memiliki ciri-ciri yang hampir sama, yaitu memiliki warna tubuh yang hitam mengkilat dengan lilin yang berwarna putih di bagian tepi tubuhya. Pada bagian dorsal tubuhnya terdapat duri-duri kaku yang juga berwarna hitam. Perbedaan secara pasti hanya dapat dilakukan dengan cara melihat karakter spesifik yang dimiliki oleh masing-masing eksuvia. Pada eksuvia A. woglumi terdapat duri-duri pada bagian submarginal tubuh sebanyak 11 pasang. Satu pasang duri di bagian posteror tubuh ukurannya lebih panjang daripada duri-duri lainnya sehingga menyerupai ekor (Gambar 3.9).

Gambar 3.9 Eksuvia A. woglumi

8. Aleuroclava aucubae (Kuwana)

Sinonim: Aleyrodes aucubae Kuwana; Tetraleurodes aucubae Quaintance and Baker; Aleurotuberculatus aucubae Takahashi

Nama umum: aucuba whitefly, coral whitefly

Tanaman inang: Myrtaceae: jambu bol (Syzigium malaccense) Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi

Deskripsi: Pupa A. aucubae berwarna hitam dengan bentuk menyerupai buah pir. Pada bagian dorsal pupa terdapat pola-pola (rhachis) yang permukaannya cembung yang tertutupi oleh lapisan lilin berwarna putih (Gambar 3.10).


(54)

Gambar 3.10 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. aucubae

9. Aleuroclava canangae (Corbett)

Sinonim: Martiniella canangae Corbett; Aleurotuberculatus canangae Corbett Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava)

Tempat ditemukan: Bogor

Deskripsi: Pada pupa terdapat pigmentasi berwarna cokelat pada bagian-bagian tertentu, di antaranya pada bagian mulut, anterior abdomen, dan di sekitar

vasiform orifice. Ciri kutukebul A. canangae di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia A. canangae terdapat granul yang sangat banyak yang letaknya beraturan, terdapat satu pasang seta pada bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga yang masing-masing terdiri dari satu ruas (Gambar 3.11a), tetapi ada juga yang seta-nya tidak terlihat (Gambar 3.11b).

Gambar 3.11 Eksuvia A. canangae dengan seta (a) dan tanpa seta (b)

10. Aleuroclava jasmini Takahashi


(55)

Nama umum: jasmine whitefly

Tanaman inang: Myrtaceae: salam (Syzygium polyanthum); Oleaceae: Melati (Jasminum sambac); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum) Tempat ditemukan: Bogor

Deskripsi: A. jasmini merupakan kutukebul yang umumnya ditemukan pada tanaman melati. Ciri kutukebul A. jasmini di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Tepian eksuvia umumnya bergerigi, dan biasanya ada yang memiliki satu pasang seta pada bagian sefalotoraks dan tungkai ketiga yang masing-masing terdiri dari satu ruas (Gambar 3.12a), dan ada juga yang tidak memiliki seta (Gambar 3.12b).

Gambar 3.12 Eksuvia A. jasmini dengan seta (a) dan tanpa seta (b)

11. Aleuroclava psidii (Singh)

Sinonim: Aleurotuberculatus psidii (Singh); Aleurotuberculatus psidii Singh Nama umum: asian guava whitefly

Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava). Tempat ditemukan: Bogor

Deskripsi: Kutukebul A. psidii merupakan kutukebul yang sering ditemukan pada tanaman jambu biji. Pupa A. psidii berwarna kuning hingga transparan. Pada bagian dorsal terdapat pola pigmentasi berwarna hitam (Gambar 3.13a). Pada eksuvia terdapat pola granul yang letaknya beraturan, selain itu di bagian margin terdapat pola yang bergerigi (Gambar 3.13b).


(56)

Gambar 3.13 Pupa (s) dan eksuvia (b) A. psidii

12. Aleurolobus marlatti Quaintance and Baker

Sinonim: Aleurolobus niloticus Priesner and Hosny; Aleyrodes marlatti

(Quaintance)

Nama umum: marlatt whitefly

Tanaman inang: Musaceae: pisang (Musa paradisiaca) Tempat ditemukan: Bogor

Deskripsi: Kutukebul A. marlatti ditemukan pada pohon pisang. Kutukebul ini memiliki warna tubuh hitam. Permukaan bagian dorsal tubuh tidak rata (terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan). Pada bagian lekukan tersebut biasanya terdapat lapisan lilin berwarna putih. Pada bagian tepi tubuhnya terdapat struktur yang transparan yang mengelilingi tepian tubuhnya. Pada bagian anterior eksuvia terdapat pola bentuk mata yang berbentuk seperti tanda baca “koma” yang berwarna lebih terang daripada warna eksuvia (Gambar 3.14).


(57)

13. Aleurotrachelus sp. 1

Tanaman inang: Fabaceae: kecipir (Psophocarpus tetragonolobus). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 1 di lapangan berwarna hitam dengan permukaan tubuh tertutupi oleh lilin berwarna putih. Permukaan bagian dorsal tubuh tidak rata (terdapat pola rhachis atau lekukan-lekukan). Terdapat lilin-lilin yang berwarna putih yang mengelilingi bagian tepi pupa (Gambar 3.15a). Pada eksuvia di bagian abdomen terdapat pola lekukan (rhachis). Terdapat pola lipatan transversal di bagian submargin toraks hingga ke bagian anterior abdomen (Gambar 3.15b).

Gambar 3.15 Pupa (a), dan eksuvia (b) Aleurotrachelus sp. 1

14. Aleurotrachelus sp. 2

Tanaman inang: Annonaceae: srikaya (Annona squamosa); Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon).

Tempat ditemukan: Bogor, Sukabumi.

Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 2 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvia-nya. Pada eksuvia Aleurotrachelus sp. 2 terdapat alur longitudinal di bagian submargin toraks, terdapat rhacis pada submargin abdomen, dan terdapat sepasang seta pada masing-masing ruas toraks (Gambar 3.16).


(58)

Gambar 3.16 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 2

15. Aleurotrachelus sp. 3

Tanaman inang: Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum). Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: Ciri kutukebul Aleurotrachelus sp. 3 di lapangan tidak begitu jelas karena pada saat pengambilan sampel hanya ditemukan eksuvianya. Seperti halnya eksuvia Aleurotrachelus sp. 2, pada eksuvia Aleurotrachelus sp. 3 juga terdapat alur longitudinal di bagian submargin toraks, terdapat rhachis pada submargin abdomen, tetapi tidak dan terdapat sepasang seta pada ruas toraks (Gambar 3.17).

Gambar 3.17 Eksuvia Aleurotrachelus sp. 3

16. Asiothrixus antidesmae (Takahashi)

Sinonim: Aleurothrixus antidesmae Takahashi

Tanaman inang: Gnetaceae: melinjo (Gnetum gnemon); Lauraceae: alpukat (Persea Americana); Rubiaceae: asoka (Ixora coccinea); Sapindaceae: rambutan (Nephelium lappaceum).


(59)

Tempat ditemukan: Bogor.

Deskripsi: Di lapangan, pupa A. antidesmae berwarna putih hingga transparan dengan lilin berwarna di bagian median tubuhnya yang memanjang mulai dari toraks hingga ke abdomen. Pada sepanjang tepian pupa terdapat barisan lilin yang berwarna putih hingga transparan (Gambar 3.18a). Tepian eksuvia bergerigi sebanyak dua baris (Gambar 3.18b). Di bagian anterior abdomen terdapat dua pasang seta dengan ujung yang melekuk ke arah dalam.

Gambar 3.18 Pupa (a) dan eksuvia (b) A. antidesmae

17. Bemisia tabaci Gennadius

Sinonim: Bemisia gossypiperda Misra & Lamba; Bemisia longispina Priesner & Hosny; Bemisia nigeriensis Corbett

Nama umum: Tobacco whitefly, sweet potato whitefly, cotton whitefly, cassava whitefly. B. tabaci biotipe-B dikenal dengan nama B. argentifolia

atau silverleaf whitefly

Tanaman inang: Cucurbitaceae: mentimun (Cucumis sativus); Euphorbiaceae: singkong (Manihot esculenta); Fabaceae: kacang panjang (Vigna unguiculata sesquivedalis), kedelai (Glycine max), kecipir (Psophocarpus tetragonolobus); Solanaceae: terung (Solanum melongena), cabai merah keriting (Capsicum annuum), tomat (Lycopersicon esculentum).

Tempat ditemukan: Bogor, Cianjur, Garut.

Deskripsi: Pada daun, pupa B. tabaci berwarna putih hingga kekuningan. Di bagian anterior terdapat pola mata berwarna merah. Pada bagian kiri dan kanan abdomen terdapat pola warna kuning. Jika dilihat secara keseluruhan,


(60)

pupa B. tabaci menyerupai buah pir (Gambar 3.19a). Vasiform orifice B. tabaci berbentuk segitiga. Di bagian posterior tubuhnya terdapat satu pasang seta kauda yang strukturnya kokoh (Gambar 3.19b).

Gambar 3.19 Pupa (a) dan eksuvia (b) B. tabaci pada daun singkong

18. Cockerelliella psidii (Corbett)

Sinonim: Dialeurodes psidii (Corbett); Dialeurodes lumpurensis Corbett Tanaman inang: Myrtaceae: jambu biji (Psidium guajava), salam (Syzygium

polyanthum)

Tempat ditemukan: Bogor, Bandung, Sukabumi

Deskripsi: Ciri pupa kutukebul C. psidii di lapangan berwarna putih hingga transparan. Pada bagian permukaan dorsal terdapat tiga baris pola lilin yang memanjang mulai dari toraks hingga ke abdomen. Di sepanjang tepian pupa terdapat barisan lilin berwarna putih (Gambar 3.20a). Pada eksuvia terdapat sutura longitudinal dan transversal yang terlihat jelas sebagai jalan keluar imago ketika akan keluar dari pupa (Gambar 3.20b).


(1)

Gambar 28

19b Pupa berbentuk oval dan lebar, terdapat sutura submarginal yang memisahkan bagian margin dengan dorsal disc, vasiform orifice berbentuk setengah lingkaran dan berukuran kecil dengan lingula yang tidak terlihat jelas (Gambar 29) ... Cockerelliella sp. 1

Gambar 29

20a Pupa berukuran sangat kecil, berbentuk oval dengan area melebar mulai dari bagian metatoraks hingga ke abdomen ruas ke-2 (Gambar 30) ... Minutaleyrodes minuta Singh


(2)

Gambar 31

21b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 22 22a Pori trakea toraks berbentuk seperti sisir, terdapat 1 baris kelenjar-kelenjar yang berbentuk seperti gigi-gigi, pada abomen ruas pertama terdapat 1 pasang seta (Gambar 32) ... Orchamoplatus

mammaeferus (Quaintance and Baker)

Gambar 32

22b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 23 23a Pada bagian dorsal disc terdapat pola-pola berbentuk bulat

(granul), terdapat retikulasi di sekitar tracheal cleft dan di bagian caudal furrow, bentuk pupa membulat dengan ukuran yang relatif besar (Gambar 33) ... Rusostigma sp.


(3)

Gambar 33

23b Tidak memiliki ciri-ciri seperti yang telah disebutkan di atas .... 24 24a Terdapat barisan papilla di bagian submarginal (Gambar 34), pada

pupa yang ditemukan pada daun yang berambut biasanya terdapat papilla-papilla yang berukuran lebih besar daripada papilla di bagian submarginal, terdapat seta pendek pada masing-masing bagian pangkal tungkai tengah dan belakang ... Trialeurodes

vaporariorum (Westwood)

Gambar 34

24b Tidak terdapat barisan papilla di bagian submarginal, tidak memiliki karakter seperti yang disebutkan di atas ... 25 25a Vasiform orifice berbentuk segitiga, terdapat sepasang seta pada

ruas abdomen VIII dan sepasang seta kauda di bagian ujung posterior tubuhnya (Gambar 35) ... 26


(4)

karakter seperti yang disebutkan di atas, biasanya terdapat pola pigmentasi warna pada bagian tertentu, seperti bagian median toraks dan abdomen, serta thoracic tracheal fold (Gambar 36) ... Dialeurodes

(27)

Gambar 36

26a Memiliki seta kauda yang kokoh di bagian posterior yang panjangnya hampir sama dengan ukuran panjang vasiform orifice (Gambar 37), bentuk pupa beragam (tergantung pada jenis inang) ... Bemisia tabaci


(5)

Gambar 37

26b Caudal furrow tidak terlalu jelas, seta kauda berbentuk seperti rambut, terdapat kumpulan wax plates di bagian submargin (Gambar 38) ... Lipaleyrodes sp.

Gambar 38

27a Terdapat garis median berupa pigmentasi berwarna cokelat hingga hitam pada kantung pupa mulai dari bagian alat mulut hingga ruas abdomen ke-1, seta abdomen ruas ke-8 letaknya di bagian terlebar dari vasiform orifice (Gambar 39) ... Dialeurodes kirkaldyi


(6)

Gambar 39

27b Tidak terdapat garis pigmentasi median, terdapat alur warna yang lebih tua di bagian thoracic tracheal fold (Gambar 40) ...

Dialeurodes sp.