Profil ekhokardiografi motion-mode anjing kampung pada pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine

(1)

PROFIL EKHOKARDIOGRAFI MOTION-MODE

ANJING KAMPUNG PADA PEMBERIAN

KOMBINASI OBAT BIUS XYLAZINE-KETAMINE

DAN ZOLAZEPAM-TILETAMINE

OLEH

Rr. SOESATYORATIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Profil Ekhokardiografi Motion-mode Anjing Kampung pada Pemberian Kombinasi Obat Bius Xylazine-Ketamine dan Zolazepam-Tiletamine adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Rr. Soesatyoratih NRP: B351070051


(3)

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the effect of xylazine-ketamine and zolazepam-tiletamine anaesthetic combination in Indonesian mongrel dog heart using M-mode echocardiography. The study was to conduct in five young female dogs with age of 10±2 months, and weight 10±2.5 kg. Examination were performed to dogs in conscious state or after receiving anaesthesi combination intra muscular. The instrument used in this study were ultrasound device (Sonoscope SSI-1000) and convex type transduser with small footprint scanner of 3-7.5 MHz frequency with animals position in right lateral recumbency for short axis view. Eleven parameter of M-mode echocardiography measured were, interventricular septum (IVS), left ventricular internal dimension (LVID), left ventricular wall (LVW) at end-diastole (d) and end- systole (s), stroke volume (SV), cardiac output (CO), ejection time (ET), fractional shortening (FS) and heart rate( HR ). From this study, we found that anaesthetie combination of xylazine-ketamineand causes reduction of parameter HR, LVWd and LVWs, SV, CO, and increation of parameter LVIDd and LVIDs, ET and FS, but the opposite combination of ZT causes increation of HR, LVWd and LVWs, SV, CO, and reduction on parameter LVIDd and LVIDs, ET and FS. The result showed that the combination of xylazine-ketamineand injection have lower values at parameter HR, LVW, SV, and CO (P < 0,05), and higher values at parameter LVID, ET and FS (P < 0,05) and combination of zolazepam-tiletamine injection have higher values at parameter HR, LVWDd and LVWS, SV, CO (P < 0,05), and lower values at parameter LVIDd and LVIDs, ET and FS (P < 0,05)


(4)

RINGKASAN

Rr. Soesatyoratih. Profil Ekhokardiografi Motion-mode Anjing Kampung pada Pemberian Kombinasi Obat Bius Xylazine-Ketamine dan Zolazepam-Tiletamine

Dibimbing oleh R. Harry Soehartono dan Deni Noviana

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine terhadap kerja jantung melalui teknik pengamatan ekhokardiografi M-mode pada anjing kampung (Canis lupus familiaris). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 ekor anjing kampung betina berumur 10+2 bulan dengan berat badan 10+2,5 kg. Bahan dan alat yang digunakan adalah obat bius xylazine-ketamine dan

zolazepam-tiletamine, termometer, tensimeter, stetoskop, alat cukur rambut, alat EKG, alat USG dengan fasilitas tambahan monitoring EKG, dan transduser atau

probe dengan frekuensi 3,7-5 MHz tipe convex.

Pemeriksaan dilakukan terhadap semua anjing yang diawali dengan pemeriksaan klinis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan elektrokardiografi. Pemeriksaan nilai awal ekhokardiografi (USG jantung) dilanjutkan setelah hasil pemeriksaan klinis, tekanan darah dan rekaman listrik jantung berada dalam kisaran normal. Pengamatan dilakukan pada kelima ekor anjing dalam keadaan sadar dan tenang. Pada pemeriksaan ekhokardiografi hewan dalam keadaan sadar ditidurkan di atas tempat berbaring khusus dengan posisi right lateral recumbancy

dan posisi transduser right parasternal (RPS) short axis view. Untuk membantu pengamatan ekhokardiografi M-mode, diperlukan juga tampilan elektrokardiografi secara bersamaan pada layar monitor. Transduser diposisikan setelah detak jantung terpalpasi antara intercostae 4-6 dan antara sternum dan costo-condral junction. Posisi transduser short-axis view dilakukan untuk mendapatkan pencitraan B-mode dan M-mode. Sebelas parameter ekhokardiografi M-mode yang diukur adalah interventricular septum (IVS), left ventricular internal dimension (LVID), left ventricular wall (LVW) pada end-diastole (d) dan end-systole (s), stroke volume (SV), cardiac output (CO), ejection time (ET), fractional shortening (FS)dan heart rate (HR).

Setelah dinyatakan sehat secara umum dan sehat jantung, kemudian hewan diberi perlakuan penyuntikkan kombinasi obat bius xylazine dengan dosis 2,2 mg/kg bb dan ketamine dengan dosis 11 mg/kg bb secara intra muscular dan dilakukan pengamatan ekhokardiografi M-mode dengan dibantu tampilan elektrokardiografi secara bersamaan pada layar monitor. Pengukuran parameter HR, IVSd, IVSs, LVIDd, LVIDs, LVWd, LVWs, CO, ET, dan FS dilakukan setiap 10 menit sampai pengamatan 60 menit, dan setiap pengamatan dilakukan tiga kali pengulangan penghitungan dan data tersimpan pada komputer USG. Anjing diistirahatkan selama satu minggu untuk menghilangkan efek dari pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine. Minggu berikutnya anjing yang sama diberi perlakuan penyuntikkan kombinasi obat bius zolazepam-tiletamine dengan dosis 25 mg/kg bb secara intra muscular dan dilakukan pengamatan dan pengukuran parameter ekhokardiografi yang sama dengan perlakuan sebelumnya. Semua perlakuan ini dilakukan pada kelima ekor anjing.


(5)

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kombinasi xylazine-ketamine

akan menurunkan nilai HR, LVWd, dan LVWs, SV, CO (P<0,05) lima menit setelah penyuntikan dan tetap bertahan sampai 30 menit. Pada periode yang sama kombinasi xylazine-ketamine akan meningkatkan nilai LVIDd dan LVIDs, ET dan FS (P<0,05). Sebaliknya kombinasi zolazepam-tiletamine akan meningkatkan nilai HR, LVWd, dan LVWs, SV dan CO dimulai 5 menit setelah injeksi dan tetap tinggi setelah 20 menit injeksi (P<0,05), sedangkan pada waktu yang sama kombinasi zolazepam-tiletamine akan menurunkan nilai LVIDd dan LVIDs, ET dan FS(P<0,05).

Dari hasil seluruh pengamatan dapat dilihat xylazine yang termasuk pada golongan alpha-2 adrenoreceptor mempunyai efek mendepres sistem kardiovaskular melalui penekanannya pada sistem saraf simpatis, sedangkan

ketamine mempunyai efek menstimulasi sistem saraf simpatis. Jika dikombinasikan dengan alpha-2 agonis seperti xylazine maka akan terjadi penurunkan efek dari ketamine. Dampak dari pemberian kombinasi xylazine-ketamine adalah terjadinya penurunan frekuensi jantung, peningkatan dari dimensi internal ruang ventrikel jantung yang akan diikuti oleh peningkatan dari

stroke volume. Penurunan frekuensi jantung yang diikuti oleh peningkatan stroke volume akan berakhir pada terjadinya penurunan dari cardiac output. Kebalikan dengan efek kombinasi xylazine-ketamine, kombinasi zolazepam-tiletamine akan meningkatkan frekuensi jantung, menurunkan dimensi internal ruang ventrikel jantung yang diikuti oleh penurunan dari stroke volume. Peningkatan frekuensi jantung yang disertai oleh penurunan dari stroke volume akibat dari pemberian kombinasi zolazepam-tiletamine akan meningkatkan cardiac output. Cardiac output menjadi sangat penting karena cardiac output bertanggung jawab terhadap transportasi darah (oksigen dan nutrien) untuk menyuplai kebutuhan jaringan tubuh selama berjalannya operasi. Walaupun kombinasi zolazepam-tiletamine

akan meningkatkan cardiac output tapi harus tetap berhati-hati karena pemberian kombinasi ini dapat meningkatkan frekuensi jantung sampai dua kali lipat dari frekuensi jantung normal.

Dari penelitian ini terlihat bahwa injeksi kombinasi xylazine-ketamine

akan menekan sistem kardiovaskular, sebaliknya injeksi kombinasi zolazepam-tiletamine akan menstimulasi sistem kardiovaskular

Dengan melihat efek dari kombinasi xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine pada sistem kardiovaskular maka penggunaan kombinasi obat bius ini sebaiknya dihindari pada pasien yang menderita penyakit pada sistem kardiovaskular. Pembiusan menggunakan kombinasi xylazine-ketamine sebaiknya dihindari pada pasien yang menderita penyakit pada sistem kardiovaskular seperti kebocoran katub atrio ventrikel dan dilatation cardiomyopathy, sedangkan penggunaan kombinasi obat bius zolazepam-tiletamine sebaiknya tidak diberikan pada pasien penderita penyakit jantung hypertrophy cardiomiopathy


(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

PROFIL EKHOKARDIOGRAFI MOTION-MODE

ANJING KAMPUNG PADA PEMBERIAN

KOMBINASI OBAT BIUS XYLAZINE-KETAMINE

DAN ZOLAZEPAM-TILETAMINE

OLEH

Rr. SOESATYORATIH

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Tesis : Profil Ekhokardiografi M-mode Anjing Kampung pada Pemberian Kombinasi Obat Bius Xylazine- Ketamine dan Zolazepam-Tiletamine

Nama : Rr. Soesatyoratih NRP : B351070051

Program Studi : Ilmu Biomedis Hewan (IBH)

Menyetujui Komisi Pembimbing

Drh. R. Harry Soehartono, MAppSc., Ph.D Drh. Deni Noviana Ph.D

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB Ilmu Biomedis Hewan

Drh. H. Agus Setiyono, MS., Ph.D., APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 10 Juli 1960 dari ayah R. Soetoyo Poerbojopoetro dan ibu Rr. Soelasmi. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.

Tamat Sekolah Dasar Blok S Pagi I Jakarta tahun 1973, penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama LXXXV Jakarta tamat tahun 1976. Pendidikan Lanjutan Atas diselesaikan tahun 1980 di SMAN VI Jakarta. Pendidikan sarjana ditempuh penulis di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, lulus pada tahun 1984. Tahun 1986, penulis lulus sebagai Dokter Hewan. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains Program Studi Ilmu Biomedis Hewan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2007. Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Bagian Bedah Radiologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.


(11)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat hidayah-Nyalah sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 ini ialah Profil jantung dengan judul “ Profil Ekhokardiografi Motion-mode Anjing Kampung pada Pemberian Kombinasi Obat Bius Xylazine-Ketamine dan

Zolazepam-Tiletamine “ telah berhasil penulis selesaikan. Tesis ini diajukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan studi Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada yang terhormat drh. H. Agus Setiyono, MS, PhD., APVet sebagai Ketua Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, drh.R.Harry Soehartono,M.App.Sc., Ph.D sebagai ketua komisi pembimbing, dan drh. Deni Noviana, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, masukkan dan perhatian yang diberikan selama penelitian ini berjalan. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada drh. Siti Zaenab sebagai pemilik Klinik Hewan My Vets yang telah membantu penulis dengan mengizinkan menggunakan fasilitas klinik seperti alat ultrasonografi, tensimeter, dan lain-lain sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan baik, ucapan terima kasih disampaikan kepada PT. Karindo Alkestron yang telah membantu peminjaman alat ultrasonografi untuk kelancaran penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Drs.Wisnanto, MSc dan anak-anakku tersayang Widyo Utomo dan Satryo Utomo atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011 Rr.Soesatyoratih


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR... iv

DAFTAR LAMPIRAN... v

RIWAYAT HIDUP PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 2

Manfaat Penelitian... 2

TINJAUAN PUSTAKA... 4

Klasifikasi Anjing... 4

Kondisi Kesehatan Anjing... 4

Konduksi Listrik Jantung... 10

Dinamika Jantung... 11

Electrocardiography... 13

Echocardiography... 14

Rigth Parasternal View (RPS) ... 15

Left Apical View (LAp) ... 18

Left Parasternal View (LPS) ... 18

Suprasternal dan Subcostal View ... 19

Xylazine... 21

Farmakologi... 22

Farmakokinetik... 24

Ketamine HCl... 25

Farmakologi... 25

Farmakokinetik... 27

Zolazepam-Tiletamine... 27

Farmakologi... 27

Farmakokinetik... 29

METODE PENELITIAN... 31

Waktu dan Tempat Penelitian... 31

Bahan dan Alat... 31

Metode Penelitian... 31

Pemeriksaan Klinis dan Tekanan Darah... 31

Pemeriksaan Elektrokardiografi... 32

Pemeriksaan Awal Ekhokardiografi... 33

Pembiusan dan Pemeriksaan Ekhokardiografi... 34


(13)

HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

Pemeriksaan Fisik dan Jantung... 39

Pengamatan Parameter M-mode Echocardiography... 39

Heart Rate (HR) ... 39

Left Ventricular posterior Wall thickness at end-diastole (LVWd)... 42

Left Ventricular posterior Wall thickness at end-systole (LVWs)... 42

Left Ventricular Internal Dimension at end-diastole (LVIDd)... 44

Left Ventricular Internal Dimension end-systole (LVIDs)... 44

Interventricular septal thickness at end-diastole (IVSd)... 47

Interventricular septal thickness at end-systole (IVSs)... 47

Stroke volume (SV) ... 49

Cardiac Output (CO) ... 51

Ejection time (ET) ... 53

Fractional shortening (FS) ... 55

KESIMPULAN... 58

SARAN... ... 58

DAFTAR PUSTAKA... 59


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi 5

Tabel 2. Fase Siklus Jantung 107

Tabel 3. Nilai normal parameter M-mode echocardiography anjing 35 Tabel 4. Rata-rata suhu tubuh, frekuensi nafas, frekuensi jantung,

tekanan darah dan EKG 36 Tabel 5. Pengamatan frekuensi jantung anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 36 Tabel 6. Pengamatan ketebalan dinding ventrikel kiri anjing setelah

perlakuan pemberian xylazine-ketamine dan

zolazepam-tiletamine 39

Tabel 7. Pengamatan LVIDd dan LVIDsf anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 40 Tabel 8. Pengamatan ketebalan dinding septa intra ventrikel anjing

setelah perlakuan pemberian xylazine-ketamine dan

zolazepam-tiletamine 43

Tabel 9. Pengamatan stroke volume anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 45 Tabel 10. Pengamatan cardiac output anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 47 Tabel 11. Pengamatan ejection time anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 49 Tabel 12. Pengamatan fractional shortening anjing setelah perlakuan


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Anatomi Jantung Anjing 6

Gambar 2. Siklus Jantung 13

Gambar 3. Elektrokardiogram 14

Gambar 4. Ekhokardigrafi orientasi dan anatomi 15 Gambar 5. Rigth parasternal long axis-view 17 Gambar 6. Rigth parasternal short axis-view 17 Gambar 7. Rigth parasternal (RPS) short axis-view 18 Gambar 8. M-mode pada Left Ventricel (LV) level 18

Gambar 9. Left apical view 19

Gambar 10. Left parasternal short axis view 20 Gambar 11. Left parasternal long axis view 21 Gambar 12. Efek utama yang dimediasi oleh alfa dan beta adrenoceptor 22 Gambar 13. Pembentukan dan pelepasan norepinephrine pada

saraf adrenergic 23 Gambar 14. Skema diagram dari benzodiazepin-GABA-kompleks

kanal klorida GABA=γ-aminobutyric acid 29 Gambar 15. Posisi pemasangan cuff pada kaki depan 32

Gambar 16. Tensimeter 32

Gambar 17. Posisi berbaring hewan left lateral recumbancy dan

posisi pemasangan lead 33 Gambar 18. Alat elektrokardiografi 33 Gambar 19. Posisi tidur hewan right lateral recumbancy dan posisi

tranduser right parasternal short axis view 37

Gambar 20. Alat ultrasonografi 37

Gambar 21. Cara menghitung parameter pada ekhokardiografi M-mode 37 Gambar 22. Pengamatan Frekuensi Jantung Anjing setelah

Perlakuan Pemberian Xylazine-Ketaminedan

Zolazepam-Teletamine 40 Gambar 23. Pengamatan ketebalan dinding ventikel kiri anjing

pada saat diastol (Gambar. a) dan sistol (Gambar. b) setelah perlakuan pemberian xylazine- ketamine dan zolazepam-tiletamine 43 Gambar 24a. Pengamatan LVIDd anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam tiletamine 45 Gambar 24b. Pengamatan LVIDs anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam tiletamine 46 Gambar 25. Pengamatan IVSd dan IVSs anjing setelah perlakuan

pemberian Xylazine -ketamine dan zolazepam- tiletamine 48 Gambar 26. Pengamatan Stroke Volume (SV) anjing setelah perlakuan pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 49 Gambar 27. Pengamatan Cardiac Output (CO) anjing setelah perlakuan pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 51 Gambar 28. Pengamatan Ejection Time anjing setelah perlakuan

pemberian xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine 54 Gambar 29. Pengamatan Fractional Shortening (FS) anjing setelah


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. RAL in TiME HR... 63

Lampiran 2. RAL in TiME LVWd... 67

Lampiran 3. RAL in TiME LVWs... 71

Lampiran 4. RAL in TiME LVIDd... 75

Lampiran 5. RAL in TiME LVIDs... 79

Lampiran 6. RAL in TiME IVSd... 83

Lampiran 7. RAL in TiME IVSs... 87

Lampiran 8. RAL in TiME SV... 91

Lampiran 9. RAL in TiME CO... 95

Lampiran 10. RAL in TiME ET... 99

Lampiran 11. RAL in TiME FS... 103


(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Anjing merupakan jenis hewan kesayangan yang digemari dan dipelihara karena lucu dan pandai. Anjing juga sebagai hewan penjaga rumah, berburu, bahkan di kepolisian digunakan sebagai anjing pelacak. Dari sekian banyak ras anjing, masyarakat banyak memelihara anjing kampung (Canis lupus familiaris). Anjing mempunyai pesona tersendiri karena lucu dan cerdik serta mempunyai arti penting dalam hal penelitian, maka kesehatan hewan menjadi perhatian pemilik anjing dan dokter hewan. Populasi anjing kampung (Canis lupus familiaris) banyak dan mudah didapat, serta memiliki daya adaptasi yang baik dengan kemampuan reproduksi yang cukup tinggi.

Berbagai penyakit dapat menyerang anjing, ada penyakit yang harus ditangani dengan tindakan bedah ataupun tindakan bedah yang bersifat pengendalian reproduksi seperti ovariohisterektomi dan kastrasi (Trisoli dan Gouletsou 2011).

Untuk melakukan tindakan pembedahan, hewan harus dianastesi terlebih dahulu. Banyak jenis obat bius yang dapat digunakan namun mempunyai berbagai efek samping. Efek dari obat bius dapat mempengaruhi otak, otot, sistem respirasi dan sistem kardiovaskular. Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang paling terpengaruh oleh pemberian anastetikum (Narbutas dan Lekas 2002). Fungsi jantung terutama ventrikel kiri memompakan darah keseluruh tubuh untuk memasok oksigen dan zat nutrisi ke jaringan tubuh (Egner, Carr dan Brown 2007) sehingga jika jantung terpengaruh karena pemberian obat bius maka akan mempengaruhi jaringan tubuh yang lain. Dengan mengetahui efek obat bius terhadap jantung akan lebih mudah memilih obat bius yang cocok untuk individu anjing. Selain organ jantung organ paru juga akan terpengaruh karena pemberian obat bius ini. Obat bius yang sering dipergunakan dalam dunia kedokteran hewan adalah kombinasi obat bius xylazine-ketamine


(18)

2

alasan tersebut pemilihan kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan

zolazepam-tiletamine dalam penelitian ini karena kombinasi obat bius

xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine sering digunakan di tempat praktek dokter hewan untuk membius kucing dan anjing, aplikasinya mudah, murah dan merupakan sediaan short acting anestesi.

Dalam kedokteran hewan teknik ultrasonografi sudah banyak digunakan untuk diagnosa kebuntingan, melihat kelainan jaringan pada organ tubuh seperti hati, ginjal, limpa, dan lain-lain. Ultasonografi jantung atau ekhokardiografi merupakan salah satu teknik non invasif yang digunakan untuk mendiagnosa penyakit pada jantung seperti kebocoran katup jantung, kelainan pada otot jantung seperti hipertrofi otot jantung maupun dilatasi dari lumen ventrikel jantung (Nakatani dan Beppu 1992).

Walaupun penelitian terhadap jantung dengan menggunakan teknik ekhokardiografi M-mode sudah banyak dilakukan (Kitahata et a.l 1999), pengamatan dinamika jantung dengan kombinasi obat bius belum dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh obat bius terhadap profil atau dinamika jantung melalui teknik ekhokardiografi M-mode pada anjing lokal (Canis lupus familiaris).

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine terhadap profil atau dinamika jantung melalui teknik pengamatan ekhokardiografi M-mode pada anjing kampung (Canis lupus familiaris).

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine terhadap profil atau dinamika jantung serta pemilihan kombinasi obat bius yang tepat dalam melakukan tindakan pembiusan selama operasi terutama pada pasien yang mengalami kelainan jantung.


(19)

3 Hipotesa

1. Ada perbedaan dinamika jantung disebabkan oleh pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine.

2. Tidak ada perbedaan dinamika jantung disebabkan oleh pemberian kombinasi obat bius xylazine-ketamine dan zolazepam-tiletamine.


(20)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Klasifikasi Anjing

Anjing termasuk hewan mamalia pemakan daging atau karnivora. Anjing mengalami domestikasi dari serigala sejak 1500 tahun yang lalu. Taksonomi anjing menurut Linnaeus (1778) dalam Anonim (2009) :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Subphylum : Vertebrata Class : Mamalia Ordo : Canidae Genus : Canis

Spesies : Canis lupus

Subspesies : Canis lupus familiaris

Kondisi Kesehatan Anjing

Kondisi kesehatan anjing secara umum dapat dilihat dari pemeriksaan fisik hewan baik secara inspeksi, palpasi maupun auskultasi. Pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan darah, urin, feses, elektrokardiografi (Bove 2010), radiografi (Guglielmini et al 2009) maupun ultrasonografi (Cutwell et al 2011). Theresa (2002) menyatakan anjing yang sehat terlihat mata dan anus bersih, respirasi tenang dan teratur, bulu halus bercahaya dan bersih, kulit kering dan lembut, kelenjar getah bening tidak ada pembengkakan dan simetris, hidung sedikit basah dan kering, pulsus teratur, gigi putih tanpa plak dan gusi berwarna merah muda dan cerah. Menurut Tiley dan Smith (1997) suhu tubuh normal anjing 37,8– 39,50C, frekuensi pernafasan normal 20-30 per menit dan detak jantung normal 120-140 per menit.

Meyer (1992) memberikan gambaran darah normal anjing dewasa adalah Red Blood Cell (5,5–8,5) x 106/Ul, Hemoglobin (12–18) g/dL,

Packed Cell Volume (37–55) %, Mean Cell Volume (60–72) fL, Mean Cell Hemoglobin Cell (31–37) g/dL, Red Distribution Width (12–16)%, White


(21)

5

Blood Cell (5,5–16,9) x 103/uL, Band neutrophils (0,0–0,299)x 103/uL,

Segmented neutrophils (3,0-12,0) x 103/uL, Lymphocytes (1,0–4,9) x 103/uL,

Monocytes (0,1–1,4) x103/uL, Eosinophil (0,1–0,49) x 103/uL, Platelets

(175–500) x 103/uL, Basofil jarang.

American Society of Anesthesiologist (ASA) mengklasifikasikan status pasien pada prosedur anastesi (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi status pasien pada prosedur anestesi

Kategori Kondisi fisik Contoh kondisi klinis

Klas I

Resiko minimal

Hewan normal (sehat klinis) Tidak ada penyakit

Ovariohisterektomi, kastrasi, operasi declawing, radiografi hipdisplasia

Klas II

Risiko ringan, ada penyakit ringan

Hewan dengan gangguan atau penyakit sistemik ringan, ada kemampuan kompensator, tidak ada gejala klinis penyakit.

Hewan neonatal atau geriatrik, obesitas, tumor kulit, hernia tanpa komplikasi, criptorchid, fraktura tanpa shock, diabetes ringan, penyakit jantung dengan kompensator, infeksi lokal, infeksi cacing jantung ringan. Klas III

Resiko sedang, ada penyakit yang pasti

Hewan dengan gangguan atau penyakit sistemik sedang terdapat gejala klinis ringan.

Anemia, anoreksia, dehidrasi sedang penyakit ginjal ringan, murmur ringan jantung atau penyakit jantung, demam, hipovolemia sedang. Klas IV

Resiko tinggi, sangat berbahaya karena penyakit

Hewan dengan penyakit sistemik berat tetapi dapat menjalani pengobatan atau gangguan alami yang berat

Dehidrasi berat, shock, uremia, toksemia, demam tinggi, anemia, penyakit jantung tidak terkompensasi, diabetes, gangguan ginjal dan pulmonum, serta kekurusan. Klas V

Resiko sangat berat atau parah

Pasien parah hampir mati, dengan atau tanpa operasi tidak ada harapan hidup dalam 24 jam.

Penyakit jantung, ginjal, hati, paru-paru, atau endokrin yang lanjut; shock berat dengan disertai dehidrasi berat, luka kepala yang parah, trauma berat, emboli pulmonum, dan tumor maligan stadium akhir. Suber: Lumb dan Jones,1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead, 2003

Dari tabel 1, kriteria hewan yang digunakan pada penelitian ini termasuk pada kategori klas I.


(22)

6

Kondisi kesehatan anjing khususnya jantung harus ditunjang pula oleh pemeriksaan Elektrokardiografi (EKG), Radiografi toraks dan Ekhokardiografi (USG jantung). Elektrokardiografi berguna mengetahui kelainan irama dan otot jantung, pengaruh obat jantung, deteksi ada gangguan elektrolit dan memperkirakan ada pembesaran jantung (Gravahan 2003), selanjutnya radiografi toraks dilakukan bila ada keluhan seperti kardiopulmonari, dispnoe, takhipnoe, batuk, dan abnormalitas suara paru atau jantung. Radiografi toraks juga digunakan untuk mengetahui ukuran jantung hewan (Gravahan 2003). Ekhokardiografipada pencitraan M-mode digunakan untuk melihat empat ruang jantung, denyut dan ritme jantung, evaluasi gerakan dinding ventrikel dan interventricular septum, mengukur ketebalan dinding dari tiap ruang saat sistol dan diastol (Cutwell, Bonagura dan Schober 2011),struktur dan fungsi katup atrioventrikular(Carlsson et al

2009), chordae tendineae dan otot pappilari, juga ketebalan dari epikardium/perikardium dan melihat ada cairan atau massa di ruang perikardium (Barr 1990).

Cairan tubuh adalah konduktor yang baik, maka aktivitas kelistrikan jantung dideteksi dari permukaan tubuh dan dimonitor dengan alat yang disebut elektrokadiograf. Elektrokardiograf membuat rekaman grafik yang disebut elektrokardiogram. Elektrokardiograf merupakan alat yang sangat umum digunakan untuk mendiagnosa disfungsi elektris jantung (Becker 2006). Elektrokardiografi dapat direkam dengan menempelkan elektroda pada tempat tertentu di kulit, dan voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat di dalam layar monitor atau tergambar di atas kertas. Hasil perekaman elektrokardiografi berupa defleksi voltase yang disebabkan oleh depolarisasi atrial dan ventrikel, serta repolarisasi ventrikel (Colville & Bassert 2002).


(23)

7 SISTEM KARDIOVASKULAR

Gambar 1. Anatomi jantung anjing (O’Grady dan O′Sullivan 2010)

Jantung berada dalam rongga toraks dibagian mediastinum. Jantung karnivora berbentuk ovoid, dan pada anjing memanjang antara intercostal

ketiga sampai keenam. Sumbu memanjang jantung membentuk sudut 45 derajat dengan sternum. Bagian basis jantung mengarah ke craniodorsal dan apeks berada pada garis tengah pertemuan diafragma dengan sternum (Colville & Bassert 2002).

Otot jantung bergaris seperti pada otot lurik. Perbedaannya terdapat pada serabut yang bercabang dan mengadakan anastomose bersambung satu sama lain, tersusun memanjang seperti pada otot bergaris, dan tidak dapat dikendalikan kemauan (Pearce 2009).

Aktvitas listrik jantung akibat dari perubahan permeabilitas membran sel yang memungkinkan pergerakan ion-ion melalui membran tersebut. Masuknya ion-ion, maka muatan listrik sepanjang membran ini mengalami perubahan yang relatif. Ada tiga macam ion yang mempunyai fungsi penting dalam elektrofisiologi sel, yaitu kalium (K+), natrium (Na+), dan kalsium (Ca2+). Kalium lebih banyak di dalam sel, sedangkan kalsium dan natrium terdapat di luar sel (Syaifuddin 2009).


(24)

8

Dalam keadaan istirahat, sel-sel otot jantung mempunyai muatan positif di bagian luar sel dan muatan negatif di dalam sel. Perbedaan muatan bagian luar dan bagian dalam sel disebut resting membrane potensial. Bila sel dirangsang akan terjadi perubahan, muatan dalam sel berubah menjadi positif, sedangkan di luar sel menjadi negatif. Proses terjadinya perubahan muatan akibat rangsangan dinamakan depolarisasi. Kemudian setelah rangsangan sel berubah kembali pada keadaan muatan semula, proses ini dinamakan repolarisasi. Seluruh proses tersebut dinamakan aksi potensial. Aksi potensial yang terjadi disebabkan oleh rangsangan listrik, kimia, mekanik, dan termis ( Syaifuddin 2009 ).

Aksi potensial dibagi dalam lima fase yaitu ( Syaifuddin 2009 ) : 1. Fase istirahat

Bagian luar sel jantung bermuatan positif dan bagian dalam sel bermuatan negatif. Membran sel lebih permeabel terhadap kalium dari pada natrium sehingga sebagian kecil kalium merembes keluar sel.

2. Fase depolarisasi

Peningkatan permeabilitas membran terhadap natrium sehingga natrium masuk ke dalam sel.

3. Fase polarisasi parsial

Segera setelah terjadi depolarisasi, terdapat sedikit perubahan masuknya kalsium ke dalam sel.

4. Fase plato ( keadaan stabil )

Fase depolarisasi diikuti keadaan stabil yang agak lama dimana keseimbangan ion positif masuk dan keluar. Aliran kalsium dan natrium masuk dan keluar dengan seimbang.

5. Fase repolarisasi ( cepat )

Muatan kalsium dan natrium secara berangsur-angsur meningkat sehingga kalium keluar dari sel dengan cepat.


(25)

9

Jantung tersusun atas otot yang bersifat khusus dan terbungkus oleh sebuah membran yang disebut perikardium. Membran ini terdiri dari dua lapis yaitu perikardium viseral dan perikardium parietal. Di sebelah dalam jantung dilapisi endotelium. Lapisan ini disebut endokardium. Katup-katupnya hanya merupakan bagian yang lebih tebal dari membran ini (Reece 2006).

Menurut Pearce (2009), tebal dinding jantung dilukiskan terdiri atas tiga lapis, yaitu: Pericardium atau pembungkus luar, Myocardium atau lapisan otot tengah, dan Endocardium sebagai batas dalam. Dinding otot jantung tidak sama tebalnya. Dinding ventrikel paling tebal dan dinding di sebelah kiri lebih tebal dari dinding sebelah kanan. Dinding atrium tersusun atas otot yang lebih tipis (Pearce 2009). Sebelah dalam dinding ventrikel ditandai berkas-berkas otot yang tebal yaitu otot-otot papilaris. Pada tepi bawah otot-otot ini terkait benang-benang tendon tipis, yaitu chordae tendineae. Benang-benang ini mempunyai kaitan kedua yaitu pada tepi bawah katup atrio-ventrikuler. Kaitan ini menghindarkan kelopak katup terdorong masuk ke dalam atrium, bila ventrikel berkontraksi (Lippold and Cogdel 1991).

Jantung memiliki empat ruangan yaitu dua ruang yang berdinding tipis yang disebut atrium atau serambi dan dua ruang yang berdinding tebal yang disebut ventrikel atau bilik. Atrium kanan dan kiri dipisahkan oleh sekat yang dikenal sebagai septum interatrium sedangkan ventrikel kiri dan kanan dipisahkan oleh sekat yang disebut septum interventrikel. Jantung memiliki empat katup yang berfungsi untuk mengatur sirkulasi darah. Setiap katup berespon terhadap perubahan tekanan. Katup dikelompokkan dalam dua jenis yaitu katup atrioventrikular dan katup semilunar. Katup atrioventrikular terletak diantara atrium kanan dan ventrikel kanan mempunyai tiga buah daun katup, disebut katup trikuspidalis. Sedangkan katup yang letaknya diantara atrium kiri dan ventrikel kiri mempunyai dua daun katup disebut katup mitral atau bikuspidalis. Katup semilunar memisahkan ventrikel dengan arteri yang berhubungan. Katup semilunar pulmonal terletak pada arteri pulmonalis, memisahkan pembuluh darah ini


(26)

10

dari ventrikel kanan. Katup semilunar aortaterletak antara ventrikel kiri dan aorta. Kedua katup semilunar ini mempunyai bentuk yang sama, terdiri dari tiga daun katup yang simetris setengah bulan disertai penonjolan menyerupai corong yang dikaitkan dengan sebuah cincin serabut (Reece 2006). Anatomi jantung dapat dilihat pada gambar 1.

Jantung memompa darah dalam dua sirkuit, yaitu sirkulasi sistemik atau peredaran darah besar yaitu dari jantung keseluruh tubuh kembali ke jantung dan sirkulasi pulmonari atau peredaran darah kecil, yaitu jantung ke paru kembali ke jantung. Setiap sistem sirkulasi dibagi menjadi sistem vena dan sistem arterial. Sistem sistemik vena bermula dari darah yang tidak mengandung oksigen masuk ke atrium kanan melalui vena jantung yaitu

vena cava cranialis dan vena cava caudalis (Reece 2006). Dari sini darah mengalir menuju ke ventikel kanan, yang kemudian akan dipompa masuk ke sirkulasi pulmonari terutama arteri pulmonari. Pembuluh darah yang membawa darah ke jantung disebut vena sedangkan yang membawa darah keluar dari jantung disebut arteri. Arteri pulmonari adalah satu-satunya arteri yang membawa darah yang tidak mengandung oksigen. Vena pulmonari adalah satu-satunya vena yang membawa darah yang mengandung oksigen. Darah dalam arteri pulmonalis mengalir ke pembuluh kapiler paru disini karbon dioksida akan dibuang dan diganti oleh oksigen. Darah yang sudah mengandung oksigen kemudian mengalir melalui vena pulmonari menuju ke atrium kiri kemudian ke ventrikel kiri yang selanjutnya akan diedarkan keseluruh tubuh melalui aorta (Conville and Bassert 2002).

Konduksi listrik jantung

Sistem perangsangan dan konduksi listrik jantung yang mengatur konduksi listrik jantung, konduksi listrik jantung (pace maker) ini antara lain: SA node (nodus sinoatrial) impuls perangsangan ritmis yang normal dicetuskan, kemudian menuju ke jalur internodus yang menjalarkan impuls dari nodus sinus menuju ke nodus AV node (nodus atrioventrikular), impuls dari atrium mengalami perlambatan sebelum masuk ke ventrikel.


(27)

11

Selanjutnya, His Bundle (serabut His) yang akan membawa impuls yang berasal dari atrium ke ventrikel, dan berkas serabut purkinje kiri dan kanan yang membawa impuls-impuls jantung ke seluruh bagian ventrikel. Sistem konduksi jantung ini berfungsi untuk membangkitkan impuls-impuls yang menyebabkan timbulnya kontraksi ritmis otot jantung, dan untuk mengkonduksikan impuls ini dengan cepat ke seluruh jantung (Cunningham 2002).

Dinamika jantung

Siklus jantung adalah peristiwa yang berawal dari permulaan sebuah debar jantung sampai debar jantung berikutnya. Siklus jantung terdiri dari dua bagian yaitu sistol dan diastol. Sistol adalah periode jantung berkontraksi dengan meningkatkan tekanan dalam jantung sehingga darah dikeluarkan menuju sirkulasi sistemik dan pulmonar. Sedangkan periode jantung berelaksasi dan terisi darah disebut diastol (Conville and Bassert 2002). Dalam satu siklus jantung terdapat 7 fase yang dimulai dari periode sistol sampai dengan diastol (Lampiran 12. dan Tabel 2). Fase yang pertama disebut kontraksi atrium (atrial contraction) dimana terjadi kontraksi atrium baik kanan maupun kiri, darah yang berasal dari atrium kanan masuk ke dalam ventrikel kanan dan darah yang berasal dari atrium kiri masuk ke dalam ventrikel kiri, pada kondisi ini katup atrioventrikular terbuka dan katup semilunar tertutup. Setelah darah masuk ke ventrikel, tekanan di dalam ventrikel akan meningkat. Tekanan yang tinggi di dalam ventrikel menyebabkan tertutupnya katup atrioventrikular. Penutupan katup atrioventrikular ini menghasilkan suara jantung ‘lup’ (S1) (Setiadi 2007). Fase yang kedua disebut kontraksi isovolumetrik (isovolumetrik contraction), merupakan suatu fase dimana ventrikel telah berkontraksi tetapi belum terjadi perubahan volume darah di ventrikel baik ventrikel kanan maupun kiri. Pada kondisi ini katup atrioventrikular dan semilunar tertutup. Karena tekanan di kedua ventrikel semakin meningkat dan impuls listrik telah mencapai ventrikel, maka darah akan diejeksikan dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis dan ventrikel kiri ke pembuluh aorta. Fase ketiga


(28)

12

ini disebut juga sebagai rapid ejection, pada kondisi ini terjadi pembukaan katup semilunar aorta dan semilunar pulmonalis, sedangkan katup atrioventrikular masih tertutup. Kemudian memasuki fase keempat yang disebut reduced ejection, darah yang diejeksikan dari ventrikel semakin lama semakin berkurang, pada fase ini tidak ada perubahan kondisi katup masih sama dengan fase yang ketiga. Selanjutnya, fase yang kelima disebut

isovolumetrik relaxation, merupakan suatu kondisi dimana terjadi relaksasi di ventrikel tetapi tidak terjadi perubahan volume (Udjianti 2010). Tekanan di kedua ventrikel menurun drastis, karena tekanan di ventrikel lebih rendah dari pada di atrium mengakibatkan penutupan katup semilunar baik aorta maupun pulmonalis yang akan menghasilkan suara jantung ‘dup’ (S2) (Setiadi 2007). Karena tekanan di kedua ventrikel menurun drastis mengakibatkan terbukanya katup atrioventrikular. Pembukaan katup atrioventrikular, menyebabkan terjadinya pengisian darah secara pasif dari atrium ke ventrikel. Fase keenam ini disebut dengan rapid filling. Kemudian fase yang ketujuh adalah reduced ejection, darah semakin sedikit yang berpindah ke ventrikel. Pengisian darah secara pasif dari atrium ke ventrikel sebesar 90% dari volume darah akibat pembukaan katup atrioventrikular. Setelah itu, fase ini akan kembali ke fase yang pertama yaitu atrial contraction, dimana terjadi pengisian darah secara aktif sebesar 10% dari volume darah akibat kontraksi atrium (Reece 2006).

Jantung memompa darah melalui dua sirkuit, yaitu sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal dalam setiap denyut (Tortora 2005). Darah dari seluruh tubuh melewati dua vena besar yang disebut vena cava masuk ke atrium kanan. Saat ventrikel kanan berelaksasi, darah dari atrium kanan mengalir menuju ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis. Saat ventrikel hampir dipenuhi darah, atrium kanan berkontraksi mendorong darah masuk ke dalam ventrikel kanan. Kemudian ventrikel kanan berkontraksi mendorong darah masuk ke dalam arteri menuju paru melalui katup pulmonal. Dalam paru-paru, darah menyerap oksigen yang ditukar dengan karbondioksida, kemudian darah mengalir melalui vena pulmonal menuju atrium kiri. Saat ventrikel kiri berelaksasi, darah dari atrium kiri mengalir


(29)

13

melalui katup berkontraksi untuk mendorong darah masuk ke ventrikel kiri. Kemudian ventrikel kiri berkontraksi untuk mendorong darah melalui katup semilunar aorta ke dalam mitral menuju ventrikel kiri. Saat ventrikel kiri hampir dipenuhi darah, atrium kiri akan pembuluh aorta menuju ke seluruh tubuh. Darah yang didistribusikan mengandung oksigen dan akan disuplai ke seluruh tubuh kecuali paru (Calvert 2007).

Gambar 2. Siklus Jantung (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan :A (aorta), RA (Right Atrial), RV (Right Ventricular), LA (Left Atrial), LV (Left Venticular), AV(atrioventricular),

PA (Pulmonary Artery),⇒⇒⇒⇒Arah Siklus Jantung

Elektrokardiografi

Cairan tubuh adalah konduktor yang baik, maka aktivitas kelistrikan jantung dapat dideteksi dari permukaan tubuh yang dimonitor dengan alat elektrokadiograf. Elektrokardiograf yang membuat rekaman grafik disebut elektrokardiogram. Elektrokardiograf digunakan untuk mendiagnosa disfungsi elektris jantung dengan menempelkan elektroda pada tempat tertentu di kulit, dan voltase yang terekam oleh elektroda akan terlihat di layar atau tergambar di atas kertas. Hasil perekaman elektrokardiograf berupa defleksi voltase karena depolarisasi atrial dan ventrikel, serta repolarisasi ventrikel ( Colville and Bassert 2002 ).


(30)

14

Gambar 3. Elektrokardiogram ( O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan :

P=depolarisasi kedua atrium, Kompleks QRS=depolarisasi ventrikel, T=repolarisasi ventrikel, P amp = amplitudo gelombang P ; P dur = durasi gelombang P; PR int = interval PR; R amp = amplitudo gelombang R ; QRS dur = durasi gelombang komplek QRS ; QT int = interval QT; T amp = amplitudo gelombang T.

Elektrokardiogram normal terdiri dari gelombang P, “kompleks” QRS, dan gelombang T. Gelombang P adalah arus listrik yang dibangkitkan sewaktu atrium mengalami depolarisasi sebelum berkontraksi, dan kompleks QRS ketika ventrikel mengalami depolarisasi sebelum berkontraksi. Oleh karena itu P dan QRS adalah gelombang depolarisasi. Gelombang T oleh repolarisasi ventrikel (Colville and Bassert 2002). Gelombang tersebut di elektrokardiogram dapat dilihat pada gambar 3.

Ekhokardiografi

Ekhokardiografi atau ultrasonografi jantung adalah teknik dalam citra jantung melalui gelombang ultrasound yang dipantulkan atau ekho. Ekhokardiografi merupakan metode yang aman, non-invasif untuk diagnosa anatomik dan hemodinamik. Pemahaman terhadap sifat fisik dari ultrasound

sangat penting untuk pemeriksaan ekhokardiografi dengan interpretasi hasil yang didapat (Gravahan 2003 ).

Metode ekhokardiografi berbeda dengan teknik abdominal karena penempatan transduser hanya pada window yang terbatas di antara tulang rusuk dan paru yang berisi udara. Keterbatasan ini membutuhkan transduser dengan permukaankecil. Pemeriksaan ekhokardiografi untuk menampilkan gambar terbaik dengan transduser sector atau curvelinear. Frekuensi


(31)

15

transduser yang disarankan yaitu 8-12 MHz untuk kucing dan anjing dengan ukuran kecil, 3-8 MHz untuk anjing dengan bobot berkisar 5-40 kg, dan 2-4 MHz untuk anjing dengan ukuran besar (>40 kg).

Pada gambar 4 dapat dilihat axis sentral ventrikel kiri atau left ventricularaxis dibayangkan sebagai garis imajiner yang memanjang antara apeks dan basis jantung pada bagian tengah lumen ventrikel kiri. Saat transduser diorientasikan pada scan plane atau sejajar dengan garis axis ini, didapatkan gambaran long-axis. Jika scane plane tegak lurus garis axis, didapatkan gambaran short-axis (Panninck and d′Anjou 2008).

Gambar 4. Ekhokardiografi orientasi dan anatomi ( Panninck and d′Anjou 2008 ).

Standart pencitraan ekhokardiografi yang ditetapkan oleh American Society of Echocardiography pada tahun 2004 (Penninck and d′Anjou 2008 ) adalah :

Right Parasternal View ( RPS )

Hewan berada dalam posisi berbaring ke kanan. Transduser diposisikan setelah terpalpasi detak jantung antara intercostae 4-6 dan antara sternum dan costo - condral junction. Posisi transduser bisa short-axis view atau long-axis view. Pada short-axis view didapatkan pencitraan


(32)

16

maka didapatkan pencitraan M-mode untuk pengukuran dimensi ruang jantung dan ketebalan otot jantung yang meliputi left ventricular internal dimension at end-diastole (LVIDd) yaitu dimensi internal ruang ventrikel kiri saat akhir diastol, left ventricular internal dimension at end-systole

(LVIDs) yaitu dimensi internal ruang ventrikel kiri saat akhir systole, left ventricular posterior wall thickness at end-diastole (LVWd) yaitu ketebalan dinding ventrikel kiri bagian posterior saat akhir diastole, left ventricular posterior wall thickness at end-systole (LVWs) yaitu ketebalan dinding ventrikel kiri bagian posterior saat akhir systole, interventricular septal thicknessat end-diastole (IVSd) yaitu ketebalan dinding septa interventrikular saat akhir diastole, interventricular septal thickness at end-

systole (IVSs) yaitu ketebalan dinding septa interventrikular saat akhir systole.

Ejection Time (ET) adalah waktu yang dibutuhkan untuk ventrikel kanan dan kiri berkontraksi mengeluarkan darah ke sirkulasi pulmonum dan sirkulasi sistemik, dihitung dari end-diastole sampai end-systole (Panninck and d’Anjou 2008). Pengukuran pencitraan ekhokardiografi M-mode dapat dilihat pada gambar 8. Pengukuran LVID, LVW dan IVS dilakukan untuk mengetahui fungsi myocardial, kemudian didapatkan nilai Fractional Shortening (FS) dari perhitungan rumus : FS = (LVIDd – LVIDs) : LVIDd,

Left ventricular volume at end diastole (EDV) = (LVIDd)2, Left ventricular volume at end systole (ESV) = (LVIDs)2, Stroke Volume (SV)= EDV – ESV,

Cardiac output adalah volume darah yang dikeluarkan ventrikel baik itu dari ventrikel kiri maupun ventrikel kanan ke dalam sirkulasi pulmonal dan sistemik selama satu menit (Udjianti 2010). Cardiac Output (CO) = (SVxHR). Nilai-nilai ini digunakan untuk mengetahui daya kerja ventrikel (Penninck and d’Anjou 2008).


(33)

17

Gambar 5. Right parasternal long axis-view (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan :

Right parasternal long-axis four-chamber view (2a).

Right parasternal long-axis left ventricular outflow tract view (2b).

Right parasternal long-axis view of the left ventricular inflow and outflow tracts (2c).

Gambar 6. Right Parasternal short-axis view (O′Grady & O′Sillivan 2010) Keterangan:

Right parasternal short-axis view at the level of the papillary muscles (3.2)

Right parasternal short-axis view at the level of the chordae tendinae (3.3)

Right parasternal short-axis view at the level of the mitral valve (3.4)

Right parasternal short-axis view at the level of the aortic valve (3.5)


(34)

18

Gambar 7. Right Parasternal ( RPS ) short axis view ( Panninck & d′Anjou 2008 ).

Gambar 8. M-mode pada Left Ventricel ( LV ) level ( Panninck & d′Anjou 2008)

Left apical view ( LAp )

Hewan berada dalam posisi berbaring ke kiri. Transduser diposisikan setelah terpalpasi detak jantung antara intercostae ke 5-7 dan antara sternum dan costo-condral junction (Panninck and d′Anjou 2008). Dari posisi LAp akan menampilkan empat ruang jantung dan membawa aorta masuk ke dalam scan plane sehingga memungkinkan visualisasi katup aortik. Scan plane ini memberikan citra apical five-chamber dan cocok untuk perhitungan kecepatan aliran darah aorta. Dari sudut apical four-chamber, transduser diputar 900 searah jarum jam menghasilkan apical two-chamber

termasuk atrium dan ventrikel kiri (Panninck and d’Anjou 2008). Posisi Left Apical View dapat dilihat pada gambar 9.


(35)

19

Gambar 9. Left Apical View ( Panninck & d′Anjou 2008).

Left parasternal view ( LPS )

Hewan berada dalam posisi berbaring ke kiri. Setelah terpalpasi detak jantung diposisikan antara intercostae 3-4 dan antara sternum dan


(36)

20


(37)

21

Gambar 11. Left Parasternal Long Axis View ( Panninck & d′Anjou 2008).

Suprasternal dan Subcostal View

Hewan berada dalam posisi berbaring ke kanan, dengan menempatkan transduser pada processus xiphoideus dan menekannya ke abdomen sekaligus mengarahkan transduser hampir secara langsung ke


(38)

22 Xylazine

Farmakologi

Alpha-2 adrenoreceptor memiliki potensi sedativa dan analgesika.

Xylazine merupakan golongan obat ini yang pertama kali dipergunakan di kedokteran hewan. Xylazine bekerja pada reseptor alpha-1 dan 2 (Gambar 12). Efek agonist xylazine pada reseptor alpha terletak di jantung yaitu dengan mendepres sistem kardiovascular (Seymour and Novakovski 2007).

Gambar 12. Efek utama yang dimediasi oleh alfa dan beta adrenoceptor ( Mycek, Harvey & Champe 1997)

Norepinephrine merupakan neurotransmiter yang bekerja pada saraf adrenergik. Menurut Mycek, et al., 1997, proses pembentukkan


(39)

23

Gambar 13. Pembentukan dan pelepasan Norepinephrine dari saraf adrenergic

1. Sintesis dari norepinephrine

Tyrosine masuk ke dalam axonplasma dari saraf adrenergik dengan batuan Na+, kemudian dihidroksilasi menjadi dihydroksyphenylalanine (DOPA)

oleh tyrosine hydroksylase. Ini merupakan awal mula terbentuknya

norepinephrine. DOPA kemudian dikarboksilasi membentuk dopamine.

2. Penyimpanan norepinephrine ke dalam kantong

Dopamine kemudian masuk ke dalam kantong sinaptik (synaptic vesicles atau synaptic knob). Dopamine dihidroksilasi membentuk

norepinephrine dengan bantuan enzim Dopamine β-hydroxylase. Di dalam kantong sinaptik mengandung dopamine atau norepinephrine


(40)

24 3. Pelepasan norepinephrine

Ketika ada potensial aksi maka akan merangsang masuknya ion kalsium (Ca++) dari cairan ekstraseluler masuk ke sitoplasma saraf. Peningkatan kalsium pada membrana sel kantong sinaptik menyebabkan kantong sinaptik melepaskan norepinephrine menuju ke sinaps.

4. Pengikatan dengan reseptor

Norepinephrine yang dilepaskan dari kantong sinaptik akan menyeberangi ruang sinaptik (synaptic space) dan berikatan dengan reseptor posinaptik pada organ efektor (alpha-1 reseptor) dengan menstimulasi pelepasan

norepinephrine atau pada presinaptik reseptor (alpha-2 reseptor) pada ujung saraf dengan menghambat pelepasan norepinephrine.

5. Penghancuran norepinephrine

Setelah norepinephrine dilepas dari presinaptik saraf, norepinephrine akan cepat kembali masuk ke dalam kantong sinaptik, dan kemudian dihancurkan dengan bantuan enzyme monoamine oxidase (MAO). Norepinephrine yang tidak diabsorbsi oleh kantong sinaptik akan dihancurkan oleh enzim lain yang disebut catechol-O-methyl transferase (COMT).

Farmakokinetik

Pada pemberian dengan rute intra muscular absorbsi xylazine cukup cepat. Pada kucing dan anjing onset pemberian obat ini baik secara intra muscular maupun sub kutan sekitar 10 – 15 menit, dan 2 – 5 menit pada pemberian dengan rute intra vena. Efek analgesik yang ditimbulkan hanya sekitar 15-30 menit, akan tetapi efek sedativnya dapat bertahan sekitar 1-2 jam tergantung dari besarnya dosis yang diberikan. Dosis anaestesi pada anjing 1,1 mg/kg bb secara intra vena dan 1,1-2,2 mg/kg bb secara


(41)

25 Ketamine HCL

Farmakologi

Ketamine adalah derivat sikloheksil dengan rumus mirip fensiklidin (Thay 2007). Ketamine merupakan larutan tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman. Ketamine memiliki sifat analgesik, anastetik, dan kataleptik dengan kerja singkat (Gunawan 2009).

Neurofarmakologi ketamine cukup kompleks, berikatan dengan beberapa neurotransmiter yaitu reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan reseptor non NMDA glutamate, reseptor nicotinic dan muscarinic cholinergic, reseptor monoaminergik dan opoid (Seymour and Novakovski 2007). Ketamine berefek meningkatkan kontraksi dan spasmus otot kombinasi dengan alpha-2 agonis, acepromazine dan benzodiazepine akan menurunkan efek tersebut (Seymour and Novakovski 2007). Efek ketamine

pada sistem kardiovaskular meningkatkan frekuensi jantung (heart rate), tekanan darah, dan cardiac output (CO). Peningkatan hemodinamika ini bervariasi tergantung pada peningkatan kerja otot jantung dan kebutuhan oksigen. Pada jantung sehat peningkatan suplai oksigen terjadi karena ada vasodilatasi dari pembuluh darah koroner dan peningkatan cardiac output (Seymour and Novakovski 2007).

Glutamate dan aspartate termasuk kelas excitatory amono acid

(eksitatori asam amino) yang menghasilkan eksitasi pada semua level interneuron karena depolarisasi yang dihasilkan dari peningkatan sodium dan kation lainnya (Brander 1991).

Glutamate dan aspartate adalah transmiter eksitatori asam amino dengan distribusi yang luas di spinal cord dan otak. Agen anastesi disosiasi seperti ketamine, phencyclidine dan tiletamine menurunkan efek eksitatori yang dihasilkan oleh glutamate dan aspartate. Ada tiga subtipe reseptor yang dikeluarkan saraf melalui glutamate dan aspartate. Salah satu dari ketiga subtipe reseptor ini adalah reseptor N-methylaspartate (NMA), dan agen disosiasi bekerja sebagai selektif antagonis, dan efek anastesinya dihasilkan dari blokade reseptor (Brander 1991). Ketamine dapat


(42)

26

menghambat reseptor NMDA di susunan saraf pusat dan dapat menurunkan efek “ wind-up “ (Plumb 2005).

Efek anastesinya disebabkan oleh penghambatan efek membran dan neurotransmiter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-D-aspartat. Efek analgesiknya sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamine tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya meningkat (Gunawan 2009).

Anastesi dengan ketamine diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi, keadaan ini dikenal sebagai anastesi disosiasi. Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10 – 15 menit, analgesi bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1 – 2 jam. Pada masa pemulihan dapat terjadi emergence phenomenon yang merupakan kelainan psikis berupa disorientasi, ilusi, dan mimpi buruk. Kejadian fenomena ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam sebelum pemberian ketamine (Gunawan 2009).

Ketamine adalah satu-satunya anastetik yang merangsang kardiovaskular karena efek perangsangannya pada pusat saraf simpatis. Tekanan darah, frekuensi nadi, dan curah jantung naik sampai 25%, sehingga ketamine bermanfaat untuk pasien dengan resiko hipotensi dan asma (Gunawan 2009).

Efek ketamine pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan

cardiac output, denyut nadi, dan tekanan darah. Kenaikkan hemodinamik berhubungan dengan peningkatan kerja myocardial (otot jantung) dan konsumsi oksigen. Pada jantung yang sehat suplai oksigen dapat meningkat melalui dilatasi pembuluh darah koroner dan peningkatan cardiac output. Rangsangan dari pusat sistem simpatis bertanggung jawab pada rangsangan sistem kardiovaskular. Penggunaan secara bersama-sama dengan sedativa akan mengurangi efek stimulasi dari ketamine (Seymour and Novakovski 2007).


(43)

27

Ketamine menghambat GABA, dan juga memblok serotonin,

norepinefrin, dan dopamin di sistem saraf pusat (Plumb 2005).

Farmakokinetik

Setelah pemberian ketamine secara intra muscular pada kucing dan anjing, level puncak akan terjadi 10-15 menit setelah pemberian (Seymour and Novakovski 2007). Ketamine didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh dengan cepat, dengan level paling tinggi dapat ditemukan di otak, hati, paru dan lemak. Ketamine dimetabolisme di hati dan menghasilkan metabolit berupa demethylation dan hydroxylation dan sebagian dalam bentuk utuh akan dieleminasi melalui urin. Waktu paruh eliminasi ketamine pada kucing, anjing, sapi, dan kuda sekitar 1 jam dan pada manusia 2-3 jam. Dosis anaestesi pada anjing 11mg/kg bb (Plumb 2005).

Zolazepam - Tiletamine Farmakologi

Zoletil merupakan sediaan kombinasi dari Zolazepam dan

Tiletamine dengan perbandingan 1:1 (250 mg zolazepam, 250 mg

tiletamine). Bentuk sediaan Zoletil adalah serbuk yang kemudian dilarutkan dengan 5 ml saline, 5% dextrose atau aquadestilata steril sehingga tiap mililiter larutan mengandung 50 mg zoletil, 50 mg tiletamine. Larutan ini dapat disimpan selama 4 hari pada temperatur ruang dan 14 hari dalam lemari pendingin.

Efek farmakologi kombinasi zolazepam dan tiletamine serupa dengan kombinasi diazepam dan ketamine (Seymour and Novakovski 2007).

Zolazepam adalah senyawa turunan pyraolodiazepinon yang secara struktural terkait dengan obat-obatan benzodiazepine, yang mempunyai efek sebagai muscle relaxant dan anticonvulsant. Zolazepam sendiri dapat menekan susunan saraf pusat secara ringan dan mempunyai efek yang minimal terhadap cardiorespiratory (Seymour and Novakovski 2007).


(44)

28

Diazepam termasuk pada golongan benzodiazepine (Mycek, Harvey and Champe 1997). Reseptor benzodiazepine hanya ditemukan di sistem saraf pusat dan lokasinya pararel dengan saraf GABA (Mycek, Harvey and Champe 1997). Benzodiazepine menyebabkan sedasi, hipnotik dan sedikit memiliki kemampuan analgesik (Mycek, Harvey and Champe 1997). Efek

benzodiazepine pada sistem kadiovaskular umumnya ringan, kecuali pada

intoksikasi berat. Pada dosis praanaestesi semua benzodiazepine dapat menurunkan tekanan darah dan menaikkan frekuensi jantung (Gunawan 2009).

Benzodiazepine tidak mampu menghasilkan tingkat depresi saraf sekuat golongan barbiturat atau anaestesi umum. Peningkatan dosis

benzodiazepine menyebabkan depresi susunan saraf pusat, tapi obat golongan ini tidak benar-benar memperlihatkan efek anaestesi umum yang spesifik, karena kesadaran pasien tetap bertahan dan relaksasi otot yang diperlukan untuk pembedahan tidak tercapai. Mekanisme kerja

benzodiazepine pada susunan saraf pusat terutama merupakan interaksinya dengan reseptor penghambat neurotransmiter yang diaktifkan oleh asam gama amino butirat (GABA). Reseptor GABA merupakan protein yang terikat pada membran dan dibedakan dalam 2 bagian besar sub-tipe, yaitu reseptor GABAA dan reseptor GABAB. Reseptor GABAA berperan pada

sebagian besar neurotransmiter di susunan saraf pusat. Benzodiazepine

bekerja pada reseptor GABAA, tidak pada reseptor GABAB. Benzodiazepine berikatan langsung pada sisi spesifik (subunit γ) reseptor GABAA (reseptor kanal ion klorida kompleks), sedangkan GABA berikatan

pada subunit α atau β. Pengikatan ini akan menyebabkan pembukaan kanal klorida, memungkinkan masuknya ion klorida ke dalam sel (Gambar 14), menyebabkan peningkatan potensial elektrik sepanjang membransel dan menyebabkan sel sukar tereksitasi (Gunawan 2009).

Tiletamine sering kali dihubungkan dengan ketamine karena memiliki kesamaan sifat. Umumnya penggunaan tiletamine dikombinasikan dengan zolazepam (Seymour and Novakovski 2007). Aplikasi tiletamine


(45)

29

tekanan darah, dan hipersalivasi. Sedangkan pada anjing dapat menyebabkan salivasi dan meningkatkan frekuensi jantung (Plumb, 2005 ).

Efek ketamine pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan

cardiac output, denyut nadi, dan tekanan darah. Kenaikkan hemodinamik berhubungan dengan peningkatan kerja myocardial (otot jantung) dan konsumsi oksigen (Seymour and Novakovski 2007). Karena efek farmakologi ketamine sama dengan tiletamine maka pemberian tiletamine

akan meningkatkan frekuensi jantung (heart rate) dan cardiac output (CO).

Gambar 14. Skema Diagram dari Benzodiazepin-GABA-Kompleks Kanal Klorida GABA = γ - amino butyric acid ( Mycek, Harvey & Champe 1997)

Farmakokinetik

Pemberian kombinasi zolazepam dan tiletamine pada kucing dapat menghasilkan sedasi dan anaestesi umum. Setelah penyuntikan intra vena

induksi anaestesi berjalan cepat sekitar 60-90 detik. Onset setelah penyuntikan intra muscular bervariasi antara 1-7 menit pada kucing dan 5-12 menit pada anjing. Penyuntikan intra muscular dapat menimbulkan


(46)

30

rasa sakit karena pH larutan ini yang asam yaitu antara 2,0-3,5. Durasi anaestesi dari larutan ini tergantung pada dosis yang digunakan yaitu antara 30-60 menit. Waktu pemulihannya antara 4-5 jam. Dosis pada anjing 7- 25 mg/kgbb disuntikkan secara intra muscular atau 5-10 mg/kg bb disuntikkan secara intra vena (Seymour and Novakovski 2007).


(47)

31

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Desember 2010 di Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Klinik Hewan My Vets, Jalan Kemang Selatan 8 nomor 7 A, Jakarta Selatan.

Bahan dan Alat

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian adalah 5 ekor anjing kampung betina berumur 10 ± 2 bulan dengan berat badan 10 ± 2,5 kg. Bahan dan alat yang digunakan adalah obat bius xylazine-ketamine dan

zolazepam-tiletamine, termometer, tensimeter, stetoskop, alat cukur rambut, alat EKG, alat USG dengan fasilitas tambahan monitoring EKG, dan transduser atau probe dengan frekuensi 3.7-5 MHz tipe convex.

Metode Penelitian

Pemeriksaan Klinis dan Tekanan Darah

Pemeriksaan dilakukan terhadap semua anjing yang diawali dengan pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan temperatur dengan mengukur temperatur rektal menggunakan termometer digital, menghitung pulsus melalui vena femoralis, menghitung respirasi dengan mengamati gerakan pernafasan dari dada. Masing-masing pengamatan dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan darah dan elektrokardiografi. Pada waktu melakukan pemeriksaan tekanan darah dan elektrokardiografi hewan dalam keadaan sadar dan tenang.

Pemeriksaan tekanan darah dilakukan dengan melilitkan cuff pada kaki depan di atas atau di bawah siku (Gambar 15) , kemudian pompa ditekan hingga jarum pada tensimeter mencapai angka 240 lalu pompa dilepas, biarkan jarum pada tensimeter turun keposisi angka 0, perhatikan ada tiga lampu menyala pada tensimeter, lampu pertama pada posisi kanan menunjukkan tekanan sistol, lampu ditengah yang berkedip menunjukkan


(48)

32

Mean Arterial Pressure (MAP) dan lampu ketiga pada posisi kiri menunjukkan tekanan diastol (Gambar 16).

Pemeriksaan Elektrokardiografi

Pemeriksaan elektrokardiografi dilakukan pada hewan dalam keadaan sadar dan tenang. Pertama-tama dilakukan pencukuran rambut pada kaki depan kiri dan kanan di daerah siku dan kedua kaki belakang di daerah lutut untuk meletakkan lead. Hewan ditidurkan di atas meja yang dialasi oleh handuk dengan posisi left lateral recumbancy, kemudian dilakukan pemasangan lead pada keempat kaki dengan menggunakan gel EKG. Kabel merah dipasangkan pada kaki depan kanan, kabel kuning pada kaki depan kiri, kabel hijau pada kaki belakang kiri dan kabel hitam pada kaki belakang kanan (Gambar 17). Setelah keempat lead terpasang dengan benar dan hewan sudah dalam keadaan tenang perekaman EKG baru dapat dimulai. Setelah dilakuka perekaman, hasilnya (elektrokardiogram) dievaluasi secara kualitatif dengan memperhatikan parameter ritme jantung yang teratur, frekuensi jantung berkisar 110 -140 kali per menit (Tilley dan Smith 1997), adanya gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS (O′Grady dan O′Sullivan 2010).

Gambar 15. Posisi pemasangan cuff pada kaki depan (sumber: Egner et al. 2007)

Gambar 16. Tensimeter


(49)

33

Gambar 17. Posisi berbaring hewan left lateral recumbancy dan posisi pemasangan lead (Data pribadi)

Gambar 18. Alat elektrokardiografi (Data pribadi)

Pemeriksaan Awal Ekhokardiografi

Pemeriksaan nilai awal ekhokardiografi (USG jantung) dilanjutkan setelah hasil pemeriksaan klinis, tekanan darah dan rekaman listrik jantung berada dalam kisaran normal. Pemeriksaan diawali dengan pencukuran rambut di daerah dada sebelah kanan untuk peletakkan transduser. Pada pemeriksaan ekhokardiografi hewan dalam keadaan sadar ditidurkan di atas tempat berbaring khusus dengan posisi right lateral recumbancy dan posisi transduser right parasternal (RPS) short axis view (Gambar 19). Untuk membantu pengamatan ekhokardiografi M-mode, diperlukan juga tampilan elektrokardiografi secara bersamaan pada layar monitor. Transduser diposisikan setelah detak jantung terpalpasi antara intercostae 4-6 dan


(50)

34

antara sternum dan costo - condral junction. Posisi transduser short-axis view dilakukan untuk mendapatkan pencitraan B-mode dan M-mode untuk pengukuran HR, LVIDd, LVIDs, LVWd, LVWs, IVSd, IVSs, ET, FS, CO, dan SV.

Heart Rate (frekuensi jantung) dihitung dengan cara mengukur antara dua gelombang R pada tampilan elektrokardiografi pada layar monitor (Gambar 21). IVSd dihitung dengan mengukur jarak interventrikular septa pada saat

end diastole sedangkan IVSs dihitung dengan cara mengukur jarak interventrikular septa saat end sistole (Gambar 21) Menghitung LVIDd dengan cara mengukur jarak LVID pada saat end diastole dan LVIDs dengan mengukur jarak LVID pada saat end sistole (Gambar. 21). LVWd dihitung dengan mengukur jarak LVW pada saat end diastole dan LVWs dihitung dengan mengukur jarak LVW pada saat end sistole (Gambar 21).

Pengamatan kesebelas parameter di atas dilakukan tiga kali pengulangan dan data tersimpan di komputer mesin USG (Gambar 20). Hewan dikatakan sehat jika kesebelas parameter berada dalam kisaran normal (Tabel 3).

Pembiusan dan Pemeriksaan Ekhokardiografi

Setelah dinyatakan sehat secara umum dan sehat jantung, kemudian hewan diberi perlakuan penyuntikkan kombinasi obat bius xylazine dengan dosis 2,2 mg/kg bb dan ketamine dengan dosis 11 mg/kg bb secara intra muscular dan dilakukan pengamatan ekhokardiografi M-mode dengan dibantu tampilan elektrokardiografi secara bersamaan pada layar monitor. Pengukuran parameter HR, IVSd, IVSs, LVIDd, LVIDs, LVWd, LVWs, CO, ET, dan FS dilakukan setiap 10 menit sampai pengamatan 60 menit, dan setiap pengamatan dilakukan tiga kali pengulangan penghitungan dan data tersimpan pada komputer USG. Anjing diistirahatkan selama satu minggu untuk menghilangkan efek dari pemberian kombinasi obat bius

xylazine-ketamine. Minggu berikutnya anjing yang sama diberi perlakuan penyuntikkan kombinasi obat bius zolazepam-tiletamine dengan dosis 25 mg/kg bb secara intra muscular dan dilakukan pengamatan dan pengukuran


(51)

35

parameter ekhokardiografi yang sama dengan perlakuan sebelumnya. Semua perlakuan ini dilakukan pada kelima ekor anjing.

Metode kerja dapat dilihat pada tabel 4, sedangkan protokol jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 3. Nilai normal parameter ekhokardiografi M- mode anjing

No Parameter Referensi

1 HR (x/mnt) 98 (74 - 122)*

2 IVSd (cm) 0.67 (0.45 - 0.89)*

3 IVSs (cm) 0.96 (0.66 - 1.26)*

4 LVIDd (cm) 2,63 (1,95 - 3,31)*

5 LVIDs (cm) 1,57 (0.89 - 2.25)*

6 LVWd (cm) 0.82 (0.44 - 1.20)*

7 LVWs (mm) 1.14 (0.76 - 1.52)*

8 ET (detik)

9 FS (%) 0.40 (0.22 - 0.58)*

10 SV (ml)

11 CO (liter)

* Sumber referensi: Crippa et al. 1992 Keterangan :

HR : Heart Rate

IVSd : Interventricular septal thickness at end-diastole IVSs : Interventricular septal thickness at end-systole LVIDd : Left ventricular inter dimension at end-diastole LVIDs : Left ventricular inter dimension at end-systole

LVWd : Left ventricular posterior wall thickness at end-diastole LVWs : Left ventricular posterior wall thickness at end-systole ET : Ejection Time

FS : Fractional Shortening SV : Stroke Volume CO : Cardiac Output

Satuan pada refensi HR kali/menit ,IVSd,IVSs,LVIDd,LVIDs,LVWd,LVWs cm, ET detik, SV ml, CO liter .


(52)

36 Tabel 4. Metode Kerja

Kegiatan Alat Parameter Σ Pengamatan

Pemerikasaan Klinis Termometer digital Stetoskop Stetoskop - Suhu

- Frekuensi nafas

- Frekuensi nadi

3 kali

Tekanan Darah Tensimeter - Sistol

- Diastol

- MAP

3 kali Kelistrikan Jantung EKG - Ritme jantung

- Frekuensi .jantung

- Gelombang.P

- Komplek QRS

- GelombangT

3 kali

USG jantung USG - HR

- IVSd - IVSs - LVIDd - LVIDs - LVWd - LVWs - ET - FS - SV - CO 3 kali .

Tabel 5. Protokol Jadwal Penelitian Hewan

coba

Minggu ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1

0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 A1 A2 A3 A4 A5 Keterangan:

A1: Anjing 1, A2: Anjing2, A3: Anjing 3, A4: Anjing4, A5: Anjing5 Minggu ke-1, 5, 9, 13 dan ke- 17: observasi hewan

Minggu ke-2, 6,10, 14 dan ke- 18: pemeriksaan klinis (suhu tubuh, frekuensi nadi,frekuensi nafas), berat badan dan pemeriksaan darah

Minggu ke-3, 7,11, 15 dan ke-19: pemeriksaan klinis, berat badan, tekanan darah, EKG, USG (data normal), kemudian diberi perlakuan Xylazine-Ketamine

Minggu ke-4, 8, 12, 16 dan ke-20: pemeriksaan klinis, berat badan, tekanan darah, EKG, USG, kemudian diberi perlakuan zolazepam-tiletamine


(53)

37

Gambar 19. Posisi tidur hewan right lateral recumbancy dan posisi transduser right parasternal short axis view (Data pribadi).

Gambar 20. Alat Ultrasonografi (Data pribadi).

Gambar 21. Cara menghitung parameter pada ekhokardiografi M-mode (Data pribadi). Keterangan : a= interventricular septa, b = left ventricularinternal dimention,

c = left ventricular posterior wall, HR = Heart Rate, ET = Ejection Time, R = puncak gelombang R

R---HR---R

ET

a

c


(54)

38 Analisa Data

Data dianalisa secara statistik dengan menggunakan analisa statistik Rancangan Acak Lengkap Real in Time yang dilanjutkan dengan Uji


(55)

39

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengamatan Pemeriksaan Fisik dan Jantung

Hasil pemeriksaan fisik yang meliputi suhu tubuh, frekuensi nafas dan frekuensi jantung menunjukkan bahwa kelima hewan yang digunakan dalam keadaan sehat (Tabel 6). Begitu pula dengan hasil pengukuran tekanan darah, sistem konduksi listrik jantung (EKG) dan pemeriksaan awal USG menunjukkan bahwa semua hasil pengukuran dan pengamatan berada dalam kisaran normal (Tabel 6).

Tabel 6. Rata-rata suhu tubuh, frekuensi nafas, frekuensi jantung, tekanan darah dan EKG kelima anjing kampung sebelum perlakuan pemberian obat bius

Kelompok

Suhu tubuh (0C)

Frekuensi

Tekanan darah EKG USG nafas jantung

(x/menit) Sistol Diastol MAP

A1 39.2 31 118 135 85 116 Nor

mal

Nor mal

A2 38.9 27 139 135 85 120 Nor

mal

Nor mal

A3 38.3 21 115 155 85 102 Nor

mal

Nor mal

A4 38.9 31 139 155 85 113 Nor

mal

Nor mal

A5 39,0 32 120 140 85 110 Nor

mal

Nor mal Nilai

Referensi

37,8-39,5* 20-30* 110-40* 140+15* 79 +13* 120* Nor mal

Nor mal * Sumber : Tilley & Smith ( 1997 ).

Ket: A1 anjing pertama, A2 anjing kedua, A3 anjing ketiga, A4 anjing keempat,A5 anjing kelima, MAP=Mean Arterial Pressure, EKG=Elektrokardiografi, USG=Ultrasonografi

Setelah kelima ekor anjing dinyatakan sehat, maka dilakukan pemeriksaan ekhokardiografi M-mode dan didapatkan hasil pengamatan sebagai berikut :

Pengamatan Parameter Ekhokardiografi M-mode

Heart Rate (HR )

Heart rate atau frekuensi jantung adalah periode akhir dari kontraksi jantung sampai akhir kontraksi berikutnya dihitung per menit. Frekuensi


(56)

40

jantung dihitung dengan cara mengukur antara dua gelombang R pada tampilan elektrokardiografi pada layar monitor (Gambar 21).

Tabel 7. Pengamatan frekuensi jantung anjing setelah perlakuan pemberian Xylazine-Ketamine dan Zolazepam- Tiletamine

Menit Pengamatan frekuensi jantung (x/menit)

Xylazine-Ketamine Zolazepam-Tiletamine

0 85+12 85+12

5 84+28 164+18

10 75+14 182+20

20 64+23 185+41

30 61+24 187+29

40 60+28 186+24

50 60+26 187+14

60 60+21 183+24

Gambar 22. Pengamatan Frekuensi Jantung Anjing setelah Perlakuan Pemberian Xylazine-Ketamine dan Zolazepam-Teletamine

Pada pemberian kombinasi xylazine-ketamine terlihat penurunan frekuensi jantung yang dimulai pada menit ke 5 dan berlanjut sampai menit ke 60 (Gambar 22). Hal ini disebabkan norepinephrine yang dilepaskan dari kantong sinaptik karena pemberian xylazine akan menyeberangi ruang sinaptik (synaptic space) dan berikatan dengan reseptor posinaptik pada

0 50 100 150 200 250

0 20 40 60

F r e k u e n si Jan tu n g (k al i)

Durasi Obat Bius (menit)


(1)

102

RAL in TIME ET The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for ET

Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 28

Error Mean Square 0.000209

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8

Critical Range .01326 .01393 .01436 .01467 .01491 .01509 .01523 Means with the same letter

are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Waktu

A 0.245000 10 60

A

B A 0.239000 10 50

B A

B A 0.237000 10 40

B A

B A 0.236000 10 0

B A

B A C 0.231000 10 30

B C

B D C 0.225000 10 20

D C

D C 0.221000 10 10

D


(2)

103

The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values

Perlakuan 2 XKIM ZTIM

r 5 1 2 3 4 5

Waktu 8 0 10 20 30 40 5 50 60

Number of Observations Read 80 Number of Observations Used 80

Software SAS membaca, terdapat 2 perlakuan, yaitu pemberian XKIM dan ZTIM, dengan 8 kali pengamatan berulang dengan masing-masing 5 kali pengulangan. Total 80 pengamatan yang digunakan dalam analisis ini.


(3)

104

RAL in TIME FS The GLM Procedure

Dependent Variable: FS

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 51 0.76139750 0.01492936 3.17 0.0008

Error 28 0.13195750 0.00471277

Corrected Total 79 0.89335500

P-value dari Model (0.0008) < alpha (5%), tolak H0, sehingga dapat disimpulkan bahwanya Model berpengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%.

R-Square Coeff Var Root MSE FS Mean 0.852290 24.36543 0.068650 0.281750

R-square = 0.852290 = 85,2 %, menunjukkan bahwa, 85,2% keragaman Respon dapat dijelaskan faktor-faktor di dalam model, sisanya dijelaskan oleh faktor lain di luar model.

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 1 0.22050000 0.22050000 46.79 <.0001 r(Perlakuan) 8 0.29585500 0.03698187 7.85 <.0001

Waktu 7 0.11931500 0.01704500 3.62 0.0067

r(Waktu) 28 0.06854750 0.00244812 0.52 0.9557

Perlakuan*Waktu 7 0.05718000 0.00816857 1.73 0.1417 Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F Perlakuan 1 0.22050000 0.22050000 46.79 <.0001 r(Perlakuan) 4 0.06546250 0.01636562 3.47 0.0200

Waktu 7 0.11931500 0.01704500 3.62 0.0067

r(Waktu) 28 0.06854750 0.00244812 0.52 0.9557

Perlakuan*Waktu 7 0.05718000 0.00816857 1.73 0.1417 Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(Perlakuan) as an Error Term

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

Perlakuan 1 0.22050000 0.22050000 13.47 0.0214

Tests of Hypotheses Using the Type III MS for r(Waktu) as an Error Term

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F


(4)

105

Duncan's Multiple Range Test for FS

Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 4

Error Mean Square 0.016366

Number of Means 2

Critical Range .07942 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlakuan

A 0.33425 40 ZTIM


(5)

106

RAL in TIME FS The GLM Procedure

Duncan's Multiple Range Test for FS

Note: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate.

Alpha 0.05

Error Degrees of Freedom 28

Error Mean Square 0.002448

Number of Means 2 3 4 5 6 7 8

Critical Range .04533 .04763 .04911 .05017 .05097 .05159 .05209 Means with the same letter

are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Waktu

A 0.38000 10 0

B 0.29100 10 5

B

B 0.27800 10 60

B

B 0.26400 10 20

B

B 0.26300 10 30

B

B 0.26100 10 10

B

B 0.25900 10 50

B


(6)

107

Fase 1 Artial Contraction - Atrium berkontraksi mengisi sisa 10% dari volume ventrikel

- Tekanan di atrium mulai menurun

- Katup artio ventrikular terbuka - Katup

Semilunar menutup

Fase 1 (Setiadi 2007). Fase 2 Isovulumetric

contraction

-Tekanan diventrikel meningkat secara cepat tanpa disertai perubahan volume ventrikel

- Katup atrio ventrikular menutup - Katup ventrikular menutup Suara jantung pertama (S1) atau “LUP”

Fase 3 Rapial Ejection Tekanan ventrikel meningkat Darah diejeksikan dari ventrikel kanan ke paru melalui vena pulmonalis

Darah diejeksikan dari ventrikel kiri ke seluruh tubuh melalui aorta Katup atrio ventrikular menutup Katup semilunar membuka

Fase 4 Reduced Ejection Tekanan ventrikel menurun secara drastis

Darah tetapdiejeksikan ke vena pulmonum dan aorta

Tekanan atrium meningkat secara bertahap Katup atrioventricel menutup Katup semilunar membuka

Fase 5 Isovolumetric Relaxation

-Tekanan ventrikel turun tapi volume yang tersisa di ventrikel tetap karena kondisi katub atrium vulmonalis dan semilunar menutup

- Katup atrio ventrikular menutup - Katup semilunar

menutup

Suara jantung dua (S2) atau “DUP”

Fase 5 (Udjianti 2010). (Setiadi 2007). Fase 6 Rapid Filling -Tekanan di atrium lebih tinggi

dari tekanan dari tekanan di ventrikel

-Terjadi pengisian darah secara cepat dari atrium ke ventrikel -Tekanan di ventrikel mulai

meningkat

- Katup atrio ventrikular terbuka - Katup semilunar

tertutup

Fase 7 Reduced Filling -Pada akhir fase ini darah di ventrikel terisi 90% -Tekanan di ventrikel

meningkat

- Katup atrio ventrikular terbuka - Katup semilunar

tertutup