Prediction of Subclinical Mastitis in Bovine Based on Composition of Somatic Cell Count During Colostrum Period.

(1)

PENDUGAAN

BERDASA

D

IN

N MASTITIS SUBKLINIS PADA SAP

ASARKAN KOMPOSISI SEL SOMA

DALAM MASA KOLOSTRUM

MAYA MASITA NOVIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

SAPI PERAH

ATIK


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011 Maya Masita Novianti NIM B251090031


(3)

ABSTRACT

MAYA MASITA NOVIANTI. Prediction of Subclinical Mastitis in Bovine Based on Composition of Somatic Cell Count During Colostrum Period. Under direction of MIRNAWATI B. SUDARWANTO and ETIH SUDARNIKA.

The somatic cell count (SCC) in bovine milk is an indicator of udder health and milk quality. The objectives of this research were to study the relationship between composition of somatic cells during colostrum period with SCC and subclinical mastitis in normal lactation. Individual cell populations, i.e., macrophages, lymphocytes and neutrophils were identified and their relationship to subclinical mastitis. Subclinical mastitis can be predicted by the composition of somatic cells in colostrum period. The correlation between composition of somatic cells in colostrum period and subclinical mastitis in normal lactation were high significant. The number of neutrophils in colostrum since day-4 postpartum can be a useful method of assessing udder health or subclinical mastitis.


(4)

RINGKASAN

MAYA MASITA NOVIANTI. Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum. Dibimbing oleh MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan ETIH SUDARNIKA.

Mastitis merupakan salah satu kendala yang dihadapi pada peternakan sapi perah. Mastitis terdiri atas mastitis klinis dan subklinis. Prevalensi kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% sedangkan di daerah kabupaten Bogor pada tahun 1995 mencapai 87.10%. Kerugian yang dialami berupa penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9–45.5% yang disertai penurunan pendapatan peternak. Kerugian lain adalah penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40%, penyimpangan komposisi yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahannya. Peningkatan biaya perawatan dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal adalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan peternak. Kasus mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis, sedang 2-3% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi.

Tindakan pencegahan selama ini menjadi alternatif terbaik dalam upaya penanggulangan mastitis subklinis. Kajian tentang perlunya pendugaan terhadap mastitis subklinis agar tindakan pencegahan dapat dilaksanakan sebagai suatu hal yang penting dan dibutuhkan. Penelitian mengenai pendugaan kejadian mastitis subklinis dapat dilakukan dengan mengetahui komposisi sel somatik pada awal laktasi atau masa kolostrum. Melalui pendugaan tersebut diharapkan dapat diketahui gambaran sel somatik pada laktasi normal dan diprediksi kemungkinan kejadian mastitis subklinis.

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahap pertama adalah penentuan standar komposisi sel somatik pada sampel positif dan negatif mastitis subklinis. Tahap ini bertujuan menentukan standar komposisi sel somatik yang akan digunakan pada penelitian selanjutnya. Hasil pengujian menunjukkan standar komposisi sel somatik yang digunakan adalah untuk kelompok positif mastitis subklinis, jumlah neutrofil 30-90%, limfosit 20-40% dan makrofag 20-36%. Komposisi sel somatik untuk kelompok negatif mastitis subklinis adalah neutrofil 3-26%, limfosit 16-28% dan makrofag 35-79%.

Penelitian tahap kedua dilakukan dengan menentukan komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Penelitian tahap ini bertujuan untuk menentukan ada tidaknya perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum dan korelasinya dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil penelitian menunjukkan perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum. Sampel yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal umumnya mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum atau jumlah neutrofil lebih dari 10%.

Penelitian tahap ketiga dilakukan dengan pengambilan sampel susu dari sapi yang diambil sampel kolostrumnya untuk mengetahui kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Tujuan penelitian tahap ini adalah mengetahui secara pasti korelasi komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil penelitian menunjukkan terdapat korelasi


(5)

antara jumlah dan perubahan komposisi sel somatik selama masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal.

Simpulan dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara komposisi neutrofil dan limfosit pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal, sehingga mastitis subklinis pada laktasi normal dapat diprediksi berdasar komposisi sel somatik pada masa kolostrum. Neutrofil pada masa kolostrum merupakan penduga paling baik bagi kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Hasil uji korelasi juga menunjukkan sejak hari ke-4 sampai akhir masa kolostrum, neutrofil dapat digunakan sebagai penduga kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

PENDUGAAN MASTITIS SUBKLINIS PADA SAPI PERAH

BERDASARKAN KOMPOSISI SEL SOMATIK

DALAM MASA KOLOSTRUM

MAYA MASITA NOVIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Diketahui :

Tanggal Ujian : 05 Juli 2011 Tanggal Lulus :

Judul Tesis : Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum

Nama : Maya Masita Novianti

NIM : B251090031

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto Ketua

Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si Anggota

Ketua Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul Pendugaan Mastitis Subklinis pada Sapi Perah Berdasarkan Komposisi Sel Somatik dalam Masa Kolostrum, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto, selaku ketua pembimbing dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan tulus memberikan bimbingan, nasehat, dorongan semangat serta rela mengorbankan waktu selama penelitian sampai penulisan tesis. Dengan penuh rasa hormat penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi yang telah meluangkan waktu untuk menelaah tesis ini.

Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku ketua Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor beserta seluruh staf pengajar yang telah mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran dalam menyampaikan ilmu, bimbingan dan arahan selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih penulis sampaikan kepada kepala dan staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor atas ijin, pengertian dan dorongan semangat maupun bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu drh. Herwin Pisestyani, M.Si yang telah membantu dalam penelitian, memberi semangat dan masukan-masukan dalam penelitian ini. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman seperjuangan, khususnya drh. Andreas Iwan S dan rekan-rekan KMV 2008, KMV 2010 atas kekompakan, kesetiakawanan dan dukungannya.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada tenaga penunjang pendidikan Program Studi/Mayor Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana, Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner, Bagian Mikrobiologi Medik dan Patologi Klinik, Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan, penelitian dan penulisan tesis.

Kepada ayahanda, ibunda, adik di Sragen dan seluruh keluarga di Bogor, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya, atas doa restu, bimbingan, didikan, dorongan semangat dan kasih sayangnya yang diberikan selama ini.

Akhirnya dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, tulisan ini dipersembahkan kepada suami tercinta Rangga Bandanaji dan putra tercinta Muhammad Firsha Bandanaji atas segala do’a, pengertian, kesabaran, dorongan semangat yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Kepada semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu diucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan. Semoga budi baik dan jasa yang telah diberikan mendapat imbalan dari Allah SWT.


(11)

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, oleh karena itu dengan rendah hati penulis mengharapkan kepada seluruh pembaca untuk memberikan saran yang bermanfaat demi kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan dan demi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bogor, Juli 2011 Maya Masita Novianti


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Nopember 1985 di Sragen, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sriyono dan Ibu Darmiyatun. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Negeri 1 Bendungan, pendidikan lanjutan menengah pertama pada tahun 2001 di SLTP Negeri 1 Sragen dan pendidikan menengah utama pada tahun 2004 di SMU Negeri 1 Sragen.

Tahun 2004 penulis melanjutkan kuliah di Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan meraih gelar sarjana peternakan pada tahun 2008. Tahun 2009 penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Sekolah Pascasarjana IPB.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……… xiii

DAFTAR TABEL ………. xv

DAFTAR GAMBAR ………. xvii

PENDAHULUAN ………. 1

Latar Belakang ………... Tujuan Penelitian ………... Manfaat ……….. Hipotesis ……… 1 3 3 3 TINJAUAN PUSTAKA ……….. 4

Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya ……… Mastitis Subklinis ………... Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis ………. Deteksi Mastitis Subklinis ………... Jumlah dan Komposisi Sel Somatik ……….…. Leukosit ………. Monosit dan Makrofag ………. Limfosit ………. Neutrofil ………..……….. Eosinofil ………. Basofil ………... Kolostrum ………. 4 4 6 7 8 9 10 11 12 13 13 14 BAHAN DAN METODE ……….. 16

Waktu dan Tempat Penelitian ……… Metode Penelitian ……….. Penelitian Tahap I ………. Pengambilan Sampel dan Pengujian Mastitis Subklinis ….… Penghitungan Jumlah Sel Somatik dalam Susu ………... Pembuatan Phosphate-Buffer Saline (PBS) ……….. Preparasi Sampel ………..………. Pewarnaan Sampel ………. Penelitian Tahap II ………. Penelitian Tahap III ……….. Analisis Data ………..…… 16 16 16 16 17 17 18 18 18 19 19 HASIL ……….. 20

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol …….. Jumlah Sel Somatik pada Kelompok Kontrol ………... Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol ………. Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal..

20 20 20 22


(14)

Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada laktasi

Normal... 28

PEMBAHASAN ……… 30

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol …….. Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal.. Korelasi antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada laktasi Normal ………..

30 33 35

SIMPULAN DAN SARAN ……….. 39

Simpulan ………..……….. Saran ………..…………

39 39

DAFTAR PUSTAKA ……… 40


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu ……… 5

2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu ……… 15

3 Rataan dan simpangan baku jumlah sel somatik pada kontrol positif

dan negatif (n=20) …..……… 20

4 Rataan dan simpangan baku komposisi sel somatik pada kontrol

positif dan negatif (n=20) …..……… 20

5 Selang kepercayaan bagi rataan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol positif dan negatif dibandingkan dengan

pustaka………... 21

6 Komposisi sel somatik (%) pada sampel yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis pada masa

kolostrum dan laktasi normal ………. 22

7 Hasil uji korelasi Pearson antara komposisi sel somatik pada masa


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang

mempengaruhi kemunculan mastitis ………... 7

2 Skema pembentukan sel darah ………... 10

3 Perbedaan bentuk leukosit …..………... 14

4 Komposisi sel somatik pada kontrol positif dan negatif …………. 21 5 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang mengalami

mastitis subklinis pada laktasi normal ... 23 6 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang tidak

mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal………... 23 7 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml

(dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi neutrofil pada

masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 …... 25 8 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml

(dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi limfosit pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 ……….………...

26

9 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi makrofag pada

masa kolostrum hari ke-1 sampai 8 ………... 27

10 Diagram pencar korelasi komposisi neutrofil pada masa

kolostrum dengan jumlah sel somatik pada masa laktasi normal ... 29 11 Hasil uji sampel susu menggunakan pereaksi IPB-1 a: (-) mastitis

subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis ………... 31 12 Sel somatik yang tampak dengan pewarnaan Breed a: (-) mastitis

subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis …….……… 31

13 Jenis sel somatik yang terdapat dalam sampel kolostrum dan susu


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Bagan alir penggitungan komposisi sel somatik menurut


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan produksi susu nasional sangat dibutuhkan berkaitan dengan peningkatan konsumsi protein asal hewan untuk mengimbangi bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan kesadaran masyarakat akan kebutuhan protein hewani. Tahun 2011 pemerintah mentargetkan peningkatan konsumsi susu oleh masyarakat dari 10 kg/kapita/tahun menjadi 23 kg/kapita/tahun (Kemenperin 2011). Produksi susu dalam negeri hanya mampu mencukupi 30% dari kebutuhan konsumen. Produksi susu yang belum dapat memenuhi kebutuhan konsumen di Indonesia antara lain disebabkan populasi ternak yang masih kurang dan produksi susu per ekor yang belum optimum (Sudarwanto 1999). Jenis ternak sebagai penghasil susu juga masih sangat terbatas.

Sapi perah merupakan satu diantara komoditas ternak penting sebagai penghasil susu yang utama. Susu yang dihasilkan sangat bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, khususnya pemenuhan kebutuhan protein hewani. Ditinjau dari menajemen produksi, peternakan sapi perah masih belum menghasilkan produksi yang optimal karena berbagai kendala. Mastitis merupakan salah satu kendala yang dihadapi. Mastitis atau radang ambing merupakan penyakit yang bersifat kompleks yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, trauma dan kesalahan manajemen. Kualitas susu dan mastitis adalah dua hal yang berbeda namun memiliki keterkaitan yang erat. Pengaruh kejadian mastitis adalah terhadap produksi susu dan komposisi susu (Sudarwanto 1999).

Mastitis terdiri atas mastitis klinis dan subklinis. Prevalensi kejadian mastitis subklinis di Indonesia sampai tahun 2008 mencapai 85% (Rahayu 2009) sedangkan di daerah kabupaten Bogor mencapai 87.10% (Ananto 1995). Kerugian yang dialami berupa penurunan produksi susu per kuartir per hari antara 9-45.5% (Sudarwanto 1999) yang disertai penurunan pendapatan peternak. Kerugian lain adalah penurunan kualitas susu yang mengakibatkan penolakan susu mencapai 30-40% (Sudarwanto 1999), penyimpangan komposisi yang akan berpengaruh terhadap kualitas produk olahannya. Peningkatan biaya perawatan


(19)

dan pengobatan serta pengafkiran ternak lebih awal adalah biaya tambahan yang harus dikeluarkan peternak (Seegers et al. 2003).

Mastitis subklinis biasanya berlangsung lama dan berulang. Penyebab mastitis subklinis adalah interaksi antara kondisi ternak, agen penyebab yang berupa mikroorganisme, dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Mikroorganisme penyebab utama mastitis subklinis adalah bakteri yang didominasi Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Escherichia coli, beberapa jenis kapang, khamir dan virus (Marogna et al. 2010). Sumber berbagai mikroorganisme tersebut dan penularannya disebabkan rendahnya sanitasi kandang, pekerja dan peralatan. Sanitasi dan kondisi kesehatan hewan yang buruk merupakan faktor utama terjadinya mastitis subklinis.

Kasus mastitis sekitar 97-98% merupakan mastitis subklinis sedang 2-3% merupakan kasus mastitis klinis yang terdeteksi, sehingga sering digambarkan sebagai fenomena gunung es di bawah laut, dimana kejadian kasusnya tinggi, tapi tidak diketahui karena tanpa gejala klinis. Mastitis subklinis baru diketahui bila telah menjadi bentuk yang klinis atau penurunan produksi susu yang mencolok. Kejadian mastitis subklinis tanpa disertai gejala klinis dan perubahan fisik susu dapat dideteksi melalui penurunan jumlah produksi dan peningkatan jumlah sel somatik. Jumlah sel somatik dalam susu merupakan parameter penting untuk deteksi mastitis subklinis (Sudarwanto 1999).

Mastitis subklinis sebenarnya dapat disembuhkan jika tingkat peradangannya belum parah sehingga diperlukan identifikasi penyebabnya secara dini. Tindakan pencegahan menjadi alternatif terbaik dalam upaya penanggulangan penyakit ini (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a). Upaya pencegahan yang dilakukan oleh peternak masih belum optimal karena keterbatasan pengetahuan peternak dan upaya pencegahan tidak dilakukan secara kontinyu. Upaya untuk menghadapai permasalahan tersebut adalah dengan melakukan kajian tentang perlunya pendugaan terhadap mastitis subklinis agar tindakan pencegahan dapat dilaksanakan sebagai suatu hal yang penting dan dibutuhkan.


(20)

Pendugaan kejadian mastitis subklinis dapat dilakukan dengan mengetahui jumlah dan komposisi sel somatik pada awal laktasi atau masa kolostrum. Melalui pendugaan tersebut diharapkan dapat diketahui gambaran sel somatik pada laktasi normal dan diprediksi kemungkinan kejadian mastitis subklinis. Pendugaan terhadap kejadian mastitis subklinis dapat membantu peternak untuk lebih intensif dalam melakukan pencegahan sehingga kerugian dapat ditekan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Menguji komposisi sel somatik dalam kolostrum.

2. Memprediksi kejadian mastitis subklinis berdasarkan komposisi sel somatik dalam kolostrum.

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang deteksi dini mastitis subklinis melalui pendugaan komposisi sel somatik. Kejadian mastitis subklinis yang diketahui dari awal diharapkan dapat lebih cepat diantisipasi dan dapat dilakukan upaya pencegahan yang lebih intensif untuk meminimalisasi kerugian akibat mastitis subklinis.

Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah mastitis subklinis dapat diduga dari komposisi sel somatis pada kolostrum.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi Ambing dan Mekanisme Pertahanannya

Ambing merupakan bagian tubuh ternak yang berperan dalam sintesis dan sekresi susu. Ambing sapi terdiri dari dua bagian yaitu kiri dan kanan yang dipisahkan jaringan ikat yaitu ligamentum suspensorium. Kedua bagian ambing tersebut dibagi menjadi kuartir depan dan belakang yang dipisahkan oleh sekat sulcus intermamaria. Setiap kuartir memiliki satu puting. Adanya sekat antar kuartir membuat antar kuartir tidak berhubungan secara langsung sehingga infeksi kelenjar susu mungkin terbatas pada satu kuartir saja (Subronto 2003).

Ambing secara alami juga mempunyai perangkat pertahanan mekanis yaitu ujung puting susu yang dikenal dengan ductus papillaris. Permukaan saluran terdiri dari epitel pipih berlapis yang mengandung lemak dan protein yang bersifat bakterisidal. Perangkat pertahanan seluler berupa sel darah putih yang memilki kemampuan fagositosis. Apabila fagositosis tidak mampu menghentikan infeksi maka akan terjadi peradangan yang diikuti mobilisasi sel darah putih yang lebih banyak (Akers et al. 2006). Tingkat pertahanan ambing mencapai titik terendah pada saat setelah pemerahan, karena saluran susu pada puting masih terbuka dan memungkinkan berbagai macam bakteri patogen masuk dalam ambing. Sel darah putih, antibodi dan enzim juga ikut terperah sehingga sistem pertahanan sangat kurang (Lindmark-Mansson et al. 2006).

Mastitis Subklinis

Mastitis adalah peradangan pada ambing yang berasal dari bahasa Yunani yaitu mastos yang berarti ambing dan itis yang berarti peradangan (Subronto 2003). Pengertian mastitis sering pula dinyatakan dengan adanya peradangan pada ambing yang disertai dengan perubahan fisik, kimia, mikrobiologi dan kenaikan sel somatik terutama leukosit dalam susu dan dapat disertai dengan perubahan patologi jaringan ambing (Faul 1971 yang dikutip oleh Ananto 1995).

Berdasar gejalanya, mastitis dibedakan menjadi dua bentuk yaitu mastitis klinis dan subklinis (Subronto 2003). Mastitis klinis ditandai dengan gejala panas, sakit, merah, pembengkakan dan penurunan fungsi pada ambing. Mastitis


(22)

subklinis adalah peradangan interna jaringan ambing tanpa disertai gejala klinis baik pada susu maupun ambingnya, namun terjadi peningkatan jumlah sel radang, ditemukan mikroorganisme patogen dan terjadi perubahan kimia susu (Sudarwanto 1999). Pada umumnya mastitis subklinis akan berlanjut menjadi mastitis kronis yang kadang-kadang didahului oleh munculnya mastitis akut maupun sub-akut yang dapat menimbulkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004).

Mastitis subklinis adalah peradangan ambing yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi pada pemeriksaan susu secara mikroskopik terdapat peningkatan jumlah sel somatik lebih besar dari 400 000 sel setiap ml susu (Sudarwanto et al. 2006; IDF 1999). Sapi yang menderita mastitis subklinis mengalami penurunan produksi kualitas dan komposisi susu. Perubahan komposisi susu yang terjadi menurut Blowey dan Edmonson (1995) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Efek mastitis subklinis terhadap komposisi susu

No Komponen Perubahan yang terjadi

1. Total protein Menurun

2. Kasein Menurun

3. Laktosa Menurun

4. Bahan kering tanpa lemak Menurun

5. Lemak Menurun

6. Kalsium, Kalium dan Fosfor Menurun

Mastitis subklinis dianggap lebih berbahaya karena tidak diketahui gejalanya dan menimbulkan kerugian yang sangat tinggi. Mastitis subklinis menyebabkan penurunan produksi susu mencapai 15%. Kerugian lain disebabkan peningkatan biaya produksi untuk pengobatan, terkadang sapi yang terkena mastitis subklinis juga harus dikeluarkan dari peternakan lebih awal karena biaya pemeliharaaan yang lebih tinggi dari produksinya. Kerugian ekonomis karena mastitis subklinis dapat mencapai Rp. 10 000 000/ekor/tahun (Rahayu 2009).


(23)

Penyebab dan Mekanisme Terjadinya Mastitis Subklinis

Mastitis subklinis di Indonesia mencapai 97% dari keseluruhan kejadian mastitis. Mastitis subklinis merupakan penyakit kompleks yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, khamir dan kapang (Subronto, 2003). Proses terjadinya mastitis senantiasa dikaitkan dengan tiga faktor yakni ternak, penyebab peradangan (80-90% disebabkan oleh mikroorganisme) dan lingkungan (Sudarwanto 1999). Risiko untuk menderita mastitis senantiasa terletak pada keseimbangan ketiga faktor tesebut. Sapi mudah menderita mastitis bila kondisi sapi menurun akibat cekaman lingkungan yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh sapi (Kleinschroth et al. 1994 yang dikutip dalam Sudarwanto 1999).

Faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan yang banyak mempengaruhi kejadian mastitis subklinis meliputi pakan, perkandangan, jumlah sapi dalam satu kandang, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu. Pakan yang mengandung estrogen, misalnya jenis daun clover dan jagung maupun konsentrat yang berjamur telah terbukti memudahkan terjadinya mastitis subklinis. Kandang yang berukuran sempit menyebabkan sapi-sapinya berdesakan. Apabila ada salah satu yang terinfeksi maka penularan akan lebih mudah terjadi. Kandang yang lembab serta kotor akan memudahkan terjadianya radang ambing (Subronto 2003).

Kejadian mastitis subklinis terutama terjadi pada 90 hari pertama masa laktasi. Infeksi pada umumnya terjadi pada saat sapi mengalami masa kering kandang, masa keluarnya kolostrum, dan awal masa laktasi. Mastitis subklinis dapat terjadi sepanjang waktu (Schrick et al. 2001). Kejadian mastitis subklinis pada masa kering kandang mencapai 63% (Pantoja et al. 2009). Faktor predisposisi kejadian mastitis subklinis dari hewan meliputi bentuk ambing. Ambing yang sangat menggantung, ataupun ambing yang lubang putingnya terlalu besar (Akers et al. 2006). Umur hewan juga menentukan mudah tidaknya seekor sapi menderita mastitis subklinis. Semakin tua umur sapi, terutama dengan produksi susu yang tinggi, maka semakin kendor pula sphincter putingnya. Karena sphincter berfungsi menahan kuman, maka kemungkinan sapi tersebut terinfeksi semakin besar. Makin tinggi produksi susu, maka makin lama waktu yang dibutuhkan oleh sphincter untuk menutup secara sempurna (Subronto 2003).


(24)

Proses peradangan dimulai dengan masuknya mikroorganisme ke dalam kelenjar melalui lubang puting yang terbuka setelah proses pemerahan. Mikroorganisme berkembang dalam ambing, menyebar ke alveoli dan menyebabkan kerusakan pada susu yang dihasilkan. Mikroorganisme yang masuk ke dalam ambing dapat merusak membran sel dalam ambing akibat reaksi peradangan dan invasi mikroorganisme. Infeksi akut dapat merangsang pembentukan jaringan ikat pada ambing yang menyebabkan terbentuknya jaringan ikat pada ambing (Holtenius et al. 2004).

Gambar 1 Faktor hewan, lingkungan dan mikroorganisme yang mempengaruhi kemunculan mastitis (Raza 2009).

Jenis mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis adalah bakteri (80%). Bakteri penyebab mastitis subklinis antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae, Streptococcus dysgalactiae, Streptococcus uberis, Escherichia coli, Klebsiella spp dan Bacillus sp. Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang paling banyak menyebabkan mastitis subklinis. Bakteri ini dapat berpindah antar kuartir selama pemerahan sehingga terjadi proses penularan (Marogna et al. 2010).

Deteksi Mastitis Subklinis

Mastitis subklinis tidak disertai gejala klinis sehingga deteksi cukup sulit dilakukan dan diperlukan uji atau pemeriksaan khusus. Peningkatan jumlah sel radang atau jumlah sel somatik merupakan indikator yang baik dalam

Ternak


(25)

pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Diagnosa mastitis subklinis juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologis (Schalm et al. 1971). Sudarwanto et al. (1993) menyatakan bahwa deteksi mastitis subklinis didasarkan pada pemeriksaan sampel susu dan perubahan komposisi susu.

Penghitungan jumlah sel somatik dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Penghitungan secara langsung artinya diketahui jumlah sel somatik yang sesungguhnya menggunakan metode Breed, Coulter Counter dan Fossomatik (Sudarwanto 1999). Penghitungan secara tidak langsung, berdasarkan reaksi kimia dapat diperkirakan jumlah sel somatik dalam susu. Beberapa metode untuk mendeteksi jumlah sel somatik secara tidak langsung diantaranya California Mastitis Test (CMT), Whitesite Test (WST) (Schalm et al. 1971) dan IPB-1 yang mulai dikembangkan oleh Sudarwanto sejak tahun 1985 (Sudarwanto 1999).

Deteksi mastitis subklinis yang mulai banyak digunakan di Indonesia adalah pereaksi IPB-1. Penggunaan metode ini dianggap mempunyai kelebihan antara lain sangat mudah, cepat, memiliki kepekaan (sensitifitas) 91.7% dan kekhasan (spesifisitas) 96.8% (Sudarwanto dan Sudarnika 2008a). Parameter lain yang digunakan untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah perubahan pH dan perubahan elektrolit dalam susu (Sudarwanto 1998).

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik

Sel somatik dalam susu merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok leukosit (sel limfosit, neutrofil, makrofag, eosinofil dan basofil), runtuhan sel epitel jaringan ambing dan lain-lain. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal, sedangkan leukosit merupakan komponen kekebalan tubuh terhadap keberadaan benda asing. Terdapat tiga jenis sel somatik yang terdapat dalam susu yaitu sel epitel, makrofag dan polimorfonuklear netrofil (PMN). Jenis sel epitel dan makrofag banyak ditemukan dalam susu yang dihasilkan oleh ambing yang tidak terinfeksi. Terjadinya infeksi akan menimbulkan peningkatan jumlah PMN yang diikuti dengan peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (Lindmark-Mansson et al. 2006).


(26)

Jumlah sel somatik biasanya digunakan untuk mengukur produksi dan kualitas susu. Sel somatik secara sederhana berasal dari tubuh dan ditemukan dalam jumlah rendah pada susu. Mayoritas sel somatik adalah leukosit dan beberapa sel epitel. Sel epitel merupakan bagian normal dari fungsi tubuh dan diperbarui dalam proses fisiologis tubuh. Leukosit berperan dalam mekanisme pertahanan untuk melawan penyakit atau infeksi dan memperbaiki jaringan yang rusak. Jumlah sel somatik yang tinggi menunjukkan terjadinya infeksi yang menurunkan kualitas susu. Parameter yang paling mendasar untuk mendeteksi mastitis subklinis adalah jumlah sel somatik (Rice dan Bodman 1997). Jumlah batas sel somatik dalam susu normal menurut IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar adalah 400 000 sel per ml.

Leukosit

Leukosit adalah komponen aktif sistem pertahanan tubuh yang sebagian dibentuk dalam sum-sum tulang dan sebagian lagi di dalam organ limfoid. Leukosit mampu keluar dari pembuluh darah dan menuju ke jaringan yang membutuhkannya. Leukosit berfungsi untuk kekebalan tubuh baik spesifik maupun non spesifik. Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap zat-zat asing, bahan toksik dan berbagai penyebab infeksi (Tizard 2000).

Berdasarkan bentuk inti sel, leukosit dapat dibagi menjadi mononuklear dan polimorfonuklear. Leukosit mononuklear memiliki inti tunggal dan tidak bersegmen. Monosit dan semua limfosit termasuk dalam leukosit mononuklear. Leukosit polimorfonuklear memiliki inti yang bervariasi. Neutrofil, eosinofil dan basofil termasuk dalam leukosit polimorfonuklear (Guyton dan Hall 1997).

Leukosit mempunyai kemampuan diapedesis yang dapat meninggalkan pembuluh darah dengan menerobos sel endotel sehingga dapat terbawa dalam susu. Jumlah leukosit akan meningkat bila terjadi infeksi pada ambing misalnya ketika terjadi mastitis (Gargouri et al. 2008). Pada kelenjar ambing sapi yang sehat, komposisi leukosit normal yang dapat diamati dalam susu yang dihasilkan adalah makrofag atau monosit 35-79%, limfosit 9-28%, leukosit polimorfonuklear (PMN) 3-26% dan sel epitel 2-15% (Kelly et al. 2000).


(27)

Gambar 2 Skema pembentukan sel darah (Wright 2001).

Monosit dan Makrofag

Monosit merupakan leukosit agranulosit dan merupakan leukosit dengan ukuran sel terbesar dan sitoplasma yang lebih banyak dibandingkan sitoplasma pada limfosit besar. Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang belakang yang akan masuk ke dalam jaringan dalam bentuk makrofag. Monosit merupakan makrofag yang belum matang. Apabila monosit masuk ke jaringan maka akan berubah menjadi makrofag bebas dalam pertahanan jaringan melawan agen infeksi seperti benda asing, sel mati, bakteri dan membantu membersihkan sel-sel yang rusak (Dellman dan Eurell 1998).

Monosit dan makrofag berperan dalam mengatur tanggap kebal dengan mengeluarkan glikoprotein pengatur monokin seperti interferon, interleukin I, dan zat farmakologis aktif seperti prostaglandin dan lipoprotein. Peran utama makrofag adalah menghancurkan benda asing terutama bahan kimia yang bersifat asing bagi tubuh. Makrofag juga berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap infeksi organism, sel yang nekrotik, dan reruntuhan sel. Selama proses

Hemositoblas

Limfoblas

Mieloblas Eritroblas

Polikromatik eritroblas

Monosit Megakaryosit

Trombosit Eritrosit

Basofil Eosinofil

Neutrofil Monosit/

progranu losit Limfosit B

Limfosit T

Retikulosit

Mielosit basofil Mielosit eosinofil


(28)

penyembuhan, makrofag membersihkan sisa-sisa jaringan yang mengalami kerusakan dan menghasilkan faktor pertumbuhan yang merangsang perbaikan jaringan (Jain 1993).

Monosit merupakan prekursor makrofag jaringan dan memiliki inti sel yang pleomorfik. Monosit maupun makrofag memiliki bentuk yang sama yaitu inti sel panjang, melipat di tengahnya seperti tapal kuda dan sedikit berlobus dengan sitoplasma yang besar. Makrofag berakumulasi di daerah peradangan dan penghancuran jaringan sebagai respon terhadap faktor-faktor kemotaktik tertentu. Substansi bakteri berupa lipid atau kaya akan lipid dan lipopolisakarida dari bakteri Gram negatif, substansi terlarut dari limfosit T, neutrofil dan sel tumor merupakan faktor kemotaktik bagi makrofag (Dellman dan Eurell 1998). Presentase makrofag akan meningkat jika sistem pertahanan neutrofil gagal mengeliminasi infeksi atau netrofil banyak yang mati sehingga menghasilkan bahan yang bersifat kemotaktik bagi makrofag (Sladek et al. 2006).

Limfosit

Limfosit merupakan sel yang tidak bergranul dan di bentuk di dalam limpa, kelenjar limfe, timus, sumsung tulang, tonsil, dan bursa fabrisius. Limfosit sangat berperan dalam sistem kekebalan tubuh. Fungsi utama limfosit adalah memproduksi antibodi sebagai sel efektor khusus menanggapi antigen yang terkait pada makrofag. Beberapa limfosit berperan dalam membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur, surface markers yang berkaitan dengan sifat imunologis, siklus hidup dan fungsinya (Junguera 1977).

Limfosit dapat dibagi dua yaitu limfosit T yang berasal dati timus dan limfosit B yang berasal dari bursa fabrisius. Sebanyak 70-75% limfosit T menghasilkan tanggap kebal yang berperantara sel yaitu tanggap kebal seluler, juga menghasilkan limfikin yang mencegah perpindahan makrofag dan merupakan media kekebalan. Limfosit B berperan dalam reaksi kekebalan humoral dan tumbuh menjadi sel plasma pembentuk antibodi. Limfosit ini motil dan menunjukan aktivitas amuboid tetapi tidak fagositik (Jain 1993).


(29)

Jumlah limfosit di dalam peredaran darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat produksi, resirkulasi, dan penggunaan atau penghancuran limfosit. Tingginya limfosit diperedaran darah (limfositosis) dapat terjadi karena fisiologis, reaktif dan proliferatif (Jain 1993). Jumlah limfosit akan mengalami penurunan pada ambing yang mengalami peradangan (Gargouri et al. 2008).

Neutrofil

Neutrofil merupakan sel granulosit polimorfonuklear darah yang diproduksi di sumsum tulang. Sitoplasma pada neutrofil tidak berwarna, dan hal ini membedakan neutrofil dengan eosinofil dan basofil. Neutrofil adalah sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme. Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi pembuluh darah (Jain 1993).

Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh organisme, melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah putih yang lain seperti limfosit dan makrofag, menghancurkan dan memindahkan agen asing tersebut. Setelah melakukan fagositosis, sel neutrofil akan menjadi tidak aktif dan mati. Proses penghancuran benda asing atau mikroorganisme dengan proses fagositosis oleh neutrofil yaitu partikel tersebut terkurung dalam sitoplasma neutrofil dan ditempatkan dalam fagosom (Dellman dan Eurell 1998). Asam amino D oksidase dalam granula azurofilik pada neutrofil berperan dalam pencernaan dinding sel bakteri yang mengandung asam amino D. Selama proses fagositosis akan dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida yang bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri dan menghancurkannya (Leeson 1990).

Neutrofil juga berperan dalam memulai dan membatasi besaran dan durasi proses peradangan akut. Peningkatan neutrofil dapat dilihat pada peradangan akut dan penyakit infeksius yang disebabkan Chlamydia, bakterial, dan fungal (Dellman dan Eurell 1998). Peradangan pada ambing juga akan meningkatkan presentase netrofil dalam leukosit terutama pada infeksi yang disebabkan bakteri (Kehrli dan Shuster 1994; Lietner et al. 2000).


(30)

Eosinofil

Eosinofil adalah sel yang besar dengan sitoplasma banyak mengandung granula dan akan tampak merah jika diwarnai dengan pewarnaan yang basa. Sel ini dibentuk di dalam sumsum tulang, sangat motil dan bersifat fagositik. Eosinofil berperan dalam reaksi alergi, serangan parasit dan jumlahnya akan terus meningkat selama serangan alergi. Fungsi lainnya yaitu mengendalikan dan mengurangi hipersensitifitas. Eosinofil akan diproduksi dalam jumlah besar dan bermigrasi ke jaringan pada penderita infeksi parasit (Dellman dan Eurell 1998).

Eosinofil berperan penting dalam menyerang dan menghancurkan parasit cacing serta dalam beberapa reaksi hipersensitivitas. Mekanismenya adalah dengan cara melekatkan diri pada parasit, kemudian melepaskan bahan-bahan yang membunuh parasit tersebut. Eosinofil juga mempunyai kecenderungan khusus untuk berkumpul di jaringan yang mengalami alergi (Ganong 1996).

Basofil

Ukuran basofil lebih besar dibandingkan neutrofil. Bentuk sel tidak teratur dengan inti sitoplasma tampak biru jika diwarnai dengan pewarnaan yang bersifat asam. Basofil dibentuk di dalam sumsum tulang. Peningkatan jumlah basofil merupakan indikasi adanya peradangan akut yang menyebabkan hipersensitivitas dan adanya infeksi saluran pernapasan serta kerusakan jaringan yang hebat. Basofil berperan penting pada reaksi hipersensitivitas akut (Ganong 1996).

Sel mast dan basofil melepaskan heparin ke dalam darah, yaitu bahan yang dapat mencegah pembekuan darah. Basofil dan sel mast berperan penting dalam menjalankan reaksi inflamasi, sebab antibodi yang menyebabkan alergi, yaitu IgE mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil. Basofil sangat jarang ditemukan di peredaran darah dan sumsum tulang. Jumlah basofil yang rendahnya atau tidak ditemukannya dalam peredaran darah merupakan hal yang normal dan tidak mempunyai arti apapun (Jain 1993).


(31)

Gambar 3 Perbedaan bentuk leukosit (Sheppard et al. 2007).

Kolostrum

Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mamalia memiliki warna kekuningan dengan konsistensi kental. Kolostrum mensuplai berbagai faktor kekebalan, faktor pertumbuhan dengan kombinasi zat gizi (nutrien) yang sempurna (Fuquay et al. 2002). Lebih dari 90 bahan bioaktif alami terkandung di dalam kolostrum yang bekerja secara sinergis dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh hewan neonatal. Kolostrum juga mengandung limfosit, monosit, neutrofil serta protein terutama albumin dan globulin. Kolostrum juga mengandung vitamin A, E, karoten dan riboflavin dengan konsentrasi tinggi (Frandson 1992; Thapa 2005). Pada sapi, kolostrum berperan dalam proses transfer kekebalan pasif yang diperoleh pedet dari induk, karena fetus tidak mendapatkan transfer antibodi sewaktu dalam kandungan induk (Toelihere 2006).

Komponen lain yang terdapat di dalam kolostrum adalah immunoglobulin, laktoferin, transferin, glikoprotein, laktalbumin, oligosakarida dan sitokin. Immunoglobulin adalah glikoprotein plasma yang berperan menghantarkan tanggapan kekebalan pada organisme tinggi. Laktoferin adalah antioksidan alami yang paling kuat dalam mencegah radikal bebas. Transferin mengikat dan mengangkut zat besi (Fe) dan oligosakarida yang merupakan sakarida dari karbohidrat yang mengikat bakteri penyerang dinding usus dan esofagus

Limfosit

Leukosit polimorfonuklear

Eosinofil Monosit


(32)

(Sokolowska et al. 2007). Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu menurut Kehoe et al. (2007) disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu normal

Komponen Kolostrum Susu

Bahan kering (g/l) 245 122

Abu (g/l) 18 7

Energi (MJ/l) 6 2.8

Lemak (g/l) 64 39

Protein (g/l) 133 32

Asam amino essensial (mmol/l) 390 ND

Asam amino nonesensial (mmol/l) 490 ND

Imunoglobulin G (g/l) 81 <2

Laktoferin (g/l) 1.84 ND

Hormon pertumbuhan ( g/l) 1.4 <1

Leukosit secara alami dapat berada dalam kolostrum karena merupakan komponen sistem imun yang ditransfer dari induk ke anaknya. Leukosit dalam kolostrum bersifat aktif, dapat menembus membrane peripheral sampai ke darah anak sapi. Jumlah leukosit dalam kolostrum umumnya tinggi sebagai bentuk respon fisiologis induk setelah melahirkan, kemudian akan mengalami penurunan sampai pada level normal. Jumlah komposisi leukosit yang tidak normal pada kolostrum dapat mengindikasikan terjadinya gangguan pada ambing sebagai penghasil kolostrum (Reber et al. 2006).


(33)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2010 sampai Maret 2011. Tempat penelitian adalah Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Laboratorium Patologi Klinik Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dan Kawasan Usaha Ternak Cibungbulang, Kabupaten Bogor.

Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap. Penelitian tahap pertama meliputi pengambilan sampel susu sapi pada laktasi normal dari sapi yang negatif dan positif menderita mastitis subklinis untuk menentukan standar komposisi sel somatik dalam susu atau sebagai kontrol positif dan negatif. Tahap kedua meliputi pengambilan dan analisis komposisi sel somatik pada kolostrum. Penelitian tahap ke tiga adalah pengambilan sampel susu dari sapi yang sama dengan sampel kolostrum pada laktasi normal untuk mengetahui kondisi mastitis atau tidak, menganalisis jumlah dan komposisi sel somatik serta menentukan korelasi komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis.

Penelitian Tahap I

Pengambilan Sampel dan Pengujian Mastitis Subklinis

Sampel susu yang digunakan sebagai kontrol positif dan negatif diambil dari 20 kuartir. Pengujian mastitis subklinis dilakukan berdasar metode Sudarwanto dan Sudarnika (2008b) yaitu dengan menguji sampel susu dari masing-masing kuartir dengan pereaksi IPB-1 menggunakan paddle. Sebanyak sekitar 2 ml susu dimasukkan dalam paddle dan ditambah pereaksi IPB-1 dengan jumlah yang sama dan dihomogenkan 15-30 detik. Hasil pengujian berupa negatif (bila campuran susu dan pereaksi IPB-1 tetap homogen), positif 1 (campuran mulai terlihat agak mengental), positif 2 (campuran membentuk kekentalan yang jelas), positif 3 (campuran sangat kental, membentuk massa seperti gelatin dan sulit digerakkan).


(34)

Kontrol positif adalah sampel susu dari ternak yang mengalami mastitis subklinis dan menghasilkan gumpalan dengan kriteria positif 3 pada uji IPB-1. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC) untuk menghindari kerusakan yang dapat terjadi pada susu selama transportasi dan sebelum dianalisis.

Penghitungan Jumlah Sel Somatik dalam Susu

Pemeriksaan jumlah sel somatik dilakukan dengan metode Breed (Sudarwanto et al. 2006). Sebuah gelas objek dibersihkan dengan alkohol 70% dan diletakkan di atas kertas cetakan dengan pola bujursangkar seluas 1 x 1 cm2. Sampel susu dihomogenkan, dipipet dan diteteskan sebanyak 0.01 ml tepat di atas kertas pola. Sampel susu kemudian disebarkan seluas 1 cm2 dengan ose. Preparat kemudian dikering udarakan kemudian difiksasi dengan api Bunsen. Pewarnaan Breed dilakukan dengan merendam gelas objek dalam eter alkohol selama 2 menit dan digoyang-goyangkan untuk melarutkan lemak susu. Preparat selanjutnya diwarnai dengan methylen blue Löffler selama 1-2 menit. Preparat kemudian dibilas dengan air dan dimasukkan dalam alkohol 96% untuk menghilangkan sisa zat warna kemudian dikeringkan. Jumlah sel somatik dihitung menggunakan mikroskop dengan perbesaran 100 × dan diamati sebanyak 30 lapang pandang. Jumlah sel somatik diperoleh dengan rumus :

Jumlah Sel Somatik (JSS) = F x B

F : faktor mikroskop (yaitu 400 000 pada mikroskop model Olympus tipe C030) B : rataan jumlah sel somatik dari 30 lapang pandang

Penghitungan Komposisi Sel Somatik

a. Pembuatan Phosphate-Buffer Saline (PBS)

Pembuatan PBS dilakukan dengan melarutkan NaCl 7.65 gram, Na2HPO4

0.73 gram dan KH2PO4 0.21 gram dalam 300 ml aquades. Larutan dihomogenkan

dengan magnetic stirrer selama 5-10 menit dengan kecepatan tinggi (600 rpm). Kemudian ke dalam larutan ditambahkan kembali aquades 700 ml dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer selama 5-10 menit dengan kecepatan


(35)

tinggi. Larutan PBS dicek pH nya sekitar 7.4 ±0.2 kemudian disterilisasi dengan autoclave dengan suhu 121 ºC selama 15 menit.

b. Preparasi Sampel

Penghitungan komposisi sel somatik dilakukan sesuai metode yang dikembangkan Lindmark-Manson et al. (2006). Preparasi sampel dilakukan dengan mengambil susu sebanyak 20 ml dan dihomogenkan dengan 20 ml phosphate-buffer saline (PBS) pada pH 7.4. Larutan kemudian disentrifus dengan kecepatan 3500×g selama 10 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan dipisahkan dan kedalam persipitatnya ditambahkan 1.6 ml PBS kemudian kembali disentrifus dengan kecepatan 3500×g selama 10 menit pada suhu 4 ºC. Supernatan kembali dipisahkan secara hati-hati dan sel diencerkan dengan 0.6 ml TSB.

c. Pewarnaan Sampel

Sampel sebanyak 10µl diratakan pada gelas objek dan dikering udarakan. Sampel kemudian direndam dalam metanol selama 5-7 menit dan dikering udarakan kembali. Preparat kemudian direndam dalam larutan Giemsa 10% selama 45 menit kemudian dibilas dengan aquadest. Preparat dikering udarakan dan diamati di bawah mikroskop komposisi sel somatik yang terdiri dari makrofag, limfosit, polimorfonuklear neutrofil (PMN), eosinofil dan basofil. Komposisi sel somatik tersebut dinyatakan dalam persen.

Hasil penelitian Tahap I dijadikan sebagai standar atau pembanding jumlah dan komposisi sel somatik pada penelitian tahap selanjutnya.

Penelitian Tahap II

Pengambilan Sampel Kolostrum

Sampel susu diambil dari sapi yang berada pada masa kolostrum sebanyak 12 ekor. Masa kolostrum berlangsung 6-8 hari dengan jumlah kuartir setiap sapi 3-4 kuartir sehingga total kolostrum yang dianalisis sebanyak 331 sampel. Sampel susu diambil dari pemerahan pagi hari selama masa kolostrum sampai kolostrum tidak dihasilkan. Keberadaan kolostrum diuji menggunakan uji alkohol 70% dengan perbandingan 1:1. Apabila hasil uji alkohol negatif berarti dalam susu sudah tidak mengandung kolostrum atau masa kolostrum sudah berakhir. Sampel yang digunakan adalah sampel kuartir yang diambil dan dipisahkan dari


(36)

setiap kuartir. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC) untuk menghindari kerusakan yang dapat terjadi pada susu selama transportasi dan sebelum dianalisis.

Sampel dianalisis komposisi sel somatiknya. Penghitungan jumlah sel somatik dan komposisinya dilakukan dengan metode yang sama pada penelitian tahap 1.

Penelitian Tahap III

Susu dari sapi yang diambil sampelnya pada masa kolostrum diambil kembali pada waktu laktasi normal yaitu sekitar 90 hari setelah melahirkan. Sampel susu diperah secara aseptis dan dimasukkan dalam tabung steril yang dilengkapi tutup alumunium foil. Sampel disimpan dalam cool box (<10 ºC).

Sampel diuji menggunakan pereaksi IPB-1 serta dianalisis jumlah dan komposisi sel somatik dengan metode preparasi dan pewarnaan yang sama dengan metode pada penelitian tahap I. Hasil penelitian tahap II dan tahap III dibandingkan kemudian dihitung nilai korelasinya.

Analisis Data

Data yang digunakan sebagai standar atau kontrol positif dan negatif diduga selang kepercayaannya untuk mengetahui nilai tengah jumlah dan komposisi sel somatik. Data yang diperoleh dari penelitian tahap II dan III dianalisis dengan korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Data juga disajikan secara deskriptif dalam bentuk grafik.


(37)

HASIL

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Jumlah Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Pengujian awal dalam penelitian ini adalah penentuan standar komposisi sel somatik sampel susu dari ternak yang mengalami mastitis subklinis (kontrol positif) dan tidak (kontrol negatif). Sampel diambil pada laktasi normal. Penentuan kejadian mastitis subklinis atau tidak dilakukan dengan uji menggunakan pereaksi IPB-1. Nilai positif dan negatif ditentukan berdasarkan massa kental yang terbentuk antara reagen dengan sampel susu. Sampel yang mengalami mastitis subklinis memiliki jumlah sel somatik yang lebih tinggi (Sudarwanto dan Sudarnika 2008b). Sampel yang mengalami mastitis subklinis mempunyai jumlah sel somatik > 400 000 sel somatik/ml (IDF 1999).

Tabel 3 Rataan dan simpangan baku jumlah sel somatik pada kontrol positif dan negatif (n=20)

Kelompok Hasil uji IPB-1 Jumlah sel somatik

(sel somatik/ml)

Kontrol positif (+) 3 1 812 000 ± 272 254

Kontrol negatif (-) 240 000 ± 106 227

Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Jenis sel somatik yang teridentifikasi pada kelompok kontrol baik positif maupun negatif adalah leukosit yang terdiri atas neutrofil, limfosit dan monosit. Tabel 4 Rataan dan simpangan baku komposisi sel somatik pada kontrol

positif dan negatif (n=20)

Kelompok Komposisi sel somatik (%)

Neutrofil Limfosit Makrofag

Kontrol positif 56 ± 7 8 ± 2 36 ± 6


(38)

Komposisi neut kontrol negatif. Kom lebih rendah daripada

Gambar 4 Kom

Tabel 5 Selang ke kontrol pos Jenis sel somatik Sa Neutrofil Limfosit Makrofag

Keterangan: a) Gargour b) Kelly et

Selang kepercay penentuan kejadian komposisi sel soma kesesuaian hasil yang metode pengujian ya kelompok kontrol ba sesuai dengan hasil

0 10 20 30 40 50 60 70 K o m p o si si s e l so m a ti k ( %)

neutrofil pada kelompok kontrol positif lebih omposisi limfosit dan makrofag pada kelompok

da kontrol negatif.

omposisi sel somatik pada kontrol positif dan

kepercayaan bagi rataan komposisi sel somatik positif dan negatif dibandingkan dengan pustaka

Hasil pengujian (%) Pustaka

Sampel (+) Sampel (-) Sampel (+)a

52-59 10-18 30-90

20-23 7-9 20-40

33-38 62-66 20-36

uri et al. (2008)

et al. (2000)

ayaan komposisi sel somatik tersebut digunaka n mastitis subklinis pada laktasi normal.

atik pada kelompok kontrol bertujuan unt ng diperoleh dengan pustaka yang ada serta yang digunakan. Penghitungan komposisi se baik positif maupun negatif menunjukkan kis il penelitian Gargouri et al. (2008) dan Kell

Neutrofil Limfosit Makrofag Jenis sel somatik

Positi subkli Negat subkli

bih tinggi daripada pok kontrol positif

dan negatif.

tik pada kelompok taka

ka (%)

Sampel (-)b

3-26 16-28 35-79

kan sebagai acuan l. Penghitungan untuk mengetahui a sebagai validasi sel somatik pada kisaran hasil yang elly et al. (2000)

itif mastitis klinis

atif mastitis klinis


(39)

kecuali komposisi limfosit pada sampel negatif. Hal tersebut menunjukkan metode penghitungan komposisi sel somatik yang ada layak digunakan dalam penelitian ini. Pendugaan kejadian mastitis subklinis pada masa laktasi normal dilakukan berdasarkan selang kepercayaan yang ada pada pustaka.

Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal

Sampel kolostrum tidak dianalisis jumlah sel somatiknya, melainkan komposisinya saja. Berikut disajikan komposisi sel somatik yang diamati pada masa kolostrum yaitu hari ke-1 sampai 8 setelah beranak dan pada laktasi normal yaitu 90 hari setelah beranak (Tabel 6). Pengamatan dilakukan pada dua kelompok yaitu susu asal ambing yang mengalami mastitis subklinis dan tidak, pada laktasi normal. Penentuan kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal dilakukan dengan penggunaan pereaksi IPB-1 dan metode Breed.

Tabel 6 Komposisi sel somatik (%) pada sampel yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis pada masa kolostrum dan laktasi normal

Hasil uji pada laktasi normal

Jenis sel somatik

Hari ke-

Masa kolostrum Laktasi

normal

1 2 3 4 5 6 7 8 90

Mastitis subklinis

Limfosit 16.8 15.4 14.5 13.9 13.2 12.3 11.9 11.5 7.4 Monosit 57.6 56.3 55.2 53.6 52.4 51.3 50.9 50.0 37.7 Netrofil 25.7 28.3 30.3 32.6 34.4 36.4 37.2 38.5 54.9 Tidak

mastitis subklinis

Limfosit 25.7 24.7 24.2 24.0 23.5 24.0 24.2 25.0 21.7 Monosit 65.5 66.7 67.0 66.0 66.7 65.8 66.2 66.8 65.2


(40)

0 10 20 30 40 50 60 70

1 2 3 4 5 6 7 8 90

P r e se n ta se s e l so m a ti k Hari ke-Limfosit Makrofag Neutrofil

Gambar 5 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal.

Gambar 6 Perubahan komposisi sel somatik pada sampel yang tidak mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal.

Gambar 5 dan 6 menunjukkan komposisi sel somatik yang diamati selama masa kolostrum dan laktasi normal. Kelompok sampel asal ambing yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki kecenderungan peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum, sedangkan jumlah limfosit dan makrofag mengalami penurunan. Kelompok sampel asal ambing yang tidak

0 10 20 30 40 50 60 70 80

1 2 3 4 5 6 7 8 90

P r e se n ta se s e l so m a ti k Hari ke-Limfosit Makrofag Neutrofil Laktasi normal Masa kolostrum


(41)

mengalami mastitis subklinis (Gambar 6) menunjukkan jumlah neutrofil, limfosit, dan makrofag yang relatif tetap selama masa kolostrum.

Berdasarkan komposisi sel somatik pada masa kolostrum, maka diuji secara deskriptif hubungannya dengan jumlah sel somatik pada laktasi normal sebagai indikasi kejadian mastitis subklinis dalam bentuk diagram kotak garis. Hubungan jumlah sel somatik pada laktasi normal dengan komposisi neutrofil dan limfosit pada masa kolostrum disajikan pada Gambar 7 dan Gambar 8. Gambar tersebut menunjukkan pola hubungan jumlah sel somatik pada laktasi normal dengan neutrofil dan limfosit pada masa kolostrum, belum terlihat pada hari ke-1 sampai 3 karena pola diagram kotak garis yang dihasilkan tidak teratur. Pola hubungan mulai dapat terlihat sejak hari ke-4 sampai ke-8 masa kolostrum. Gambar 9 menunjukkan hubungan antara jumlah sel somatik pada laktasi normal dan komposisi makrofag pada masa kolostrum. Gambar 9 menunjukkan tidak terdapat pola hubungan antara jumlah sel somatik pada laktasi normal dan komposisi makrofag selama masa kolostrum.


(42)

Gambar 7 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi neutrofil pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8.

1.00 .00 Netrofil1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-1 1.00 .00 Netrofil3 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 32 43 1.00 .00 Netrofil2 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Netrofil4 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Netrofil5 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Netrofil6 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Netrofil7 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Netrofil8 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-3 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-4 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-5 (+) (-) Hari ke-6 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-7 (+) (-) Hari ke-8


(43)

Gambar 8 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi limfosit pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8.

1.00 .00 Limfosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 1.00 .00 Limfosit2 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-1 (+) (-) Hari ke-2 1.00 .00 Limfosit3 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Limfosit4 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 1.00 .00 Limfosit6 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-3 (+) (-) Hari ke-4 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-5 1.00 .00 Limfosit6 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-6 1.00 .00 Limfosit7 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-7 1.00 .00 Limfosit8 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J S S 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) (-) Hari ke-8


(44)

Gambar 9 Diagram kotak garis hubungan antara jumlah sel somatik/ml (dalam juta) pada laktasi normal dan komposisi makrofag pada masa kolostrum hari ke-1 sampai 8.

1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-1 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-2 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-3 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-4 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-5 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-6 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-7 1.00 Monosit1 2000000.00 1500000.00 1000000.00 500000.00 0.00 J SS2 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 (+) Hari ke-8


(45)

Berdasarkan selang kepercayaan yang ada, maka penduga selang yang paling tepat untuk menentukan jumlah sel somatik adalah jumlah neutrofil pada selang 30-90% bagi sampel positif dan 3-26% bagi sampel negatif. Penduga jumlah sel somatik berdasarkan jumlah limfosit adalah 20-40% bagi sampel positif dan 16-28% bagi sampel negatif. Penduga jumlah sel somatik berdasarkan jumlah makrofag adalah pada selang kepercayaan 20-36% bagi sampel positif dan 35-79% bagi sampel negatif

Korelasi Antara Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Jumlah Sel Somatik pada Laktasi Normal

Untuk mengetahui korelasi atau hubungan antara komposisi dan jumlah sel somatik pada masa kolostrum maupun laktasi normal diuji dengan korelasi Pearson. Dari hasil pengujian tersebut diharapkan dapat diketahui hubungan komposisi sel somatik pada masa kolostrum dengan jumlah sel somatik pada laktasi normal sehingga dapat ditentukan pada hari tertentu selama masa kolostrum, pendugaan pandugaan mastitis subklinis pada laktasi normal dapat dilakukan.

Tabel 7 Hasil uji korelasi Pearson antara komposisi sel somatik pada masa kolostrum terhadap jumlah sel somatik pada laktasi normal

Jenis sel somatik

Hari ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

Neutrofil 0.204 0.100 0.178 0.387* 0.462* 0.530* 0.603* 0.745* Limfosit -0.163 0.132 0.242 0.311* 0.331* 0.395* 0.393* 0.655*

Makrofag NA NA NA NA NA NA NA NA

*

terdapat korelasi yang nyata (P< 0.05) antara komposisi dan jumlah sel somatik NA: nilai korelasi tidak dapat dihitung karena nilai makrofag konstan (not available)

Dari hasil uji korelasi Pearson, diketahui bahwa terdapat korelasi yang nyata (P< 0.05) antara komposisi sel somatik pada masa kolostrum dan jumlah sel somatik pada laktasi normal atau kejadian mastitis subklinis. Korelasi mulai terjadi pada hari ke-4 masa kolostrum yang menunjukkan mulai pada hari tersebut


(46)

kejadian mastitis subklinis dapat diduga dari komposisi sel somatik. Jenis sel somatik yang dapat digunakan menduga mastitis subklinis adalah neutrofil. Neutrofil mempunyai nilai korelasi yang paling tinggi dibanding limfosit dan makrofag. Korelasi antara neutrofil pada masa kolostrum dan jumlah sel somatik pada laktasi normal disajikan pada Gambar 14.

Gambar 10 Diagram pencar korelasi komposisi neutrofil pada masa kolostrum dengan jumlah sel somatik pada masa laktasi normal.

Gambar 10 menunjukkan neutrofil pada rentang 0-10% belum dapat mendeskripsikan dengan baik kejadian mastitis subklinis pada laktasi normal. Presentase neutrofil >10% pada masa kolostrum dapat menunjukkan dengan jelas terjadinya mastitis subklinis pada laktasi normal.

0 200,000 400,000 600,000 800,000 1,000,000 1,200,000 1,400,000 1,600,000 1,800,000

0 10 20 30 40 50

J

u

m

la

h

s

e

l

so

m

a

ti

k

Jumlah neutrofil (%)

positif mengalami mastitis subklinis negatif mengalami mastitis subklinis


(47)

PEMBAHASAN

Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam susu karena adanya infeksi pada ambing sehingga terjadi perpindahan leukosit ke jaringan ambing. Sel epitel merupakan bagian dari fungsi tubuh yang dilepaskan dan diperbaiki dalam proses tubuh yang normal sehingga keberadaan sel epitel pada susu tidak menunjukkan hal yang berarti (Lindmark-Mansson et al. 2006). Leukosit merupakan komponen kekebalan tubuh dan dikenal sebagai komposisi utama sel somatik bahkan identik dengan sel somatik. Pengujian sel somatik merupakan indikator yang baik dalam pemeriksaan mastitis subklinis (Sudarwanto et al. 2006). Pemeriksaan sel somatik dapat dilakukan secara tidak langsung dengan IPB-1 maupun secara langsung menggunakan metode Breed dengan pewarnaan methylen blue Löffler.

Pada tahap awal penelitian ini ditentukan kontrol komposisi sel somatik dari sampel yang positif mengalami mastitis subklinis maupun yang negatif mastitis subklinis. Pengujian awal mastitis subklinis dilakukan dengan menggunakan IPB-1 sebagai pereaksi dengan jumlah sampel masing-masing 20 kuartir. Pengujian menggunakan IPB-1 sangat mudah, cepat dan mempunyai ketepatan yang tinggi sehingga cocok diaplikasikan untuk pengujian awal. Sampel yang digunakan untuk kontrol adalah sampel dengan nilai (+) 3 dan (-) berdasar hasil uji menggunakan IPB-1. Kriteria tersebut dipilih agar terdapat perbedaan yang jelas antara jumlah dan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol. Jumlah sapi yang diperlukan untuk memperoleh sampel sebagai kontrol positif (20 kuartir) adalah 6 ekor dan kontrol negatif (20 kuartir) adalah 12 ekor. Jumlah tersebut menunjukkan perbandingan sapi yang menderita mastitis subklinis dan tidak adalah 2:1. Hal tersebut menunjukkan masih tingginya kejadian mastitis subklinis dari sampel yang diambil. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian mastitis subklinis adalah sanitasi lingkungan. Jumlah sel somatik kelompok kontrol sampel asal ambing yang mengalami mastitis subklinis dan tidak mengalami mastitis subklinis dihitung menggunakan metode Breed.


(48)

a b

Gambar 11 Hasil uji sampel susu menggunakan pereaksi IPB-1 a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis.

Hasil perhitungan jumlah sel somatik berdasar IPB-1 (Tabel 3) menunjukkan sampel (-) memiliki rataan 240 000 ± 106 227 sel somatik/ml dan sampel (+) 3 memiliki rataan sel somatik 1 812 000 ± 272 254 sel somatik/ml. Berdasarkan hasil pewarnaan Breed, maka jenis sel somatik yang dapat diamati dari sampel baik pada sampel positif maupun negatif adalah leukosit. Sel epitel tidak terlihat karena terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit. Pewarnaan dengan metode Breed bukan merupakan pewarnaan spesifik untuk melihat sel epitel. Keberadaan sel epitel juga bukan merupakan indikator kejadian mastitis subklinis.

a b

Gambar 12 Sel somatik yang tampak dengan pewarnaan Breed a: (-) mastitis subklinis dan b: (+) 3 mastitis subklinis.

Leukosit terdiri atas limfosit, monosit atau makrofag, neutrofil, eosinofil dan basofil. Untuk menentukan jenis leukosit yang terdapat dalam susu dapat


(49)

dilakukan dengan metode pewarnaan Giemsa. Pewarnaan Giemsa memiliki prinsip reaksi zat warna dengan sifat asam, basa atau netral berbagai jenis enzim yang terdapat pada granula azurofilik pada leukosit. Hasil pewarnaan Giemsa menunjukkan jenis leukosit yang dapat diamati pada kedua kelompok adalah neutrofil, limfosit dan makrofag. Basofil dan eosinofil tidak ditemukan karena jumlahnya sangat kecil dalam darah, apalagi dalam susu. Basofil ditemukan ketika terjadi peradangan akut dan eosinofil ditemukan ketika terjadi infeksi parasit (Ganong 1996), sehingga biasanya tidak ditemukan pada sampel mastitis subklinis yang terutama disebabkan mikroorganisme.

a b c

Gambar 13 Jenis sel somatik yang terdapat dalam sampel kolostrum dan susu (a): neutrofil; (b): limfosit dan (c): makrofag.

Pengujian komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel negatif menunjukkan jenis sel somatik yang paling banyak adalah makrofag (64%), limfosit (22%) dan neutrofil (14%). Hasil tersebut menunjukkan nilai yang masih sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000). Komposisi jumlah sel somatik (Tabel 4) pada sampel positif didominasi oleh neutrofil (56%), makrofag (36%) dan limfosit (8%). Hasil tersebut menunjukkan nilai yang sesuai dengan pernyataan Gargouri et al. (2008).

Pengujian mastitis subklinis dengan IPB-1, metode Breed dan diferensiasi leukosit menunjukkan hubungan yang positif. Peningkatan jumlah sel somatik berdasar uji IPB-1 diikuti dengan peningkatan jumlah sel somatik pada metode Breed dan peningkatan jumlah neutrofil. Hal tersebut sesuai prinsip kerja


(50)

pereaksi IPB-1 yang bereaksi dengan inti sel somatik terutama neutrofil (Sudarwanto 2006).

Peningkatan jumlah sel somatik dalam susu mengindikasikan terjadinya mobilisasi sel somatik dari jaringan karena adanya gangguan pada ambing. Neutrofil yang merupakan sistem pertahanan pertama merupakan komponen leukosit yang pertama mengalami peningkatan jumlah dalam jaringan ketika terjadi infeksi terutama oleh mikroorganisme. Tingginya jumlah sel somatik dalam susu akan diikuti peningkatan enzim proteolitik dan lipolitik (Lindmark-Mansson et al. 2006), sehingga mempengaruhi kualitas susu terutama jika diolah menjadi keju dan mentega. Penurunan produksi sapi yang mengalami mastitis subklinis terjadi karena kerusakan sel epitel oleh aktivitas mikroorganisme terutama bakteri sehingga kemampuan produksinya menurun.

Berdasarkan komposisi sel somatik pada kelompok kontrol tersebut, maka dilakukan uji-t untuk menentukan kisaran atau range komposisi sel somatik. Selang kepercayaan 95% untuk kisaran komposisi sel somatik yang terdiri atas neutrofil, limfosit dan makrofag (Tabel 5) menunjukkan selang yang sesuai dengan pernyataan Kelly et al. (2000) dan Gargouri et al. (2008), kecuali kriteria untuk sampel negatif berdasar jumlah limfosit.

Komposisi Sel Somatik pada Masa Kolostrum dan Laktasi Normal

Kolostrum merupakan susu yang dihasilkan pada akhir masa kebuntingan sampai beberapa hari setelah kelahiran. Kolostrum mengandung berbagai bahan bioaktif yang berperan dalam memulihkan dan menjaga kesehatan tubuh hewan neonatal (Fuquray et al. 2002). Sel somatik yang berupa leukosit dapat ditemukan dalam kolostrum karena merupakan komponen sistem imun yang ditransfer dari induk ke anaknya (Reber et al. 2006). Kolostrum mempunyai jumlah sel somatik yang tinggi (>400 000 sel somatik/ml), sehingga berdasarkan standar IDF (1999) dan SNI Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar, termasuk susu yang mengalami mastitis subklinis. Tingginya jumlah sel somatik pada kolostrum disebabkan respon fisiologis sapi setelah mempersiapkan proses kelahiran dan memperbaiki kondisi tubuh setelah beranak, tidak selalu hanya karena kejadian mastitis subklinis. Hal tersebut membuat penghitungan komposisi sel somatik


(51)

pada kolostrum dinilai lebih efektif untuk menentukan kejadian mastitis subklinis daripada penghitungan jumlah sel somatik pada kolostrum.

Dari sampel yang ada menunjukkan masa kolostrum belangsung 6-8 hari. Perbedaan masa kolostrum antar sapi dipengaruhi beberapa faktor antara lain karakteristik dan fisiologi individu, jenis pakan, jumlah laktasi dan lama masa kering kandang (Pritchett et al. 1991). Berakhirnya masa kolostrum ditandai dengan hasil uji alkohol yang negatif pada sampel susu. Tingginya kandungan protein terutama kasein, albumin dan imunoglobulin serta pH kolostrum yang lebih rendah daripada susu normal membuat hasil uji lakohol positif. Kandungan kalsium dan magnesium dalam jumlah tinggi, akan terkoagulasi dengan penambahan alkohol 70% (Muchtadi dan Sugiyono 1989). Semakin betambah hari setelah melahirkan komposisi kolostrum akan berubah sesuai komposisi pada susu normal.

Jenis sel somatik yang terdapat dalam kolostrum sama dengan jenis sel somatik pada susu laktasi normal yaitu neutrofil, limfosit dan makrofag. Selain secara alami jumlah sel somatik yang tinggi dalam kolostrum, komposisi sel somatik yang tidak seimbang terutama jumlah neutrofil yang tinggi, mengindikasikan terjadinya mastitis subklinis pada masa kering kandang (Pantoja et al. 2009).

Komposisi sel somatik pada masa kolostrum dikelompokkan berdasar jumlah sel somatik hasil konfirmasi mastitis subklinis pada laktasi normal atau 3 bulan setelah beranak. Berdasarkan Gambar 5, kelompok sapi yang mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal mengalami peningkatan jumlah neutrofil selama masa kolostrum. Hasil tersebut menunjukkan berkembangnya infeksi pada ambing yang masih terjadi sampai laktasi normal dan masih adanya mobilitas leukosit ke ambing. Komposisi limfosit dan makrofag menurun selama masa laktasi yang menunjukkan adanya infeksi oleh mikroorganisme dan dampak dari peningkatan neutrofil. Hasil tersebut sesuai pernyataan Reber et al. (2008a) dan Reber et al. (2008b) bahwa pada 10 hari setelah beranak, jumlah limfosit dan makrofag akan menurun, kemudian akan meningkat pada susu yang normal.

Berdasarkan Gambar 6, kelompok sapi yang tidak mengalami mastitis subklinis pada laktasi normal memiliki jumlah neutrofil yang relatif tetap bahkan


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ananto D. 1995. Prevalensi mastitis subklinis di beberapa kecamatan di Kabupaten DATI II Bogor dengan menggunakan pereaksi IPB-1 dan Breed. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Akers RM, Capuco AV, Keys JE. 2006. Mammary histology and alveolar cell differentiation during late gestation and early lactation in mammary tissue of beef and dairy heifers. Livestock Sci 105: 44–49.

Blowey R, Edmonson P. 1995. Mastitis Control In Dairy Herds: An Illustrated and Practical Guide. New York: Farming Pr.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2011. Standar Nasional Indonesia Nomor 3141.1 Tahun 2011 tentang Susu Segar. Jakarta: BSN.

Dellman DH, Eurell JA. 1998. Textbook of Veterinary Histology. Ed ke-5. New York: Wolsters Kluver.

Frandson, RD. 1992. Anatomy and Physiology of Farm Animals. Ed Ke-4. New York: Lea and Febiger.

Fuquray J, Fox P, Roginski H. 2002. Encyclopedia of Dairy Sciences. Ed ke-4. New York: Academic Pr.

Ganong WF. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-20. Brahm U, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Review of Medical Physiology.

Gargouri A, Houda H, Abdelfettah EF. 2008. Total and differential bulk cow milk somatic cell counts and their relation with lipolysis. Livestock Sci 113: 274–279.

Guyton CA, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi. Ed ke-9. Irawati S, penerjemah; Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.

Hagemann A, Boulaaba A, Klein G. 2009. Durchflusszytometrische Detektion von bovine Kolostralmilchzellen während der ersten Laktationstage. Hannover: Institut für Lebensmittelqualität und-sicherheit.

Holtenius K, Waller KP, Gustavsson BE, Holtenius P, Sandgren CH. 2004. Metabolic parameters and blood leukocyte profiles in cows from herds with high or low mastitis incidence. Vet J 168: 65–73.

[IDF] International Dairy Federation. 1999. Suggested intepretation of mastitis terminology. http://www.idf.com/dairy/mastitis.hlml [9 Feb 2010].


(2)

Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Washington: Brown Communication.

Junguera LC. 1977. Basic Histology. Ed ke-8.New York: McGraw-Hill.

Kehoe SI, Jayarao BM, Heinrichs AJ. 2007. A survey of bovine colostrum composition and colostrum management practices on Pennsylvania dairy farms. J Dairy Sci 90: 4108-4116.

Kehrli ME, Shuster DE. 1994. Factors affecting milk somatic cells and their role in health of the bovine mammary gland. J Dairy Sci 77: 619-627.

Kelly AL, Tiernan D, O’Sullivan C, Joyce P. 2000. Correlation between bovine milk somatic cell count and polymorphonuclear leukocyte level for samples of bulk milk and milk from individual cows. J Dairy Sci 83: 300-304.

[Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2011. Bea masuk bahan baku susu dan industri pengolahan susu. http://www.kemenperin.go.id. [21 Maret 2010].

Leeson CR. 1990. Textbook of Histology. Ed ke-5. New York: CRC Pr.

Lietnar G, Chaffer M, Krifucks O, Glickman A, Ezra E, Saran A. 2000. Milk leukocyte populations in heifers free from udder infection. J Vet Med 47: 133-138.

Lindmark-Mansson HL, Camilla B, Gun AM. 2006. Relationship between somatic cell count, individual leukocyte populations and milk components in bovine udder quarter milk. Int Dairy J 16: 717–727.

Marogna G, Sandro R, Stefano L, Sebastian T, Guido L. 2010. Clinical findings in dairy farms affected by recurrent bacterial mastitis. Small Rumin Res 88: 119-125.

Muchtadi TR, Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi.

Pantoja JCF, Hulland C, Ruegg PL. 2009. Dynamics of somatic cell counts and intramammary infections across the dry period. Prev Vet Med 90: 43–54.

Pritchett LC, Gray CC, Besser TE, Hancock DD. 1991. Production factors influencing immunoglobulin G1 concentration in colostrums from Holstein cows. J Dairy Sci 74: 2336-2341.

Rahayu ID. 2009. Kerugian ekonomi mastitis sub klinis pada sapi perah. http://www.umm.ac.id/fapet/ekonomi-mastitis.hlml [9 Feb 2010].


(3)

Raza SH. 2009. Mastitis: A monsterthreat to dairy industry. http:// www.pakissan.com. [21 Maret 2010].

Reber AJ, Lockwood A, Hippen AR, Hurley DJ. 2006. Colostrum induced phenotypic and trafficking changes in maternal mononuclear cells in a peripheral blood leukocyte model for study of leukocyte transfer to the neonatal calf. Vet Immunol Immunopathol 109: 139–150.

Reber AJ, Donovan DJ, Gabbard J, Galland K, Aceves-Avila M, Holbert KA, Marshall L, Hurley DJ. 2008a. Transfer of maternal colostral leukocytes promotes development of the neonatal immune system I: Effects on monocyte lineage cells. Vet Immunol Immunopathol 123: 186–196.

Reber AJ, Donovan DJ, Gabbard J, Galland K, Aceves-Avila M, Holbert KA, Marshall L, Hurley DJ. 2008b. Transfer of maternal colostral leukocytes promotes development of the neonatal immune system II: Effects on neonatal lymphocytes. Vet Immunol Immunopathol 123: 305-313.

Rice DN, Bodman GR. 1997. The somatic cell count and milk quality. http://www.formindo.org/dairy/somatic.hlml [9 Feb 2010].

Schalm OW, Caroll EJ, Jain NC. 1971. Bovine Mastitis. Philadelphia: Lea and Febiger.

Schrick FN, Hockett ME, Saxton AM, Lewis MJ, Dowlen HH, Oliver SP. 2001. Influence of subclinical mastitis during early lactation on reporductive parameters. J Dairy Sci 84: 1407-1412.

Seegers H, Fourichon C, Beaudeau F. 2003. Production effects related to mastitis and mastitis economics in dairy cattle herds. Vet Res 34: 475-491.

Sheppard MR, Vinay K, Abul AK, Nelson F. 2007. Basic Pathology. Philadelphia: Saunders.

Sladek Z, Ryznarova H, Rysanek D. 2006. Macrophages of the bovine heifer mamary gland : morphological features during initiation and resolution of the inflamatory response. J Anat Histol Embryol 35: 116-124.

Sokolowska A, Bednarz R, Pacewicz M, Georgiades JA, Wilusz T, Polanowski A. 2007. Colostrum from different mammalian species- A rich source of colostrinin. Int Dairy J 18: 204-209.

Subronto. 2003. Ilmu Penyakit Ternak (Mamalia) I. Ed ke-2. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr.

Sudarwanto M, Leksmono CS, Lukman DW, Fahrudin M. 1993. Pengembangan metode dan pereaksi untuk mendeteksi mastitis subklinis. Seminar Hasil Penelitian PUA Biotek IPB. Bogor. 11 Desember 1993.


(4)

Sudarwanto M. 1998. Pereaksi IPB-1 sebagai pereaksi alternatif untuk mendeteksi mastitis subklinis. Med Vet 5(1): 1-5.

Sudarwanto M.1999. Usaha peningkatan produksi susu melalui program pengendalian mastitis subklinik. Orasi Ilmiah; Bogor, 22 Mei 1999.

Sudarwanto M, Latif H, Noordin M. 2006. The relationship of the somatic cell counting to sub-clinical mastitis and to improve milk quality.1st International AAVS Scientific Conference. Jakarta 12-13 Juli 2006.

Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008a. Diagnostic value of the IPB mastitis test in comparison to somatic cell count in Milk. 10th National Veterinary Scientific Conference of the Indonesian Veterinary Madical Association; Bogor, 19-21 Agustus 2008.

Sudarwanto M, Sudarnika E. 2008b. Hubunganantara pH susu dengan jumlah sel somatik sebagai parameter mastitis subklinik. Med Vet 31 (2): 107-113.

Thapa BR. 2005.Health factors in colostrum. Indian Pediat 72: 579-581.

Tizard IR. 2000. Introduction to Veterinary Immunology. Ed ke-6. New York: WB Saunders.

Toelihere MR. 2006. Ilmu Kebidanan pada Ternak Sapi dan Kerbau. Jakarta: Universitas Indonesia Pr.

Wright G. 2001. Hemopoiesis. http://www.medical-journal.co.cc/2010/01/ mekanisme-leukosit.html. [21 Maret 2010].


(5)

(6)

Lampiran 1 Bagan alir penghitungan komposisi sel somatik menurut Lindmark-Mansson et al. (2006)

Preparasi sampel

Pewarnaan Giemsa

sampel 10µl diratakan pada gelas objek

kering udarakan

rendam 5-7 menit dalam metanol

rendam 45 menit dalam larutan Giemsa 10%

bilas dengan aquades

amati dengan mikroskop kering udarakan

kering udarakan 20 ml susu + 20 ml PBS

sentrifus 3500×g pada suhu 4 ºC 10 menit

supernatan endapan +

1.6 ml PBS

sentrifus 3500×g pada suhu 4 ºC 10 menit

supernatan endapan +

0.6 ml TSB pewarnaan