Genetic diversity of microsatellite and cytochrome oxidase subunit I (COI) gene in Indonesian Buffalo

KERAGAMAN MIKROSATELIT DAN GEN CYTOCHROME
OXIDASE SUBUNIT I (COI) PADA
KERBAU INDONESIA

FERDY SAPUTRA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Mikrosatelit
dan Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI) pada Kerbau Indonesia adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Ferdy Saputra
NIM D151110141

RINGKASAN
FERDY SAPUTRA. Keragaman Mikrosatelit dan Gen Cytochrome Oxidase
Subunit I (COI) pada Kerbau Indonesia. Dibimbing oleh CECE SUMANTRI dan
JAKARIA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan
hubungan kekerabatan menggunakan mikrosatelit dan gen cytochrome oxidase
subunit I (COI). Sampel yang digunakan pada penelitian ini berjumlah 211 sampel
kerbau terdiri atas masing-masing 30 sampel dari Aceh, Sumatra Utara, Banten,
Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, sedangkan 19 sampel dari
Riau dan 12 sampel kerbau sungai dari Sumatra Utara. Lokus mikrosatelit yang
digunakan adalah CSSM66, ILSTS61 dan ILSTS17. Data mikrosatelit yang
diamati adalah jumlah alel (na); alel efektif (ne); nilai heterozigositas pengamatan
(Ho); nilai heterozigositas harapan (He) dan polymorphism information content
(PIC) yang dianalisis menggunakan software GenAlEx 6.41 dan Cervus 3.0.
Sekuen gen COI dianalisis menggunakan software MEGA 5.1 dengan metoda

Neighbor-joining dan model substitusi kimura 2 parameter. Lokus CSSM66
memiliki dua alel dan dua genotipe. Lokus ILSTS61 memiliki lima alel dan 14
genotipe. Lokus ILSTS17 memiliki dua alel dan tiga genotipe. Jarak genetik
dengan menggunakan mikrosatelit mampu memisahkan antar populasi kerbau
rawa di Indonesia. Pohon filogeni yang direkonstruksi berdasarkan sekuen gen
COI hanya mampu membedakan perbedaan subspesies antara kerbau rawa dengan
kerbau sungai. Sekuen gen COI memperlihatkan adanya empat haplotipe untuk
kerbau rawa Indonesia yaitu H1, H2, H3 dan H4.
Kata kunci: keragaman genetik, mikrosatelit, COI, kerbau Indonesia

SUMMARY
FERDY SAPUTRA. Genetic Diversity of Microsatellite and Cytochrome Oxidase
Subunit I (COI) Gene in Indonesian Buffalo. Supervised by CECE SUMANTRI
and JAKARIA.
This study aims to determine genetic diversity in Indonesian buffaloes using
microsatellite markers and cytochrome oxidase subunit I gene. The sample used in
this study were 211 samples of buffaloes (30 samples of swamp buffaloes from
Aceh, North Sumatra, Banten, Central Java, West Nusa Tenggara, South Sulawesi,
and 19 samples from Riau) and 12 samples of river buffaloes from North Sumatra.
Microsatellite markers used were CSSM66, ILSTS61, and ILSTS17 loci.

Microsatellite data in term of observed number of alleles (na); effective number of
alleles (ne); Observed heterozygosity (Ho); Expected heterozygosity (He); and
polymorphism information content (PIC) were analyzed by GenAlEx 6.41 and
Cervus 3.1. COI gene sequences were analyzed using MEGA 5.1 software with
the Neighbor-joining method and kimura 2 parameter substitution models. This
study showed that CSSM66 loci had two alleles and two genotypes. ILSTS61 loci
had five alleles and 14 genotypes. ILSTS17 loci had two alleles and three
genotypes. Microsatellite genetic distance between populations could separate
Indonesian swamp buffalo. The reconstructed phylogeny tree based on COI gene
sequences were able to distinguish Subspecies of swamp buffalo and river buffalo.
COI gene sequences showed four haplotypes for Indonesian swamp buffalo,
namely H1, H2, H3 and H4.
Keywords: genetic diversity, microsatellite, COI, Indonesian buffalo

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KERAGAMAN MIKROSATELIT DAN GEN CYTOCHROME
OXIDASE SUBUNIT I (COI) PADA
KERBAU INDONESIA

FERDY SAPUTRA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013


Judul Tesis : Keragaman Mikrosatelit dan Gen Cytochrome Oxidase Subunit I
(COI) pada Kerbau Indonesia
Nama
: Ferdy Saputra
NIM
: D151110141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc
Ketua

Dr Jakaria, SPt MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Muladno, MSA

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 September 2013

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Keragaman Mikrosatelit dan Gen Cy tochrome Oxidase Subunit I
(COl) pada Kefbau Indonesia
Nama
: Ferdy Saputra
: D151110141
NIM


Disetujui oleh

Ketua

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Produksi dan Teknologi
Petemakan

Prof Dr If Muladno, MSA

Tanggal Ujian: 24 September 2013

Tanggal Lulus:

2 0 NO LU IJ

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2012 ini ialah keragaman
mikrosatelit dan gen cytochrome oxidase subunit I pada kerbau Indonesia. Terima
kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc dan
Dr. Jakaria, S.Pt, M.Si selaku pembimbing, Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si
selaku penguji, Dr. Ir. Salundik, M.Si selaku perwakilan program studi ITP dan
Prof. Dr. Ir Muladno, MSA selaku ketua program studi ITP yang telah banyak
memberi saran dan dukungan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan
kepada Eryk Andreas, Irine, Wike Andre S, Galih Ari W, Isyana, Ahmad Furqon,
Lusiana, Roaselin, Komang Alit, Yan Parta N, Dicky Tri U, Febriwendi F, C
Willy Kia, Windi, Rika, Hikmawati, Hermanto H S dan Sekret PMK yang telah
memberikan banyak dukungan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013
Ferdy Saputra

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1

2
2
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Mikrosatelit
Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI)

3
3
3
4

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur

Prosedur Analisis Data

5
5
5
5
5
7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan Genotyping Tiga Lokus Mikrosatelit
Frekuensi Alel Mikrosatelit
Keragaman Genetik Kerbau di Indonesia
Jarak Genetik Kerbau Indonesia
Keragaman Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI)

8
8
9
10
11
12

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

17
17
17

DAFTAR PUSTAKA

18

RIWAYAT HIDUP

21

DAFTAR TABEL
1 Sekuens primer, letak di kromosom dan motif primer pada lokus
2
3
4
5
6
7
8

CSSM66, ILSTS61, dan ILSTS17
Sekuens primer cytochrome oxidase subunit I mengunakan
overlapping primer
Frekuensi alel lokus CSSM66, ILSTS61 dan ILSTS17 mikrosatelit
pada populasi kerbau di Indonesia
Keragaman genetik pada kerbau di Indonesia
Nilai Ho, He, PIC dan keseimbagan Hardy-Weinberg dari tiga lokus
mikrosatelit
Jarak genetik dari masing-masing populasi
Komposisi nukleotida sekuen gen cytochrome oxidase subunit I
(COI)
Haplotipe dan posisi keragamannya berdasarkan sekuen gen COI

5
6
9
10
11
11
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Hasil elektroforesis lokus ILSTS17 dengan teknik PAGE 10%
Hasil elektroforesis lokus ILSTS61 dengan teknik PAGE 10%
Hasil elektroforesis lokus CSSM66 dengan teknik PAGE 10%
Dendogram populasi kerbau di Indonesia dengan metoda Neighbor
Joining
Hasil elektroforesis menggunakan primer FS1 dan FS2 dengan
agarose 1.5%
Hasil elektroforesis menggunakan primer FS3 dengan agrarose 1.5%
Sekuen gen cytochrome oxidase subunit I COI pada kerbau Indonesia
Pohon filogeni kerbau Indonesia berdasarkan sekuen gen COI dengan
metode neighbor-joining dan model substitusi kimura 2 parameter

8
8
8
11
12
12
15
15

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sumber daya genetik ternak merupakan salah satu bagian penting dalam
menunjang keamanan pangan bagi kehidupan manusia. Sumber daya genetik
ternak juga merupakan bahan baku esensial dalam pemanfaatannya secara
berkelanjutan untuk produksi peternakan. Di sisi lain, konservasi dan pemanfaatan
berkelanjutan dari sumber data genetik ternak juga merupakan bagian program
dari program Food and Agriculture Organization (FAO) melalui program Global
Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources untuk memandu
baik pada tingkat nasional, regional dan global untuk memperkuat kontribusi
ternak dalam menjaga ketahanan pangan dan pembangunan, dan untuk mencegah
terjadinya erosi sumber daya genetik ternak. Melalui program Molecular Genetic
Characterization of Animal Genetic Resources diharapkan membantu negaranegara maju dan berkembang untuk merencanakan dan mengimplementasikan
analisis yang efektif dalam penggunaan sumber daya genetik ternak untuk pangan
dan pertanian (FAO 2011). Upaya untuk mendukung program tersebut adalah
melalui karakterisasi genetik molekuler ternak terutama ternak kerbau, karena
informasi genetik pada ternak kerbau di Indonesia masih terbatas.
Konservasi genetik penting dilakukan guna mempertahankan bangsa
(breed) atau rumpun yang murni atau dengan kata lain, mempertahankan
keragaman genetik (genetic diversity). Ada dua jenis utama dari ancaman
kepunahan yaitu ancaman deterministic dan stochastic (Caughley 1994).
Ancaman deterministic adalah perusakan habitat, polusi, eksploitasi berlebih,
translokasi spesies, dan perubahan iklim global. Ancaman stochastic adalah
perubahan genetik, demografi, atau faktor lingkungan. Genetic stochasticity
adalah perubahan genetik secara acak (genetic drift) dan peningkatan inbreeding
(Shaffer 1981). Genetic stochasticity menyebabkan hilangnya variasi genetik
(termasuk alel yang menguntungkan) dan peningkatan alel yang berbahaya atau
merugikan.
Mikrosatelit murupakan salah satu penciri (marker) yang sering digunakan
dalam kajian genetika populasi karena memiliki keunikan, diantaranya adalah
sifatnya kodominan, motif ulangan tinggi, dan pewarisannya sesuai hukum
mendel. Studi mengenai mikrosatelit berkembang dengan pesat dan telah
dilakukan secara luas pada berbagai jenis ternak di Indonesia seperti ternak sapi
(Abdullah et al. 2008), kambing (Zein et al. 2012) dan domba (Sumantri et al.
2008; Jakaria et al. 2012). Kajian mikrosatelit pada kerbau di Indonesia telah
dilaporkan namun masih terbatas di wilayah Bogor dan Sulawesi (Barker et al.
1997). Selain penciri mikrosatelit, juga penciri yang umumnya digunakan untuk
studi keragaman adalah DNA Barcode yang merupakan penciri menggunakan gen
cytochrome oxidase subunit I (COI) (Hebert et al. 2004). Hal ini telah dilakukan
pada berbagai species seperti burung (Hebert et al. 2004), sapi (Syed-Shabthar et
al. 2013), ayam (Gao et al. 2011), nyamuk (Cywinska et al. 2006), Cricula
trifenestrata (Suriana et al. 2012), lepidoptera (Wilson, 2010) dan kumbang (Funk
et al. 1995). Kajian keragaman genetik dengan menggunakan mikrosatelit dan gen
cytochrome oxidase subunit I pada kerbau di Indonesia belum pernah dilakukan

2
khususnya di wilayah Aceh, Sumatra Utara, Riau, Banten, Jawa Tengah, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, sehingga penelitian ini penting dilakukan.
Perumusan Masalah
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki sumber daya genetik
ternak yang beraneka ragamng termasuk sumber daya genetik ternak kerbau yang
tersebar di beberapa wilayah di Indonesia merupakan salah satu kekayaan dan aset
bangsa yang telah dimanfaatkan untuk sumber pangan, tenaga dan sosial budaya.
Namun di sisi lain, informasi mengenai sumber daya genetik ternak kerbau
tersebut masih sangat terbatas dan bahkan belum ada data genetik terutama data
penciri mikrosatelit dan gen COI.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keragaman genetik pada
kerbau di Indonesia terutama di wilayah Aceh, Sumatra Utara, Riau, Banten, Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan berdasarkan penciri
mikrosatelit lokus CSSM66, ILSTS61, ILSTS17 dan gen cytochrome oxidase
subunit I (COI).
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai informasi dasar dalam
upaya mempertahankan keragaman genetik (biodiversity) dan program pemuliaan
pada setiap populasi kerbau di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian
Populasi kerbau yang digunakan berasal dari Aceh, Sumatra Utara, Riau,
Banten, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Penciri DNA
yang digunakan yaitu penciri mikrosatelit dan gen cytochrome oxidase subunit I.
Penciri mikrosatelit yang digunakan lokus CSSM66, ILSTS61 dan ILSTS17
terdapat di genom inti, sedangkan gen COI terdapat di genom mitokondria.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kerbau
Kerbau diklasifikasikan ke dalam class Mamalia, subclass Ungulata, ordo
Artiodactyla, subordo Ruminantia, family Bovidae, subfamili Bovinae, genus
Bovini, yang meliputi mengikuti tiga kelompok: Bovina (sapi), Bubalina dan
Syncerina. Syncerina hanya mencakup spesies Syncerus caffer (kerbau Afrika)
(Borghese 2005). Bubalina (kerbau Asia) mencakup tiga spesies: Bubalus
depressicornis atau Anoa yang hidup di Indonesia, Bubalus mindorensis yang
kehidupan di Filipina dan Bubalus bubalis yang berasal dari domestikasi Bubalus
arnee, kerbau liar (Borghese 2005). Domestikasi spesies ini (Bubalus bubalis)
terjadi relatif baru-baru (5.000 tahun yang lalu) dibandingkan dengan domestikasi
Bos taurus dan Bos indicus (10.000 tahun lalu) (Ross 1975). Kerbau asia
mencakup dua subspesies yang dikenal sebagai kerbau sungai (river/water) dan
kerbau rawa/lumpur (swamp). Kerbau sungai memiliki 50 kromosom dengan lima
pasang yang submetasentrik, sementara 20 pasang adalah akrosentrik. Kerbau
rawa memiliki 48 kromosom, dimana 19 pasangan adalah metasentrik. Perbedaan
jumlah diploid yang hanya bersifat semu. Bahkan, kromosom 1 kerbau Rawa
yang besar berasal dari tandem fusi translokasi antara kromosom 4 kerbau Sungai
(telomere p-lengan) dan kromosom 9 (sentromer) (Iannuzzi 1998). Kerbau sungai
tersebar di India, Pakistan, Sri Lanka dan beberapa negara di Eropa seperti Italia,
Bulgaria, Yunani dan Yugoslavia. Kerbau rawa tersebar di Asia Timur termasuk
China, Indonesia, Filipina dan Thailand (Ross 1975).
Mikrosatelit
Mikrosatelit digunakan untuk mengetahui keragaman pada ternak karena
mikrosatelit bersifat kodominan dan tersebar di seluruh genom, sehingga banyak
digunakan untuk kajian genetika populasi dan DNA fingerprinting (Ellegren
2004). Mikrosatelit merupakan runutan DNA berulang dengan motif ulangan
dengan satu sampai enam nukleotida dengan kisaran panjang 100 pasang basa
sampai 350 pasang basa yang tersebar dalam semua genom (Selkoe & Toonen
2006; White & Kusukawa 1997; Li et al. 2002). Keragaman mikrosatelit berkaitan
dengan ketidakstabilan lokus mikrosatelit tersebut. Keragaman yang tinggi dari
lokus mikrostaelit yang dihasilkan dari kecepatan mutasi yang tinggi dengan
tingkat minimal 10-3 (Jeffreys et al. 1988) atau 10-4 (Levinson & Gutman 1987)
atau pada kisaran 10-3-10-5 per lokus per gamet per generasi (Lehman et al. 1996).
Jeffreys et al. (1994) menyatakan mekanisme variasi dalam jumlah kopi ulangan
mungkin berbeda dari satu ulangan ke ulangan lain. Mekanisme mutasi pada
mikrosatelit terdiri dari empat cara yaitu Replication Slippage, Unequal CrossingOver, Gene Conversion, Base Subtitution and Indels. Model mekanisme mutasi
terdiri dari dua macam yaitu stepwise mutation model (SMM) (Kimura & Ohta
1978) dan infinite allele model (IAM) (Kimura & Crow 1964). Stutter Band (bila
menggunakan Polyakrilamid Gel Elektroforesis) atau Stutter Peak (bila
menggunakan fragmen analisis) akan terjadi replication slippage selama proses
amplifikasi DNA secara in vitro. Stutter band/peak dapat dihindari dengan
mempersingkat waktu PCR dan siklus PCR. Peluang terjadinya stutter band/peak

4
akan tinggi bila menggunakan lokus dengan ulangan dua nuckleotida
(dinucleotide), semakin banyak jumlah basa ulangan maka akan mengurangi
peluang munculnya stutter band/peak. Mekanisme mutasi inilah yang sering
dipelajari dalam Microsatellite Instability.
Gen Cytochrome Oxidase Subunit I (COI)
Salah satu mekanisme yang terjadi di dalam sel adalah produksi ATP
melalui respon terhadap dan kebutuhan energi melalui perubahan dalam
komposisi mitokondria (Duggan et al. 2011). Biogeneis mitokondria dipengaruhi
banyak gen, contohnya biosintesis sitokrom c oksidase (COX) membutuhkan
koordinasi gen COX dalam dua genom: 10 subunit yang dikodekan oleh DNA inti
dan tiga subunit dikodekan oleh DNA mitokondria (Duggan et al. 2011). Gen
cytochrome oxidase subunit I (COI) yang terdapat di DNA mitokondria (mtDNA)
sering digunakan sebagai DNA barcoding (Hebert et al. 2004; Wu et al. 2000;
Gasser et al. 1999). Fragmen basa nukleotida bersifat conserved maka berguna
untuk merekonstruksi filogeni pasa tingkat species (Palumbi 1996).

5

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB
yang dimulai dari Agustus 2012 sampai April 2013.
Bahan
Sampel DNA kerbau yang digunakan berasal dari Laboratorium Genetika
Molekuler Ternak. Sebanyak 199 sampel DNA kerbau rawa yang terdiri dari
populasi Aceh, Sumatra utara, Banten, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Selatan masing-masing 30 sampel, sedangkan populasi Riau 19 sampel.
Sebanyak 12 sampel DNA kerbau sungai dari populasi Sumatra Utara digunakan
sebagai pembanding. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah dH2O,
TE 80%, primer, dNTPs, MgCl2, 10xBuffer, Taq Polymerase, Polyacrilamid,
TEMED, 5xTBE, APS, AgNO3, Formaldehid, NaOH, Amonia, Agrose dan
0.5xTBE.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Micropipette, Inkubator,
Vortex, Sentrifuse, Freezer, Mesin Thermal Cycler Geneamp 9700 (AB System)
dan Peralatan elektroforesis (CBS Scientific dan Mupid).
Prosedur
Amplifikasi DNA Mikrosatelit dan Gen Cytochrome Oxidase Subunit I
Lokus DNA Mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah
lokus CSSM066, ILSTS61 dan ILSTS17. Sekuens primer, letak di kromosom dan
motif primer lokus yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Sekuens primer, letak di kromosom dan motif primer pada lokus
CSSM66, ILSTS61, dan ILSTS17
Lokus

Sekuens Primer
(5’-3’)
CSSM66 Forward: ACA CAA ATC CTT TCT GCC AGC TGA
Reverse: AAT TTA ATG CAC TGA GGA GCT TGG
ILSTS61 Forward: AAA TTA TAG GGG CCA TAC GG
Reverse: TGG CCT ACC CTA CCA TTT CC
ILSTS17 Forward: GTC CCT AAA ATC GAA ATG CC
Reverse: GCA TCT CTA TAA CCT GTT CC
Sumber: Kathiravan et al. (2009)

Letak di
Kromosom
14

Motif
Ulangan
(AC)17

15

(CA)14

X

(TG)17

Amplifikasi setiap lokus DNA mikrosatelit menggunakan bahan yaitu 1 µl
sampel DNA; 0.2 µl primer (forward dan reverse); 0.3 µl 10 mM dNTPs; 0.5 µl

6
25 mM MgCl2; 1.2 µl 10xBuffer; 0.05 µl Taq Polymerase; dH2O sampai 12 µl
dan selanjutnya dijalankan pada mesin Gene Amp PCR System 9700 (AB System)
dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal 95oC 5 menit, denaturasi akhir
95oC 15 detik, aneling 55oC 15 detik, ekstensi awal 72oC 15 detik, dan selanjutnya
ekstensi akhir 72oC 5 menit.
Sekuens primer yang digunakan untuk mengamplifikasi gen cytochome
oxidase subunit I disajikan pada Tabel 2. Primer dibuat dengan menggunakan
Primer-Blast dengan acuan nomor akses genbank sebagai berikut: NC_020615,
EF536351, JN632607, AY488491, AF547270, NC_006295 dan AY702618.
Tabel 2 Sekuens primer cytochrome oxidase subunit I mengunakan overlapping
primer
Primer

Sekuens Primer
(5’-3’)

FS1

F: GCA ATT CAA CGT GTA AAT TCA CCA CAA GGC

FS2

R: CCT GAG TAG TAG GTT ACA ATG TGG GAG ATT
F: CAG CGG GGG GAG GAG ATC CTA TTC TAT ACC
R: GCC TAG TTG TAT AGG GTA TGC CAT ATG AGA

FS3

F: TCC CTC TAA TAA TTG GCG CTC CCG
R: GCC TAG GGC TCA CAT TAT AGC GGG

Panjang
produk
PCR

886 bp
1047 bp

781 bp

Posisi*

Daerah

5601-5630
6458-6487
6364-6393
7383-7411
5948-5971

tRNATyr
COI
COI
tRNASer
COI
COI

6706-6729

Keterangan: *berdasarkan genbank AF547270, F (Forward), R (Reverse)

Amplifikasi gen cytochrome oxidase subunit I (COI) menggunakan bahan
yaitu 1 µl sampel DNA; 0.5 µl primer (forward dan reverse); 0.5 µl 10 mM
dNTPs; 0.5 µl 25 mM MgCl2; 3.5 µl 10xBuffer; 0.1 µl Taq Polymerase; dH2O
sampai 35 µl dan selanjutnya dijalankan pada mesin Gene Amp PCR System 9700
(AB System) dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal 95oC 5 menit,
denaturasi akhir 95oC 45 detik, aneling 60oC 45 detik, ekstensi awal 72oC 1 menit,
dan ekstensi akhir 72oC 5 menit. Amplicon COI dilelektroforesis dengan
menggunakan agarose 1.5%.
Elektroforesis Lokus DNA Mikrosatelit
Hasil amplifikasi lokus DNA mikrosatelit (produk PCR) selanjutnya
dielektroforesis menggunakan Polyacrilamid Gel Elektroforesis (PAGE) 10%
dengan bufer 0.5xTBE. Hasil elektroforesis kemudian dilakukan pewarnaan perak
atau silver staining mengacu pada Byun et al. (2009). Setelah itu, dilakukan
genotyping terhadap pita yang muncul dari hasil elektroforesis secara manual.
Genotyping dilakukan secara berurutan pada alel yang lebih awal atau tercepat
(alel dengan panjang basa paling pendek) sampai alel paling akhir atau lambat
(alel dengan panjang basa yang lebih panjang) diidentifikasi secara berurutan
yaitu dari alel A sampai dengan alel Z (alfabetik)..
Sekuensing Daerah Cytochrome Oxidase Subunit I
Produk PCR gen Cytochrome Oxidase subunit I dianalisis ke 1st base di
Malaysia untuk dilakukan proses sekuensing. Data hasil sekuensing dari 1 st base

7
dilakukan dengan teknik multiple sequence alignment analysis dengan
menggunakan perangkat lunak (software) MEGA version 5.10 (Tamura et al.
2011).
Prosedur Analisis Data
Data setiap lokus mikrosatelit dianalisis menggunakan perangkat lunak
(software) GenAlEx 6.41 (Peakall et al. 2012) dan Cervus 3.0 (Kalinowski et al.
2007). Adapun peubah yang diamati adalah jumlah alel (na), alel efektif (ne), nilai
heterozigositas pengamatan (Ho), nilai heterozigositas harapan (He) dan
polymorphism information content (PIC). Jarak genetik Nei dan dendogram
diperoleh dari frekuensi alel dengan menggunakan software POPTREE2
(Takezaki et al. 2010). Dendogram menggunakan metoda Neighbor-Joining
dengan bootstrap 1000 kali.

8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Amplifikasi dan Genotyping Tiga Lokus Mikrosatelit
Amplifikasi lokus ILSTS17, ILSTS61 dan CSSM66 mikrosatelit diperoleh
hasil optimal yaitu dengan suhu annealing masing-masing lokus adalah 55oC
(Gambar 1, 2 dan 3). Suhu annealing yang diperoleh sama dengan Kathiravan et
al. (2009) yaitu 55oC.

Keterangan:
M adalah marker 20 bp

Gambar 1 Hasil elektroforesis lokus ILSTS17 dengan teknik PAGE 10%

Keterangan:
M adalah marker 20 bp

Gambar 2 Hasil elektroforesis lokus ILSTS61 dengan teknik PAGE 10%

Keterangan:
M adalah marker 20 bp

Gambar 3 Hasil elektroforesis lokus CSSM66 dengan teknik PAGE 10%
Lokus CSSM66 memiliki dua genotipe dengan frekuensi yaitu genotipe AA
(0.028) dan BB (0.972). Lokus ILSTS61 memiliki 14 genotipe dengan frekuensi
setiap genotipe yaitu genotipe AA (0.005), BA (0.095), BB (0.152), CA (0.095),

9
CB (0.071), CC (0.118), DB (0.014), DC (0.104), DD (0.047), EA (0.009), EB
(0.052), EC (0.100), ED (0.076), dan EE (0.014). Lokus ILSTS memiliki tiga
genotipe dengan frekuensi masing-masing terdiri atas genotipe AA (0.497), BA
(0.081) dan BB (0.422). Lokus CSSM66 dan ILSTS17 memiliki jumlah genotipe
yang sangat terbatas, dibandingkan dengan lokus ILSTS61, padahal lokus
CSSM66 dan ILSTS17 memiliki motif ulangan yang lebih banyak dibandingkan
dengan lokus ILSTS61 (Kathiravan et al. 2009).
Frekuensi Alel Mikrosatelit
Hasil analisis lokus CSSM66, ILSTS61 dan ILSTS17 pada populasi
kerbau di Indonesia diperoleh jumlah alel masing-masing dua alel, lima alel dan
dua alel. Adapun frekuensi alel setiap lokus dan setiap populasi kerbau yang
dianalisis disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Frekuensi alel lokus CSSM66, ILSTS61 dan ILSTS17 pada populasi
kerbau di Indonesia
Lokus
CSSM66
ILSTS61

ILSTS17

Alel
A
B
A
B
C
D
E
A
B

Aceh

Sumut

Riau

Banten

0.00
1.00
0.22
0.15
0.60
0.02
0.02
0.82
0.18

0.00
1.00
0.20
0.40
0.37
0.02
0.02
0.47
0.53

0.00
1.00
0.39
0.45
0.13
0.03
0.00
0.58
0.42

0.20
0.80
0.00
0.02
0.43
0.10
0.45
0.60
0.40

Populasi
Jateng NTB

Sulsel

Sumut (KS)

Total

0.00
1.00
0.00
0.28
0.33
0.20
0.18
0.52
0.48

0.00
1.00
0.03
0.10
0.17
0.48
0.22
0.32
0.68

0.00
1.00
0.00
1.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.00

0.03
0.97
0.11
0.33
0.27
0.13
0.16
0.50
0.50

0.00
1.00
0.03
0.25
0.15
0.18
0.38
0.70
0.30

Keterangan: Sumut: Sumatra Utara; Jateng: Jawa Tengah; NTB: Nusa Tenggara Barat; Sulsel:
Sulawesi Selatan; KS: Kerbau Sungai

Berdasarkan populasi kerbau di setiap wilayah di Indonesia pada (Tabel 3),
hanya populasi kerbau yang terdapat di Banten memiliki alel A untuk lokus
CSSM66, sedangkan di populasi lainnya tidak ditemukan alel A dan umumnya
memiliki alel B (monomorfik). Adapun lokus ILSTS61 tidak ditemukan alel A
pada populasi kerbau di wilayah Sumatra Utara (kerbau sungai), Riau dan Jawa
Tengah. Lokus ILSTS61 pada populasi kerbau yang terdapat di wilayah Sumatra
Utara (kerbau sungai) bersifat monomorfik untuk alel B. Demikian pula dengan
lokus ILSTS17 bersifat monomorfik pada kerbau yang terdapat di wilayah
Sumatra Utara (kerbau sungai) yaitu hanya memiliki alel B, sedangkan di wilayah
lainnya bersifat polimorfik. Suatu lokus dikatakan polimorfik jika A>1 (A
merupakan jumlah alel per lokus) dan dikatakan monomorfik apabila A=1 (Hartl
and Clark, 1997). Ketiga lokus yang digunakan dalam penelitian ini telah
dilakukan oleh Kathiravan et al. (2009) pada kerbau sungai di Marathwada.
Ketiga lokus ini memiliki keragaman yang tinggi pada kerbau sungai di
Marathwada. Sebaliknya pada kerbau sungai di Sumatra Utara memiliki
keragaman rendah (monomorfik). Hal itu terjadi karena kemungkinan disebabkan
oleh adanya seleksi dan inbreeding yang terjadi pada kerbau sungai di Sumatera
Utara sehingga hanya ditemukan satu macam alel yaitu alel B.

10
Keragaman Genetik Kerbau di Indonesia
Hasil analisis mikrosatelit menunjukkan bahwa lokus ILSTS61 memiliki
nilai heterozigositas yang tinggi pada semua populasi kerbau rawa kecuali pada
populasi kerbau sungai di Sumatra Utara. Hasil uji keseimbangan HardyWeinberg menunjukkan bahwa lokus ILSTS61 pada populasi Riau, Banten, Jawa
Tengah dan Nusa Tenggara Barat berada dalam keseimbangan Hardy-Weinberg
yang berarti bahwa pada populasi tersebut tidak terjadi seleksi, mutasi, migrasi
dan genetic drift.
Tabel 4 Keragaman genetik pada kerbau di Indonesia
Populasi

Lokus
CSMM66
Aceh
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Sumatra Utara
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Riau
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Banten
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Jawa Tengah
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Nusa Tenggara Barat
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Sulawesi Selatan
ILSTS61
ILSTS17
CSMM66
Sumatra Utara (Kerbau Sungai) ILSTS61
ILSTS17

N
30
30
30
30
30
30
19
19
19
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
30
12
12
12

Na
1.00
5.00
2.00
1.00
5.00
1.00
1.00
4.00
2.00
2.00
4.00
2.00
1.00
4.00
2.00
1.00
5.00
2.00
1.00
5.00
2.00
1.00
1.00
1.00

Ne
1.00
2.33
1.51
1.00
2.99
1.00
1.00
2.67
1.95
1.47
2.55
1.92
1.00
3.77
2.00
1.00
3.75
1.72
1.00
3.31
1.76
1.00
1.00
1.00

Ho
0.00
0.60
0.10
0.00
0.43
0.00
0.00
0.89
0.11
0.00
0.73
0.07
0.00
0.63
0.17
0.00
0.73
0.07
0.00
0.67
0.10
0.00
0.00
0.00

He
0.00
0.57
0.34
0.00
0.67
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.63
0.49
0.32
0.61
0.48
0.00
0.74
0.50
0.00
0.73
0.42
0.00
0.70
0.43

ChiSq
#
63.08***
14.92***
#
80.86***
#
#
7.91ns
11.68***
30***
3.814ns
22.245***
#
10.99ns
13.32***
#
17.70ns
21.232***
#
23.202*
17.738***
#
#
#

Keterangan: N: jumlah sampel; Na: jumlah alel observasi; Ne: jumlah alel yang efektif; Ho:
heterozigositas observasi; He:heterozigositas harapan; ChiSq: uji chi-kuadrat; #:
monomorphic; ns: not significant; * P