Evaluasi Penerapan Sistem Silvikultur Pohon Induk pada Hutan Mangrove (Studi Kasus di HPH PT. Bina Lestari, Riau)

EVALUASI PENERAPAN SISTEM SlLVlKULTUR
POHON INDUK PADA HUTAN MANGROVE
(Studi Kasus Di HPH PT. Bina Lestari, Riau)

OLEH .
MOHAMMAD BASYUNI

PROGRAM PASCASAWANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2000

&upersembahkan

karya kecil ini untuk

orang-orang yang mengorbankan apa yang
dirnilikinye untuk kejnyaan diennya

Jugs untuk ibu dan isteri tercinta

ABSTRACT


The objective of this study is to evaluate the application of seed tree method
sylvicultural system on the composition and structure of vegetation and diversity of
bird in mangrove forest. This study was carried out in HPH PT. Bina Lestari, Riau
Province.
This study shows that four plots in our research sites i.e. primary forest, ten
years old secondary forest, fifteen years old secondary forest, and twenty years old
secondary forest have high density (density 2 500 stemdha). The dominance index
of the tree (C=l,OO) and the sapling stage (C=O,88) of the dominant species
(Rhizophora apiculata BI.) in both primary and secondary forest were more centered
than that of seedling stage (C=0,69). Whereas species diversity of seedling stage
(HJ=1,51) in both primary and secondary forest was higher than that of sapling
(H'= 1,17) and tree stage (H'= I ,0 I).
Harvesting decreased biomass from 5 15,82 t.d.wt./ha (primary forest) to only
15,72 t.d.wt./ha (newly logged-over area). However, in the following period the
biomass has increased as evidently found in ten years old secondary forest
According to Wilcoxon signed rank test, seed tree method sylvicultural system
influenced the density of natural regeneration (seedling and sapling) and tree stage,
and the abundance of bird. However, in the subsequent years i.e. the density of
sapling and seedling (27 418 ind./ha) in one year old secondary forest and the

density of tree (338 stems/ha) in one year old secondary forest and the abundance
of bird (47 ind./ha) in ten years old secondary forest have increasing trend to reach
the primary forest
Key words : sylvicultural system, seed tree method, vegetation, bird, mangrove
forest.

EVALUASI PENERAPAN SISTEM SlLVlKULTUR
POHON INDUK PADA HUTAN MANGROVE
(Studi Kasus Di HPH PT. Bina Lestari, Riau)

OLEH .
MOHAMMAD BASYUNI

PROGRAM PASCASAWANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2000

&upersembahkan

karya kecil ini untuk


orang-orang yang mengorbankan apa yang
dirnilikinye untuk kejnyaan diennya

Jugs untuk ibu dan isteri tercinta

ABSTRACT

The objective of this study is to evaluate the application of seed tree method
sylvicultural system on the composition and structure of vegetation and diversity of
bird in mangrove forest. This study was carried out in HPH PT. Bina Lestari, Riau
Province.
This study shows that four plots in our research sites i.e. primary forest, ten
years old secondary forest, fifteen years old secondary forest, and twenty years old
secondary forest have high density (density 2 500 stemdha). The dominance index
of the tree (C=l,OO) and the sapling stage (C=O,88) of the dominant species
(Rhizophora apiculata BI.) in both primary and secondary forest were more centered
than that of seedling stage (C=0,69). Whereas species diversity of seedling stage
(HJ=1,51) in both primary and secondary forest was higher than that of sapling
(H'= 1,17) and tree stage (H'= I ,0 I).

Harvesting decreased biomass from 5 15,82 t.d.wt./ha (primary forest) to only
15,72 t.d.wt./ha (newly logged-over area). However, in the following period the
biomass has increased as evidently found in ten years old secondary forest
According to Wilcoxon signed rank test, seed tree method sylvicultural system
influenced the density of natural regeneration (seedling and sapling) and tree stage,
and the abundance of bird. However, in the subsequent years i.e. the density of
sapling and seedling (27 418 ind./ha) in one year old secondary forest and the
density of tree (338 stems/ha) in one year old secondary forest and the abundance
of bird (47 ind./ha) in ten years old secondary forest have increasing trend to reach
the primary forest
Key words : sylvicultural system, seed tree method, vegetation, bird, mangrove
forest.

spp, dan Xylocarpus spp. Dari seluruh jenis ini, nilai ekonomi kayu Rhizophora spp
dan Bruguiera spp paling tinggi (Sagala, 1994).

-.

Hutan mangrove bagi kebanyakan pantai pesisir di Riau merupakan suatu
daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari

ombak dan perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi
yang secara garis besarnya dapat dibagi tiga aspek yaitu : (1) aspek fisik, (2) aspek
biologis, dan (3) aspek ekonomis (Anwar, Damanik, Hisyam, & Whitten, 1984).
B. Sejarah

Sistem

Silvikultur

Hutan

Mangrove

di

Indonesia

dan

Perbandingannya dengan Malaysia

Sejarah pengaturan kegiatan pemanfaatan kayu mangrove di lndonesia
sebagai berikut (Kusmana, 1995b dan Mulia, 1999):
B.1. Sistem Silvikultur Hutan Mangrove Sebelum Tahun 1978

Pengaturan penebangan hutan mangrove untuk pertama kalinya disponsori
oleh Kantor Besar Dinas Kesehatan Rakyat Pemerintah Hindia Belanda melalui
surat perintah No. 669Ic tanggal 7 Januari 1933. Berdasarkan surat perintah ini
dilarang menebang mangrove pada lahan hutan sejauh 5 3 km dari desa. Hal ini
dilakukan untuk mengontrol populasi nyamuk malaria.
Peraturan no. 130621465lBlR tanggal 1 Juli 1938 oleh Jawatan Kehutanan
tentang pengelolaan hutan mangrove di Cilacap Jawa Tengah. Menurut peraturan
ini, hutan mangrove harus dibagi ke dalam tiga wilayah manajemen, yaitu :
1. Hutan produksi mangrove, dimana Rhizophora merupakan jenis dominan. Di

-

areal hutan ini diberlakukan sistem tebang habis dengan meninggalkan 60
sampai 100 pohon induk yang berdiameter 2 20 cm per hektar.
2. Hutan mangrove yarrg tidak cocok untuk hutan produksi.
3. Hutan lindung sepanjang garis pantai dan pinggir sungai, dimana Avicennia dan


asosiasinya nierupakan jenis mangrove utama.
Pada tahun 1952, Verteegh memperkenalkan working plan untuk hutan

,

+

.

mangrove di Bengkalis, Riau yang menggunakan suatu sistem yang disebut arsa

method. Berdasarkan metode ini, siklus tebang diatur 30 tahun dengm
meninggalkan 64 pohon induk (keliling pohon 45 cm) per hektar yanQ tersebar
merata di seluruh areal hutan bekas tebangan. Menurut metode ini hutan mangrove

'

"c,


A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di areal HPH PT. Bina Lestari Tembilahan, Riau,
mulai Januari - Februari 2000. Dalam penelitian ini dipilih tujuh lokasi, yaitu hutan
primer (HP), hutan tebangan 0 tahun (HTO), hutan tebangan 1 tahun (HTI), hutan
tebangan 5 tahun (HT5), hutan tebangan 10 tahun (HTIO), hutan tebangan 15 tahun
(HT15), dan hutan tebangan 20 tahun (HT20).
B. Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang digunakan adalah peta lokasi HPH, peta kerja,
kompas, haga hypsometer, galah ukur, phi-band, meteran, tali plastikltambang,
teropong binocular, stop counter, guide book Burung-burung di Sumatera, Jawa,
Bali, dan Kalimantan, kamera foto, tally sheet, dan alat tulis.
C. Metode Penelitian
C.1. Analisis Vegetasi
Berdasarkan studi sebelumnya (Alrasyid, 1982; Kusmana, 1993; & Yefri, 1995)
di lokasi penelitian ini tidak memiliki zonasi yang tegas dan merupakan kelompok
hutan campuran Rhizophora sp dan Bruguiera sp. Oleh karena itu, untuk analisis
vegetasi digunakan metode garis berpetak (line plot technique) yang merupakan
modifikasi cara jalurltransek. Metode garis berpetak dilakukan dengan jalan
melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur. Dalam penelitian ini untuk hutan
primer dan hutan tebangan menggunakan dua buah garis berpetak dengan lebar 20

m dan panjang garis 360 - 420 m yang berisi 3 plot derrgan jarak antar plot I 0 0 m
(Gambar 8). Pengukuran dilakukan terhadap pohon (20 x 20 m), pancang (5 x 5 m),
dan semai (2 x 2 m) yang meliputi inventarisasijenis, jumlah individu, diameter dan
tinggi.
Untuk pengukuran pada hutan primer dilaksanakan dari pinggir laut secara
tegak lurus terhadap garis pantai sampai ke zone terdalamlperalihan dengan hutan
rawa. Sedangkan pengukuran pada hutan tebangan dimulai dari pinggir laut secara
tegak lurus terhadap garis pantai sampai ke batas penebangan (Lampiran 29):

Keterangan :
(1) Burung Kacamata Biasa, (2) Burung Gereja, (3) Caladi Batu, (4) Cangak Abu, (5) Cikrak Polos, (6)
Cinenen Belukar, (7) Elang Bondol, (8) Elang Hitam, (9) Elang Laut Putih, (10) Kedidi Leher Merah, (11)
Kucica Kampung, (12) Kuntul Besar, (13) Kuntul Perak, (14) Layang-layang Rumah

Keterangan :
(15) Burung Madu Polos, (16) Pelatuk Besi. (17) Pelatukl Hijau. (18) Pelatuk Raflles. (19) Perenjak Rawa.
(20) Punai Bakau, (21) Raja Udang Biru, (22) Raja Udang Meninting. (23) Rangkong Gading. (24) Srigunting
Batu, (25) Sriti, (26) Tiong Emas, (27) Trinil Pantai, (28) Udang Api, dan (29) Walet