Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida

ABSTRAK
LILIANA ADIA K. Pembuatan Sensor Serat Optik dengan Cladding Dye Methyl Violet untuk
Mendeteksi Gas Hidrogen Sulfida. Dibimbing oleh AKHIRUDDIN MADDU dan
IRMANSYAH.
Serat optik adalah salah satu media transmisi yang dapat menyalurkan informasi dengan
kapasitas besar dengan keandalan yang tinggi. Karena itu, serat optik banyak dimanfaatkan
sebagai sensor. Penelitian ini dibuat untuk mendeteksi gas hidrogen sulfida (H2S). Gas H2S
merupakan gas yang berbahaya bagi lingkungan. Gas ini pada konsentrasi 500 ppm, dapat
menyebabkan kematian pada manusia. Tidak hanya pada manusia, gas ini juga berbahaya bagi
tanaman dan bangunan yang bahan-bahannya seperti batu kapur, batu pualam, dan dolomit. Pada
penelitian ini, probe sensor dibuat dengan mengganti cladding serat optik dengan gel yang
didoping dye methyl violet. Probe sensor yang dikenai gas H2S diberi sinar masukan dari sumber
sinar dan diterima oleh sensor cahaya. Data yang dihasilkan berupa kurva respon time sensor serat
optik terhadap gas H2S. Semakin tinggi konsentrasi gas H2S yang dihasilkan maka semakin cepat
sensor merespon gas tersebut.
Kata kunci: sensor, serat optik, hidrogen sulfida, methyl violet, respon time


 
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas
beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu
singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem
pernafasan dan dapat mematikan seseorang
yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah,
H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun
pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak
tercium lagi, karena secara cepat gas H2S
melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan
indera penciuman [1].
Pada dasarnya semua sulfur yang
memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,
dimana SO2 sangat berbahaya karena
langsung dapat meracuni makhluk di
sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi
saluran pernafasan dan kenaikan rekresi
mucus. Orang yang mempunyai pernafasan
lemah sangat peka terhadap kandungan SO2
yang tinggi di atmosfer. Dengan konsentrasi
500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada

manusia [2].
Karena adanya kesadaran akan bahaya gas
tersebut, maka banyak penelitian yang
dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gas
H2S, salah satunya dengan menggunakan serat
optik. Beberapa tahun terakhir ini, serat optik
berkembang dan dimanfaatkan sebagai sensor,
diantaranya adalah sensor gas.
Pada penelitian kali ini akan digunakan
dye methyl violet sebagai cladding sensitif
untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat
sensor serat optik yang digunakan untuk
mendeteksi keberadaan gas H2S.
TINJAUAN PUSTAKA
Hidrogen Sulfida
Hidrogen sulfida (H2S), dihasilkan dari
proses pembusukan bahan-bahan organik
yang mengandung belerang oleh bakteri

anaerob, juga sebagai hasil reduksi dengan
kondisi anaerob terhadap sulfat oleh
mikroorganisme dan sebagai salah satu bahan
pencemar gas yang dikeluarkan dari air panas
bumi [2].
Belerang terdapat secara luas di alam
sebagai unsur, sebagai H2S dan SO2, dalam
bijih sulfida logam dan sebagai sulfat seperti

 

gips dan anhidrit (CaSO4), magnesium sulfat,
dan sebagainya [3].
Belerang dapat ditemukan dengan cukup
mudah, salah satunya di dalam air. Secara
umum sebagian besar belerang yang terdapat
dalam air adalah S (IV) dalam ion sulfat,
SO42-. Dalam kondisi anaerobik SO42- dapat
direduksi oleh aktifitas bakteri menjadi H2S,
HS-, atau garam sulfid yang tidak larut. Gas

H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat
tersebut menyebabkan bau “telur busuk” yang
dikeluarkan oleh air yang tergenang dan airair tanah [2].
Gas H2S juga terdapat di atmosfer.
Sejumlah
bahan
pencemar
anorganik
berbentuk gas masuk ke atmosfer sebagai
hasil dari aktifitas manusia, salah satunya
adalah H2S, yang jumlahnya relatif kecil jika
dibandingkan gas CO2 dalam atmosfer. Secara
global senyawa-senyawa belerang dalam
jumlah cukup besar masuk ke atmosfer
melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta
metrik ton belerang setiap tahunnya, terutama
sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan
gas buang pembakaran bensin. Jumlah yang
cukup besar dari senyawa belerang juga
dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam

bentuk H2S, proses perombakan bahan
organik, dan reduksi sulfat secara biologis.
Jumlah yang dihasilkan dari proses biologis
ini dapat mencapai kurang lebih 1 juta metrik
ton H2S per tahun.
Pada dasarnya semua sulfur yang
memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,
dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO3. SO2
sangat berbahaya karena langsung dapat
meracuni makhluk di sekitarnya, dapat
mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan
kenaikan rekresi mucus. Orang yang
mempunyai pernafasan lemah sangat peka
terhadap kandungan SO2 yang tinggi di
atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat
menyebabkan kematian pada manusia. Tidak
hanya pada manusia, belerang dioksida juga
berbahaya bagi tanaman, karena adanya gas
ini dengan konsentrasi yang tinggi dapat
membunuh jaringan pada daun (necrosis

daun). Kerusakan lebih lanjut dialami oleh
bangunan yang bahan-bahannya seperti batu
kapur, batu pualam, dan dolomit akan rusak
oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini
akan nampak dari penampilannya, integritas
struktur, dan umur dari gedung tersebut [2].
Peralatan metal juga dapat retak karena H2S,
hal ini disebabkan metal menderita tingkat
tarikan yang tinggi di daerah korosif H2S.
hampir semua metal berekasi dengan H2S dan
membentuk metal sulfida. Hal ini dapat


 
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas
beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu
singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem
pernafasan dan dapat mematikan seseorang

yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah,
H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun
pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak
tercium lagi, karena secara cepat gas H2S
melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan
indera penciuman [1].
Pada dasarnya semua sulfur yang
memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,
dimana SO2 sangat berbahaya karena
langsung dapat meracuni makhluk di
sekitarnya, dapat mengakibatkan iritasi
saluran pernafasan dan kenaikan rekresi
mucus. Orang yang mempunyai pernafasan
lemah sangat peka terhadap kandungan SO2
yang tinggi di atmosfer. Dengan konsentrasi
500 ppm, dapat menyebabkan kematian pada
manusia [2].
Karena adanya kesadaran akan bahaya gas
tersebut, maka banyak penelitian yang
dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gas

H2S, salah satunya dengan menggunakan serat
optik. Beberapa tahun terakhir ini, serat optik
berkembang dan dimanfaatkan sebagai sensor,
diantaranya adalah sensor gas.
Pada penelitian kali ini akan digunakan
dye methyl violet sebagai cladding sensitif
untuk mendeteksi keberadaan gas H2S.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membuat
sensor serat optik yang digunakan untuk
mendeteksi keberadaan gas H2S.
TINJAUAN PUSTAKA
Hidrogen Sulfida
Hidrogen sulfida (H2S), dihasilkan dari
proses pembusukan bahan-bahan organik
yang mengandung belerang oleh bakteri
anaerob, juga sebagai hasil reduksi dengan
kondisi anaerob terhadap sulfat oleh
mikroorganisme dan sebagai salah satu bahan
pencemar gas yang dikeluarkan dari air panas

bumi [2].
Belerang terdapat secara luas di alam
sebagai unsur, sebagai H2S dan SO2, dalam
bijih sulfida logam dan sebagai sulfat seperti

 

gips dan anhidrit (CaSO4), magnesium sulfat,
dan sebagainya [3].
Belerang dapat ditemukan dengan cukup
mudah, salah satunya di dalam air. Secara
umum sebagian besar belerang yang terdapat
dalam air adalah S (IV) dalam ion sulfat,
SO42-. Dalam kondisi anaerobik SO42- dapat
direduksi oleh aktifitas bakteri menjadi H2S,
HS-, atau garam sulfid yang tidak larut. Gas
H2S yang dihasilkan dari reduksi sulfat
tersebut menyebabkan bau “telur busuk” yang
dikeluarkan oleh air yang tergenang dan airair tanah [2].
Gas H2S juga terdapat di atmosfer.

Sejumlah
bahan
pencemar
anorganik
berbentuk gas masuk ke atmosfer sebagai
hasil dari aktifitas manusia, salah satunya
adalah H2S, yang jumlahnya relatif kecil jika
dibandingkan gas CO2 dalam atmosfer. Secara
global senyawa-senyawa belerang dalam
jumlah cukup besar masuk ke atmosfer
melalui aktivitas manusia sekitar 100 juta
metrik ton belerang setiap tahunnya, terutama
sebagai SO2 dari pembakaran batu bara dan
gas buang pembakaran bensin. Jumlah yang
cukup besar dari senyawa belerang juga
dihasilkan oleh kegiatan gunung berapi dalam
bentuk H2S, proses perombakan bahan
organik, dan reduksi sulfat secara biologis.
Jumlah yang dihasilkan dari proses biologis
ini dapat mencapai kurang lebih 1 juta metrik

ton H2S per tahun.
Pada dasarnya semua sulfur yang
memasuki atmosfer diubah dalam bentuk SO2,
dan hanya 1% atau 2% saja sebagai SO3. SO2
sangat berbahaya karena langsung dapat
meracuni makhluk di sekitarnya, dapat
mengakibatkan iritasi saluran pernafasan dan
kenaikan rekresi mucus. Orang yang
mempunyai pernafasan lemah sangat peka
terhadap kandungan SO2 yang tinggi di
atmosfer. Dengan konsentrasi 500 ppm, dapat
menyebabkan kematian pada manusia. Tidak
hanya pada manusia, belerang dioksida juga
berbahaya bagi tanaman, karena adanya gas
ini dengan konsentrasi yang tinggi dapat
membunuh jaringan pada daun (necrosis
daun). Kerusakan lebih lanjut dialami oleh
bangunan yang bahan-bahannya seperti batu
kapur, batu pualam, dan dolomit akan rusak
oleh SO2 dari udara. Efek dari kerusakan ini
akan nampak dari penampilannya, integritas
struktur, dan umur dari gedung tersebut [2].
Peralatan metal juga dapat retak karena H2S,
hal ini disebabkan metal menderita tingkat
tarikan yang tinggi di daerah korosif H2S.
hampir semua metal berekasi dengan H2S dan
membentuk metal sulfida. Hal ini dapat


 
menimbulkan terjadinya kerusakan pada
peralatan yang terbuat dari metal, kerusakan
pada pipa dapat menyebabkan pipa patah
secara mendadak [1].
Hidrogen Sulfida (H2S), adalah gas
beracun yang sangat berbahaya. Dalam waktu
singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem
pernafasan dan dapat mematikan seseorang
yang menghirupnya. Pada konsentrasi rendah,
H2S memiliki bau seperti telur busuk, namun
pada konsentrasi tinggi, bau telur busuk tidak
tercium lagi, karena secara cepat gas H2S
melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan
indera penciuman.
Gas H2S bersifat ekstrim racun yang
menempati kedudukan kedua setelah hidrogen
sianida (HCN), dan sekitar lima kali lebih
beracun dari karbon monoksida (CO). Gas
H2S sangat berbahaya jika terhirup masuk ke
saluran pernafasan. Jika jumlah gas H2S yang
terserap ke dalam sistem peredaran darah
melampaui kemampuan oksidasi dalam darah,
akan menimbulkan keracunan terhadap sistem
syaraf. Setelah itu dengan segera diikuti
terjadinya sesak nafas dan kelumpuhan
pernafasan, pada konsentrasi tinggi. Jika
penderita tidak segera dipindahkan ke ruangan
berudara segar dan diberikan bantuan
pernafasan maka akan segera terjadi kematian
akibat kelemasan. Pengaruh gas H2S pada
konsentrasi rendah mengakibatkan terjadinya
gejala pusing, mual, rasa melayang, batukbatuk, gelisah, mengantuk, rasa kering, serta
nyeri di hidung, tenggorokan, dan dada.
Gas H2S pada konsentrasi rendah (0,02525 ppm) akan tercium seperti bau telur busuk
yang
memberikan
peringatan
kepada
seseorang yang berada di lingkungan tersebut
untuk segera lari meninggalkan tempat
tersebut dan segera menggunakan alat bantu
pernafasan. Karena jika konsentrasi gas H2S
terus meningkat di atas 25 ppm akan dapat
mematikan indera penciuman dan korban
mulai tidak sadarkan diri [1].

Gambar 1. Struktur serat optik
Serat optik menggunakan cahaya untuk
mengirimkan informasi (data) dan merupakan
teknologi baru yang menawarkan kecepatan
pengiriman data dan kapasitas yang lebih
besar sepanjang jarak yang lebih jauh dengan
harga yang lebih rendah daripada sistem
kawat tembaga. Cahaya yang membawa
informasi dipandu melalui serat optik
berdasarkan fenomena total internal reflection
(Pantulan Internal Total).
Pantulan internal total terjadi pada bidang
batas antara dua media dengan indeks bias
yang berbeda yaitu n1 dan n2. Hubungan
antara sudut datang i1 dan sudut bias i2
terhadap indeks bias dielektrik dinyatakan
oleh hukum Snell: [5]
(1)
Pada salah satu sudut datang tertentu,
cahaya akan dibiaskan sepanjang permukaan
kedua medium, sudut inilah yang dinamakan
dengan sudut kritis.
Nilai sudut kritis diberikan oleh:
sin

(2)

Dan ketika sudut datang lebih besar dari
sudut kritis, sinar yang dibiaskan akan
dipantulkan sepenuhnya kembali ke medium
pertama (pantulan internal total) [6].

Serat optik
Serat optik adalah salah satu media
transmisi yang dapat menyalurkan informasi
dengan kapasitas besar dengan keandalan
yang tinggi. Berlainan dengan media transmisi
lainnya, pada serat optik sinyal pembawanya
bukan sinyal listrik, akan tetapi berupa
gelombang optik [4].
Struktur serat optik terdiri dari inti (core)
silinder dari bahan kaca atau plastik, mantel
(cladding), dan bahan pelindung berupa jaket
(coating).

 

Gambar 2. Pemantulan Internal Total
Inti (core) serat optik berfungsi sebagai
media penjalaran gelombang optik melalui
fenomena pemantulan internal total di dalam
inti. Oleh karena itu, inti (core) harus


 
mempunyai indeks bias lebih besar dari
indeks bias cladding, sehingga ketika
gelombang optik memasuki inti pada sudut
lebih besar dari sudut kritis. Gelombang optik
akan mengalami pemantulan total secara
berulang-ulang di dalam inti serat [7].
Salah satu parameter penting dalam serat
optik adalah Numerical Aperture (NA) yang
didefinisikan sebagai sinus sudut terbesar
sebuah sinar datang yang dapat mengalami
pemantulan internal total di dalam inti serat
optik. NA adalah ukuran kemampuan
memandu cahaya dari sebuah serat optik.
Nilai NA dapat ditentukan dengan mengukur
sudut divergen kerucut cahaya ruang yang
dapat memasuki inti dan menjalar sepanjang
serat optik, dirumuskan sebagai
(3)
dimana n1 adalah indeks inti dan n2 adalah
indeks refraksi cladding. Sudut penerimaan
penuh adalah 2α [8].
Serat optik dapat diklasifikasikan menjadi
dua jenis berdasarkan sebaran (distribusi)
indeks bias inti, yaitu:
1. Serat Optik Gradded Index (GRIN),
mempunyai indeks bias inti yang bervariasi
secara parabolik dengan indeks maksimum
pada sumbu inti dan mengecil ke arah bidang
batas inti-cladding. Penjalaran sinarnya tidak
lurus tapi melengkung akibat pembiasan yang
terjadi di dalam inti membentuk lintasan
parabolik.
2. Serat optik step index, mempunyai indeks
bias yang konstan di semua bagian inti yang
lebih besar daripada indeks cladding sehingga
membentuk tangga (step) pada batas inticladding. Penjalaran sinar dalam inti lurus
karena tidak ada variasi indeks bias inti [8].
Sedangkan
berdasarkan
sifat
karakteristiknya jenis serat optik secara garis
besar dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Multimoda
Pada jenis serat optik ini penjalaran cahaya
dari satu ujung ke ujung lainnya terjadi
melalui beberapa lintasan cahaya, karena itu
disebut multimoda.
Sedangkan berdasarkan sebaran indeks
biasnya serat optik multimoda memiliki dua
profil yaitu graded index (Gambar 3B) dan
step index (Gambar 3A). Pada graded index,
serat optik mempunyai indeks bias cahaya
yang merupakan fungsi dari jarak terhadap
sumbu/poros serat optik. Dengan demikian
cahaya yang menjalar melalui beberapa
lintasan pada akhirnya akan sampai pada

 

ujung lainnya pada waktu yang bersamaan.
Berlainan dengan graded index, maka pada
serat optik step index sinar yang menjalar
pada sumbu akan sampai pada ujung lainnya
dahulu. Hal ini dapat terjadi karena lintasan
yang
melalui
poros
lebih
pendek
dibandingkan
sinar
yang
mengalami
pemantulan pada dinding serat optik. Sebagai
hasilnya terjadi pelebaran pulsa atau dengan
kata lain mengurangi lebar bidang frekuensi.
Oleh karena itu secara praktis hanya serat
optik graded index sajalah yang dipergunakan
sebagai saluran transmisi serat optik
multimoda [4].
2. Singlemoda
Serat optik singlemoda atau monomoda
mempunyai diameter inti (core) yang sangat
kecil 3 – 10 mm, sehingga hanya satu berkas
cahaya saja yang dapat melaluinya. Oleh
karena hanya satu berkas cahaya maka tidak
ada pengaruh indeks bias terhadap perjalanan
cahaya atau pengaruh perbedaan waktu
sampainya cahaya dari ujung satu ke ujung
yang lainnya, dengan demikian serat optik
singlemoda sering dipergunakan pada sistem
transmisi serat optik jarak jauh atau luar kota
[4].
Serat optik singlemoda hanya memiliki
satu profil yaitu step index (Gambar 3C).

Gambar 3. Jenis-jenis Serat Optik
Ada beberapa keunggulan serat optik di
banding media transmisi lainnya, yaitu lebar
bidang yang luas, sehingga sanggup
menampung informasi yang besar, bentuk
yang sangat kecil dan murah, tidak
terpengaruh oleh medan elektris dan medan
magnetis, isyarat dalam kabel terjamin
keamanannya, karena di dalam serat tidak
terdapat tenaga listrik, maka tidak akan terjadi
ledakan maupun percikan api, disamping itu
serat tahan terhadap gas beracun, bahan kimia
dan air, sehingga cocok ditanam dalam tanah,
substan sangat rendah, sehingga memperkecil
jumlah sambungan dan jumlah pengulang.
Tetapi di samping kelebihan yang telah


 
disebutkan di atas, serat optik juga
mempunyai beberapa kelemahan di antaranya
yaitu, sulit membuat terminal pada kabel
serat,
penyambungan
serat
harus
menggunakan teknik dan ketelitian yang
tinggi [9].
Gelombang evanescent
Saat berkas cahaya berpropagasi sepanjang
serat optik, medan elektromagnetik tidak
mendadak jatuh ke nol pada bidang batas
core-cladding,
namun
sebagian
kecil
menembus cladding dan meluruh cepat dalam
arah tegak lurus bidang batas. Medan ini
dikenal dengan medan evanescent.

Gambar 4. Gelombang evanescent
Intensitas medan ini meluruh secara
eksponensial terhadap jarak tegak lurus (z)
bidang batas menurut persamaan
(4)
Dengan I0 adalah intensitas radiasi datang, dan
dp adalah kedalaman penetrasi.
Kedalaman yang bisa dicapai oleh gelombang
evanescent (kedalaman penetrasi) adalah
(5)

Dengan n adalah n2 dibagi dengan n1 [10].
Peningkatan indeks bias cladding akan
meningkatkan kedalaman penetrasi, sehingga
intensitas medan evanescent akan meningkat.
Berdasarkan hal ini dikembangkan sistem
sensor serat optik berbasis absorpsi medan
evanescent dengan mengganti cladding asli
serat optik dengan bahan yang mengalami
sifat optik terhadap gangguan yang diberikan
[11].
Sensor serat optik
Sensor adalah sesuatu yang digunakan
untuk
mendeteksi
adanya
perubahan
lingkungan fisik atau kimia. Pada saat ini,
sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil
dengan orde nanometer. Ukuran yang sangat

 

kecil ini sangat memudahkan pemakaian dan
menghemat energi.
Ada dua jenis sensor yang kita kenal, yaitu
sensor fisika dan sensor kimia. Sensor fisika
mendeteksi suatu besaran berdasarkan hukumhukum fisika. Contoh sensor fisika adalah
sensor cahaya, sensor suara, sensor gaya,
sensor kecepatan, sensor percepatan, dan
sensor suhu. Sedangkan Sensor kimia
mendeteksi jumlah suatu zat kimia dengan
cara mengubah besaran kimia menjadi besaran
listrik. Biasanya melibatkan beberapa reaksi
kimia. Contoh sensor kimia adalah Sensor pH,
sensor oksigen, sensor ledakan, dan sensor
gas.
Perkembangan sensor optik dalam analisis
kimiawi sangat menarik karena kemungkinan
aplikasinya di biologi, bioteknologi dan
ekologi dan karena keuntungan-keuntungan
yang didapatkan dari serat optik [12].
Perkembangan sensor optik kimia, terutama
sensor gas telah menarik perhatian secara
global seiring dengan peningkatan kesadaran
akan kebutuhan dalam memonitor polusi
udara terutama yang mengandung racun,
misalnya karbon monoksida, karbon dioksida,
nitrogen oksida, hidrogen sulfida, dll [13].
Teknologi sensor serat optik mulai
berkembang tahun 1960 ketika laser dan serat
optik dikenal. Setelah itu, dilakukan banyak
penelitian secara khusus mengenai hal
tersebut karena adanya beberapa kelebihan
sensor serat optik dibandingkan dengan sensor
biasa, diantaranya adalah ketelitian dan
sensitifitasnya,
lebih
mudah
dalam
menghantarkan sinyal, dapat digunakan
dengan resiko bahaya yang kecil, dan masih
banyak keuntungan yang lainnya.
Sensor
serat optik di kategorikan dalam tiga bagian:
sensor intensitas, sensor polarimetrik, dan
sensor interferometrik [14].
Sensor serat optik merupakan piranti yang
dapat mengukur perubahan modulasi cahaya
yang terpandukan akibat adanya gangguangangguan, baik intrinsik maupun ekstrinsik
[15]. Sensor serat optik intrinsik adalah sensor
yang mengukur perubahan penjalaran
gelombang yang disebabkan gangguan dari
dalam serat optik, seperti perubahan indeks
bias pada cladding, adanya kisi core, dan lainlain. Sedangkan sensor serat optik ekstrinsik
adalah sensor yang mengukur perubahan
penjalaran gelombang yang disebabkan
gangguan dari lingkungan, seperti cahaya
yang masuk ke dalam serat selain sumber
cahaya [14].


 
Dye Methyll violet

Metode Peneelitian

p
atau senyawa
s
Dye adalah molekul pigmen
M
kimia yang dapat menyeerap cahaya. Masingmasing dye memiliki panjjang gelombanng yang
Methyll
violet
dapat
berbeda-bedda.
diaplikasikaan
sebagai
reagen
untuk
mendeteksi ion S2- yang
y
terdapaat pada
senyawa H2S [12].

G
Pembuatan Gel
7 mg
Serbuk dyye Methyl Viollet sebanyak 7.5
dicampurkan dengan kiitosan 5 ml dan
m
aquades 0.5 ml hingga tercampur merata.
mudian diadukk perlahan dengan
d
Larutan kem
magnetic stirrrer dan dipaanaskan padaa suhu
60°C selamaa 10 menit hhingga memb
bentuk
larutan gel.
P
Sensorr Serat Optik
Pembuatan Probe

Gambar 5. Struktur kiimia methyl viiolet

BA
AHAN DAN METODE
Tempat dan
n Waktu Pen
nelitian
Penelitiaan ini dilakukan di laborratorium
Biofisika Deepartemen Fissika Institut Peertanian
Bogor, padda bulan Maret
M
2009 sampai
September 2009.
2

multimoda dik
kelupas
Serat opttik plastik m
bagian jaketnnya sepanjanng 2 cm di bagian
b
ujung dengaan menggunnakan fiber optic
stripper, dann claddingnyaa dikelupas dengan
d
cara dicelupkkan ke laruttan aseton. Bagian
B
tanpa claddinng ini dilapissi dengan gell yang
didoping dyee methyl violeet sebagai cla
adding
pengganti. Pelapisan dilakkukan dengan
n cara
kelupas
mencelupkann serat optikk yang terk
claddingnya ke
k gel yang ddidoping dye methyl
m
violet sampaai serat optikk terlapisi dengan
d
merata, kem
mudian serat optik dikeriingkan
dibawah sinarr matahari kurrang lebih 15 menit.
Setelah meengering, ujung serat optik
dihaluskan dengan meenggunakan kertas
d
dengaan cat perak sebagai
amplas, lalu dilapisi
reflektor.
S
Seratt Optik terhadap
Pengujian Sensor
Gas H2S untu
uk Melihat N
Nilai Absorba
ansi

Bahan dan Alat
Bahan yaang digunakann adalah:
1. Serat opttik plastik 10000/960 µm
2. Dye methhyl violet
3. Aquadess
4. Asam kloorida (HCL)
5. kitosan
6. Aseton
7. Silver paaint
Alat yanng digunakan adalah:
a
1. Bundle fiber
f
optic
2. Magnetic stirrer hotpllate
CO)
3. High Sennsitivity Lightt Sensor (PASC
4. Tungstenn Halogen Ligght Sources
5. USB2000 VIS-NIR speectrophotometer
6. PASCO Science Workkshop 750 inteerface
7. Data Stuudio Software
8. Fiber opptic stripper
9. Amplas
10. Botol kaaca
11. Masker
12. Timbanggan analitik

 

nilai
untuk
melihat
Karakterissasi
absorbansi diilakukan denggan set up alaat yang
terlihat pada Gambar
G
6.
Ujung probe
p
serat optik yang telah
dilengkapi konektor
k
dihuubungkan ke ujung
bundel serat optik bifurkkasi (berbentu
uk Y),
u
lainnyaa dimana teerdapat
sedangkan ujung
elemen sensoor akan dimassukan ke boto
ol yang
terdapat gas H2S. Keduaa ujung seratt optik
c
yang lain dihuubungkan denngan sumber cahaya
berupa lampuu halogen dan ujung yang lainnya
dihubungkan ke spekttrofotometer. Saat
n sinar
pengujian, seerat optik akkan dijalarkan
yang selanjjutnya akann dianalisis oleh
spektrofotom
meter dan dattanya terlihatt pada
komputer.


 
Dye Methyll violet

Metode Peneelitian

p
atau senyawa
s
Dye adalah molekul pigmen
M
kimia yang dapat menyeerap cahaya. Masingmasing dye memiliki panjjang gelombanng yang
Methyll
violet
dapat
berbeda-bedda.
diaplikasikaan
sebagai
reagen
untuk
mendeteksi ion S2- yang
y
terdapaat pada
senyawa H2S [12].

G
Pembuatan Gel
7 mg
Serbuk dyye Methyl Viollet sebanyak 7.5
dicampurkan dengan kiitosan 5 ml dan
m
aquades 0.5 ml hingga tercampur merata.
mudian diadukk perlahan dengan
d
Larutan kem
magnetic stirrrer dan dipaanaskan padaa suhu
60°C selamaa 10 menit hhingga memb
bentuk
larutan gel.
P
Sensorr Serat Optik
Pembuatan Probe

Gambar 5. Struktur kiimia methyl viiolet

BA
AHAN DAN METODE
Tempat dan
n Waktu Pen
nelitian
Penelitiaan ini dilakukan di laborratorium
Biofisika Deepartemen Fissika Institut Peertanian
Bogor, padda bulan Maret
M
2009 sampai
September 2009.
2

multimoda dik
kelupas
Serat opttik plastik m
bagian jaketnnya sepanjanng 2 cm di bagian
b
ujung dengaan menggunnakan fiber optic
stripper, dann claddingnyaa dikelupas dengan
d
cara dicelupkkan ke laruttan aseton. Bagian
B
tanpa claddinng ini dilapissi dengan gell yang
didoping dyee methyl violeet sebagai cla
adding
pengganti. Pelapisan dilakkukan dengan
n cara
kelupas
mencelupkann serat optikk yang terk
claddingnya ke
k gel yang ddidoping dye methyl
m
violet sampaai serat optikk terlapisi dengan
d
merata, kem
mudian serat optik dikeriingkan
dibawah sinarr matahari kurrang lebih 15 menit.
Setelah meengering, ujung serat optik
dihaluskan dengan meenggunakan kertas
d
dengaan cat perak sebagai
amplas, lalu dilapisi
reflektor.
S
Seratt Optik terhadap
Pengujian Sensor
Gas H2S untu
uk Melihat N
Nilai Absorba
ansi

Bahan dan Alat
Bahan yaang digunakann adalah:
1. Serat opttik plastik 10000/960 µm
2. Dye methhyl violet
3. Aquadess
4. Asam kloorida (HCL)
5. kitosan
6. Aseton
7. Silver paaint
Alat yanng digunakan adalah:
a
1. Bundle fiber
f
optic
2. Magnetic stirrer hotpllate
CO)
3. High Sennsitivity Lightt Sensor (PASC
4. Tungstenn Halogen Ligght Sources
5. USB2000 VIS-NIR speectrophotometer
6. PASCO Science Workkshop 750 inteerface
7. Data Stuudio Software
8. Fiber opptic stripper
9. Amplas
10. Botol kaaca
11. Masker
12. Timbanggan analitik

 

nilai
untuk
melihat
Karakterissasi
absorbansi diilakukan denggan set up alaat yang
terlihat pada Gambar
G
6.
Ujung probe
p
serat optik yang telah
dilengkapi konektor
k
dihuubungkan ke ujung
bundel serat optik bifurkkasi (berbentu
uk Y),
u
lainnyaa dimana teerdapat
sedangkan ujung
elemen sensoor akan dimassukan ke boto
ol yang
terdapat gas H2S. Keduaa ujung seratt optik
c
yang lain dihuubungkan denngan sumber cahaya
berupa lampuu halogen dan ujung yang lainnya
dihubungkan ke spekttrofotometer. Saat
n sinar
pengujian, seerat optik akkan dijalarkan
yang selanjjutnya akann dianalisis oleh
spektrofotom
meter dan dattanya terlihatt pada
komputer.


 
mengalami perubahan, data akan diambil
setelah data tidak lagi berubah (stabil). Hal
tersebut juga dilakukan pada botol yang kedua
dan ketiga.
Pengujian Sensor Serat Optik untuk
Melihat Respon Sensor terhadap Gas H2S
Karakterisasi untuk melihat respon sensor
dilakukan dengan set up alat yang terlihat
pada Gambar 7.
Gambar 6. Set up pengujian sensor serat optik
untuk melihat nilai absorbansi

Gas H2S diperoleh dari reaksi kimia antara
Asam Klorida (HCl) dengan Besi Sulfida
(FeS), dan akan diperoleh dua kelompok
konsentrasi gas H2S, pertama dengan
memvariasikan volume HCl dan yang kedua
dengan memvariasikan konsentrasi HCl.
Sebelum dilakukan karakterisasi, pertama kali
disiapkan botol kaca sebanyak 3 buah. Pada
botol pertama direaksikan FeS dengan jumlah
tertentu dan HCL 0.05 M sebanyak 10 ml,
kemudian botol ditutup dengan rapat,
dilakukan juga hal yang sama pada botol yang
kedua dan ketiga, botol yang kedua dengan
HCl 15 ml dan yang ketiga 20 ml. Botol
pertama sampai botol ketiga menghasilkan
konsentrasi gas H2S 0.1798 ppm, 0.2697 ppm,
dan 0.3596 ppm. Setelah FeS dan HCl pada
tiga botol selesai bereaksi, dilakukan
karakterisasi untuk mendapatkan nilai
absorbansi.
Karakterisasi selanjutnya masih untuk
melihat nilai absorbansi, tapi dengan variasi
konsentrasi gas H2S yang didapatkan dari
perbedaan penambahan konsentrasi HCl.
Awalnya disiapkan dahulu 3 buah botol. Botol
yang pertama direaksikan FeS dengan
konsentrasi tertentu dan HCl
0.05 M
sebanyak 10 ml, botol yang kedua dengan
HCl 0.5 M sebanyak 10 ml, dan yang ketiga
dengan HCL 4 M sebanyak 10 ml, kemudian
botol ditutup dengan rapat. Botol pertama
sampai botol ketiga menghasilkan konsentrasi
gas H2S 0.1798 ppm, 1.7978 ppm dan 14.3824
ppm. Setelah FeS dan HCl pada ketiga botol
selesai bereaksi, dilakukan karakterisasi untuk
melihat nilai absorbansi sensor terhadap gas
H2S.
Pengambilan
data
diawali
dengan
mengambil
data
absorbansi
sebelum
terkontaminasi gas H2S. Kemudian untuk
mengambil data yang terkontaminasi gas H2S,
probe sensor dimasukkan ke botol pertama,
dan akan terlihat pada komputer data

 

Gambar 7. Set up pengujian sensor serat optik
untuk melihat respon sensor.
Ujung probe serat optik yang telah
dilengkapi konektor dihubungkan ke ujung
bundel serat optik bifurkasi (berbentuk Y),
sedangkan ujung lainnya dimana terdapat
elemen sensor akan dimasukan ke botol yang
terdapat gas H2S. Kedua ujung serat optik
yang lain dihubungkan dengan sumber cahaya
berupa lampu halogen dan ujung yang lainnya
akan dihubungkan ke sensor cahaya yang
terhubung dengan interface. Saat pengujian,
serat optik akan dijalarkan sinar, yang
selanjutnya akan diterima oleh sensor cahaya
dan interface dan datanya terlihat pada
komputer.
Pengujian ini dilakukan dengan dua
metode berbeda. Metode pertama adalah
pengujian sensor untuk melihat respon sensor
terhadap empat konsentrasi gas H2S. Pertama
kali empat buah botol disiapkan dengan
masing-masing botol direaksikan FeS dengan
konsentrasi tertentu dan HCl sebanyak 10 ml
yang bervariasi konsentrasinya, yaitu 0.01 M,
0.1 M, 1 M dan 4 M, dan ditunggu sampai
selesai bereaksi. Botol pertama sampai botol
keempat menghasilkan konsentrasi gas H2S
0.0359 ppm, 0.3596 ppm, 3.5956 ppm, dan
14.3824 ppm. Setelah itu, dilakukan
karakterisasi untuk melihat respon sensor
terhadap kehadiran gas H2S, untuk
pengambilan data respon,
ditempatkan
terlebih dahulu keempat botol berurutan dari
konsentrasi gas terendah sampai tertinggi, hal
ini dilakukan supaya dalam pengambilan data,
probe sensor tidak mengalami guncangan


 
HASIL DAN PEMBAHASAN
Absorbansi Probe Sensor terhadap Variasi
Konsentrasi Gas H2S
Data nilai absorbansi dengan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan
cara memvariasikan volume HCl terlihat pada
Gambar 8, sedangkan pada Gambar 11 adalah
data nilai absorbansi dengan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan
cara memvariasikan konsentrasi HCl. Kedua
cara ini dapat mengakibatkan perbedaan
konsentrasi gas H2S, tetapi pada cara pertama
atau dengan variasi penambahan volume HCl,
perbedaan konsentrasi gas H2S yang
dihasilkan sangat kecil sedangkan pada cara
kedua perbedaan konsentrasi gas H2S yang
dihasilkan cukup besar.
Dye methyl violet memiliki daya absorbsi
atau daya serap cahaya yang besar pada
panjang gelombang antara 500 sampai 650
nm, hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.
2.5

9

2
absorbansi

yang besar, karena probe sensor sangat
sensitif dan jika mengalami guncangan yang
besar, dapat mengakibatkan data yang diambil
kurang baik. Setelah semua disiapkan,
program pengambilan data dijalankan dengan
kondisi probe sensor di luar botol atau belum
terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5
detik, probe sensor dimasukkan ke botol
pertama yaitu gas dengan konsentrasi terendah
dan ditunggu sampai data mencapai kondisi
stasioner atau stabil, kemudian probe sensor
dikeluarkan lagi dari botol dan ditunggu
kembali,
selanjutnya
probe
sensor
dimasukkan lagi ke botol kedua, demikian
seterusnya sampai botol keempat.
Metode kedua adalah pengujian sensor
untuk melihat respon sensor terhadap dua
konsentrasi gas H2S yang berbeda, dimana
variasi konsentrasi gas diperoleh dengan
mereaksikan FeS dan HCl 0.05 M yang
bervariasi volumenya, yaitu 5 ml dan 10 ml,
dan ditunggu sampai selesai bereaksi. Botol
pertama menghasilkan konsentrasi gas H2S
0.0899 ppm dan botol kedua 0.1798 ppm.
Setelah itu, dilakukan karakterisasi untuk
melihat respon sensor terhadap kehadiran gas
H2S, untuk pengambilan data, program
dijalankan dengan kondisi probe sensor di
luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu
setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor
dimasukan ke botol dengan konsentrasi
rendah dan terbentuk data respon, kemudian
probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan
terbentuk data recovery, lalu dimasukkan
kembali, hal ini dilakukan sampai didapatkan
dua siklus data respon dan recovery. Untuk
botol yang kedua (dengan konsentrasi lebih
tinggi) dilakukan hal yang sama dan rentang
waktu yang sama seperti pada botol pertama.

0 ppm
0.1798 ppm
0.2697 ppm
0.3596 ppm

1.5
1

0.5
0
400

500 600 700 800
panjang gelombang (nm)

900

Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap
variasi konsentrasi gas H2S.

Alur Penelitian
Penelusuran Literatur dan Penyusunan
Proposal
Pembuatan Gel dengan Doping Dye
Methyl Violet
Pembuatan Probe Sensor Serat Optik
Pengujian Sensor Serat Optik
Pengolahan dan Analisis Data
Penyusunan Laporan

 

Pada Gambar 8, kurva absorbansi
meningkat dari rendah ke tinggi seiring
dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang
dideteksi oleh sensor. Kurva dari terendah ke
tertinggi berurutan adalah saat konsentrasi
gas H2S yang dikenai pada probe sensor
sebesar 0 ppm, 0.1798 ppm, 0.2697 ppm, dan
0.3596 ppm.
Kurva pada Gambar 8 terlihat berimpit
untuk rentang konsentrasi gas 0.1798 ppm
sampai 0.3596 ppm, ini disebabkan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang sangat kecil. Tetapi
kurva pada Gambar 9 yang merupakan
perbesaran dari Gambar 8, terlihat adanya
perbedaan nilai absorbansi yang meningkat
seiring dengan penambahan konsentrasi gas
H2S.


 
HASIL DAN PEMBAHASAN
Absorbansi Probe Sensor terhadap Variasi
Konsentrasi Gas H2S
Data nilai absorbansi dengan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan
cara memvariasikan volume HCl terlihat pada
Gambar 8, sedangkan pada Gambar 11 adalah
data nilai absorbansi dengan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang diperoleh dengan
cara memvariasikan konsentrasi HCl. Kedua
cara ini dapat mengakibatkan perbedaan
konsentrasi gas H2S, tetapi pada cara pertama
atau dengan variasi penambahan volume HCl,
perbedaan konsentrasi gas H2S yang
dihasilkan sangat kecil sedangkan pada cara
kedua perbedaan konsentrasi gas H2S yang
dihasilkan cukup besar.
Dye methyl violet memiliki daya absorbsi
atau daya serap cahaya yang besar pada
panjang gelombang antara 500 sampai 650
nm, hal ini dapat dilihat pada Gambar 8.
2.5

9

2
absorbansi

yang besar, karena probe sensor sangat
sensitif dan jika mengalami guncangan yang
besar, dapat mengakibatkan data yang diambil
kurang baik. Setelah semua disiapkan,
program pengambilan data dijalankan dengan
kondisi probe sensor di luar botol atau belum
terkontaminasi gas, lalu setelah kurang lebih 5
detik, probe sensor dimasukkan ke botol
pertama yaitu gas dengan konsentrasi terendah
dan ditunggu sampai data mencapai kondisi
stasioner atau stabil, kemudian probe sensor
dikeluarkan lagi dari botol dan ditunggu
kembali,
selanjutnya
probe
sensor
dimasukkan lagi ke botol kedua, demikian
seterusnya sampai botol keempat.
Metode kedua adalah pengujian sensor
untuk melihat respon sensor terhadap dua
konsentrasi gas H2S yang berbeda, dimana
variasi konsentrasi gas diperoleh dengan
mereaksikan FeS dan HCl 0.05 M yang
bervariasi volumenya, yaitu 5 ml dan 10 ml,
dan ditunggu sampai selesai bereaksi. Botol
pertama menghasilkan konsentrasi gas H2S
0.0899 ppm dan botol kedua 0.1798 ppm.
Setelah itu, dilakukan karakterisasi untuk
melihat respon sensor terhadap kehadiran gas
H2S, untuk pengambilan data, program
dijalankan dengan kondisi probe sensor di
luar botol atau belum terkontaminasi gas, lalu
setelah kurang lebih 5 detik, probe sensor
dimasukan ke botol dengan konsentrasi
rendah dan terbentuk data respon, kemudian
probe sensor dikeluarkan lagi dari botol dan
terbentuk data recovery, lalu dimasukkan
kembali, hal ini dilakukan sampai didapatkan
dua siklus data respon dan recovery. Untuk
botol yang kedua (dengan konsentrasi lebih
tinggi) dilakukan hal yang sama dan rentang
waktu yang sama seperti pada botol pertama.

0 ppm
0.1798 ppm
0.2697 ppm
0.3596 ppm

1.5
1

0.5
0
400

500 600 700 800
panjang gelombang (nm)

900

Gambar 8. Absorbansi probe sensor terhadap
variasi konsentrasi gas H2S.

Alur Penelitian
Penelusuran Literatur dan Penyusunan
Proposal
Pembuatan Gel dengan Doping Dye
Methyl Violet
Pembuatan Probe Sensor Serat Optik
Pengujian Sensor Serat Optik
Pengolahan dan Analisis Data
Penyusunan Laporan

 

Pada Gambar 8, kurva absorbansi
meningkat dari rendah ke tinggi seiring
dengan penambahan konsentrasi gas H2S yang
dideteksi oleh sensor. Kurva dari terendah ke
tertinggi berurutan adalah saat konsentrasi
gas H2S yang dikenai pada probe sensor
sebesar 0 ppm, 0.1798 ppm, 0.2697 ppm, dan
0.3596 ppm.
Kurva pada Gambar 8 terlihat berimpit
untuk rentang konsentrasi gas 0.1798 ppm
sampai 0.3596 ppm, ini disebabkan perbedaan
konsentrasi gas H2S yang sangat kecil. Tetapi
kurva pada Gambar 9 yang merupakan
perbesaran dari Gambar 8, terlihat adanya
perbedaan nilai absorbansi yang meningkat
seiring dengan penambahan konsentrasi gas
H2S.


 
0.1798 ppm
0.2697 ppm
0.3596 ppm

2.15

absorbansi

2.13
2.11
2.09
2.07
2.05
550

600

650

panjang gelombang (nm)
Gambar 9. Perbesaran absorbansi probe
sensor terhadap variasi konsentrasi gas H2S.

1.4

absorbansi

2.13
2.125

2.115

1.8
1.6

2.135

2.12

0 ppm
0.1798 ppm
1.7978 ppm
14.3824 ppm

2

absorbansi

Data nilai absorbansi pada panjang
gelombang 595.71 nm diplot terhadap variasi
konsentrasi gas H2S, dan diperoleh kurva pada
Gambar 10, yaitu kurva sensitifitas probe
sensor terhadap konsentrasi gas H2S.

terdapat di kurva, y= 0.1279x+2.0845, dimana
nilai gradiennya merupakan nilai sensitifitas
sensor.
Hasil ini menunjukkan dengan perubahan
satu satuan ppm dapat mengakibatkan
perubahan nilai absorbansi sebesar 0.1279.
Hal ini memperlihatkan sensitifitas sensor
cukup bagus, karena dengan penambahan
konsentrasi gas H2S yang sedikit, dapat
menyebabkan perubahan nilai absorbansi
yang cukup besar.
Data pada Gambar 8 dan 11
memperlihatkan bahwa gel kitosan dengan
doping dye methyl violet mengalami
perubahan sifat optik terhadap gas H2S, yaitu
adanya kenaikan nilai absorbansi terhadap
meningkatnya konsentrasi gas H2S dan
pergeseran kurva ke kanan saat konsentrasi
gas cukup besar.

1.2
y = 0.127x + 2.084
R² = 0.994

1
400

500
600
700
panjang gelombang (nm)

800

2.11
2.105
0.15
0.25
0.35
0.45
konsentrasi gas H2S (ppm)
Gambar 10. Kurva sensitifitas probe sensor
terhadap konsentrasi gas H2S
Setelah didapatkan tiga buah data tersebut,
data di plot dalam garis lurus dan didapatkan
persamaan y =0.1279x+2.0845 dan R2=0.9944
yang menunjukkan nilai linieritas cukup tinggi
yaitu 0.9944.
Untuk mendapatkan nilai sensitifitas
digunakan persamaan


(6)
Dimana S adalah nilai sensitifitas, ∆A adalah
selisih absorbansi dan ∆C adalah selisih
konsentrasi. Dan didapatkan nilai sensitifitas
.
(perhitungan di Lampiran
7). Selain dari perhitungan tersebut, nilai
sensitifitas juga terlihat dari persamaan yang

 

Gambar 11. Absorbansi probe sensor terhadap
variasi konsentrasi gas H2S dengan rentang
konsentrasi gas yang cukup besar.
Kurva pada Gambar 11 memperlihatkan
nilai absorbansi meningkat dengan jelas
seiring dengan bertambahnya konsentrasi gas
H2S. Kurva dari terendah ke tertinggi
berurutan adalah saat konsentrasi gas H2S
yang dikenai pada serat optik sebesar 0 ppm,
0.1798 ppm, 1.7978 ppm, dan 14.3824 ppm.
Perubahan kurva pada Gambar 8 terlihat
berimpit. tetapi perubahan kurva pada Gambar
11 rentangnya cukup jauh dan perbedaannya
dapat terlihat jelas. Hal ini diakibatkan karena
rentang konsentrasi gas H2S pada Gambar 8
sangat kecil dibandingkan dengan rentang
konsentrasi gas H2S pada Gambar 11. Selain
itu, kurva pada gambar 11 juga
memperlihatkan bahwa dye methyl violet saat
dikenai gas H2S tidak hanya mengalami
perubahan nilai absorbansi yang semakin
meningkat, tapi juga mengalami pergeseran ke
kanan seiring dengan semakin besarnya


 

Respon Time Probe Sensor terhadap Gas
H2S
Respon time atau waktu respon adalah
waktu yang dibutuhkan probe sensor untuk
mencapai kondisi stasioner. Kurva respon
time adalah kurva hubungan antara intensitas
transmitansi dengan waktu.

15.4
15.2
y = -0.073x + 15.23
R² = 0.986

15

14.8

intensitas transmitansi (%)

18
17.5
17
16.5
16
15.5
15
14.5
14

14.6
14.4
14.2

3.5956
ppm
0.0359 0.3596
ppm
ppm

0

14.3824
ppm

50 100 150 200 250 300
waktu (s)

Gambar 12. Kurva dinamik respon probe
sensor terhadap empat variasi konsentrasi gas
H2S.
Kurva dinamik respon probe sensor
terhadap empat variasi konsentrasi H2S pada
Gambar 12 memperlihatkan keadaan stasioner
yang menurun terhadap kenaikan konsentrasi
gas H2S. Empat variasi konsentrasi gas H2S
tersebut yaitu 0.0359 ppm, 0.3596 ppm,
3.5956 ppm, dan 14.3824 ppm.
Intensitas transmitansi (%) menurun
setelah diekspos gas H2S. Hasil ini
memperlihatkan bahwa probe sensor yang
dilapisi gel chitosan dengan doping dye
methyl violet dapat mendeteksi gas H2S.
Kurva juga memperlihatkan adanya kurva
recovery dan waktu recovery, kurva recovery
adalah kondisi saat H2S lepas dari cladding,
dan Waktu recovery adalah waktu yang

 

dibutuhkan probe sensor untuk kembali ke
kondisi awal.
Pada Gambar 12 dapat terlihat bahwa
kurva recovery tidak mencapai kondisi awal
dengan sempurna, hal ini dikarenakan
perubahan konsentrasi yang terlalu besar
sehingga untuk mencapai kondisi awal dengan
sempurna dibutuhkan waktu recovery yang
sangat lama, sedangkan saat pengambilan
data, probe sensor kurang lama didiamkan di
luar botol, dan langsung dimasukkan ke botol
berikutnya, karena itulah terdapat sisa gas
dengan besar konsentrasi sebelumnya pada
probe sensor saat probe sensor tersebut
direaksikan ke konsentrasi berikutnya.
Walaupun
demikian
sensor
sudah
menunjukkan sifat yang reversible, yang
berarti sensor dapat dipakai berkali-kali.

intensitas transmitansi (%)

konsentrasi gas H2S, dan sangat terlihat
pergeserannya pada konsentrasi 14.3824 ppm.
Pada pengujian dengan konsentrasi 14.3824
ppm didapatkan perubahan warna yang sangat
terlihat dari warna biru tua ke hijau muda,
kurva yang dihasilkan tersebut bergeser dan
tidak lagi mengalami kenaikan nilai
absorbansi, hal ini menunjukkan pada
konsentrasi gas H2S yang sangat tinggi
cladding tidak dapat lagi mendeteksi dengan
baik, dan dari penelitian ini diperoleh
informasi bahwa sensor serat optik dengan
cladding dye methyl violet cukup baik
mendeteksi gas H2S sampai batas konsentrasi
1.7978 ppm.

14
0

2

4 6 8 10 12 14
konsentrasi gas (ppm)

Gambar 13. Kurva hubungan konsentrasi gas
H2S dan intensitas transmitansi.
Data pada Gambar 12 di plot dalam
sebuah garis lurus, yaitu nilai intensitas
transmitansi saat mencapai kondisi stasioner
untuk setiap kurva respon, dan diperoleh
kurva pada Gambar 13. Semakin tinggi
konsentrasi gas H2S, nilai intensitas
transmitansi semakin menurun. Kurva tersebut
juga memperlihatkan nilai linieritas yang
cukup tinggi yaitu 0.9863. Dari kurva ini,
dengan menggunakan sensor yang telah dibuat
dapat diperkirakan besarnya konsentrasi gas
H2S dari suatu bahan.
Empat konsentrasi gas yang berbeda,
menghasilkan waktu respon yang berbeda
juga, dimana definisi waktu respon ditentukan
dari waktu interval antara 10 % dan 90 % nilai
stasioner [13]. Perbedaan waktu respon empat
konsentrasi tersebut dapat dilihat pada
Gambar 14(a) - 14(d).

10 
 
16

90 %

intensitas transmitansi (%)

intensitas transmitansi (%)

17.5
17

15.5

16.5
16

10 %
7.9 dtk

15
0

10 waktu (s) 20

30

intensitas transmitansi (%)

Gambar 14(a). Waktu respon pada konsentrasi
0.0359 ppm.
17
90 %

16.5
16
10 %

15.5
15
6.7 dtk

14.5
60

70

80
90
waktu (s)

100

Gambar 14(b). Waktu respon pada konsentrasi
0.3596 ppm.
intensitas transmitansi (%)

16.6
90 %

16.1
15.6
10 %

15.1
5 dtk

14.6
126

136

146
waktu (s)

15
10%

14.5

15.5

156

Gambar 14(c). Waktu respon pada konsentrasi
3.5956 ppm.

 

90 %

14

4.5 dtk

210 215 220 225 230 235 240
waktu (s)
Gambar 14(d). Waktu respon pada konsentrasi
14.3824 ppm.
Waktu respon diperoleh dari selisih waktu
tepat pada saat grafik akan menurun sampai
grafik mulai mencapai kondisi stasioner. Dari
perhitungan ini, saat konsentrasi gas H2S
0.0359 ppm, diperoleh waktu respon sebesar
7.9 detik (Gambar 14a), dan berikutnya saat
konsentrasi gas 0.3596 ppm, waktu respon 6.7
detik (Gambar 14b), untuk konsentrasi gas
3.5956 ppm, didapatkan waktu respon 5 detik
(Gambar 14c), dan terakhir saat konsentrasi
gas 14.3824 ppm, didapatkan waktu respon
4.5 detik (Gambar 14d) (perhitungan pada
Lampiran 7).
Waktu respon empat konsentrasi gas H2S
memperlihatkan nilai yang semakin menurun
seiring dengan semakin besarnya konsentrasi
gas, selain itu keempat kurva dari Gambar
14(a) sampai 14(d) memperlihatkan tingkat
kecuraman yang meningkat, Kurva 14(a)
bentuknya paling landai, dan kurva 14(d)
bentuknya paling curam dari kurva yang
lainnya. Waktu respon yang semakin menurun
dan tingkat kecuraman kurva yang semakin
tinggi,
menunjukkan
semakin
besar
konsentrasi gas H2S, semakin cepat sensor
mendeteksi gas tersebut.
Waktu respon untuk setiap konsentrasi di
plot dan diperoleh kurva pada Gambar 15,
yaitu kurva hubungan antara konsentrasi gas
H2S dan waktu respon. Kurva mamperlihatkan
bentuk eksponensial negatif, dimana semakin
besar konsentrasi gas H2S, waktu respon
semakin menurun, yang berarti semakin besar
konsentrasi gas H2S, sensor semakin cepat
mendeteksi gas tersebut.

11 

waktu respon (s)

 

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0

2

4 6 8 10 12 14
konsentrasi (ppm)

Gambar 15. Kurva hubungan konsentrasi gas
H2S dan waktu respon.

30

intensitas transmitansi (%)

25
20
15

KESIMPULAN DAN SARAN

10
0.0899 ppm
0.1798 ppm

5
0
0

100

200

300

400

waktu (s)

Gambar 16. Kurva respon probe sensor
terhadap dua variasi konsentrasi gas H2S
Data waktu respon juga diukur dengan
menguji probe sensor pada konsentrasi H2S
yang tetap. Pengujian dilakukan untuk dua
konsentrasi berbeda, yaitu 0.0899 ppm dan
0.1798 ppm. Gambar 16 memperlihatkan
perbedaan dua buah data, kurva dengan
konsentrasi 0.1798 ppm lebih curam dari
kurva dengan konsentrasi 0.0899 ppm. Hasil
ini menunjukkan semakin besar konsentrasi
gas H2S yang dikenai ke probe sensor,
semakin cepat sensor mendeteksi gas tersebut.
Perubahan intensitas transmitansi terhadap
waktu, disebabkan karena adanya gas H2S
yang dideteksi oleh probe sensor. Hal ini
terjadi karena saat probe sensor yang dilapisi
cladding dye methyl violet berinteraksi dengan
gas H2S, terjadi perubahan indeks bias. Saat
terkena gas H2S, Indeks bias cladding
meningkat. Peningkatan indeks bias cladding,
mengakibatkan
peningkatan
kedalaman
penetrasi (dp) yang meningkatkan intensitas
medan evanescent. Peningkatan intensitas

 

medan evanescent mengakibatkan banyaknya
cahaya yang lepas dari serat optik dan
semakin sedikit cahaya yang diteruskan, maka
didapatkan data berupa kurva respon, yaitu
nilai intensitas transmitansi yang menurun.
Dan sebaliknya pada saat probe sensor
dikeluarkan dari wadah gas, terbentuk kurva
recovery, yang menandakan bahwa indeks
bias cladding berubah kembali setelah terlepas
dari gas H2S dan nilai intensitas transmitansi
kembali ke keadaan awal.
Probe sensor yang dilapisi gel kitosan
dengan doping dye methyl violet dapat
mendeteksi gas H2S. Semakin tinggi
konsentrasi gas H2S, maka semakin sensitif
sensor mendeteksi gas tersebut. Selain itu,
sensor yang dihasilkan menunjukan sifat yang
reversible, yang berarti sensor dapat
digunakan berkali-kali.
Ketebalan cladding dye methyl violet
sebesar 0.005 mm. Nilai ini didapatkan dari
pengukuran dengan menggunakan mikrometer
sekrup (perhitungan pada Lampiran 7).

Kesimpulan
Pembuatan sensor serat optik untuk
mendeteksi gas Hidrogen Sulfida telah
berhasil dibuat dan dikarakterisasi.
Nilai sensitifitas yang diperoleh sebesar
.
, dimana perubahan satu
satuan ppm dapat mengakibatkan perubahan
nilai absorbansi sebesar 0.1279, ini
memperlihatkan sensitivitas sensor cukup
bagus,
karena
dengan
penambahan
konsentrasi gas H2S yang sedikit, dapat
menyebabkan perubahan nilai absorbansi
yang cukup besar.
Rentang konsentrasi gas H2S yang dapat
dideteksi oleh sensor adalah sampai 1.7978
ppm. Selain itu, juga diketahui bahwa sensor
serat optik dengan cladding pengganti lapisan
gel kitosan dengan doping dye methyl violet
memiliki sifat yang reversible, sehingga
sensor dapat dipakai berkali-kali.
Saran
Penelitian ini dapat dikembangkan dengan
menggunakan metode yang sama, tetapi
dengan dye atau gel yang berbeda, atau
dengan pengambilan data absorbansi dan
waktu respon terhadap variasi ketebalan
cladding.

11 

waktu respon (s)

 

9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
0

2

4 6 8 10 12 14
konsentrasi (ppm)

Gambar 15. Kurva hubungan konsentrasi gas
H2S dan waktu respon.

30

intensitas transmitansi (%)

25
20
15

KESIMPULAN DAN SARAN

10
0.0899 ppm
0.1798 ppm

5
0
0

100

200

300

400

waktu (s)

Gambar 16. Kurva respon probe sensor
terhadap dua variasi konsentrasi gas H2S
Data waktu respon juga diukur dengan
menguji probe sensor pada konsentrasi H2S
yang tetap. Pengujian dilakukan untuk dua
konsentrasi berbeda, yaitu 0.0899 ppm dan
0.1798 ppm. Gambar 16 memperlihatkan
perbedaan dua buah data, kurva dengan
konsentrasi 0.1798 ppm lebih curam dari
kurva dengan konsentrasi 0.0899 ppm. Hasil
ini menunjukkan semakin besar konsentrasi
gas H2S yang dikenai ke probe sensor,
semakin cepat sensor mendeteksi gas tersebut.
Perubahan intensitas transmitansi terhadap
waktu, disebabkan karena adanya gas H2S
yang dideteksi oleh probe sensor. Hal ini
terjadi karena saat probe sensor yang dilapisi
cladding dye methyl violet berinteraksi dengan
gas H2S, terjadi perubahan indeks bias. Saat
terkena gas H2S, Indeks bias cladding
meningkat. Peningkatan indeks bias cladding,
mengakibatkan
peningkatan
kedalaman
penetrasi (dp) yang meningkatkan intensitas
medan evanescent. Peningkatan intensitas

 

medan evanescent mengakibatkan banyaknya
cahaya yang lepas dari serat optik dan
semakin sedikit cahaya yang diteruskan, maka
didapatkan data berupa kurva respon, yaitu
nilai intensitas transmitansi yang menurun.
Dan sebaliknya pada saat probe sensor
dikeluarkan dari wadah gas, terbentuk kurva
recovery, yang menandakan b