Desentralisasi yang menyisakan persoalan

95 Siti Zunariah “Desent ralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembent uk an Masyarakat Sipil” ISSN : 0215 - 9635, Vol 25 No. 2 Tahun 2010 peran dan posisi masyarakat sipil di hada- pan negara. Pada organisasi LSMpun beberapa lem- baga melakukan perubahan di tingkat mana- jemen. Perubahan di dasarkan pada kebutu- han dan pengembangan program di lapang- an, yang diarahkan lebih ramping sehingga lebih efisien dalam bekerja dan distribusi ke- wenangan dibidang-bidang yang dikembang- kan lebih besar dibanding sebelumnya. Perubahan ini memungkinkan muncul- nya organisasi di tingkat rakyat, hal ini da- pat dilihat dari KTH yang mulai memben- tuk jaringan kelompok tani hutan dan fo- rum desa yang mungkin timbul dan meng- atur perekonomian di tingkat KTH. Kerja- sama antar kelompok KTH ini terlihat lebih jelas arah dan tujuan bagi pelestarian hutan dan usaha ekonomi rumah tangga petani. Bentuk kelembagaan relatif tidak beru- bah, skema kelompok tani dan koperasi masih menjadi pilihan organisasi di tingkat rakyat karena alasan pada peran dan kebu- tuhan untuk peningkatan ekonomi rumah tangga. Sedangkan pada tingkat kelemba- gaan LSM pilihan menjadi lebih besar yaitu Yayasan, paguyuban, jaringan kerja LSM, Jaringan komunikasi organisasi rakyat, per- kumpulan, konsorsium, forum komunika- si, jaringan dan perhimpunan. Prinsip tumbuh dan berkembangnya organisasi di tingkat daerah cukup seder- hana yaitu, prinsip kebersamaan, keadilan dan pemerataan, menuju keseimbangan antara kelestarian alam dan kesejahteraan manusia. Prinsip di tingkat lembaga LSM yang dikembangkan untuk mendorong de- mokratisasi pengelolaan sumberdaya alam adalah berpihak pada yang lemah; meng- utamakan proses yang baik dari pada seke- dar hasiltujuan; berpegang pada kebenar- an universal walaupun tidak selalu ilmiah; Transparansi, demokratis, adil, tepat waktu dan partisipatif. Sementara itu, kekuatan lokal masih bertumpu pada hubungan yang dibangun dalam gerakan rakyat di tingkat akar rum- put dan belum masuk dalam proses politik kebijakan. Gambaran ini terlihat dalam di- namika kelompok pada saat bertemu de- ngan pihak lain, dalam menegosiasikan ke- butuhan wilayah kelola hutan. Perkemba- ngan yang terlihat adalah berani mengemu- kaan pendapat melalui perwakilan kelom- pok dari anggota kelompok sendiri. Keter- gantungan pada oranglembagabadan yang dipandang cukup handal dalam memfasi- litasi kelompok, terlihat cukup kental. Alas- an kepemilikan pengetahuan tentang kelom- pok dan usahanya semakin memperlihat- kan peta kekuatan lokal pada pihak lainnya. Peluang untuk mengembangkan posisi tawar dalam proses kebijakan ini cukup besar dengan lebih terbukanya dialog anta- ra organisasi rakyat dengan pemerintah. Upaya saat ini masih didorong oleh peran LSM dan programnya, namun belum terli- hat potret pada kelompok tani yang tidak difasilitasi oleh program LSM. Aspirasi KTH masih dijembatani oleh kegiatan komu- nikasi yang intens antara LSM dengan Pe- merintah. Posisi tawar yang dengan mengguna- kan kekuatan lokal justru terlihat pada orga- nisasi LSM. Hubungan yang ada mulai men- cairkan tabir penguasa dan LSM adalah bukti dari kekuatan lokal dari organisasi masyarakat sipil ini. Namun saat ini belum secara detail terlihat peta kekuatan lokal dan politik kebijakan sumberdaya alam.

B. Desentralisasi yang menyisakan persoalan

Kendati data diatas sudah dapat mem- buktikan adanya proses menguatnya ke- beradaan masyarakat sipil akibat pengelo- laan sumberdaya hutan berbasis masyara- kat ternyata menyisakan beragam persoal- an. Menurut Dwipayana 2002 berdasar- kan pengalaman pelaksanaan otonomi dae- rah, ada beberapa persoalan yang dihada- pi; pertama, politik desentralisasi yang 96 Siti Zunariah “Desent ralisasi Sumberdaya Hutan dan Pembent uk an Masyarakat Sipil” Jurnal Sosiologi D I L E M A menghapus sentralisasi kekuasaan dan oto- nomi bertingkat ternyata mendatangkan tan- tangan dari kekuatan politik di tingkat pusat dan propinsi. Kedua, proses desentralisasi seringkali dimaknai sebagai intragovermental decentralization 3 . Ketiga Adanya kecenderu- ngan desentralisasi justru membuka peluang bagi terkonsentrasinya kekuasaan di tangan local state dan keempat, desentralisasi dan otonomi daerah masih dipahami sebagai auto money yang mendorong eksploitasi sumber- daya ekonomi yang mereka miliki. Tidak dapat dipungkiri dalam kasus desentralisasi kehutanan juga menyisakan berbagai persoalan terutama pelung terjadi- nya eksploitasi sumberdaya hutan yang mem- babi buta. Munculnya raja-raja kecil di daerah yang dengannya tersandang peran otonom dalam menjalankan rumah tangganya sendiri. Sehingga dengan kewenangannya itu akan disusunlah kebijakan-kebijakan yang mampu mendatangkan pendapatan daerah yang melimpah tanpa menghiraukan persoalan kelestarian sumberdaya hutan. Dengan berkaca pada persoalan terse- but diatas, maka konteks pengelolaan sum- berdaya alam berbasis masyarakat dapat diberikan alternatif cara dengan pula diikuti proses devolusi, yaitu pelimpahan kewena- ngan dalam pengelolaan hutan kepada lem- baga-lembaga komunitas yang otonom. Devolusi dilakukan dengan alasan pertama, meringankan beban negara dalam pengelo- laan sumberdaya hutan karena setiap ko- munitas sudah dapat dipastikan mempu- nyai mekanisme peraturan seperti adat, peraturan lokal, nilai-nilai dan praktek serta kelembagaan dalam pengelolaan sumberda- ya hutan. Sehingga negara tidak lagi menge- luarkan biaya untuk pengelolaan hutan, se- perti mengamankan, konservasi dan seba- gainya. Kedua, devolusi juga berguna bagi pemberdayaan masyarakat sipil karena disamping memberdayakan secara ekono- mi, devolusi akan memperkuat kemampu- an partisipasi masyarakat serta membangun kemandirian dan self helf, sehingga masya- rakat tidak tergantung kepada pemerintah. Ketiga dengan devolusi dimungkinkan sebagai instrumen resolusi konflik sehingga konflik perebutan sumberdaya hutan antar berbagai stakeholders dapat dikelola. Keem- pat, devolusi juga akan mempersempit ke- timpangan ekonomi antar warga masyara- kat. Karena mekanisme kelembagaan men- cegah keuntungan atas sumberdaya hutan akan dinikmati oleh segelintir orang seperti yang muncul dalam fenomena privatisasi.

C. Catatan kritis