PERKUMPULAN PRA MUHAMMADIYAH (3)Ihyaus Sunnah

SOHIFAH

PERKUMPULAN PRA MUHAMMADIYAH (3)

Ihyaus Sunnah
MU’ARIF

w.

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

KH Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan
madrasah yang bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air),

kemudian madrasah Ahl al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di
Wonokromo, Far’u al-Wathan (Cabang Tanah Air) di Gresik dan
Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang. Akibat
perbedaan pendapat dengan Abdul Wahab Hasbullah mengenai
masalah-masalah ijtihad dan khilafiyah menyebabkan Mas
Mansur keluar dari Taswir al-Afkar.
Bersamaan dengan berdirinya madrasah Nahdhatul Wathan,
di Pabean Cantikan berdiri pondok pesantren yang dipimpin H Ali.
Perlu dicatat di sini, walaupun H. Ali tak memiliki hubungan dengan
KH Mas Mansur, tetapi keduanya memiliki visi keagamaan yang
sama.
Pada tahun 1920, Fakih Hasyim, seorang ulama dari kota
Padang (Sumatra Barat), datang ke Surabaya. Dia menetap di
rumah Encik Wanti, seorang kerabatnya di Ampel Cendolan, dan
mengajar agama kepada kerabat dan kaum pedagang dari
Padang di daerah tersebut. Setelah bertemu dan berkenalan
dengan H Ali, Fakih Hasyim diminta untuk mengajar di pondoknya
di Cantikan. Ulama kelahiran kota Padang ini langsung mengisi
pengajian-pengajian agama dengan visi keagamaan puritan. Dia
banyak mengritik tradisi keagamaan di Surabaya yang mulai

menjauh dari dasar-dasar pokoknya. Atas inisiatif H. Ali, pengajian
agama yang disampaikan oleh Fakih Hasyim dibentuk menjadi
sebuah perkumpulan bernama Ihyaus Sunnah (Menghidupkan
Sunnah) (S. Edy, 1952: 30).
Pada saat yang bersamaan, H.O.S. Tjokroaminoto dan KH
Mas Mansur (atas nama pimpinan Sarekat Islam) membentuk
Tanbihul Ghafilin, sebuah organisasi tabligh yang berada di bawah
struktur Sarekat Islam Surabaya. Tanbihul Ghafilin dan Ihyaus
Sunnah memiliki kesamaan dalam menyampaikan materi
pengajian keagamaan. Keduanya memiliki visi keagamaan yang
berkemajuan. Namun, perkumpulan Ihyaus Sunnah lebih keras
menentang tradisi lokal yang telah merusak ajaran pokok Islam
sehingga mendapat perlawanan dari masyarakat setempat.
Reaksi keras datang dari kelompok Islam tradisional setelah
Fakih Hasyim giat menyampaikan dakwahnya. Dia mulai
mendapat fitnah. Pondok pesantren pimpinan H. Ali juga mulai
dikecam karena dianggap telah menjadi pusat paham baru.
Bahkan, perkumpulan Ihyaus Sunnah dianggap sebagai gerakan
agama baru. Fitnah tidak hanya ditujukan kepada Fakih Hasyim,
tetapi H. Ali pun mendapat serangan dari kelompok Islam

tradisionalis.

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

Ihyaus Sunnah
Jika umat Islam di Yogyakarta pada awal abad 20 masih
sangat kuat berpegang pada tradisi kejawen sehingga takhayul,
bid’ah, dan khurafat menjadi fenomena yang marak, begitu juga
keadaan umat Islam di Jawa Timur. Para ulama masih kolot
memahami perkembangan zaman sehingga citra Islam begitu

rendah di mata kaum terpelajar bumi putera.
Dalam kondisi umat Islam di Jawa Timur yang tengah
terbelakang itulah, KH Mas Mansur pulang ke Tanah Air pada
tahun 1915. KH Mas Mansur putra KH Mas Ahmad Marzuqi,
lahir pada 25 Juni 1896 di Surabaya. Dia berasal dari keturunan
bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Di samping belajar
agama kepada ayahnya sendiri, dia pernah belajar di Pondok
Pesantren Sidoresmo, Pondok Pesantren Demangan,
(Bangkalan), dan Pondok Pesantren Termas. Selama di Mesir,
Mas Mansur belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar pada Syaikh
Ahmad Maskawih. Kondisi sosial-politik di Mesir sedang tumbuh
lewat gerakan kebangkitan nasional dan pembaruan Islam.
Banyak tokoh memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui
media massa maupun pidato (Saleh Said, 1952: 6).
KH Mas Mansur pulang ke Surabaya setelah kurang lebih
empat tahun belajar agama di Mesir. Dia pulang ke tanah air
ketika Sarekat Islam di Solo mulai redup dan kepemimpinan
diambil alih dari tangan H. Samanhudi kepada H.O.S.
Tjokroaminoto di Surabaya. Mas Mansur yang banyak
terpengaruh oleh gerakan nasionalisme di Mesir bergabung

dengan Sarekat Islam yang mengusung visi nasionalisme Islam.
Selain bergabung dalam Sarekat Islam Cabang Surabaya,
Mas Mansur juga berhasil membentuk majelis diskusi bersama
Abdul Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar
(Cakrawala Pemikiran). Aktivitas Taswir al-Afkar mengilhami
lahirnya berbagai aktivitas lain di berbagai kota, seperti Nahdhah
al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang menitikberatkan pada
pendidikan.
Selama mengajar di Nahdhah al-Wathan di Kampung
Kawatan, KH Mas Mansur bertemu dan berkenalan dengan KH
Muhammad Fanan, ulama asal Magelang (Jawa Tengah) yang
menetap di Madura. Tokoh inilah yang di kemudian hari aktif di
Muhammadiyah Surabaya bersama KH Mas Mansur. Pada
tahun 1937, KH Muhammad Fanan mendapat amanat sebagai
Konsul Muhammadiyah Daerah Besuki (Jawa Timur),
menggantikan Ki Thohiruddin (Suara Muhammadiyah no. 3 Th
ke-57/1977).
56

6 - 21 RAMADLAN 1431 H


SOHIFAH

pd

fsp

litm
erg
er.
co
m)

dialog antara KH Ahmad Dahlan dengan KH Mas Mansur selama
menginap di rumahnya. Tetapi, sebuah sumber sempat
menyebutkan bahwa pasca menginap di rumah KH Mas Mansur,
KH Ahmad Dahlan mengatakan, “Sudah kita pegang sapu kawat
Jawa Timur!” (Junus Salam, 1968: 58).
Tampaknya, KH Mas Mansur telah sepakat dengan gagasangagasan pembaruan Muhammadiyah. Setelah berdialog
semalam bersama KH Ahmad Dahlan, dia menyatakan sehaluan

dengan gagasan dan gerakan yang diusung oleh pendiri
Muhammadiyah ini. Dialah yang di kemudian hari menjadi salah
satu tokoh Muhammadiyah di Surabaya yang berhasil menjabat
sebagai pucuk pimpinan Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah
(1938-1940).
KH Ahmad Dahlan datang kedua kalinya ke Surabaya pada
tahun 1921 (lihat Soewara Moehammadijah no. 1/th ke-4/1922).
Kunjungan KH Ahmad Dahlan ke Surabaya kali ini terekam baik
dalam verslag yang dimuat di Suara Muhammadiyah tahun 1922.
Secara kronologis dikisahkan, pada tanggal 20 November 1921,
KH Ahmad Dahlan didampingi Haji Fachrodin dan adik
kandungnya, Siti Munjiyah, menghadiri undangan openbare
vergadering Sarekat Islam cabang Kediri. Pada tanggal 22
November, utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta diundang oleh
bestuur Sarekat Islam Cabang Kepanjen untuk menghadiri
vergadering.
Pada pagi harinya (23 November 1921), ketiga utusan HB
Muhammadiyah Yogyakarta mendapat undangan dari Driyosastro
di Porong (Sidoarjo). Mereka mendapat amanat untuk menjemput
istri dan anak Driyowongso, seorang aktivis bumi putera yang

tengah dipenjara (sejak tahun 1924, Driyowongso menjadi
pengurus Muhammadiyah sebagai sekretaris HB
Muhammadiyah bahagian PKO mendampingi Haji Syuja’).
Dari Porong, utusan HB Muhammadiyah Yogyakarta
langsung menuju Surabaya untuk menghadiri undangan
perkumpulan Ihyaus Sunnah. Kunjungan KH Ahmad Dahlan ke
Surabaya kali ini dalam rangka mengisi pengajian dalam
perkumpulan Ihyaus Sunnah dan sekaligus meresmikan
berdirinya Muhammadiyah Cabang Surabaya.
Menurut keterangan versi S. Edy (1952), Muhammadiyah
Cabang Surabaya berdiri setelah KH Ahmad Dahlan datang ke
kota dagang ini yang kedua kalinya. Secara eksplisit S. Edy
menyebutkan bahwa Muhammadiyah Cabang Surabaya berdiri
pada tanggal 1 November 1921 (S. Edy, 1952: 33). Sumber ini
berbeda dengan versi verslag yang pernah dimuat di Suara
Muhammadiyah tahun 1922.
Berdasarkan sumber ini, kedatangan KH Ahmad Dahlan untuk
yang kedua kalinya ke Surabaya pada tahun 1921, tepatnya tanggal
23 November, setelah menghadiri openbare vergadering Sarekat
Islam Cabang Kediri (20 November 1921), memenuhi undangan

bestuur Sarekat Islam Cabang Kepanjen (22 November 1921)
dan menjemput istri dan anak Driyowongso di Porong (23
November 1921). Dari Porong, utusan HB Muhammadiyah
Yogyakarta langsung menuju ke Surabaya dalam rangka
mengesahkan berdirinya Muhammadiyah Cabang setempat.l
habis

De
mo
(

Vi
sit

htt
p:/
/w
w

w.


H Ali sempat bimbang karena tidak ada orang yang bisa
menjadi tempat meminta fatwa. Pemimpin pondok pesantren di
Cantikan ini tidak bisa membubarkan perkumpulan Ihyaus
Sunnah, tetapi dia sendiri tidak sanggup menahan reaksi keras
dan kecaman dari masyarakat setempat. Pada saat itulah dia
mendapat kabar bahwa di Yogyakarta terdapat seorang ulama
besar yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan yang
tengah dihadapinya. Ulama besar tersebut adalah seorang khatib
di masjid agung Yogyakarta yang memiliki pandangan keagamaan
sangat maju. Dialah KH Ahmad Dahlan, Pendiri dan President
Hoofdbestuur Muhammadiyah.
Tanpa harus menunda waktu, H Ali langsung datang ke
Yogyakarta untuk bertemu KH Ahmad Dahlan. Dalam pertemuan
tersebut, H Ali sempat menguji kedalaman ilmu agama dan
kezuhudan KH Ahmad Dahlan. Setelah mengetahui sendiri watak
dan kepribadian pendiri Muhammadiyah, H Ali tidak merasa ragu
lagi. Dia pun mengisahkan persoalan berat yang tengah dihadapi
perkumpulan Ihyaus Sunnah yang mendapat kecaman dari
masyarakat di Surabaya. H Ali mengundang KH Ahmad Dahlan

untuk datang ke Surabaya menyampaikan tabligh Islam dalam
rangka meredam gejolak perlawanan terhadap perkumpulan
Ihyaus Sunnah.
KH Ahmad Dahlan melakukan kunjungan tabligh pertama kali
ke Surabaya pada tahun 1920. Di antara para ulama yang
diundang tampak seorang ulama muda dengan postur tubuh tidak
terlalu tinggi. Mengenakan peci hitam memakai kain sarung. Dia
mengikuti pengajian KH Ahmad Dahlan dengan serius. Di ujung
ceramah yang disampaikan KH Ahmad Dahlan, ulama muda
tersebut mengajukan buah pikirannya. Mengingat kerusakan
masyarakat dan kemerosotan derajat bangsa, jelasnya,
bagaimana cara mengatasi keadaan masyarakat yang demikian
itu?
KH Ahmad Dahlan menjawab, “Obatnya tidak lain ialah ini!”
sambil mengangkat Al-Qur’an ditunjukkan kepada para hadirin.
“Kaji isinya dengan betul-betul! Pergunakan segala ilmu untuk
mengetahui mukjizat yang tersimpan di dalamnya” terang KH
Ahmad Dahlan.
“Amalkan! Amalkan! Tidak cukup dengan hanya pandai
membaca, yang harus tepat kena pula makhrajnya, dan
melagukan dengan suara merdu! Pergunakan otak dan mata hati
untuk menyelami isi Al-Qur’an, niscaya kita tahu rahasia alam,
yang sengaja dibuat untuk manusia, yang dititahkan Rabbul ‘Alamin”
demikian KH Ahmad Dahlan menjawab pertanyaan tersebut.
Mendengar jawaban tersebut, ulama muda yang sejak awal
begitu serius mengikuti pengajian KH Ahmad Dahlan langsung
menganggukkan kepala. Ulama muda tersebut tak lain adalah
KH Mas Mansur. Mula-mula, KH Ahmad Dahlan dipersiapkan
menginap di sebuah hotel di Surabaya, tetapi setelah KH Mas
Mansur mengetahui informasi tersebut, dia lantas menawarkan
untuk menginap di rumahnya. Dengan menawarkan menginap di
rumahnya, KH Mas Mansur mendapat kesempatan waktu lebih
banyak untuk bertukar pikiran mengenai persoalan-persoalan
keagamaan dan bagaimana jalan mengentaskan kondisi bangsa.
Memang tak banyak sumber-sumber yang merekam proses

SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 95 | 16 - 31 AGUSTUS 2010

57