PERBEDAAN EMPATI SISWA AKSELERASI DENGAN SISWA REGULER

PERBEDAAN EMPATI SISWA AKSELERASI
DENGAN SISWA REGULER

SKRIPSI

Oleh
YAUMIL AHADIAH
06810045

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2012

KATA PENGANTAR
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Penyusunan
karya tulis ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini dengan segala ketulusan dan
kerendahan hati, penyusun menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Dra. Cahyaning Suryaningrum, Msi, selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Hudaniah, Psi. M.Si, selaku Dosen Pembimbing I yang dengan sabar dan
ikhlas telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga untuk memberikan
pengarahan, petunjuk serta saran demi terselesainya skripsi ini.
3. M. Salis S,M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang dengan sabar dan ikhlas
memberikan pengarahan dan petunjuk kepada penulis yang terkadang perlu
beberapa kali penjelasannya hingga penulis mampu memahaminya.
4. Papa dan Mama yang tercinta yang selalu memberikan dorongan dan do’a
yang tak kunjung putus dan tak ternilai harganya. Ila sayang mapa.
5. Adik-adikku tersayang (adek Lia, adek Rio), dan spesial untuk Mas Sam yang
selalu memberikan penulis kasih sayang yang tiada henti serta dorongan agar
penulis segera menyelesaikan skripsi ini dan selalu memberikan semangat
motivasi penulis. Bu de Ani dan pak de Doit yang telah sabar mendampingin
penulis selama mengerjakan skripsi ini.

v

6. Yudi Suharsono, M.Si, Psi sebagai wali kelas A dan seluruh dosen fakultas
Psikologi

Universitas


Muhammadiyah

Malang

yang

telah

banyak

mengajarkan ilmu kepada penulis.
7. Sahabatku tersayang vita, mimi, suci, ica, ria dan mbak-mbakqw tersayang,
mbak heny, mbak syalwa, mama azizah, mbak nita, mbak uli, mas rico, bojes,
adek reno, yang selalu memberikan penulis nasehat dan motivasi agar tetap
sabar menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga telah menjadi tempat keluh
kesah penulis selama ini. Teman-teman seperjuangan dani, pak de, cimenk,
cepatan segera menyusul, semangat teman.
8. Semua rekan-rekan yang tidak penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan


bantuan

sehingga

penyusunan

karya

tulis

ini

dapat

menyelesaikan.
Kepada semua pihak tersebut diatas, penyusun hanya dapat mendoakan,
semoga segala kebajikannya diterima oleh Allah SWT, sebagai amal dan sholeh
mendapatkan ridho dan inayah-Nya.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan dan penulisan karya

tulis ini masih banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan karya tulis ini.
Akhirnya, semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat bagi berbagai
pihak yang membutuhkan. Amin
Malang, 8 Agustus 2012
Penulis

Yaumil Ahadia

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL DALAM …………………………………………….…........ i
LEMBAR PERSETUJUAN ……………………………………………..……........ ii
LEMBAR PENGESAHAN ...………………………………………..……………. iii
LEMBAR PERNYATAAN ...………………..……………………..…………….. iv
KATA PENGANTAR ……..…………………..………………......…………….... v
DAFTAR ISI ……………..…………………………………...…………………... vii
DAFTAR TABEL …..………………………………………..………...………….. ix

INTISARI ……..….................................................................................................... x
ABSTRAK ………………………………………………………………………… xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah …….………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Empati ………….................................................................................... 8
1. Pengertian Empati ……………………………………………..…... 8
2. Teori-teori Perkembangan Empati ……………………………...… 10
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati ……………………..... 16
B. Akselerasi ………………..……………………………………….…... 19
1. Definisi Akselerasi ………………………………………………... 19
2. Tujuan Kelas Akseelerasi …………………………………………. 22
3. Manfaat Program Akselerasi ……………………………………… 22
4. Karekteristik Kelas Akselerasi ……………………………………. 23
5. Kekuatan dan Kelemahan Akselerasi ……………………………... 23
C. Kelas Non Akselerasi atau Kelas Reguler ……………………………. 26
1. Pengertian Kelas Reguler ………………………………………...... 26

2. Tujuan Progrma Kelas Reguler …………………………………..... 27
D. Dinamika Empati Antara Siswa Akselerasi dengan Kelas Reguler …... 27
E. Kerangka Berfikir ….…………………………………………………. 29

vii

F. Hipotesis ……………………………….……………………………... 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian …..……………………………………………………. 31
B. Variabel Penelitian …………………………..………………………... 31
C. Definisi Operasional …….……………………………………………. 32
D. Populasi dan Sampel …………..……………………………………… 33
E. Metode Pengumpulan Data …………………..……………………….. 33
F. Jenis Data ……..………………………………………………………. 36
G. Prosedur Penelitian …………..……………………………………….. 38
1. Persiapan Penelitian ……………………………………………….. 38
2. Pelaksanaan Penelitian …………………………………………….. 43
H. Validitas dan Reliabilitas ……………………………………………... 44
1. Validitas …...………………………………………………………. 44
2. Reliabilitas ………………………………………………………… 46

I.

Analisa Data …………………………………………………………... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data ………………………………………………………… 48
B. Hasil Analisis Data ……………………………………………………. 48
C. Pembahasan …………………………………………………………… 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………..….. 52
B. Saran …………………………………………………………………... 52
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………... 54
LAMPIRAN ……………………………………………………………………….. 55

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue print kemampuan empati kelas akselerasi dan kelas regular …..... 36
Tabel 2. Blue print aitem yang valid dan gugur …...…………………………… 41

Tabel 3. Blue print aitem skala nomor urut …..………………………………… 42
Tabel 4. Paired Sample Statistik ……...………………………………………... 48
Tabel 5. Paired Sample Test ……………………………………………………. 49
Table 6. Descriptive Statistik ...………………………………………………… 49

ix

DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Iif Khoiru. (2011). Pembelajaran Akselerasi. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Agustiani. (2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Refika Aditama.
Azwar. (2006). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baharuddin. (2009). Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: ArBuzz Media.
Baraja. (2007). Psikologi perkembangan. Jakarta Timur: Studia-Press.
Bramastyo. (2002). Perbedaan Kemampuan Empati pada Anggota Militer
ditinjau dari Peran Gender. Skripsi, fakultas Psikologi-UMM.
Chaplin. (1989). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Gunarsa. (1991). Psikologi Remaja. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Haditono. (1982). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University-Press.
Santrock. (2002). Life Span Development (Perkembangan Masa Hidup).

Jakarta: Erlangga
Santrock. (2009). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Salemba Humanika.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sujanto. (1986). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Aksara Baru.
Taufik. (2011). Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

54

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orang tua memiliki harapan besar agar anak-anak tumbuh dan
berkembang menjadi anak yang baik dan mampu memahami perasaan orang
lain. Karena terdapat orang tua yang mengeluhkan bahwa anaknya masih
suka bertengkar dengan temannya, tidak mau bekerjasama dan berbagi saat
bermain, bahkan sering bersikap masa bodoh dengan kesedihan yang dialami
orang lain. Hal ini dikarenakan kemampuan anak untuk memahami perasaan
orang lain atau yang lebih dikenal dengan empati cenderung belum

berkembang.
Dengan demikian penekanan empati tersebut menyatakan bahwa
kemampuan menyelami perasaan orang lain tidak membuat kita tenggelam
dan larut dalam situasi perasaanya tetapi kita mampu memahami perasaan
negatif atau positif seolah-olah emosi itu kita alami sendiri. Kemampuan
berempati akan mampu menjadi kunci dalam keberhasilan bergaul dan
bersosialisasi dimasyarakat (Bramastyo, 2008).
Akan tetapi ada fenomena yang cukup menarik dalam masyarakat saat
ini, karena keinginan akan terpenuhinya kebutuhan mereka terhadap
kebutuhan fisiologi, keamanan sosial, penghargaan, dan aktualisasi dirinya,
ternyata tidak diimbangi dengan perkembangan sikap dan perilaku mereka
sebagai makhluk sosial. Karena yang seringkali terjadi di masyarakat adalah
kecenderungan mereka untuk bersikap egois dengan lebih mengutamakan
kepentingannya sendiri tanpa memandang kepentingan orang lain. Hal ini
dapat disebabkan oleh adanya persaingan dalam berbagai hal, sebagai salah
satu akibat dari kemajuan zaman yang memaksa seseorang menjadi bersikap
lebih agresif dalam bertindak dan berperilaku, sehingga rasa empati terhadap
sesamanya akan cenderung menurun. Kondisi yang cukup memprihatikan ini
dapat mengakibatkan fungsi manusia sebagai makhluk sosial akan semakin
memudar seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini dapat dilihat dari

ekspresi seseorang yang lebih bersikap masa bodoh terhadap kesedihan yang

1

2

dirasakan oleh orang lain. Pada umumnya ini terjadi dalam masyarakat yang
individualis ataupun narcisme, dimana mereka mempunyai kesulitan dalam
berempati dengan orang lain dan jika mereka tampak berempati,
sesungguhnya hal itu bukan berasal dari ketulusan dari hati mereka untuk
memberikan pertolongan kepada mereka yang sedang kesusahan.
Seseorang umumnya mengungkapkan perasaan mereka lewat katakata, sehingga dengan cara demikian lawan bicaranya akan mengetahui
maksud dari kata-katanya berdasarkan nada suara, gerak-gerik, ekspresi
wajah, atau cara-cara non verbal lainnya. Namun tanpa adanya kepekaan
dalam menangkap ungkapan perasaan secara non verbal tersebut, maka dapat
menyebabkan seorang remaja akan dikucilkan atau terasing (isolation) dari
kelompok pergaulannya.
Oleh karena itu remaja memiliki kemampuan dalam berempati akan
mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain. Kemampuan empati dasar
yang kuat tersebut akan berpengaruh pada sikap seseorang menjadi tidak
begitu agresif dan tulus dalam menjalin hubungan dalam pergaulan yang
lebih prososial dan kesediaan untuk berbagi dengan yang lain. Oleh karena
itu seorang remaja yang mampu bersikap empati akan lebih disukai oleh
teman-teman sebayanya disekolah maupun dilingkungan masyarakat. Maka
tidak mengherankan jika remaja yang mempunyai kemampuan dalam
berempati akan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk dapat menjalin
hubungan yang akrab dengan orang lain, teman maupun kelompok
sebayanya. Dengan demikian untuk dapat memahami perasaan orang lain,
maka dibutuhkan suatu kemampuan dalam membaca pesan non verbal,
seperti nada bicara, gerak-gerak, ekspresi wajah dan sebagainya. Ini
membutuhkan suatu kepekaan tersendiri dalam diri seseorang.
Sekolah merupakan suatu masyarakat kecil. remaja dapat bergaul
dengan teman-temannya, juga dengan gurunya. Disekolah ada remaja yang
nakal, baik atau anak yang lemah membutuhkan pertolongan. Untuk itu
sekolah merupakan tempat yang dapat mengembangkan rasa sosial remaja.
Remaja belajar bersabar terhadap gangguan temannya yang nakal. Remaja
belajar menolong temannya. Jadi sekolah merupakan tempat latihan atau

3

persiapan bagi anak untuk menghadapi kehidupan tanpa perlindungan orang
tua, dan harus bisa mandiri.
Saat ini sedang berkembang sistem pendidikan akselerasi. Sistem
pendidikan akselerasi adalah salah satu bentuk pelayanan pendidikan yang
diberikan bagi siswa dengan kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk
dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan
Depdiknas, 2001(dalam Hawadi, 2004). Pada saat program akselerasi
digulirkan

sampai

ketika

pihak

Departemen

Pendidikan

Nasional

memfasilitasi upaya kajian dan pengembangan lebih lanjut menjadi seperti
yang saat ini banyak dilaksanakan, program ini tidak sepi dari berbagai kritik.
Namun demikian, program layanan ini masih tetap berjalan dan bahkan
semakin menunjukkan adanya peningkatan, baik dari segi jumlah sekolah
maupun jumlah siswa yang masuk kelas akselerasi.
Penyelenggaraan sistem kelas percepatan (akselerasi) ini bertujuan
untuk dapat memfasilitasi kemampuan kecerdasan yang tinggi yang dimiliki
anak berbakat sehingga anak-anak yang berbakat dalam bidang akademik
dapat berprestasi secara optimal. Hal ini juga dilakukan berdasarkan undangundang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional mengenai
adanya hak bagi peserta didik untuk mendapatkan pelayanan pendidikan
khusus bagi yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (AkbarHawadi, 2004).
Sisk (1986) dikutip dari Delisle (1992) menyebutkan beberapa ciri
yang diatribusikan pada diri siswa akselerasi, yaitu: bosan, fobia sekolah, dan
kekurangan hubungan teman sebaya (Akbar-Hawadi, 2004).
Program akselerasi ternyata tidak selalu sukses. Seperti halnya yang
diberitakan dalam harian Republika (Jumat, 20 april 2004) bahwa dalam
program akselerasi ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil
kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan
pengalamannya bahwa selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, telah
menemukan beberapa hal yang aneh antara lain siswa terlihat kurang
komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul, dan tidak suka pada
pelajaran olahraga. Mereka tegang seperti robot. Dari pihak sekolah juga

4

dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan
anaknya.
Empati siswa regular di SMAN 1 Turen ditunjukkan dari perilaku
siswanya terhadap teman sekelasnya saat temannya menghadapi masalah,
siswa regular menunjukkan kepedulian serta ikut mendengarkan cerita
temannya yang sedang menghadapi masalah, sedangkan siswa akselerasi
cenderung tidak mengerti bahwa temannya tersebut sedang mengalami
kesedihan, siswa akselerasi cenderung cuek atau tidak perduli dengan
masalah yang dihadapi oleh temannya tersebut.
Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan adalah tugas kita
semua, di dalam ungkapan tersebut tercakup semua usaha untuk memberikan
pelayanan pendidikan kepada semua orang tanpa memandang umur, status
sosial maupun tingkat kemampuannya. Pada waktu-waktu yang lampau usaha
pemerintah terbatas pada usaha-usaha meningkatkan kualitas pendidikan,
dalam arti bahwa pemerataan pendidikan mendapat prioritas tertinggi.
Dari

pemeratan pendidikan

yang dilakukan

pastilah banyak

mengalami kendala-kendala, diantaranya dari peserta didik dimana tidak
dapat dielakkan bahwa setiap siswa memiliki tingkat kemampuan yang
berbeda-beda, mulai dari kemampuan kecerdasan di atas rata-rata, rata-rata
sampai di bawah rata-rata. Terkadang masih banyak penyelenggara
pendidikan di Indonesia memberikan perlakuan yang sama pada siswa-siswi
tersebut. Padahal kebutuhan akan pelayanan pendidikan mereka berbedabeda. Inilah yang sering menjadi masalah bagi para siswa,dimana siswa yang
memiliki kecerdasan di atas rata-rata akhirnya akan merasa bosan masuk
sekolah atau menjadi tidak optimal dalam mengembangkan kemampuannya,
bahkan banyak siswa berbakat yang akhirnya ‘underachiever’ atau siswa di
bawah rata-rata menjadi ketinggalan diantara teman-temannya.
Gunarsa (2004) juga menyatakan bahwa anak yang sangat pintarpun,
mengalami suatu persoalan yang dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadiannya. Ia menjadi pengganggu di sekolah, karena menganggap
sekolah terlalu mudah dan guru menerangkan terlalu lambat. Bahkan mereka
membolos karena merasa tidak perlu setiap hari ke sekolah, karena

5

menganggap sekolah tidak maju-maju dan malas, karena dalam waktu singkat
sudah dapat menyelesaikan pekerjaan sekolahnya, menyebabkan anak
menjadi kurang sabar dan tidak tekun, maupun kurang tabah dalam
menghadapi persoalan dan menyelesaikan tuga-tugas kelak di kemudian hari.
Dalam rangka pelayanan pendidikan terhadap anak berbakat perlu
memperhatikan adanya integrasi antara berbagai program perangsangan
(formal maupun informal) agar anak berbakat tetap dapat berkembang
kepribadiannya secara utuh, harmonis, dan terpadu. Kecendrungankecendrungan untuk menitikberatkan hanya satu atau dua aspek saja bisa
membentuk manusia yang berbakat luar biasa pada sesuatu bidang dan sama
sekali tidak berbakat pada bidang yang lain, yang terampil pada satu hal
tetapi tidak terampil pada hal lain (Gunarsa, 2004).
Demikian

juga

halnya

program

akselerasi,

selain

dapat

mengoptimalkan kemampuan akademik siswa apakah dapat membimbing
siswa-siswi tersebut menjadi individu yang utuh kepribadiannya. Di
Indonesia kelas akselerasi ini sudah dilakukan di beberapa sekolah baik di
tingkat SD, SMP, maupun SMA. Namun demikian banyak permasalahan
yang muncul dari pelaksanaannya baik pada orang tua, guru maupun siswa
sendiri. Seperti penyelenggaraan akselerasi pada SD, yang pada masa ini
anak masih berkembang dalam sosialisasinya dan masa-masa bermain dengan
teman sebaya masih sangat penting.
Tingkat kecerdasan yang tinggi merupakan suatu kelebihan bagi anak
akselerasi. Akan tetapi hal tersebut dapat pula menimbulkan permasalahan
sosial dan emosional bagi mereka, karena keseimbangan emosi tidak selalu
diiringi oleh kelebihan intelektual secara otomatis. Oleh karena itu anak-anak
tersebut sering menghadapi permasalahan emosional, baik dari luar diri
mereka maupun dari dalam diri mereka sendiri. Permasalahan emosional
yang bersumber dari luar mereka dapat berupa penilaian lingkungan yang
menganggap mereka sebagai individu sempurna, yang selalu dapat
mengerjakan serta menyelesaikan segala permasalahan dengan baik. Hal ini
dapat menimbulkan harapan dan tuntutan yang terlalu besar terhadap mereka
atau bahkan menimbulkan permasalahan baru bagi mereka.

6

Dengan adanya kelas akselerasi diharapkan dapat memperhatikan
anak didik istimewa atau anak akselerasi perlu mendapatkan perhatian khusus
agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tingkat
pertumbuhan kepribadiannya menurut Garis-garis Besar Halauan Negara
(GBHN) 1988. Berbeda dengan sekolah regular yang memperhatikan anakanak keseluruhan yang memiliki kemampuan sama untuk pertumbuhan
kepribadian.
Sekalipun mereka mempunyai loncatan perkembangan kognitif dan
motorik kasar, tetapi mereka dapat tertinggal soal kematangan perkembangan
baik fisik, emosi, motorik halus, adaptasi, sosial, bahasa, dan bicara. Hal ini
yang menyebabkan ketidaksiapan menerima pembelajaran. Bisa juga karena
membutuhkan pendekatan khusus, mereka sulit berprestasi di kelas
konvensional atau klasikal.
Mereka membutuhkan pendekatan dua arah sekaligus. Mengeliminasi
kesulitan akibat

perkembangannya

yang unik, dan juga sekaligus

keterbakatannya. Jika hanya mengatasi beberapa masalah saja, dari banyak
laporan, justru hanya akan menambah masalah baru. Hal ini disebabkan
karena dorongan internal anak-anak berbakat adalah memenuhi rasa
keingintahuannya yang besar melalui eksplorasi dan pengembangan
intelektualnya.
Dalam bersosialisasi siswa akselerasi akan sangat berbeda dengan
siswa regular. Siswa akselerasi lebih banyak memiliki waktu belajar daripada
siswa regular, sebaliknya waktu bermain atau bersosialisasi siswa regular
lebih banyak daripada waktu siswa akselerasi.
Peneliti menganggap bahwa empati adalah hal yang penting untuk
diteliti karena apabila seseorang tidak memiliki empati maka seseorang akan
bersikap acuh atau tidak perduli dengan kehidupan atau perasaan orang lain.
Terdapat anggapan bahwa anak akselerasi memiliki empati yang rendah,
sedangkan anak regular memiliki empati yang tinggi. Karena anak akselerasi
lebih banyak menghabiskan waktunya untuk belajar karena jam pelajarannya
yang sangat padat dibandingkan dengan kelas regular, yang masih dapat
bersosialisasi dengan teman sebayanya.

7

Dari berbagai hal yang melatarbelakangi perilaku empati
peneliti

tertarik

untuk

meneliti

PERBEDAAN

EMPATI

maka
SISWA

AKSELERASI DAN SISWA REGULER.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah yang
akan diangkat oleh peneliti adalah bagaimana perbedaan empati pada siswa
akselerasi dan siswa reguler.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan empati
siswa akselerasi dan siswa regular.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berarti, sebagai
wacana keilmuan dan khasanah pemikiran ilmu psikologi, khususnya
psikologi perkembangan dan pendidikan.

2. Secara Praktis
Bagi lembaga sebagai bahan rujukan bagi praktisi psikologi dan
sebagai bahan pertimbangan bagi pihak sekolah dalam mengambil
kebijakan terkait dengan siswa yang menmpuh pendidikan akselerasi dan
reguler.