PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA AKSELERASI DAN REGULER

(1)

i

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA AKSELERASI DAN REGULER

SKRIPSI

Oleh:

WIJAYANTI FAUZIYAH 06810138

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2012


(2)

ii

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL ANTARA SISWA AKSELERASI DAN REGULER

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

WIJAYANTI FAUZIYAH 06810138

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG 2012


(3)

iii

LEMBAR PERSETUJUAN

Judul Skripsi : Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler

Nama Peneliti : Wijayanti Fauziyah No. Induk Mahasiswa : 06810138

Fakultas : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang Waktu Penelitian : 24 – 26 Januari 2012

Malang, 20 April 2012

Pembimbing I Pembimbing II


(4)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi Ini Telah Diuji Oleh Dewan Penguji Pada tanggal 4 Mei 2012

Dewan Penguji

Ketua Penguji : Dra. Djudiyah, M.Si ( )

Anggota Penguji : 1. Hudaniah, M.Si ( ) 2. Linda Yani Pusfiyaningsih, M.Si ( )

Mengesahkan, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang


(5)

v

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Wijayanti Fauziyah

Tempat, tanggal lahir : Kediri, 6 Maret 1987 Nomor Induk Mahasiswa : 06810138

Fakultas / Jurusan : Psikologi

Perguruan tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul :

Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler

1. Adalah bukan karya tulis ilmiah (skripsi) orang lain, baik sebagian ataupun seluruhnya, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebut sumbernya.

2. Hasil tulis karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak Bebas Royalti non ekslusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Malang, 20 April 2012

Mengetahui, Yang menyatakan,

Ketua Program Studi


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler”. Skripsi ini sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak bimbingan, bantuan, dukungan dan dorongan semangat yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dra. Cahyaning Suryaningrum, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

2. Dra. Djudiyah, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ari Firmanto, S.Psi selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan serta masukan-masukan yang sangat bermanfaat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

3. M. Salis Yuniardi, S.Psi. M.Psi selaku dosen wali Fakultas Psikologi kelas C angkatan 2006. Terima kasih atas bimbingan akademiknya selama saya menjadi mahasiswa psikologi.

4. Teristimewa Ibu (Lik Anah) dan Bapak (Noor Halim, Alm), serta kakak-kakak tercinta (Mas Udin, Mas Bana, Mas Iwan, dan Mas Hakim) yang telah banyak memberi bantuan, do’a, dan nasihat-nasihat yang bermanfaat hingga penulis berhasil menjadi sarjana psikologi.

5. Seluruh saudara-saudara terutama Mbak Yiyi, Tante Im, Tante Ir, Mbak Merry, Mas Kholik, Sendi, Tegar, Vico, Vea, Ivel, Gilang, dan Caira yang selalu memberi motivasi dan mengembalikan semangat penulis.

6. Semua teman-teman angkatan 2006 terutama Dewi dan “memet” (Erma, Dorrya, Nilma) terimakasih atas dorongan dan semangat dari kalian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(7)

vii

7. Untuk seseorang yang penulis sayangi “Ragil” terimakasih atas perhatian, tenaga, dukungan, dan semangat yang diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Semua dosen, karyawan, dan teman-teman partime TU Psikologi, khususnya Bu Hudan, Bu Linda, Pak Suroto, Pak Zaini, Pak Waluyo, Mbak Rima, Vina, Dwi, Misbah, dan A’yun terimaksih telah memberi dorongan, dukungan dan nasihat-nasihat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Kakak, sahabat, dan adik-adik di KSR–PMI UMM yang membantu dan memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini khususnya Diklat–XX jangan lupakan kebersamaan kita.

10.Teman-teman di Kos Babussalam No.7C (Mbak Yati, Mbak Khusnul, Mbak Ifa, Mbak Yuyun, Mbak Riri, Leli, Ririn, Nisa, Rima, Risya, Yuyun, Vitri, Ani, Lela, Kokom, Riska, Zulhiah, Iis, Laila, dan Desi) yang rela menemani dan menghibur penulis disaat galau.

11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya.

Semoga Allah SWT berkenan memberikan berkah yang berlipat ganda atas segala bantuan yang telah di berikan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, maka dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritik yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan pada pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Malang, 20 April 2012 Penulis,

ttd


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

SURAT PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

INTISARI ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penyesuaian Sosial 1. Pengertian ... 10

2. Indikator Penyesuaian Sosial ... 11

3. Faktor-faktor Penyesuaian Sosial ... 12

B. Akselerasi 1. Pengertian ... 18

2. Bentuk-bentuk Program Akselerasi ... 19

3. Karakteristik Peserta Akselerasi ... 21

4. Kelebihan dan Kelemahan Akselerasi ... 22

5. Pelaksanaan Program Akselerasi ... 24

C. Reguler 1. Pengertian ... 26


(9)

ix

3. Kelebihan dan Kelemahan Program Reguler ... 27

4. Pelaksanaan Program Reguler ... 28

D. Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler ... 29

E. Kerangka pikiran ... 33

F. Hipotesis ... 33

BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan penelitian ... 34

B. Variabel Penelitian 1. Identifikasi Variabel Penelitian ... 34

2. Definisi Operasional ... 34

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi ... 35

2. Sampel ... 36

D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 1. Jenis Data ... 36

2. Metode Pengumpulan Data ... 36

E. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas 1. Uji Validitas ... 39

2. Uji Reliabilitas ... 40

F. Prosedur Penelitian ... 41

G. Analisa Data ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data ... 44

B. Analisa Data ... 45


(10)

x BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 51

B. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

Tabel 1 : Blue Print Item Penyesuaian Sosial ... 37

Tabel 2 : Blue Print Skala Penyesuaian Sosial ... 39

Tabel 3 : Hasil Analisa Validitas Item Skala Penyesuaian Sosial ... 40

Tabel 4 : Blue Print Skala Penyesuaian Sosial setelah Try Out ... 40

Tabel 5 : Sebaran t-score Penyesuaian Sosial ... 45

Tabel 6 : Rangkuman Analisis Uji t-test Penyesuaian Sosial ... 45

Tabel 7 : Rangkuman Analisis Uji t-test Berdasarkan Aspek Penyesuaian Sosial ... 46


(12)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Halaman

Lampiran 1: Instrumen Try Out ... 57

Lampiran 2: Data Kasar Try Out Skala Penyesuaian Sosial ... 61

Lampiran 3: Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Penyesuaian Sosial .. 63

Lampiran 4: Instrumen Penelitian ... 72

Lampiran 5: Data Kasar Penelitian Skala Penyesuaian Sosial ... 76

Lampiran 6: Hasil Analisis Uji t-test ... 85


(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, A. & Narbuko, C. (1997). Metodologi penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Anggota IKAPI. (2002). Himpunan peraturan perundang-undangan bidang

kependidikan tahun 2002. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.

Agmarina, Z. (2010). Hubungan dukungan sosial teman sebaya reguler dengan penyesuaian sosial pada siswa kelas enam akselerasi SD Bina Insani Bogor. (Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang. Jawa Tengah). Arikunto, S. (2002) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: Rineka

Cipta.

Azwar, S. (2009). Realibilitas dan validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Azwar, S. (2008). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Dayakisni, T. & Hudaniah. (2006). Psikologi sosial. Malang: UMM Press.

Depdiknas. (2007). Penatalaksanaan psikologi program akselerasi. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Sistem pendidikan nasional tahun 2006. Jakarta: Depdiknas Depdiknas. (2003). Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan

nasional. Jakarta: Depdiknas.

Depdiknas. (2001). Kurikulim berbasis kompetensi: Kebijakan umum pendidikan dasar dan menengah. Jakarta: Depdiknas.

Desmita. (2009). Psikologi perkembangan peserta didik. Bandung: Rosda.

Gunarsa, S.D. (2006). Dari anak sampai usia lanjut: Bunga rampai psikologi perkembangan. Jakarta: Gunung Mulia.

Hawadi, A.R. (2004). Akselerasi: A-Z informasi program percepatan belajar dan anak berbakat intelektual. Jakarta: Grasindo.

Hendrawati, E. (2007). Hubungan antara Self-Esteem dan penyesuaian sosial siswa akselerasi MAN Malang 3. (Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang. Jawa Timur).

Hermawan, T. (2010). Penyesuaian diri dan permasalahannya pada remaja. Diperoleh dari F3an-master.blogspot.com/penyesuaian-diri-dan-permasalahan-pada.html. Diakses 13 Desember 2011.


(14)

xiv

Hurlock, E. (1995). Perkembangan anak (jilid 1). Alih bahasa: Tjandrasa & Zarkasih. Jakarta: Erlangga.

Hurlock, E. (1990). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Alih bahasa: Tjandrasa & Zarkasih. Jakarta: Erlangga.

Kerlinger, F.N. (1990). Asas-asas penelitian behavioral. Yogyakarta: UGM Press. Kompas. (2002). Diperoleh dari

http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0703/02/humaniora/ 3357419.htm. Diakses 13 Desember 2011.

Maimunah, S. (2009). Gambaran penyesuaian sosial dan emosi siswa program akselerasi. Malang: Lembaga Penelitian UMM.

Munandar, U. (1999). Pengembangan kreativitas anak berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.

Munandar, U. (1992). Anak-anak berbakat: Pembinaan dan pandidikannya. Jakarta: Rajawali Pers.

Radar Malang. (2011). Melihat kelas akselerasi di Kota Malang: Korbankan bermain untuk ekstra belajar. Malang: Radar Malang, 22 Agustus, hlmn: 30 Rahmawati, D. (2006). Perbedaan penyesuaian sosial siswa peserta program

akselerasi dan non-akselerasi kelas XI di Kota Malang. (Skripsi Fakultas Ilmu Pendidikan Program Studi Psikologi Universitas Negeri Malang. Jawa Timur).

Republika Online. (2004). Diperoleh dari www.republikaonline.com. Diakses 13 Desember 2011.

Schneiders, A.A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt Rineheart & Winston.

Semiawan, K. (1997). Perspektif pendidikan anak berbakat. Jakarta: Grasindo. Somantri. (2007). Permasalahan program pembelajaran. Diperoleh dari

http://apa-adanya.blogspot.com/2007/11/permasalahan-program pembelajaran.html.

Diakses 13 Desember 2011.

Sugiyono. (2010). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta.

Sulipan. (2010). Penyelenggaraan program CI-BI program akselerasi. Diperoleh dari http://wordpress.com/2010/06/22/pedoman-penyelenggaraan-program-cibi-akselerasi/. Diakses 26 September 2011.


(15)

xv

Sutopo. (2002). Keunikan inteligensi manusia. Diperoleh dari http://smpn1bpn.sch.id/index.php?option=comcontent&task= view&id =12 &itemid=32. Diakses 13 Desember 2011.

Tawil. (2010). Sekolah akselerasi. Diperoleh dari tawil-umm.blogspot.com/2010/03/sekolah-akselerasi.html. Diakses 13 Desember 2011..

Van Tiel, J. (2001). Permasalahan tumbuh kembang dan pendidikan anak cerdas istimewa. Diperoleh dari http://gifted-disinkroni.blogspot.com/. Diakses 13 Desember 2011.

Winarsunu, T. (2009). Statistik dalam penelitian psikologi dan pendidikan. Malang: UMM Press.


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Siswa merupakan individu-individu yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya. Mereka hadir dan berkumpul di ruang kelas dari berbagai latar belakang, baik sosial, kultural, strata ekonomi, maupun agama yang berbeda. Mereka datang dengan membawa corak kepribadian, karakteristik, tingkah laku, minat, bakat, kecerdasan, dan berbagai tingkat perkembangan lainnya yang berbeda-beda pula. Di sekolah mereka ingin mendapatkan pendidikan formal yang layak dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu. Tujuan pedidikan ialah untuk memberikan kesempatan pada anak didik untuk mengembangkan bakat-bakatnya seoptimal mungkin, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya (Munandar, 1999).

Saat ini sekolah mempunyai berbagai macam program yang sesuai dengan kemampuan siswa, antara lain seperti program akselerasi dan RSBI. Dari beberapa program yang ditawarkan tersebut akan berdampak pada siswa. Sekolah yang menuntut siswa-siswinya untuk berprestasi menempatkan mereka yang memiliki IQ (Intelegency Quotient) tinggi sebagai siswa pilihan, sehingga mereka dapat menyelesaikan sekolahnya dalam waktu yang relatif lebih singkat apabila dibandingkan dengan siswa reguler. Hal tersebut berdasarkan anggapan bahwa siswa dengan IQ tinggi pasti memiliki keterampilan-keterampilan lain yang juga tinggi sebagaimana IQ yang dimilikinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Terman (dalam Hawadi, 2004) yang menyatakan bahwa siswa dengan IQ di atas normal akan superior dalam kesehatan, penyesuaian sosial, dan sikap moral. Namun, kesimpulan ini menimbulkan mitos bahwa siswa dengan IQ tinggi adalah anak yang berbahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Adanya program tersebut juga didukung oleh lingkungan sekolah yang memang menilai siswa-siswinya dari prestasi yang diraihnya dan mengesampingkan hal-hal yang lainnya, sehingga sekolah mengakomodasi mereka yang memiliki IQ tinggi dalam satu kelas akselerasi yang berbeda dengan kelas reguler. Hal ini tidak


(17)

2

terlepas dari pandangan dalam pendidikan yang lebih mementingkan tingkatan intelegensi. Sesuai dengan yang diungkap oleh Desmita (2009) pada proses pendidikan di sekolah, intelegensi diyakini sebagai unsur penting yang sangat menentukan keberhasilan belajar peserta didik. Setiap peserta didik memiliki intelegensi yang berlainan. Ada anak yang memiliki intelegensi tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan perbedaan tingkat intelegensi tersebut, setiap peserta didik memerlukan layanan pendidikan yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuannya. Intelegensi juga merupakan salah satu faktor umum yang mempengaruhi perkembangan anak. Tingkat intelegensi yang tinggi erat kaitannya dengan kecepatan perkembangan. Sedangkan tingkat intelegensi yang rendah erat kaitannya dengan kelambanan perkembangan.

Menurut Yohannes (dalam Kompas, 2002) jumlah anak berbakat bisa mencapai 2 – 2,5 % dari total anak Indonesia. Anak-anak ini harus ditemukan dan difasilitasi. Sehingga apabila dalam satu angkatan terdapat 1000 orang siswa maka potensi anak berbakat adalah 20 sampai 25 orang dapat dijadikan dalam satu kelas tersendiri. Dengan penanganan yang tepat, potensi anak berbakat ini menjadi luar biasa bagi masa depan bangsa, bahkan suatu saat anak bangsa ini bisa menjadi pemenang Nobel.

Anak-anak yang cerdas istimewa mereka mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mereka memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul dalam berbagai hal seperti intelektual, akademik khusus, berfikir kreatif-produktif, memimpin, seni, dan psikomotor, sehingga mereka memiliki kebutuhan dan masalah yang berbeda dibanding dengan anak pada umumnya terutama dalam masalah pendidikan, mereka membutuhkan layanan khusus agar potensi intelektual mereka yang tinggi dapat berkembang secara optimal. Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat diberikan melalui jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah dapat diberikan dengan menyelenggarakan program percepatan, program khusus, program kelas khusus dan program pendidikan khusus. Program percepatan belajar atau merupakan program layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa serta dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain / program reguler (Maimunah, 2009).


(18)

3

Dasar dibukanya kelas akselerasi adalah karena anak CIBI (Cerdas Istimewa Bakat Istimewa) memiliki karakteristik yang khas. Diantaranya kemampuan belajarnya bisa mencapai 4-5 kali lebih cepat dari anak biasa. Ketika kecepatan mereka tidak diakomodasi, maka akan berpotensi mengganggu yang lain, bahkan bisa menjadi nakal. Undang-undang no.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Perlunya perhatian khusus kepada anak CIBI merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal (Sulipan, 2010).

Sedangkan kelas reguler merupakan kelas dengan kurikulum nasional yang waktu penyelesaian program belajarnya sesuai dengan rencana program yang tercantum dalam kurikulum, kelas reguler terdiri dari siswa-siswa dengan karakteristik umum atau rata-rata sesuai dengan jenjang studinya. Program pendidikan reguler pada umumnya lebih banyak bersifat klasikal massal, yaitu penyelenggaraan pendidikan yang berorientasi pada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa (Depdiknas, 2001).

Kelas akselerasi pada prinsipnya adalah kelas percepatan yang memberi kesempatan kepada siswa untuk naik kelas berikutnya lebih cepat (double promotion) satu atau dua sekaligus (Radar Malang, 2011). Waktu pelaksanaan pendidikan program akselerasi adalah 4 bulan untuk kelas 1 semester 1, 4 bulan untuk kelas 1 semester 2, 4 bulan untuk kelas 2 semester 1, 4 bulan untuk kelas 2 semester 2, 4 bulan untuk kelas 3 semester 1, dan 4 bulan untuk kelas 3 semester 2. Sedangkan waktu pelaksanaan pendidikan program reguler adalah 6 bulan untuk kelas 1 semester 1, 6 bulan untuk kelas 1 semester 2, 6 bulan untuk kelas 2 semester 1, 6 bulan untuk kelas 2 semester 2, 6 bulan untuk kelas 3 semester 1, dan 6 bulan untuk kelas 3 semester 2 (Depdiknas dalam Gunarsa, 2006). Pada siswa program akselerasi ulangan harian, ulangan umum, dan UAN diberikan lebih awal sesuai dengan kalender pendidikan masing-masing dibanding siswa program reguler (Gunarsa, 2006). Anak-anak yang mengikuti program akselerasi mereka pada umumnya lebih senang bereksplorasi dengan banyak membaca buku, majalah, mengakses internet dan lain-lain, serta selalu mencari kesibukan utuk belajar dan menambah pengetahuan, sehingga intensitas hubungan dengan orang lain menjadi


(19)

4

kurang, tetapi jika dibandingkan dengan anak reguler kemampuan untuk bersosialisasi menjadi lebih rendah. Karena anak regular memiliki waktu yang lebih banyak untuk bersosial daripada anak akselerasi.

Keuntungan kelas akselerasi adalah, siswa yang bakat intelektualnya tinggi dibantu secara khusus sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding siswa biasa, jadi keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran. Dengan program percepatan ini diharapkan siswa berbakat tidak bosan di kelas yang sama dengan siswa berbakat lainnya, sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat terus maju dengan cepat. Adapun beberapa segi kekurangan dari program kelas akselerasi ini, terlebih bila dilihat dari segi pendidikan nilai kemanusiaan yang lebih menyeluruh. Pertama, pendidikan nilai sulit dipercepat, dalam perdebatan persoalan pendidikan nasional akhir-akhir ini banyak dipersoalkan kurangnya pendidikan nilai di sekolah-sekolah dari SD sampai SMA. Disadari, kebanyakan sekolah terlalu menekankan segi kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai kemanusiaan yang lain. Maka mulai disadari pentingnya pendidikan nilai, termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain seperti emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, afektivitas, dan lain-lain. Pendidikan nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan dalam banyak tindakan interaksi antar siswa dan kerja sama; penanaman nilai penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya, maka program kelas akselerasi, yang hanya menekankan segi pengetahuan (kognitif), tidak membantu bahkan mungkin memperburuk penanaman nilai. Kedua, pendidikan nilai oleh keluarga dan masyarakat masih kurang. Kelas akselerasi yang hanya menekankan pengetahuan anak berbakat, akan menjadi sungguh baik bila pendidikan nilai sudah ditangani keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara menyeluruh. Bila keluarga dan masyarakat mendampingi anak-anak dalam mengembangkan nilai kemanusiaan-seperti nilai demokrasi, sosialitas, penghargaan terhadap manusia lain, maka sekolah akselerasi yang hanya memperhatikan pengetahuan dapat dimengerti.


(20)

5

Penanaman nilai yang dibutuhkan salah satunya adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial di lingkungan sekolah sangat penting bagi siswa. Siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan dapat mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, dibandingkan dengan siswa yang ditolak atau diabaikan oleh teman sekelasnya. Ditambahkan pula bahwa siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Hal tersebut dapat bermanfaat bagi diri untuk mencari banyak teman, sehingga dimasa depan nanti bisa mendapat informasi kerja yang lebih banyak. Semakin baik penyesuaian sosial maka, semakin banyak koneksi yang didapat dan semakin banyak pula informasi yang didapatkan. Penyesuaian sosial pada setiap tahap usia ditentukan oleh dua faktor. Pertama adalah sejauh mana seseorang dapat memainkan peran sosial secara tepat sesuai dengan apa yang diharapkan daripadanya. Kedua, seberapa banyak kepuasan yang diperoleh seseorang.

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 1990). Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan kehidupan sosial anak terutama pada anak usia sekolah dasar. Hal tersebut didasarkan karena usia sekolah dasar merupakan pondasi awal terbentuknya sikap dan perilaku anak pada masa selanjutnya. Hal tersebut didukung oleh Hurlock (1995) yang juga menyatakan pentingnya penyesuaian sosial pada anak. Pertama, pola perilaku dan sikap yang dibentuk pada awal masa kehidupan cenderung menetap. Anak yang berhasil melakukan penyesuaian sosial di awal masa sekolah, akan mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik ketika duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi, dibandingkan dengan anak yang tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik pada awal masa sekolah. Alasan kedua, jenis penyesuaian sosial yang dilakukan anak-anak akan meninggalkan ciri pada konsep diri mereka yang juga meningkatkan ketetapan pola penyesuaian sosial yang dilakukan. Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan


(21)

6

memuaskan. Penyesuaian sosial meliputi penyesuaian di rumah atau keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, serta budaya dan agama (Schneiders, 1964). Anak yang dapat melakukan penyesuaian sosial secara baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Keberhasilan anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan (Hurlock, 1995).

Kemampuan sosial siswa yang beragam sangat berpengaruh pada penyesuaian sosial di lingkungan. Baik siswa reguler maupun akselerasi juga akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian lingkungan dilakukan terhadap mayoritas siswa yang ada di dalam lingkungan tersebut dimana masing-masing individu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan sekolah yang berkembang dengan pesat akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa yang penting bagi keberhasilan dimasa datang.

Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya. Anak yang mengalami akselerasi pada perkembangan, tingkat penyesuaiannya akan lebih sulit karena dia dihadapkan pada perubahan yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan anak di sekolah reguler, tetapi anak yang melakukan akselerasi juga ditunjang dengan kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak reguler. Sekalipun dalam aspek kognitif peserta akselerasi maju pesat, namun kehidupan sosialnya jauh berkurang.

Semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya reguler maka akan semakin tinggi pula penyesuaian sosial siswa akselerasi. Nilai korelasi yang rendah menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara dukungan sosial teman sebaya reguler dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi. Dukungan sosial diperlukan untuk menghilangkan stigma negatif pada siswa akselerasi seperti stigma sombong, eksklusif, dan lain-lain. Bila dukungan sosial telah diperoleh, siswa akselerasi akan merasa nyaman dalam menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya di luar akselerasi (Agmarina, 2010).


(22)

7

Penyesuaian diri pada anak akselerasi memang berbeda dengan anak reguler, hal ini disebabkan karena pada anak akselerasi lebih banyak disibukkan dengan pelajaran yang selalu dituntut harus selesai dan karena padatnya waktu untuk menyelesaikan pelajaran serta harus membutuhkan banyak waktu seperti harus mencari data di internet, di perpustakaan, dan juga harus banyak membaca koran atau majalah yang bisa mendukung pelajarannya, sehingga waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat kurang. Hal ini terkesan bahwa anak akselerasi sangat individual dan tidak memerlukan orang lain, padahal sebenarnya mereka hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas yang begitu banyak dan sangat padat sehingga mereka kurang memperhatikan tentang penyesuaian sosial baik dengan teman maupun lingkungan keluarga sekalipun. Bukan hanya itu, terkadang anak akselerasi ini ketika diajak bicara kurang memperhatikan, karena yang mereka pikirkan adalah segala yang berhubungan dengan pelajaran.

Anak akselerasi selalu disibukkan dengan kurikulum yang padat dan dituntut dengan cepat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk meluangkan waktunya untuk bersosialisasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Pada dasarnya mereka hanya mengutamakan inteligensinya untuk selalu ingin tahu dan selalu ingin belajar dan selalu menyibukkan diri dengan keingintahuan mengenai pelajaran dan segala sesuatu yang mendorong ia untuk belajar dan bahkan mereka mengorbankan waktu yang seharusnya untuk bermain ia gunakan untuk belajar.

Latifa (dalam Kompas, 2009) menerangkan jika anak-anak akselerasi merasa kurang bersosialisasi terutama pada waktu mereka kelas akhir karena mereka satu level dengan kakak kelasnya, masih ada anggapan kelas yang eksklusif, tuntutan agar nilai selalu baik, membutuhkan keterampilan khusus menghadapi anak yang kreatif, pandai dan bahkan hiperaktif. Diungkapkan pula oleh Republika Online (2004) bahwa seorang Wakil Kepala Sekolah yang merupakan salah satu penyelenggara program akselerasi mengisahkan jika selama pelaksanaan akselerasi di sekolahnya ditemukan siswa kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul, dan tidak suka pada pelajaran olah raga. Siswa akselerasi tegang seperti robot dan orang tua sulit berkomunikasi dengan anaknya. Diungkapkan juga oleh Sutopo (2002) yang menyebutkan, “…anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang


(23)

8

usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi”. Kesaksian siswa yang mengikuti program akselerasi mengatakan bahwa waktu belajar yang lebih banyak menyebabkan kurangnya waktu untuk bermain. Jika tidak ingin ketinggalan pelajaran di kelas, maka harus belajar dengan serius dan harus disiplin waktu. Berbeda denga teman-teman yang tidak mengikuti program akselerasi, sepulang sekolah masih punya banyak waktu untuk bersantai (Radar Malang, 2011).

Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupan. Untuk menjalin hubungan dengan orang lain tidaklah mudah, perlu penyesuaian diri yang sesuai dengan tuntutan sosial disekitarnya. Hubungan itu biasa disebut interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik (Dayakisni, 2006).

Pada prinsipnya tidak ada yang berbeda antara kelas aksel dan reguler, karena jam kegiatan belajar-mengajar serta fasilitas pun sama. Namun karena kelas aksel merupakan kelas ekspres, maka dalam penyampaian pelajaran hanya berbeda esensinya. Secara sikap, siswa akselerasi juga memiliki perbedaan dengan siswa reguler. Mereka lebih aktif di kelas maupun di luar kelas. Jika guru tidak bisa mengimbanginya, maka proses pembelajaran tidak optimal.

Hal inilah yang menjadikan menarik untuk diketahui apakah terdapat perbedaan penyesuaian sosial diantara keduanya. Dengan berdasarkan sumber permasalahan diatas maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembahasan latar belakang di atas adalah apakah ada perbedaan penyesuaian sosial antara siswa akselerasi dan reguler?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial antara siswa akselerasi dan reguler.


(24)

9

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis

Diharapkan dari penulisan ini dapat dijadikan acuan atau sumbangan pemikiran yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang psikologi dan pendidikan.

2. Secara Praktis

Informasi dari penelitian ini diharap dapat digunakan oleh pihak sekolah (khususnya guru BK), para orang tua dan siswa dalam upaya peningkatan penyesuaian sosial siswa baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.


(1)

kurang, tetapi jika dibandingkan dengan anak reguler kemampuan untuk bersosialisasi menjadi lebih rendah. Karena anak regular memiliki waktu yang lebih banyak untuk bersosial daripada anak akselerasi.

Keuntungan kelas akselerasi adalah, siswa yang bakat intelektualnya tinggi dibantu secara khusus sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun lebih awal dibanding siswa biasa, jadi keuntungannya terletak pada akselerasi pengajaran. Dengan program percepatan ini diharapkan siswa berbakat tidak bosan di kelas yang sama dengan siswa berbakat lainnya, sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat terus maju dengan cepat. Adapun beberapa segi kekurangan dari program kelas akselerasi ini, terlebih bila dilihat dari segi pendidikan nilai kemanusiaan yang lebih menyeluruh. Pertama, pendidikan nilai sulit dipercepat, dalam perdebatan persoalan pendidikan nasional akhir-akhir ini banyak dipersoalkan kurangnya pendidikan nilai di sekolah-sekolah dari SD sampai SMA. Disadari, kebanyakan sekolah terlalu menekankan segi kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai kemanusiaan yang lain. Maka mulai disadari pentingnya pendidikan nilai, termasuk pendidikan budi pekerti dan segi-segi kemanusiaan lain seperti emosionalitas, religiusitas, sosialitas, spiritualitas, kedewasaan pribadi, afektivitas, dan lain-lain. Pendidikan nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai sosialitas perlu diwujudkan dalam banyak tindakan interaksi antar siswa dan kerja sama; penanaman nilai penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan dan mungkin hidup bersama orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran pengetahuannya, maka program kelas akselerasi, yang hanya menekankan segi pengetahuan (kognitif), tidak membantu bahkan mungkin memperburuk penanaman nilai. Kedua, pendidikan nilai oleh keluarga dan masyarakat masih kurang. Kelas akselerasi yang hanya menekankan pengetahuan anak berbakat, akan menjadi sungguh baik bila pendidikan nilai sudah ditangani keluarga, masyarakat, dan pemerintah secara menyeluruh. Bila keluarga dan masyarakat mendampingi anak-anak dalam mengembangkan nilai kemanusiaan-seperti nilai demokrasi, sosialitas, penghargaan terhadap manusia lain, maka sekolah akselerasi yang hanya memperhatikan pengetahuan dapat dimengerti.


(2)

Penanaman nilai yang dibutuhkan salah satunya adalah penyesuaian sosial. Penyesuaian sosial di lingkungan sekolah sangat penting bagi siswa. Siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan dapat mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya, dibandingkan dengan siswa yang ditolak atau diabaikan oleh teman sekelasnya. Ditambahkan pula bahwa siswa yang dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Hal tersebut dapat bermanfaat bagi diri untuk mencari banyak teman, sehingga dimasa depan nanti bisa mendapat informasi kerja yang lebih banyak. Semakin baik penyesuaian sosial maka, semakin banyak koneksi yang didapat dan semakin banyak pula informasi yang didapatkan. Penyesuaian sosial pada setiap tahap usia ditentukan oleh dua faktor. Pertama adalah sejauh mana seseorang dapat memainkan peran sosial secara tepat sesuai dengan apa yang diharapkan daripadanya. Kedua, seberapa banyak kepuasan yang diperoleh seseorang.

Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya (Hurlock, 1990). Penyesuaian sosial merupakan salah satu aspek penting dalam perkembangan kehidupan sosial anak terutama pada anak usia sekolah dasar. Hal tersebut didasarkan karena usia sekolah dasar merupakan pondasi awal terbentuknya sikap dan perilaku anak pada masa selanjutnya. Hal tersebut didukung oleh Hurlock (1995) yang juga menyatakan pentingnya penyesuaian sosial pada anak. Pertama, pola perilaku dan sikap yang dibentuk pada awal masa kehidupan cenderung menetap. Anak yang berhasil melakukan penyesuaian sosial di awal masa sekolah, akan mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk dapat melakukan penyesuaian sosial dengan baik ketika duduk di bangku sekolah menengah dan perguruan tinggi, dibandingkan dengan anak yang tidak berhasil melakukan penyesuaian sosial dengan baik pada awal masa sekolah. Alasan kedua, jenis penyesuaian sosial yang dilakukan anak-anak akan meninggalkan ciri pada konsep diri mereka yang juga meningkatkan ketetapan pola penyesuaian sosial yang dilakukan. Penyesuaian sosial dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bereaksi secara sehat dan efektif terhadap hubungan, situasi, dan kenyataan sosial yang ada sehingga dapat mencapai kehidupan sosial yang menyenangkan dan


(3)

memuaskan. Penyesuaian sosial meliputi penyesuaian di rumah atau keluarga, di sekolah, dan di masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik dan determinannya, perkembangan dan kematangan, determinasi psikologi, kondisi lingkungan rumah, sekolah, masyarakat, serta budaya dan agama (Schneiders, 1964). Anak yang dapat melakukan penyesuaian sosial secara baik akan memiliki dasar untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa. Keberhasilan anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dilakukan (Hurlock, 1995).

Kemampuan sosial siswa yang beragam sangat berpengaruh pada penyesuaian sosial di lingkungan. Baik siswa reguler maupun akselerasi juga akan menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Penyesuaian lingkungan dilakukan terhadap mayoritas siswa yang ada di dalam lingkungan tersebut dimana masing-masing individu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan sekolah yang berkembang dengan pesat akan mempengaruhi kemampuan penyesuaian sosial siswa yang penting bagi keberhasilan dimasa datang.

Pada dasarnya penyesuaian diri melibatkan individu dengan lingkungannya. Anak yang mengalami akselerasi pada perkembangan, tingkat penyesuaiannya akan lebih sulit karena dia dihadapkan pada perubahan yang lebih cepat apabila dibandingkan dengan anak di sekolah reguler, tetapi anak yang melakukan akselerasi juga ditunjang dengan kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak reguler. Sekalipun dalam aspek kognitif peserta akselerasi maju pesat, namun kehidupan sosialnya jauh berkurang.

Semakin tinggi dukungan sosial teman sebaya reguler maka akan semakin tinggi pula penyesuaian sosial siswa akselerasi. Nilai korelasi yang rendah menunjukkan adanya hubungan yang lemah antara dukungan sosial teman sebaya reguler dengan penyesuaian sosial siswa akselerasi. Dukungan sosial diperlukan untuk menghilangkan stigma negatif pada siswa akselerasi seperti stigma sombong, eksklusif, dan lain-lain. Bila dukungan sosial telah diperoleh, siswa akselerasi akan merasa nyaman dalam menyesuaikan diri dengan teman-teman sebayanya di luar akselerasi (Agmarina, 2010).


(4)

Penyesuaian diri pada anak akselerasi memang berbeda dengan anak reguler, hal ini disebabkan karena pada anak akselerasi lebih banyak disibukkan dengan pelajaran yang selalu dituntut harus selesai dan karena padatnya waktu untuk menyelesaikan pelajaran serta harus membutuhkan banyak waktu seperti harus mencari data di internet, di perpustakaan, dan juga harus banyak membaca koran atau majalah yang bisa mendukung pelajarannya, sehingga waktu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sangat kurang. Hal ini terkesan bahwa anak akselerasi sangat individual dan tidak memerlukan orang lain, padahal sebenarnya mereka hanya dituntut untuk menyelesaikan tugas yang begitu banyak dan sangat padat sehingga mereka kurang memperhatikan tentang penyesuaian sosial baik dengan teman maupun lingkungan keluarga sekalipun. Bukan hanya itu, terkadang anak akselerasi ini ketika diajak bicara kurang memperhatikan, karena yang mereka pikirkan adalah segala yang berhubungan dengan pelajaran.

Anak akselerasi selalu disibukkan dengan kurikulum yang padat dan dituntut dengan cepat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk meluangkan waktunya untuk bersosialisasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Pada dasarnya mereka hanya mengutamakan inteligensinya untuk selalu ingin tahu dan selalu ingin belajar dan selalu menyibukkan diri dengan keingintahuan mengenai pelajaran dan segala sesuatu yang mendorong ia untuk belajar dan bahkan mereka mengorbankan waktu yang seharusnya untuk bermain ia gunakan untuk belajar.

Latifa (dalam Kompas, 2009) menerangkan jika anak-anak akselerasi merasa kurang bersosialisasi terutama pada waktu mereka kelas akhir karena mereka satu level dengan kakak kelasnya, masih ada anggapan kelas yang eksklusif, tuntutan agar nilai selalu baik, membutuhkan keterampilan khusus menghadapi anak yang kreatif, pandai dan bahkan hiperaktif. Diungkapkan pula oleh Republika Online (2004) bahwa seorang Wakil Kepala Sekolah yang merupakan salah satu penyelenggara program akselerasi mengisahkan jika selama pelaksanaan akselerasi di sekolahnya ditemukan siswa kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul, dan tidak suka pada pelajaran olah raga. Siswa akselerasi tegang seperti robot dan orang tua sulit berkomunikasi dengan anaknya. Diungkapkan juga oleh Sutopo (2002) yang menyebutkan, “…anak hanya berkumpul dengan anak pandai. Tatkala melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, harus berada satu kelas dengan murid yang


(5)

usianya lebih banyak, ternyata anak mengalami hambatan proses sosialisasi”. Kesaksian siswa yang mengikuti program akselerasi mengatakan bahwa waktu belajar yang lebih banyak menyebabkan kurangnya waktu untuk bermain. Jika tidak ingin ketinggalan pelajaran di kelas, maka harus belajar dengan serius dan harus disiplin waktu. Berbeda denga teman-teman yang tidak mengikuti program akselerasi, sepulang sekolah masih punya banyak waktu untuk bersantai (Radar Malang, 2011).

Pada dasarnya manusia membutuhkan orang lain untuk menjalani kehidupan. Untuk menjalin hubungan dengan orang lain tidaklah mudah, perlu penyesuaian diri yang sesuai dengan tuntutan sosial disekitarnya. Hubungan itu biasa disebut interaksi sosial. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya dimana individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang saling timbal balik (Dayakisni, 2006).

Pada prinsipnya tidak ada yang berbeda antara kelas aksel dan reguler, karena jam kegiatan belajar-mengajar serta fasilitas pun sama. Namun karena kelas aksel merupakan kelas ekspres, maka dalam penyampaian pelajaran hanya berbeda esensinya. Secara sikap, siswa akselerasi juga memiliki perbedaan dengan siswa reguler. Mereka lebih aktif di kelas maupun di luar kelas. Jika guru tidak bisa mengimbanginya, maka proses pembelajaran tidak optimal.

Hal inilah yang menjadikan menarik untuk diketahui apakah terdapat perbedaan penyesuaian sosial diantara keduanya. Dengan berdasarkan sumber permasalahan diatas maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Perbedaan Penyesuaian Sosial antara Siswa Akselerasi dan Reguler”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembahasan latar belakang di atas adalah apakah ada perbedaan penyesuaian sosial antara siswa akselerasi dan reguler?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui perbedaan penyesuaian sosial antara siswa akselerasi dan reguler.


(6)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan dari penulisan ini dapat dijadikan acuan atau sumbangan pemikiran yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang psikologi dan pendidikan.

2. Secara Praktis

Informasi dari penelitian ini diharap dapat digunakan oleh pihak sekolah (khususnya guru BK), para orang tua dan siswa dalam upaya peningkatan penyesuaian sosial siswa baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.